• Tidak ada hasil yang ditemukan

The influence of Hinduism and Buddhism in Java (8-15 C.AD) is known as the ancient Javanese

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "The influence of Hinduism and Buddhism in Java (8-15 C.AD) is known as the ancient Javanese"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI KUASA PADA MASA JAWA KUNO (ABAD KE-8-15)

Power-Relations in the Ancient Javanese Period (8-15 Century)

Ninny Susanti Tedjowasono

Departemen Arkeologi FIB-Universitas Indonesia E-mail: niniesusanti@gmail.com

Abstract

T

he influence of Hinduism and Buddhism in Java (8-15 C.AD) is known as the ancient Java- nese Period. Most of the ancient Javanese inscriptions contain edict from the King or head of region, regarding the establishment of an autonomous region (sima). From the content of these sima inscriptions it can be seen the relation of the power of the King to his people. Power rela- tions are hierarchical power. Power can be divided into hard power and soft power. The content of King Airlangga’s inscriptions describes the King exercising hard power concept to maintain the continuity of his Kingdom. The King invaded and conquered the vassal Kings who disobeyed him, while at the same time accumulating power to himself. The content of King Majapahit’s in- scriptions and the Nagarakrtagama text explained how King Hayam Wuruk exercised soft power concept; one form of soft power was hegemony. Hegemony is domination over the values of a community life which eventually turns into a doctrine against other community, but the group that is dominated does not feel oppressed, instead, they feel as a common thing. The two examples that occurred in the ancient Javanese period, King Airlangga’s reign and King Hayam Wuruk’s reign, give a clarification of the power relations in ancient Java.

Keywords: power relations, ancient Javanese period, hegemony, inscriptions Abstrak

M

asa pengaruh Hindu dan Buddha di Jawa dikenal sebagai Masa Jawa Kuno. Sebagian besar prasasti-prasasti Jawa Kuno berisi maklumat raja atau penguasa daerah mengenai penetapan suatu daerah otonomi (sima). Dari isi prasasti-prasasti sima dapat diketahui relasi kuasa seorang raja pada rakyatnya. Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hirarkis. Kekuasaan dapat dibedakan menjadi kekuasaan yang keras dan kekuasaan yang lunak. Isi prasasti-prasasti Raja Airlangga menggambarkan raja menjalankan konsep kekuasaan yang keras untuk menjaga kelangsungan kerajaannya. Tindakan yang dilakukan adalah penyerangan, penaklukan dan lainnya. Sedangkan isi prasasti-prasasti raja-raja Majapahit dan naskah Nagarakrtagama memberi gambaran bahwa Raja Hayam Wuruk menjalankan konsep kekuasaan yang lunak, salah satu bentuk dari kekuasaan yang lunak adalah hegemoni. Hegemoni adalah dominasi atas-niai-nilai kehidupan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya, namun kelompok yang didominasi tidak merasa ditindas dan merasa sebagai hal yang wajar. Kedua contoh yang terjadi pada masa Jawa Kuno yaitu masa pemerintahan Raja Airlangga dan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk mengklarifikasi tentang relasi kuasa pada masa Jawa Kuno.

Kata kunci: relasi kuasa, masa Jawa Kuno, hegemoni, prasasti.

(2)

PENDAHULUAN

M

asa berkembangnya agama Hindu dan Buddha di Jawa dikenal juga sebagai Masa Jawa Kuno. Masa Jawa Kuno ini dikenal dan dipelajari melalui prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa pada masa itu dan pada umumnya prasasti-prasasti tersebut berbahasa dan beraksara Jawa Kuno. Prasasti- prasasti Jawa Kuno ini berjumlah ratusan, dituliskan pada bahan batu maupun logam, tanah liat, dan bahan lainnya.

Sebagian besar prasasti Jawa Kuno berisi tentang maklumat penetapan suatu daerah menjadi sima, yaitu daerah otonomi, yang mempunyai hak mengurus pendapatan daerahnya serta mengelolanya sendiri.

Status sima di awal perkembangannya dapat dihadiahkan oleh seorang penguasa daerah (watak) kepada seseorang karena alasan tertentu, namun sejak abad ke-9 status sima lebih banyak merupakan anugerah raja kepada seseorang, sebuah desa, atau sekelompok pejabat, atau sekeluarga dengan alasan tertentu, misalnya karena seluruh rakyat desa harus menjaga sebuah bangunan suci yang terletak di desa tersebut. Dengan diterimanya anugrah sima, maka desa tersebut mendapat pengurangan jumlah pajak yang harus diserahkan ke pusat kerajaan, selain itu desa sima boleh membuat aturan pajak dan mengelola hasilnya, berikut berhak atas denda atas tindak pidana serta menerbitkan pungutan-pungutan insidentil sesuai dengan kebutuhan desanya (Ninie Susanti, 1991 dan 1996).

Isi prasasti penetapan sima selama masa Jawa Kuno pada umumnya mempunyai unsur yang tetap, sangat mungkin karena merupakan maklumat yang diturunkan oleh raja. Unsur- unsur tersebut adalah manggala yaitu seruan kepada dewa-dewa, kemudian diikuti oleh unsur penanggalan yang dituliskan lengkap dan tepat. Berikutnya disebut nama raja yang memerintahkan anugrah sima, biasanya perintah ini diterima oleh putra mahkota atau pejabat tinggi yang merupakan anak-anak raja untuk diperintahkan pelaksanakan oleh

pejabat tinggi di bawahnya. Baru kemudian isi perintah disebutkan yaitu supaya daerah tertentu dibatasi menjadi sima, perlu diketahui dari perbendaharaan kerjaan berapa pajak yang biasanya diserahkan oleh desa yang akan dijadikan sima tersebut. Perintah ini akan diikuti alasan mengapa daerah tersebut dijadikan sima. Bagian ini disebut sambandha, bagian ini merupakan bagian yang sangat penting karena menjelaskan mengapa suatu desa dijadikan sima, dikemudian hari yaitu masa akhir Kerajaan Mataram Kuno sampai dengan Majapahit, bagian ini menceritakan hal yang berkaitan dengan kejadian-kejadian penting di dalam sejarah kuno Indonesia.

Bagian selanjutnya adalah menyangkut status sima yang dijelaskan dengan ungkapan bahwa setelah suatu daerah menjadi sima maka sejumlah pejabat tinggi yang mengurusi keuangan kerajaan seperti Pangkur, Tawan, dan Tirip tidak boleh menginjak desa sima tersebut demikian pula para mangilala drwya haji yaitu para abdi dalem raja yang termasuk di dalamnya orang-orang penarik pajak, pengurus judi, dan pelayan-pelayan raja, dan keluarganya juga dilarang memasuki desa yang telah dijadikan sima tersebut. Setelah itu diumumkan adanya peraturan pajak baru atas komoditi-komoditi yang diperdagangkan, denda-denda yang menjadi hak daerah sima dan pungutan-pungutan yang berlaku. Bagian selanjutnya adalah pemberian persembahan atau pasak-pasak dari penerima sima kepada seluruh pejabat kerajaan termasuk raja sampai dengan pejabat daerah/watak dan pejabat desa/wanua serta seluruh hadirin yang hadir di dalam upacara penetapan sima. Selanjutnya adalah prosesi upacara penetapan sima yang diikuti oleh seluruh hadirin, pada kesempatan ini diucapkan juga sapatha yaitu kutukan kepada siapapun yang melanggar ketentuan status sima. Setelah pengucapan sapatha maka upacara selesai, dan dilanjutkan dengan acara kesenian serta menyantap hidangan yang sudah disediakan. Bagian paling akhir biasanya mencantumkan nama juru tulis prasasti/citralekha.

(3)

Rangkaian penganugerahan status sima serta prosesi pelaksanaannya diikuti oleh saksi-saksi dari desa tetangga/rama i tpi siring. Dapat dikatakan bahwa sejak awal maklumat ini diturunkan telah dapat dirasakan kuasa raja yang besar pada perubahan status tanah sima ini. Khususnya pada bagian sambandha, bentuk relasi kuasa pada masa prasasti tersebut dikeluarkan dapat diketahui dengan cukup jelas. Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hirarkis, ketidak setaraan dan atau ketergantungan sosial.

PERMASALAHAN

Prasasti-prasasti Jawa Kuno sangat mungkin dapat memberi pengetahuan mengenai relasi kuasa yang terjadi pada suatu masa. Isi prasasti yang memuat mengenai penetapan suatu daerah menjadi sima adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa, tepatnya raja atau pejabat tinggi kerajaan yang menggambarkan secara terstruktur bagaimana hubungan antara raja dan para pejabat kerajaan, antara raja dengan pejabat daerah, antara raja dengan pejabat desa dan penguasa dengan masyarakat sekelilingnya.

Permasalahan yang akan dijelaskan di dalam tulisan ini adalah bagaimana relasi kuasa yang terjadi pada masa Jawa Kuno sebagaimana tergambar dari isi prasasti- prasastinya.

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Kekuasaan menurut Max Weber khususnya di dalam hubungan sosial adalah kemampuan melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu (Budiardjo, ed. 1986).

Masih banyak lagi definisi kekuasaan yang pernah dicetuskan oleh para ahli terdahulu.

Kekuasaan seringkali dibicarakan dalam kaitannya dengan wacana politik. Konsep kekuasaan telah lama menjadi perbincangan para ahli sejak dirasakan adanya kekuasaan itu sendiri. Konsep kekuasaan barat (Eropa) yang berkembang sejak abad pertengahan, seperti yang dirangkum oleh Benedict R.O Anderson, menyoroti 4 butir penting mengenai hakekat kekuasaan. Pertama, kekuasaan adalah abstrak, dalam arti terbatas ia tidak ada. Kata ini adalah sebuah abstraksi, rumusan pola interaksi sosial tertentu yang diamati. Dengan demikian memahami keberadaan kekuasaan dalam berbagai macam keadaan, yaitu pada saat orang patuh, rela atau tidak rela pada kehendak orang lain. Kedua, sumber-sumber kekuasaan itu heterogen. Kekuasaan dapat dianggap sebagai akibat dari, atau diturunkan dari pola-pola perilaku tertentu dan hubungan sosial tertentu. Ketiga, penumpukan kekuasaan tidak memiliki batas inheren, karena semata merupakan suatu abstraksi yang memaparkan hubungan tertentu antar manusia, jadi kekuasaan itu tidak terbatas.

Terakhir, dari segi moral kekuasaan itu berarti ganda. Prinsip ini secara logis mengikuti konsep sekuler kekuasaan politis sebagai hubungan antara manusia bahwa kekuasaan tidak dengan sendirinya absah. Kekuasaan dianggap berasal dari sumber-sumber yang heterogen, kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri dan dipandang dari segi moral mempunyai arti ganda (Anderson 1986: 48;

Susanti 2010:10).

Dikemudian hari dalam perkembangannya muncul konsep-konsep kekuasaan yang diperkenalkan oleh para ahli, misalnya konsep kekuasaan oleh Foucault. Konsep kekuasaan Foucault agak berbeda dengan konsep kekuasaan Max Weber maupun Marxis. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang/rakyatnya untuk

(4)

mematuhi. Menurut Foucault, kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi, dimana ada relasi disitu ada kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Foucault bahwa kekuasaan itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia.

Kekuasaan itu juga sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana, dan di situ terdapat sistem, aturan, susunan, dan strategi.

Sekali lagi menurut Foucault, kekuasaan itu tidak datang dari luar, tetapi kekuasaan itu menentukan susunan, aturan, dan hubungan- hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi (Foucault, 2017).

Untuk lebih jauh memahami struktur politik tradisional Jawa, artinya harus mengerti tentang konsep kekuasaan tradisional, berikut karisma, legitimasi dan wewenangnya.

Anderson (1990) berpendapat bahwa konsep kekuasaan tradisional Jawa berbeda dengan konsep-konsep yang berkembang di barat/

Eropa sejak abad pertengahan. Perbedaan ini secara logis menyebabkan perbedaan menyolok pada pandangan terhadap cara kerja politik dan sejarah. Sebab itu, konsep kekuasaan kekuasaan Jawa atau konsep tradisional Jawa yang lain hendaknya dipahami melalui kacamata Jawa (Susanti, 2010:9).

Adapun rumusan mengenai kekuasaan dalam tradisi Jawa, pertama, bahwa kekuasaan itu konkret, kekuasaan itu adalah sesuatu yang nyata dan ada, tidak bergantung pada pihak-pihak yang mungkin menggunakannya.

Kekuasaan bukanlah suatu postulat teoritis melainkan suatu kenyataan eksistensial.

Kekuasaan adalah tenaga yang tidak tampak, misterius, dan bersifat illahiah yang menghidupi alam semesta, seperti pada batu, kayu, awan, api tetapi dinyatakan secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan regenerasi. Kedua, kekuasaan itu homogen dan sama jenisnya dan sama pula sumbernya. Kekuasaan di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain manapun. Ketiga, jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap ada.

Jumlah total kekuasaan di dalamnya pun selalu tetap. Karena kekuasaan semata ada, bukan merupakan produk dari organisasi, senjata, kekayaan, dan apapun lainnya. Keempat, kekuasaan tidak mempertanyakan keabsahan, karena seluruh kekuasaan diturunkan dari sumber tunggal yang homogen, kekuasaan itu sendiri berdasarkan pertanyaan baik dan buruk. Kekuasaan itu absah atau tidak, kekuasaan itu ada (Anderson 1986: 48--52;

Susanti 2010: 10--11). Konsep pokok dalam pandangan hidup tradisional Jawa adalah adanya hubungan langsung antara keadaan batin seseorang dan kemampuannya untuk mengendalikan lingkungannya (Soedjatmoko, 1995). Apabila dikaitkan dengan konsep bahwa kekuasaan itu konkret, sebagai suatu daya yang tidak bisa diraba, penuh misteri, dan bersifat ketuhanan yang menghidupkan alam semesta, maka sumber kekuasaan itu dapat berasal dari seseorang itu sendiri, dapat juga menyerap kekuasaan dari luar atau memusatkan dalam dirinya hal-hal yang kelihatannya bertentangan.

Seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan dan berkuasa akan terus berusaha menjaga kekuasaannya dan menambahnya dalam artian, lebih memusatkan kekuasaan itu di dalam dirinya. Pemusatan kekuasaan dapat dilakukan dengan tapa, meditasi, yoga, dan puja yang terus menerus dengan mempersembahkan sajen. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara mengumpulkan barang-barang yang dianggap mempunyai kekuatan magis dan mengandung kekuasaan, misalnya, keris pusaka, tombak dan alat- alat musik, dan juga manusia yang memiliki kelainan fisik sejak lahir seperti, orang kerdil/

cebol, orang bongkok, albino, negrito/hitam dan lainnya (Susanti 2010:11).

J.S.Nye membedakan kekuasaan menjadi kekuasaan yang keras (hard Power) yaitu kekuasaan yang didasari atas intervensi militer, diplomasi kekerasan dan sanksi-sanksi ekonomi, dan kekuasaan yang lunak (soft power) yaitu kemampuan untuk membentuk pilihan-pilihan lain melalui himbauan dan daya tarik. Jadi kekuasaan yang tanpa kekerasan.

(5)

Pada saat ini, kekuatan lunak/soft power ada pada kebudayaan, politik dan politik luar negeri. (Nye, 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa salah satu bentuk kekuasaan lunak adalah hegemoni, terutama memengaruhi bidang ideologi, sosial, dan politik.

Politik hegemoni yang di perkenalkan oleh Antonio Gramsci dijelaskan sebagai suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, normam kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya, namun kelompok yang didominasi tidak merasa ditindas dan merasa sebagai hal yang wajar. Konsep Gramsci tentang hegemoni ini sering dipergunakan untuk membongkar kemapanan budaya dalam proses dominasi yang terselubung. Ada dua unsur yang tercakup di dalam hegemoni yaitu civil society, katarsis yaitu proses perkembangan kesadaran, intelektual organis yaitu siapa yang memiliki kapital simbolik, ekonomi, politik, dan sosial, kemudian fenomena organis yaitu suatu gerakan masyarakat yang menghasilkan kritik sosial sejarawi yang bisa menghasilkan perubahan yang berarti (Gramsci, 2017;

Magnis-Suseno, 2005)).

Penerapan suatu teori dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan. Proses demikian itu dikenal sebagai inquiry yaitu pengaturan secara tertib segala pengalaman dalam pikiran kita yang diarahkan ke penambahan pengetahuan dan pemahaman tentang penambahan pengetahuan dan pemahaman kita tentang berbagai pengalaman itu (Noerhadi Magetsari 2017;270-271).

METODE

Tahapan penelitian adalah pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data.

Sumber data yang dipergunakan adalah paparan sejarah masa pemerintahan raja Airlangga dan masa Kerajaan Majapahit berdasarkan isi prasasti yang dikeluarkan pada masanya masing-masing. Kedua masa tersebut dipilih untuk mewakili gambar berlangsungnya relasi kuasa pada masa Jawa

Kuno, yaitu mewakili kedua bentuk kuasa yang ada yaitu kekuasaan yang keras dan kekuasaan yang lunak. Masa pemerintahan Raja Airlangga menggambarkan sebagian kekuasaan yang keras sedangkan Pemerintahan masa Majapahit menggambarkan sebagian kekuasaan yang lunak. Setelah data selesai diolah maka data akan ditafsirkan sesuai dengan pendekatan yang dipergunakan.

ANALISIS

Berdasarkan isi prasasti-prasasti Raja Airlangga, masa pemerintahan Raja Airlangga (1019--1043) dibagi menjadi tiga masa yaitu masa konsolidasi (1019--1037), masa tenang dan tentram (1035--1042), dan masa akhir pemerintahan (1042--1044). Masa konsolidasi diwarnai dengan peperangan untuk merebut hegemoni kerajaan, karena pada saat itu kerajaan telah mengalami kemunduran karena ditinggalkan oleh raja-raja di kerajaan-kerajaan kecil di sekelilingnya yang semula mereka menjadi bawahan dan menjadi kerajaan yang takluk pada Kerajaan Mataram Kuno yang dipimpin oleh Raja Dharmawangsa Tguh.

Tiga perempat dari masa pemerintahannya, Raja Airlangga melakukan invasi dengan memerangi daerah-daerah yang melawan dia, karena raja-raja kecil yang semula takluk pada Raja Dharmawangsa Tguh berbalik menentang setelah peristiwa pralaya (Susanti, 2010).

Prasasti Cane tahun 1021 menyebut bahwa Raja Airlangga telah memberi status otonimi (sima) kepada penduduk Desa Cane karena mereka telah berjasa menjadi benteng di sebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hati mempersembahkan baktinya kepada raja, dan tidak gentar mempertaruhkan nyawanya dalam peperangan agar Sri Maharaja memperoleh kemenangan (Susanti 2010: 98). Pada tahun 1022 Raja Airlangga mengeluarkan Prasasti Kakurugan yang isinya mengenai penganugerahan hadiah sima kepada sanak keluarga Dyah Kaki Ngadu Lengen beserta beberapa hak istimewa kepada keluarga tersebut. Alasannya karena telah memperlihatkan kebaktiannya yang

(6)

amat tinggi kepada raja, menjadi kaki tangan raja. Kemudian Prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuno tahun 1041 mencatat daftar penyerangan oleh raja pada wilayah- wilayah, Wuratan pada tahun 1028, kemudian mengalahkan Haji Wengker pada tahun 1031, pada tahun 1032 mengalahkan Haji Wurawari dari Magehan. Di dalam Prasasti Terep, raja memenangkan peperangan setelah sempat terpukul mundur dari keratonnya di Wwatan Mas. Di dalam prasasti Baru 1035 diketahui raja memenangkan peperanga melawan Raja Hasin (Susanti 2010: 98--101).

Tiga perempat dari masa pemerintahan Raja Airlangga dipergunakan untuk memerangi kerajaan-kerajaan kecil di sekitar kerajaannya, karena wilayah tersebut melawan Raja setelah peristiwa pralaya yang terjadi.

Masa pemerintahan Raja Airlangga memberi informasi kepada kita bagaimana kekuasaan yang keras (hard power) dilaksanakan, yaitu melalui kerasan dalam bentuk penyerangan kepada para musuhnya.

Selanjutnya, kekuasaan lunak/soft power mengambil contoh masa berkembangnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang berkembang di Jawa bagian Timur pada tahun 11296--1478. Masa keemasan Majapahit terjadi ketika masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yaitu dari tahun 1350--1389, masa ini ini ditandai dengan keadaan yang sangat baik diberbagai sektor pemerintahan baik dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan.

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk ini seorang pujangga besar Mpu Prapanca telah menggubah sebuah kakawin yang menceritakan tentang keadaan Majapahit pada masa itu yang merupakan catatan perjalanan raja ke daerah-daerah dan langkah-langkah politik yang dijalankannya dengan daerah- daerah di sekitarnya. Keadaan ini tentu tidak terjadi secara tiba-tiba namun telah diawali sejak berdirinya Majapahit yang dirintis oleh raja pendahulu-pendahulunya yaitu Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit, Jayanegara, danTribhuwanatunggadewi.

Pengamatan akan hegemoni lunak/soft power dapat dilihat pada analisis kebijakan hegemoni yang terdiri dari empat bagian yaitu politik budaya, politik ekonomi, keagamaan dan sosial.

Politik budaya, pertama; kemunculan Majapahit tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Singhasari pendahulunya, hal ini tergambar dari isi prasasti-prasasti Raja Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit, demikian pula tercatat di dalam Kakawin Nagarakertagama. Raja Kertanagara sebagai raja terakhir Singhasari yang sekaligus raja pertama yang mencetuskan ide Cakrawala mandala, yaitu gagasan perluasan wilayah ke seluruh dwipantara, keluar pulau Jawa (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed. umum, 11993, 411- 414). Cita-cita ini belum terlaksana sampai runtuhnya Singhasari, namun catatan di dalam Nagarakrtagama mencatat bahwa pada masa puncak kebesaran Majapahit wilayah-wilayah yang tunduk mencakup wilayah Nusantara yaitu Pahang (Malaysia), Malayu (Sumatera Barat), Gurun (Indonesia bagian timur), Bakulapura (Tanjung Pura), Sunda, dan Madura (Pigeaud, G.Th.G 1960-1963).

Kedua, Raden Wijaya, raja pertama Majapahit telah bekerjasama dengan Adipati Aria Wiraraja dari Madura melawan pasukan Kubilai Khan yang berniat menguasai Singhasari yang terlebih dahulu telah diserang oleh Jayakatwang, seorang penguasa daerah masa Singhasari. Berdasarkan isi Prasasti Sukamerta tahun 1218 Saka disebutkan bahwa Raden Wijaya menikahi keempat putri Raja Kertanagara, hal ini sekaligus memperlihatkan keberlangsungan kekuasaan Singhasari ke Majapahit melalui garis perempuan (Taufik Abdullah & Lapian, Ed.umum .2012, 239- 241)

Ketiga, Raja kedua Majapahit adalah Jayanegara. Meskipun masa pemerintahannya dirongrong oleh pembrontakan internal, namun ia mengeluarkan sebuah prasasti penting yaitu Prasasti Tuhanyaru yang isinya menegaskan tentang tetap terjaganya cita-cita cakrawala

(7)

mandala, yang menggambarkan pengaruh wilayah kekuasaan Majapahit sebagai jagad raya, mencakup daerah punpunan yaitu daerah yang lebih dekat dengan pusat kerajaan dan angsana yaitu daerah-daerah yang letaknya agak jauh dari pusat kerajaan (Abdullah &

Lapian,ed.umum 2012,242).

Keempat, raja ketiga adalah Tribhuwanatunggadewi. Pada masa pemerintahannya muncul seorang tokoh legendaris yaitu Gajahmada. Ia mengucapkan Sumpah Palapa yaitu tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukan Nusantara, yang dirincinya sebagai wilayah-wilayah Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik. Hal ini dapat dianggap sebagai tindakan pembaruan semangat untuk menyatukan Nusantara yang telah dicetuskan oleh Raja Kertanagara.

Kelima, raja keempat adalah Hayam Wuruk. Didampingi oleh Patih Hamangkubhumi Gajahmada, dan Werdhamantri Adityawarman. Hayam Wuruk telah membawa Majapahit pada masa keemasannya. Kakawin Nagarakrtagama pupuh XII; 2-3 menyebutkan bahwa cita-cita cakrawala mandala telah terpenuhi dengan mencatat hegemoni Majapahit mencapai hampir seluruh Indonesia saat ini, dan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara.

Naskah mencatat bahwa wilayah-wilayah di Asia Tenggara ini sebagai mitra satata artinya teman setara yaitu meliputi Semenanjung Malaya, Temasik, Ceylon, Siam, Burma, Campa, Kamboja, India, Annam, dan Cina (Abdullah & Lapian,ed.umum, 2012,245)

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk ini digubah dua karya sastra besar yaitu Kakawin Nagarakrtagama dan Panji. Di samping itu masih ada beberapa karya sastra lain seperti Arjuna Wijaya, Rajapatigundala, Tantupanggelaran, Pararaton, Kowarasrama, Siwaratrikalpa, dan lainnya. Hal ini membuktikan adanya pengayoman pada para cerdik cendikia pada masa tersebut sehingga dapat menghasilkan karya-karya yang bermutu.

Lebih jauh tentang cerita Panji, yaitu karya sastra yang menceritakan mengenai percintaan tokoh Panji Kertapati dan Dewi Sekartaji, sebuah kisah percintaan yang diilhami kejadian sejarah pada abad ke-11 dan digubah pada masa Hayam Wuruk. Pada kenyataannya menjadi cerita yang sangat digemari dan populer di wilayah Nusantara dan Asia Tenggara. Cerita ini banyak diadopsi dan diberi nuansa daerah setempat. Salah satu bukti pengaruh politik budaya Majapahit yang merasuki wilayah-wilayah di Nusantara dan Asia Tenggara.

Politik ekonomi, pertanian merupakan sektor yang dikembangkan pada masa Majapahit selain maritim. Pembangunan bendungan-bendungan dan saluran irigasi adalah upaya untuk memajukan hasil bumi dan tak ketinggalan hasil garam yang telah dirintis sejak sebelum Majapahit berdiri juga menjadi primadona perdagangan pada waktu itu. Hal ini jelas tergambar dari isi prasasti- prasastinya, seperti Prasasti Biluluk 1 sampai 4. Keamanan yang terjaga dengan baik yang menghubungkan daerah pedalaman dilakukan melalui jalur sungai, sebagaimana disebutkan di dalam prassti Canggu mengenai adanya penambatan di sepanjang Bengawan Solo yang disebut Naditira Pradesa. Perdagangan internasional lewat laut telah dirintis melalui pelabuhan-pelabuhan di pesisir pantai utara seperti Gresik, Tuban, Sidayu dan Surabaya, hal ini tercatat di dalam Nagarakrtagama.

Analisis kebijakan hegemoni juga mengamati kehidupan keagamaan.

Kehidupan keagamaan berjalan dengan baik.

Hubungan erat agama Siwa dan Buddha yang telah tercipta sejak masa pemerintahan Raja Kertanagara masih tergambar di dalam naskah-naskah sastra yang digubah pada masa Hayam Wuruk. Selain agama yang dianut kalangan keraton, tumbuh dan berkembang juga aliran-aliran keagamaan lain di mandala- mandala yang merupakan pusat pembelajaran, yang terletak di lereng-lereng gunung.

Keberadaan aliran keagamaan ini dapat

(8)

berkembang dengan baik serta mendapat pengawasan oleh Dharmadyaksa ring Kasogatan dan Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Karsian (Hariani Santiko 2014.27-30)

Analisis kebijakan hegemoni di bidang sosial. Tatanan sosial tertata dengan baik.

Digambarkan dengan para pejabat tinggi di dalam birokrasi kerajaan sekaligus menduduki tingkat sosial yang tinggi demikian pula penguasa-penguasa negara daerah (Bhre).

Selain itu Raja Hayam Wuruk mempunyai kebiasaan meninjau daerah kekuasaannya, mendengar aspirasi rakyat, memperbaiki bangunan suci yang rusak. Ini dapat dianggap sebagai upaya mendekati rakyat dan melakukan fungsi kontrol sebagai kepala pemerintahan.

PEMBAHASAN

Raja Airlangga menerapkan langkah- langkah yang ditetapkan di dalam konsep kekuasaan Jawa yaitu untuk melegitimasi kekuasaannya raja memiliki hak istimewa bersama keluarganya, misalnya memiliki hak istimewa seperti boleh memakai bedak nagasari, boleh memakai kain halus, boleh memakai kain halus, memakan makan khusus untuk raja dan boleh memelihara budak-budak seperti orang cebol, negro/negrito, albino dan orang bongkok. Dari isi prasastinya jelas tergambar Raja Airlangga melaksanakan kekuasaan yang keras/hard power di dalam melaksanakan pemerintahannya. Yaitu dengan melakukan penyerangan dengan kekuatan senjata untuk mengokohkan hegemoni kerajaannya. Hegemoni Majapahit di Nusantara dan Asia Tenggara dapat ditengarai dari hasil analisis hegemoni yang dirangkum di dalam empat hal yaitu keadaan masyarakat sipil, masa perkembangan kesadaran, intelektual organis, dan fenomena organis.

Keadaan kerajaan yang aman membuat masyarakat sipil juga merasa tenang menjalani hidupnya. Nagarakrtagama menyebutkan bahwa rakyat mendapat perhatian dari raja dalam kehidupan ekonomi dan agama serta

politik yang menyebabkan rakyat hidup tenang dan damai. Masa perkembangan kesadaran akan perlunya rasa aman yang terus berlanjut menjadi suatu kebutuhan masyarakat. Rasa aman itu harus ditebarkan dalam konteks yang lebih luas yaitu mencakup wilayah yang jauh dari pusat kerajaan. Intelektual organis ditengarai dengan adanya tokoh-tokoh yang memiliki modal simbolik, ekonomi, budaya dan sosial politik. Intelektual yang dapat dianggap sebagai yang dapat menggerakkan hegemoni adalah para Mpu, pujangga yang menorehkan syair, kakawin, prosa seperti Mpu Prapanca, Mpu Tantular, para Rsi, pejabat tinggi kerajaan dan penguasa Negara daerah.

Fenomena organis adalah modal simbolik yang merupakan pengakuan dari kebesaran Majapahit di wilayah-wilayah luar Majapahit, misalnya dipakainya ornamen Surya Majapahit sebagai ornamen di daerah-daerah di luar Majapahit, dan dipakainya aksara tipe Majapahit di nisan-nisan Islam di Kalimantan Selatan, dan fenomena lain yang terjadi di wilayah Nusantara. Modal budaya adalah menyebarnya genre cerita Panji di berbagai derah di Indonesia, misalnya di Palembang, Jambi, dan daerah lain di Jawa yang alur ceritanya telah disesuaikan dengan adat setempat. Selain itu cerita Panji juga dikenal dan disukai oleh masyarakat di beberapa daerrah di Asia Tenggara seperti Thailand, Kamboja, Malaysia yang isinya juga telah disesuaikan denga adat setempat.

Modal politik, ditengarai dengan pengakuan beberapa daerah di Indonesia akan adanya Makam Gajahmada di daerahnya selain itu tokoh Werdhamantri Adityawarman diperkirakan adalah maharaja diraja Kerajaan Malayu di abad ke-14M. Politik hegemoni Majapahit adalah politik lunak/soft power yang ditandai dengan tercapainya persatuan Nusantara (cakrawala mandala) pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Hal ini didukung oleh munculnya karya-karya besar kesusasteraan dengan para cerdik cendikia yang menjadi penggerak kebesaran Majapahit. Secara ekonomi politik hegemoni ditandai dengan pembangunan infrastruktur

(9)

pertanian, memajukan perdagangan lokal, regional serta mendukung perdagangan internasional. Beberapa hal yang mendukung kebesaran Majapahit di antaranya adalah Raja Hayam Wuruk yang telah sanggup merawat keberagaman terutama agama, budaya, dan politik yang berkembang di Majapahit. Selain itu kondisi multikultur akibat dari pertemuan dan percampuran berbagai unsur budaya pendatang sebagai implikasi dari perdagangan regional dan internasional dapat di kendalikan dengan baik.

Akhirnya hegemoni Majapahit melalui kekuasaan lunak masih dapat terbaca dengan ditemukannya ornamen Surya Majapahit di wilayah Nusantara, dipakainya aksara Majapahit di nisan-nisan Islam di Kalimantan Selatan dan adanya pengakuan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia sebagai keturunan Majapahit, dan lainnya. Kekuasaan lunak/soft power tanpa kekerasan masih bisa

ditelusuri selain dari isi naskah, prassti, juga karya seni, arca, dan lancana.

SIMPULAN

Relasi kuasa masa Jawa kuno dapat dipelajari melalui sumber tertulis yang dikeluarkan pada masanya yaitu prasasti dan naskah-naskah sastra. Kekuasaan tradisional Jawa adalah konsep kekuasaan yang harus dipahami dengan kacamata Jawa yang berbeda dengan konsep kekuasaan yang dibangun oleh para ahli barat. Relasi kuasa masa Jawa Kuno di dalam tulisan ini mengambil contoh pelaksanaan kekuasaan oleh Raja Airlangga sebagai bentuk kekuasaan keras/hard power dan pelaksanaan kekuasaan Raja Hayam Wuruk sebagai contoh pelaksanaan kekuasaan lunak/soft power. Kedua bentuk kekuasaan pernah ada dan diwujudkan pada masa Jawa Kuno.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Lapian (ed.umum). (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah. Kerajaan Hindu-Buddha ,Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru.

Anderson,Benedict R.O.G 1986, Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Di dalam Boediardjo, Meriam,ed. 1986. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta; Penerbit Sinar Harapan.

Djoened Poesponegoro, Marwati & Nugroho Notosusanto ed.umum 1993, Sejarah Nasional Indonesia II, PN.Balai Pustaka, Jakarta

Budiardjo, Miriam. ed. (1986). Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Foucault, Michel. (2017). Power/Knowledge (Wacana Kuasa/Pengetahuan). Diterjemahkan dari buku Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. Yogyakarta:

Narasi-Pustaka Promethea.

Gramsci, Antonio. (2017). Sejarah dan Budaya. Diterjemahkan dari buku Selection from The Prison Notebooks of Antonio Gramsci (International Publisher, New York 1987). oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (editor dan Penterjemah).Yogyakarta: Narasi dan Pustaka Promethea.

Magetsari, Noerhadi. (2016). Perspektif Arkeologi Masa Kini dalam Konteks Indonesia. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Magnis-Suseno, Franz. (2005). Dalam Bayang-bayang Lenin; Enam Pemikir Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Nye, J.S. (2009). Understanding International Conflicts, 7,ed. New York: Pearson.

(10)

Pigeaud,Th.G.Th, 1960-1963 Java in The Fourteenth Century: A Study in Cultural History, The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD, The hague: Martinus K.Nijhoff.

Santiko, Hariani (2014), Multikulturalisme dan Toleransi Beragama Pada Zaman Majapahit. Di dalam: Tanudirjo, Daud Aris (Editor Umum). (2014). Inspirasi Majapahit. Yogyakarta:

Yayasan Arsari Djojohadikusumo bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Gadjahmada, Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin.

Susanti, Ninie (1991), Sumber Penghasilan Kerajaan Mataram Kuno, Makalah pada Seminar Kecil Hasil Penelitian, FSUI, Depok,

---. (1996) Prasasti Sebagai Data Sejarah Kuno, Laporan Penelitian di beayai oleh Dana OPFSUI , FSUI, Depok.

---. (2010). Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tanudirjo, Daud Aris (Editor Umum). (2014). Inspirasi Majapahit. Yogyakarta: Yayasan Arsari Djojohadikusumo bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Gadjahmada, UniversitasUdayana, dan Universitas Hasanuddin,

Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J.Resink, G.McT. Kahin (editors). (1995). Historiografi Indonesia, Sebuah Pengantar. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

h HASIL DISKUSI

1. Ruly Siswanto (MGMP DKI Jakarta) Pertanyaan:

a. Wilayah Majapahit adalah Pahang, yang termasuk wilayah di semenanjung Malaya. Jadi sebetulnya. Mana yang sesuai? Wilayah kekuasaan atau negara mitra? Kenapa hanya Pahang yang dikuasai?

b. Kekuasaan berhubungan dengan pola makanan masyarakat, contoh Majapahit mensupply beras ke Maluku, sedangkan makanan pokoknya adalah sagu.

Apakah hal tersebut juga dapat diartikan sebagai adanya jejak-jejak penguasaan?

Jawaban:

a. Di Semenanjung Melayu ada beberapa kerajaan, bagian-bagian kerajaan di Semenanjung masih mengakui bagian dari Nusantara. Pahang adalah negara merdeka dan Majapahit menyebutnya sebagai negara mitra satata, yang setara, bukan mengakui berada di bawah, tetapi sebagai mitra yang berarti punya kedudukan yang setara, seperti Kamboja dan Thailand.

b. Makanan kita tahu di awal masehi ada jalur jalur rempah dari pantai timur, ke pantai utara Jawa hingga ke Maluku dari awal abad masehi, yang bahkan paling lama telah tertulis sejak abad ke-2 Masehi, jadi ada dugaan masa itu adalah masa mulai berkembangnya jalur rempah. Jadi bukan beras saja makanan lain pun ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan.

(11)

2. Siti Nursiyah (MGMP Lampung) Pertanyaan:

- Bagaimana dengan kehilangan kepala-kepala di Borobudur?

Jawaban:

- Kepala-kepala Buddha laku keras. Pernah ada juga gempa, pemboman, dan yang jelas harganya juga mahal, jadi sindikat pencurian memang luar biasa. Pencurinya sudah canggih dengan melakukan pemotongan dan dibawa dengan ambulan dan kemudian direkonstruksi dan kemudian dijual.

3. Suparman (UIN Bandung) Pertanyaan:

- Konsep kepemimpinan di Indonesia sangat terpengaruh oleh agama-agama besar, seperti jagad gede, jagad cilik apakah ada konsep atau model yang original dari Sriwijaya, majapahit yang murni? Sehingga yang berciri khas?

Jawaban:

- Agama Hindu-Buddha membawa kita kepada peradaban sejarah, sebelumnya adalah prasejarah. Dari Kutai, Kudungga, seorang asli mempunyai nama anak hindu Aswawarman, dan terus yang memimpin harus selalu ksatria. Birokrasi hanya ada di pusat pemerintahan, sedangkan dilapisan rakyat misalnya pejabat desa itu egaliter.

Apakah masih ada yang kearifan khas Indonesia, itu ada tentu saja contohnya seperti gotong royong, primus interpares, dsb. Kemudian apakah pengaruh birokrasi terutama yang masuk dari luar itu lantas diadopsi semua? Ternyata tidak. Ketika faham itu datang, diolah lagi lalu muncul lagi hal baru tetapi identitas kita ada di situ, seperti kasta, tetapi dari prasasti diketahui kasta tidak berlaku secara ketat di Jawa dari abad ke-9 M.

Ada 3 aksara yang masuk ke Indonesia. Pallawa, arab, dan latin. Pallawa turunannya menjadi Jawa kuno, Bali Kuno Sumatera kuno sampai akhir masa pengaruh Hindu Buddha ababd ke-15. Aksara arab, digunakan untuk menulis dalam bahasa melayu disebut aksara Jawi, aksara Arab dipergunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa, disebut aksara pegon, aksara Arab dipergunakan untuk menuliskan dalam bahasa Bugis disebut aksara Serang, aksara Arab dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa Pesisir disebut aksara Rambang. Itu turuan aksara arab semua. Sedangkan turunan aksara Pallawa yang telah berkembang menjadi aksara Sumatera Kuno pada abad ke-16 dipergunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu disebut aksara Kaganga/

ulu/ Rencong, dan lain-lain dan kemudian berkembang bersama di abad 16 dan bahkan hingga saat ini. Nah itulah Indonesia. Kita tidak lagi menyebut itu aksara arab, itu pallawa, tidak lagi begitu karena aksara-aksara tersebut telah dipergunakan untuk menulis di dalam bahasa daerah masing-masing. Karena kalau dikembalikan lagi kepada aksara asalnya tidak akan bisa dibaca.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Karena pada aliran-aliran tersebut, unsur-unsur kebenarannya menggunakan al-hakikah (batiniyah) dan al-akl (rasionalitas) itu hanya merupakan jalan untuk mendapat pengetahuan

Karena dosis radiasi yang diberikan pada biji-bijian untuk menghilangkan gangguan serangga sangat rendah, iradiasi ulang yang dilakukan untuk mengontrol gangguan

Pejabat Kementerian BUMN, Direksi dan/atau Dewan Komisaris BUMN, atau masing- masing bakal calon dapat memilih lembaga profesional yang akan melakukan UKK, berdasarkan daftar

Sementara itu Estaswara (2008) dalam bukunya Think IMC: Efektifitas Komunikasi untuk Meningkatkan Loyalitas Merek dan Laba Perusahaan, mendefinisikan komunikasi

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut “Ada hubungan yang signifikan antara

Keunggulan pohon AVL dibandingkan pohon biner terurut biasa adalah, primitif-primitif dasar untuk sebuah pohon, seperti pencarian, penyisipan, dan penghapusan dapat

Dari hasil diatas menunjukkan bahwa pelumasan menggunakan oli sintetis dapat meningkatkan nilai efektifitas mata bor dengan mengurangi gesekan antara mata bor dan benda

Penerapan metode CRS stack pada data seismik perairan timur Pulau Waigeo memperlihatkan bahwa hasil dari CRS stack dibandingkan dengan hasil konvensional stack, penampang