• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. Universitas Kristen Petra"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1. CORPORATE GOVERNANCE 2.1.1. Pengertian Corporate Governance

Ada beberapa pandangan menurut para ahli yang mendefinisikan corporate governance, yaitu:

Menurut Turnbull Report di Inggris, corporate governance didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan asset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. (Effendi, 2009)

Lembaga corporate governance di Malaysia, yaitu Finance Committee on Corporate Governance (FCGG) mendefinisikan corporate governance sebagai proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis serta aktivitas perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. (Effendi, 2009)

Menurut Adrian Sutedi (2011), corporate governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang Saham/pemilik modal, komisaris/dewan pengawas dan direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. (Sutedi, 2011)

Definisi menurut Cadbury mengatakan bahwa corporate governance adalah mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar tercapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan. (Sutedi, 2011)

Adapun Center for European Policy Study (CEPS), memformulasikan corporate governance adalah seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak, proses dan pengendalian baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan dengan

(2)

catatan bahwa hak di sini adalah hak dari seluruh stakeholders dan bukan hanya terbatas pada satu stakeholders saja. (Sutedi, 2011)

Noensi, seorang pakar corporate governance dari Indo Consult, mendefinisikan corporate governance adalah menjalankan dan mengembangkan perusahaan dengan bersih, patuh pada hukum yang berlaku dan peduli terhadap lingkungan yang dilandasi nilai-nilai sosial budaya yang tinggi. (Sutedi, 2011)

Sedangkan menurut definisi dari Bank Dunia (World Bank), corporate governance adalah kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Corporate governance secara singkat dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. (Effendi, 2009)

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menggunakan definisi corporate governance menurut World Bank karena paling sesuai digunakan dalam penelitian ini.

2.1.2. Sejarah Corporate Governance

Sejarah corporate governance telah dimulai sejak 200 tahun yang lalu, yaitu ketika Blackstone menggambarkan corporation sebagai little republic. Dengan penganalogian seperti itu memberi konsekuensi bahwa suatu corporation harus dikelola sebagaimana suatu republik dan seringkali perusahaan disebut sebagai miniatur negara. Sehingga unsur-unsur pengelolaan sebuah perusahaan harus diselenggarakan melalu tindakan sebagai berikut : (Abubakar, 2002)

1. Pemilihan anggota board of director oleh pemegang saham melalui pemberian suara yang merupakan hak dasar pemegang saham.

2. Organ legislatif perusahaan yang merupakan sentral kewenangan manajerial 3. Birokrasi perusahaan yang terdiri dari board of director dan eksekutif pelaksana sehari-hari manajemen perusahaan.

(3)

Konsep Corporate Governance yang komprehensif mulai berkembang sejak kejadian The New York Stock Exchange Crash pada tanggal 19 Oktober 1987 dimana cukup banyak perusahaan multinasional yang tercatat di Bursa Efek NewYork, mengalami kerugian financial yang cukup besar. Sejak terbitnya Cadbury Code on Corporate Governance pada tahun 1992, semakin banyak intitusi yang melakukan penyempurnaan dalam prinsip - prinsip dan petunjuk teknis praktik Good Corporate Governance. Pola Good Corporate Governance kemudian diikuti oleh negara-negara di Eropa hingga seluruh dunia.

2.1.3. Perkembangan Corporate Governance

Perkembangan corporate governance selama sepuluh tahun terakhir ini kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan. Pertama, corporate governance merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan corporate governance. Di antaranya, Sistem Regulatory yang tidak bagus, Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas. (Abubakar, 2002)

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tidak mengherankan jika selama dasawarsa 1990-an, tuntutan terhadap penerapan corporate governance secara konsisten dan komprehensif datang secara beruntun. Mereka yang menyuarakan hal itu di antaranya adalah berbagai lembaga investasi baik domestik maupun mancanegara, termasuk institusi sekaliber World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

Dengan melontarkan beberapa prinsip umum dalam corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, responsibility, dan independen dapat disimpulkan bahwa penerapan corporate governance diyakini akan menolong

(4)

perusahaan dan perekonomian negara yang sedang tertimpa krisis bangkit menuju ke arah yang lebih sehat, maju, mampu bersaing, dikelola secara dinamis serta profesional. Ujungnya adalah daya saing yang tangguh, yang diikuti pulihnya kepercayaan investor. (Abubakar, 2002)

Sangat jelas bahwa perhatian terhadap corporate governance belakangan ini terutama dipicu oleh skandal spektakuler perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan Eropa, seperti Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck, Maxwell, dan lain-lain. Cadbury Report (UK) dan Treadway Report (US) secara mendasar menyebutkan bahwa keruntuhan perusahaan-perusahaan publik tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktik curang dari manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen oleh corporate boards. Isu corporate governance itu sendiri muncul sejak diperkenalkannya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Namun istilah corporate governance itu sendiri secara eksplisit muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam tulisan Robert I.Tricker berjudul “Corporate Governance – Practices, Procedures, and Power in British Companies and Their Board of Directors”. Di dalam bukunya, Tricker memandang corporate governance memiliki empat kegiatan utama sebagai berikut : (Abubakar, 2002)

1. Petunjuk, memformulasikan arah strategis dari masa depan perusahaan dalam jangka panjang.

2. Tindakan eksekutif, keterlibatan dalam keputusan eksekutif penting.

3. Pengelolaan, pemantauan, dan pengawasan kinerja manajemen.

4. Akuntabilitas, menyadari tanggung jawab pada mereka yang membuat permintaan akuntabilitas yang sah.

2.1.4. Stewardship dan Agency Theory

Dalam konsep corporate governance terdapat dua teori utama yang terkait yaitu stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat 11 manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya

(5)

dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik- baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, seorang professor dari Harvard, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai

„agents‟ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model.

Bertentangan dengan stewardship theory, agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respons lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency costs, yang menurut teori ini harus dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya enforcement-nya.

Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham;

biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal; serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk ‘bonding expenditures’ yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.

(6)

2.1.5. Organ Perusahaan dalam Corporate Governance

Untuk dapat melaksanakan prinsip-prinsip corporate governance dengan efektif, organ-organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya secara independen dan sesuai dengan kepentingan perusahaan. Penjelasan atas organ- organ perusahaan yang berperan penting dalam pelaksanaan corporate governance adalah sebagai berikut: (KNKG, 2006)

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

RUPS merupakan wadah bagi para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan.

Perundang-undangan RUPS harus diselenggarakan sesuai dengan kepentingan perusahaan dan dengan memperhatikan anggaran dasar dan peraturan perundangan-undangan, serta persiapan yang memadai, sehingga dapat mengambil keputusan yang sah. Penyelenggaraan RUPS merupakan tanggung jawab Direksi, dimana apabila Direksi berhalangan, maka penyelenggaraan RUPS dilakukan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham sesuai dengan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan.

2. Dewan Komisaris

Kepengurusan Perusahaan Terbatas di Indonesia menganut sistem dua badan (two-board system) yaitu Dewan Komisaris dan Direksi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan fungsinya masing- masing sebagaimana diamanahkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Dewan Komisaris bertugas dan bertanggung jawab mengawasi, serta memberikan nasihat kepada Direksi. Dewan Komisaris juga harus memastikan efektivitas pelaksanaan corporate governance dalam perusahaan, dan bila perlu melakukan penyesuaian. Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional.

Dewan Komisaris dapat membentuk komite dalam melaksanakan tugasnya, dimana usulan dari komite akan disampaikan kepada Dewan Komisaris untuk memperoleh keputusan. Dalam pelaksanaan corporate governance, bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan

(7)

daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, sekurang-kurangnya harus membentuk komite audit, sedangkan komite lain dibentuk dengan kebutuhan.

3. Komite Penunjang Dewan Komisaris A. Komite Audit

Komite Audit bertugas membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa:

a. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum

b. Struktur pengendalian internal perusahaan dapat dilaksanakan dengan baik

c. Pelaksanaan audit internal maupun eksternal telah dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku

d. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manejemen

e. Memproses calon auditor eksternal termasuk imbalan jasanya untuk disampaikan kepada Dewan Komisaris. Komite Audit memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dari laporan keuangan dan fungsi- fungsi perusahaan.

B. Komite Nominasi dan Remunerasi

Komite Nominasi dan Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menetapkan kriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta sistem Remunerasinya. Sistem Remunerasi harus ditetapkan bersandarkan performed based dan kepentingan para pemegang saham.

C. Komite Kebijakan Risiko

Komite Kebijakan Risiko bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan. Dalam konsep corporate governance, pengendalian resiko merupakan salah satu bentuk akuntabilitas

(8)

dan tanggung jawab Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dalam pengambilan keputusan.

D. Komite Kebijakan Corporate Governance

Komite Kebijakan corporate governance bertugas membantu Dewan Komisari dalam mengkaji kebijakan corporate governance secara menyeluruh yang telah disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang berhubungan dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan.

4. Dewan Direksi

Direksi bertugas dalam pengelolaan perusahaan dan mempertanggung jawabkannya kepada pemegang saham melalui RUPS. Komposisi Direksi juga harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.

2.1.6. Struktur Corporate Governance

Pada dasarnya struktur corporate governance diatur oleh Undang-Undang sebagai dasar legalitas berdirinya sebuah entitas. Misalnya dalam model Anglo-Saxon, struktur corporate governance akan terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Board of Directors (representasi dari para pemegang saham/pemilik), serta Executive Managers (manajemen yang akan menjalankan aktivitas). Model Anglo- Saxon ini disebut dengan single-board system yaitu struktur corporate governance yang tidak memisahkan keanggotaan dewan komisaris dan dewan direksi. Dalam sistem ini anggota dewan komisaris juga merangkap anggota dewan direksi dan kedua dewan ini disebut sebagai Board of Directors. Perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika serta negara-negara lain umumnya berbasis single-board system yang dipengaruhi langsung oleh model Anglo-Saxon. Bagan 1 di bawah ini adalah skema yang menunjukkan struktur single-board system.

(9)

Gambar 2.1

Struktur Corporate Governance Single-Board System (Anglo-Saxon Model) Sumber : Tjager dkk (2003) dan Syakhroza (2005)

Sedangkan untuk model Continental Europe, struktur corporate governance terdiri dari RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Direktur, dan Manajer Eksekutif (manajemen). Struktur semacam ini disebut Two-board system, yaitu struktur corporate governance yang dengan tegas memisahkan keanggotaan dewan, yakni antara keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas dan dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan. Gambar 2.2 di bawah ini adalah skema yang menunjukkan struktur corporate governance model Continental Europe (Dual–Board System).

Executive Managers (Manajer Eksekutif) Board of Directors

(Dewan Direksi) General Meeting of Shareholders

(RUPS)

(10)

Gambar 2.2

Struktur Corporate Governance Model Dual-Board System (Continental Europe Model)

Sumber : Tjager dkk (2003) dan Syakhroza (2005)

Dalam model two-board system, RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan struktur tertinggi yang mengangkat dan memberhentikan dewan komisaris yang mewakili para pemegang saham untuk melakukan kontrol terhadap manajemen.

Dewan komisaris membawahi langsung dewan direksi dan mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan dewan direksi serta melakukan tugas pengawasan terhadap kegiatan direksi dalam menjalankan perusahaan. Posisi dewan komisaris dalam model ini relatif kuat terhadap direksi sehingga fungsi pengendalian atau kontrol terhadap kegiatan manajemen dapat berjalan dengan efektif.

Management Board of Commisioners

(Dewan Komisaris)

Board of Directors (Dewan Direksi)

General Meeting of Shareholders

(RUPS)

(11)

Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya berbasis two-board system atau two-tier board system seperti kebanyakan perusahaan di Eropa (model Continental Europe). Hanya ada perbedaan dalam kedudukan dewan komisaris yang tidak langsung membawahi dewan direksi. Hal ini sesuai dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 1995 menyatakan bahwa anggota dewan direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS (pasal 80 ayat 1 dan pasal 91 ayat 1), demikian juga anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS (pasal 95 ayat 1 dan pasal 101 ayat 1). Dengan adanya struktur yang demikian, maka baik dewan komisaris maupun dewan direksi bertanggungjawab terhadap RUPS (kedudukannya sejajar). Bagan 3 di bawah ini menunjukan struktur corporate governance di Indonesia.

Gambar 2.3

Struktur Corporate Governance di Indonesia (Dual-Board System) Sumber : Tjager dkk (2003) dan Syakhroza (2005)

Posisi yang sejajar antara dewan komisaris dan dewan direksi (manajemen) pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, mengakibatkan kedudukan dewan komisaris di Indonesia tidak sekuat seperti dewan komisaris di Continental Europe

Management Board of

Commisioners (Dewan Komisaris)

Board of Directors (Dewan Direksi) General Meeting

of Shareholders (RUPS)

(12)

karena dewan komisaris tidak berwenang mengangkat dan memberhentikan dewan direksi. Dewan direksi tidak harus bertanggungjawab terhadap dewan komisaris. Bila ditinjau dari perspektif corporate governance, kedududukan yang sejajar ini dapat mengakibatkan pelaksanaan fungsi pengendalian (control) berjalan kurang efektif karena bisa saja dewan komisaris dianggap oleh dewan direksi sebagai partner kerja, bukan sebagai pengawas kerja dewan direksi. Hal ini bisa menjadi salah satu hambatan untuk melaksanakan corporate governance pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Saran yang dapat diberikan adalah perlu ditinjau kembali Undang-Undang Perseroan Terbatas, khususnya tentang pengaturan kembali adanya kedudukan yang sejajar antara dewan komisaris dan dewan direksi.

2.1.7. Pilar – Pilar Corporate Governance

Corporate governance diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisisen, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan corporate governance perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. (Komite Nasional Kebijakan Governance/KNKG, 2006)

Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing – masing pilar adalah:

1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten.

Peranan negara dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Melakukan koordinasi secara efektif antara penyelenggara negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan berdasarkan sistem hukum nasional dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu, regulator harus memahami perkembangan bisnis yang terjadi untuk dapat melakukan penyempurnaan atas peraturan perundang-undangan secara berkelanjutan

(13)

b. Mengikutsertakan dunia usaha dan masyarakat secara bertanggung jawab dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

c. Menciptakan sistem politik yang sehat dengan penyelenggara negara yang memiliki integritas dan profesionalitas yang tinggi.

d. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten.

e. Mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

f. Mengatur kewenangan dan koordinasi antar instansi yang jelas untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dengan integritas yang tinggi dan mata rantai yang singkat serta akurat dalam rangka mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat, efisisen dan transparan.

g. Memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain.

h. Mengeluarkan peraturan untuk menunjang pelaksanaan corporate governance dalam bentuk ketentuan yang dapat menciptakan iklim usaha yang efisisen dan transparan.

i. Melaksanakan hak dan kewajiban yang sama dengan pemegang saham lainnya dalam hal negara juga sebagai pemegang saham perusahaan.

2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan corporate governance sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. Peranan dunia usaha dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan.

b. Bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dunia usaha dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan.

c. Mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

d. Meningkatkan kualitas struktur pengelolaan dan pola kerja perusahaan.

(14)

3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial secara obyektif dan bertanggung jawab. Peranan masyarakat dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Melakukan kontrol sosial dengan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha, melalui penyampaian pendapat secara obyektif dan bertanggung jawab.

b. Melakukan komunikasi dengan penyelenggara negara dan dunia usaha dalam mengekspresikan pendapat dan keberatan masyarakat.

2.1.8. Asas Corporate Governance

Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas corporate governance diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas corporate governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan. (KNKG, 2006)

1. Transparansi

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman pokok pelaksanaan asas transparansi:

a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

(15)

b. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

c. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

2. Akuntabilitas

Perusahaan harus dapat memepertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu, perusahaan harus dikelola secara benar, terstruktur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Pedoman pokok pelaksanaan asas akuntabilitas:

a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing- masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan.

b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kompetensi sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan corporate governance.

c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.

d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran utama dan strategi perusahaan.

3. Responsibilitas

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat

(16)

pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman pokok pelaksanaan asas responsibilitas:

a. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan.

b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.

4. Independensi

Untuk melancarkan pelaksanaan asas corporate governance, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pokok pelaksanaan asas independensi:

a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang- undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.

5. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran. Pedoman pokok pelaksanaan asas kesetaraan dan kewajaran:

a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaika pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.

(17)

b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.

c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkaris dan melaksanakan tugasnya secara professional tanpa membedakan suku, agama, ras, gender, dan kondisi fisik.

2.1.9. Tujuan dan Manfaat Corporate Governance

Terdapat lima tujuan corporate governance, yaitu : (Emirson, 2006) 1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham

2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota the stakeholders non-pemegang saham

3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham

4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan

5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan

Dengan adanya penerapan corporate governance dalam suatu perusahaan maka akan menghasilkan beberapa manfaat, yaitu: (KNKG, 2006)

1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kesetaraan dan kewajaran

2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.

3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

(18)

5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

2.1.10. Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku a. Prinsip Dasar (KNKG, 2006)

Untuk mencapai keberhasilan jangka panjang, pelaksanaan corporate governance perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.

Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah:

1. Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya

2. Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.

3. Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan.

b. Pedoman Pokok Pelaksanaan

Pedoman pokok pelaksanaan etika bisnis dan perilaku perusahaan meliputi:

1. Nilai-nilai Perusahaan

Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum merumuskan nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan. Walaupun nilai-nilai perusahaan

(19)

pada dasarnya universal, namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak geografis dari masing-masing perusahaan. Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya, adil dan jujur.

2. Etika Bisnis

Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan. Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku.

3. Pedoman Perilaku

Pedoman perilaku merupakan penjabaran nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis dalam melaksanakan usaha sehingga menjadi panduan bagi organ perusahaan dan semua karyawan perusahaan. Pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis.

2.1.11. Kerangka Kerja Corporate Governance

Kerangka kerja corporate governance harus mempromosikan pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secara jelas mengartikulasikan pembagian tanggung jawab antara pengawasan, penegakan dan peraturan pemerintah. (OECD, 2004)

Untuk memastikan kerangka kerja corporate governance yang efektif, penting bahwa hukum yang sesuai dan efektif, dasar peraturan dan kelembagaan dibangun dimana semua partisipan pasar dapat mengandalkan hubungan kontrak pribadi.

Kerangka kerja corporate governance ini biasanya terdiri dari unsur perundang- undangan, peraturan, susunan, komitmen sukarela, dan praktek bisnis yang merupakan hasil dari tradisi, sejarah, dan keadaan negara tertentu. Perpaduan yang

(20)

diinginkan antara perundang-undangan, peraturan, standard sukarela, dll. berbeda antara satu negara dengan yang lainnya. Seiring dengan pengalaman baru dan keadaan yang berubah, isi dan struktur kerangka kerja ini perlu disesuaikan. (OECD, 2004)

2.2. PERUSAHAAN KELUARGA

Para wirausaha selalu menjadi ujung tombak bagi kemajuan ekonomi sebuah negara. Tak ayal di negara-negara yang relatif maju perekonomiannya selalu bertebaran para wirausaha yang tangguh. Mereka inilah sebenarnya pencetak keajaiban ekonomi. Para wirausaha ini selain mempunyai ide inovatif juga mempunyai kemampuan bagaimana merealisasikan gagasan-gagasannya. Langkah yang ditempuh untuk mewujudkan idenya, tentunya adalah membuat sebuah badan usaha yang berbadan hukum. Agar dapat merealisasikan ide sesuai keinginannya, maka perusahaan harus berada dalam kendalinya. Dan ketika idenya terealisasi yang muncul adalah perusahaan keluarga. (Susanto, 2007)

Perusahaan keluarga merupakan suatu fenomena tersendiri dalam dunia bisnis.

Selain jumlahnya yang sangat banyak, perusahaan keluarga juga mempunyai andil yang cukup signifikan bagi pendapatan negara. (Susanto, 2007)

2.2.1 Definisi Perusahaan Keluarga

Ada beberapa ahli yang mengemukakan defiisi dari perusahaan keluarga.

Suatu perusahaan dinamakan perusahaan keluarga apabila terdiri dari dua atau lebih anggota keluarga yang mengawasi keuangan perusahaan. (Ward dan Arnoff, 2002 dalam Susanto, 2007). Ada pula yang menyatakan suatu organisasi dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan. (Donnelley, 2002 dalam Susanto, 2007)

Dari dua definisi perusahaan keluarga menurut ahli di atas, penulis mengambil definisi menurut Donnelley karena lebih sesuai dengan keadaan perusahaan keluarga pada umumnya. Penulis tidak mengambil definisi perusahaan keluarga menurut Ward

(21)

dan Arnoff karena menurut penulis, peran anggota keluarga bukan hanya terbatas untuk mengawasi keuangan perusahaan saja.

2.2.2. Jenis Perusahaan Keluarga

Dalam terminologi bisnis, ada dua jenis perusahaan keluarga, yaitu: (Susanto, 2007)

a. Family Owned Enterprise (FOE)

Yaitu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga tetapi dikelola oleh eksekutif profesional yang berasal dari luar lingkaran keluarga. Dalam hal ini keluarga berperan sebagai pemilik dan tidak melibatkan diri dalam operasi di lapangan agar pengelolaan perusahaan berjalan secara professional. Dengan pembagian peran ini, anggota keluarga dapat mengoptimalkan diri dalam fungsi pengawasan. Seringkali, perusahaan tipe ini merupakan lanjutan dari usaha yang semula dikelola oleh keluarga yang mendirikan

b. Family Business Enterprise (FBE)

Yaitu perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh anggota keluarga pendirinya.

Jadi, baik kepemimpinan maupun pengelolaannya dipegang oleh pihak yang sama yaitu keluarga. Perusahaan keluarga tipe ini dicirikan oleh dipegangnya posisi-posisi kunci dalam perusahaan oleh anggota keluarga. Di Indonesia, kebanyakan perusahaan keluarga berjenis FBE dimana para anggota keluarga juga menjadi pengelolanya. Dalam perjalanannya, seiring dengan tumbuh kembang perusahaan, dinamikanya juga semakin kompleks. Dinamika yang tinggi tentu saja menuntut kompetensi yang tinggi bagi pengelolanya. Jika kebutuhan akan kompetensi ini tidak terpenuhi oleh anggota keluarga maka dibutuhkan suntikan tenaga dari luar lingkungan keluarga. Berangkat dari tuntutan semacam ini, tumbuh kembang perusahaan membuat perusahaan keluarga bermetamorfosa dari FBE menjadi FOE.

(22)

2.2.3. Karakteristik Perusahaan Keluarga

Perusahaan keluarga dicirikan terutama dengan kepemilikan dan keterlibatan yang signifikan dari keluarga dalam manajemen. Selain itu perusahaan keluarga memiliki karakteristik-karakteristik yang membedakannya dengan perusahaan lain pada umumnya. Karakteristik tersebut antara lain: (Susanto, 2007)

a. Keterlibatan Anggota Keluarga

Keterlibatan anggota keluarga dimulai apabila anak-anak atau generasi kedua sudah mulai masuk ke manajemen. Sejak kecil anak-anak sudah dimagangkan apabila orang tua menginginkan mereka terlibat dalam perusahaan keluarga.

Keterlibatannya sudah tinggi, komitmennya terhadap bisnis juga tinggi karena sejak kecil sudah bergelut dalam bisnis itu, dan menyadari bahwa kebutuhan makan dan sekolah dibiayai dari bisnis itu.

Komitmen menjadi lebih tinggi bagi generasi penerus karena kemauan orang tuanya agar meneruskan bisnisnya. Sejak awal anak sudah melihat liku-liku perkembangan perusahaan. Ia tentu merasa harus membantu membesarkan dan ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mengerjakan hal yang sama dan bahkan melambungkan bisnis keluarganya.

b. Lingkungan Pembelajaran yang Saling Berbagi

Generasi penerus sering mempunyai kurva pembelajaran (learning curve) yang cepat. Anggota keluarga sudah magang atau belajar sejak kecil, sudah menjaga toko, dan sudah tahu apa yang dibicarakan di meja makan. Ketika bertemu anggota keluarga yang lain atau bahkan dalam pertemuan keluarga pun mereka berdiskusi mengenai bisnis. Disini ada pembelajaran yang dibagikan antar anggota keluarga.

Anggota keluarga yang menjadi generasi penerus mungkin belum pernah bekerja secara penuh, tetapi jiwa bisnis mereka sudah meresap dan mendarah daging sehingga kurva pembelajaran menjadi lebih cepat bagi mereka.

Dengan sendirinya pendekatan pribadi dan tingkat kepercayaan menjadi tinggi sehingga keluarga lebih stabil dan konservatif, yang dengan sendirinya punya komitmen jangka panjang.

(23)

c. Tingginya Saling Keterandalan

Alangkah enaknya bekerja di perusahaan yang semua pekerjanya dapat diandalkan, sehingga perusahaan dapat berjalan, meskipun pimpinannya tidak ada di tempat. Misalnya, seorang anggota keluarga mau ke dokter dua hari, atau berobat ke luar negeri selama seminggu. Ia tidak merasa was-was karena tahu bahwa adiknya mempunyai komitmen dan ilmu yang sama dengan dirinya, sehingga ia merasa aman-aman saja.

d. Kekuatan Emosi

Perusahaan keluarga dikelola secara emosional sehingga rasa kekeluargaan di dalamnya tinggi. Karyawan perusahaan dianggap sebagai keluarga sendiri.

Para manajer perusahaan keluarga menggunakan pendekatan pribadi dan memberikan kepercayaan kepada karyawannya. Oleh karena itu perusahaan keluarga lebih konservatif karena keluarga memiliki komitmen berjangka panjang terhadap bisnisnya, dan cenderung menjadi loyal terhadap visi, misi, dan nilai-nilai pendiri.

e. Kekaburan Fungsi

Seringkali dalam perusahaan keluarga, orang-orang yang mempunyai posisi formal seperti dewan komisaris atau pemegang saham masih setiap hari datang ke perusahaan dan terlibat dalam operasi perusahaan sehari-hari.

Seharusnya komisaris dan dewan penasihat tidak perlu banyak mengintervensi kegiatan operasional agar tidak mengakibatkan kerancuan dan kebingungan di pihak karyawan. Hal ini disebabkan pemilik atau pendiri punya rasa memiliki yang masih tinggi serta mencintai pekerjaan dan pengembangan bisnisnya.

Ada pula yang tidak pernah libur atau cuti. Pagi, siang maupun malam, bahkan ketika sedang jalan-jalan pun, pikirannya masih ke bisnis, karena bisnis sudah menyatu dengan hidupnya.

Tidak mengherankan jika pendiri yang mengembangkan perusahaan dari kecil menjadi besar tidak memiliki hobi karena selalu mengurusi bisnisnya. Itulah sebabnya pada saat suksesi atau menyerahkan bisnisnya kepada anak-anaknya, mereka menjadi bingung karena memang hanya bekerja yang bisa dilakukan

(24)

dan dinikmati. Karena tidak mempunyai hobi, dan bekerja bertahun-tahun hanya menngeluti dunia itu, mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan tanpa pekerjaannya.

f. Kepemimpinan Ganda

Di setiap fungsi dan divisi tentu ada yang menjadi pimpinan. Namun demikian, intervansi dari pihak keluarga tetap tinggi. Meskipun sudah ada eksekutif profesional, komisaris masih turun ke bagian operasional sehingga membingungkan anak buah.

2.2.4 Konflik Dalam Perusahaan Keluarga

Pengelolaan perusahaan terkait pula dengan pengelolaan konflik yang ada di dalamnya. Konflik dalam perusahaan keluarga dapat dirumuskan sebagai suatu situasi kerja dimana dua atau lebih orang atau kelompok orang dalam keluarga mempunyai ide, pandangan, argumentasi, persepsi, dan pendapat yang berlawanan atau kontradiktif sehingga mereka saling menyalahkan yang berakibat pada perusahaan.

(Susanto, 2007)

Dari pengertian ini, konflik dalam perusahaan keluarga dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain:

a. Konflik Antara Kepentingan Bisnis dan Kepentingan Keluarga

Sistem keluarga mempunyai karakteristik inward looking (melihat ke dalam). Keputusan dilakukan berdasarkan emosi, dan masing-masing anggota keluarga menerimanya tanpa syarat. Sharing antar anggota keluarga sudah menjadi kebiasaan sehingga mereka satu sama lain saling membantu dan menguatkan. Keanggotaan masing-masing tidak bisa dicabut secara genetis dan ikatan emosional, dan nilai-nilai dalam keluarga tertanam begitu kuat sehingga ada keengganan untuk berubah.

Sementara itu bisnis lebih bersifat outward looking (melihat keluar).

Ikatan antara karyawan dan pemilik/pendiri adalah berdasarkan komitmen dan tugas sehingga ikatan emosional bisa saja tidak ada. Kinerja yang bagus tentu ada penghargaan, sedangkan mereka yang tidak mampu bisa dikeluarkan atau

(25)

memilih untuk meninggalkan perusahaan. Jika dalam sistem keluarga ada keengganan untuk berubah, sebaliknya dalam bisnis perubahan diantisipasi dengan melihat situasi di masyarakat dan peta bisnis yang ada. Perbedaan- perbedaan tersebut bisa mengakibatkan konflik antara pendiri/pemilik dan anggota keluarga, karyawan, dan profesional.

b. Konflik Antar Anggota Keluarga

Konflik dalam keluarga dapat dirangkum dalam empat hal, yaitu konflik tujuan, gaya hidup dan kerja, konflik menyangkut kendali perusahaan, dan leaving the nest (meninggalkan rumah). Serangkaian tujuan untuk bisnis, tujuan untuk keluarga dekat, dan tujuan untuk diri sendiri bisa berbeda dan menyebabkan konflik. Gaya hidup dan kerja berubah sepanjang waktu dan berbeda antara orang satu dengan orang lainnya, sehingga menimbulkan konflik dalam keluarga. Keengganan untuk mengalihkan kendali perusahaan dari pendiri/pemilik ke generasi penerus mengakibatkan konflik dalam keluarga dan perusahaan. Disini generasi penerus merasa selalu diawasi dan diintervensi oleh pendiri atau dalam hal perusahaan keluarga adalah orang tua dari penerus yang membawa ketidak nyamanan dalam suasana kerja.

c. Konflik Antara Keluarga dan Karyawan

Konflik antara keluarga dan karyawan biasanya teletak pada profesionalitas dan kepercayaan. Anggota keluarga yang terjun di perusahaan seharusnya dituntut agar profesional dengan kompetensi kuat yang ditunjukkan dalam kinerjanya sebanding dengan tuntutan perusahaan pada karyawan atau profesional yang direkrut. Namun seringkali anggota keluarga direkrut bukan dilihat dari segi kompetensi melainkan karena hubungan keluarga. Begitu pula mengenai kompensasi / gaji yang diberikan. Seringkali ada perbedaan antara keduanya walaupun dalam level kerja yang sama. Selain itu dalam hal kepercayaan, pemilik cenderung lebih mempercayai anggota keluarga dibandingkan karyawan. Hal ini tentu dapat menimbulkan kecemburuan diantara anggota keluarga dan karyawan yang pada akhirnya akan memicu konflik.

(26)

2.3. KAITAN ANTARA CORPORATE GOVERNANCE DAN FAMILY BUSINESS

Dari semua konsep corporate governance yang dikemukakan oleh beberapa pakar, memiliki kesimpulan yang sama, yang berbeda hanyalah penggunaan kata- katanya saja. Mengenai prinsip corporate governance, ada pandangan yang mengemukakan bahwa prinsip corporate governance hanya meliputi lima prinsip, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Namun, ada juga pandangan lain yang mengemukakan bahwa prinsip corporate governance meliputi enam prinsip, yaitu transparansi, pengungkapan, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Perbedaan terletak pada prinsip pengungkapan. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan dari konsep corporate governance. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima prinsip dalam corporate governance sebagai dasar untuk meneliti objek penelitian.

(27)

2.4. KERANGKA PEMIKIRAN

Gambar 2.4

Corporate Governance dalam PT. Kartika Bahari Dirgantara Jaya (M-Radio)

Sumber: KNKG, 2006 diolah oleh penulis

Penulis menganalisa corporate governance didasarkan dengan lima prinsip corporate governance, yaitu: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Setelah itu, penulis melihat bagaimana implementasi lima prinsip corporate governance tersebut pada PT. Kartika Bahari Dirgantara Jaya (M-Radio).

Corporate Governance pada PT. Kartika Bahari Dirgantara Jaya (M-Radio)

Transparansi Akuntabilitas Responsibilitas Independensi Fairness

Implementasi prinsip Corporate Governance pada PT. Kartika Bahari Dirgantara Jaya (M-Radio)

Referensi

Dokumen terkait

(1) Hak Ulayat dan serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum

Dari informasi yang dihasilkan tersebut peneliti berasumsi bahwa selain kontrol orangtua dan guru yang lemah, faktor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pun ikut

Penelitian ini memberikan kontribusi dengan mengusulkan pendekatan untuk mengamati pengaruh pola hubungan pengembang terhadap jumlah isu yang berhasil diselesaikan

Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sherly Rakhmawati yang berjudul ―pengaruh kepercayaan, persepsi kegunaan, persepsi kemudahan,

Berdasarkan uraian yang telah di paparkan terdahulu maka berikut ini pe- nulis akan menguraikan inti dari bentuk kesimpulan adalah sebagai berikut bahwa dalam penerapan sangsi

Kemudian setelah mengisi buku tamu anggota mencari buku yang ingin dicari pada database koleksi, jika koleksi tersedia maka buku koleksi yang ingin dipinjam diberikan

Untuk informasi lebih lanjut tentang keselamatan dan pengaturan serta informasi pembuangan baterai, lihat Maklumat Pengaturan, Keselamatan, dan Lingkungan yang terdapat pada cakram

Uji realibilitas dapat dilakukan secara bersama-sama terhadap suatu butir pertanyaan untuk lebih dari satu variabel,namun sebaiknya uji realibilitas sebaliknya dilakukan pada