15
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mencari beberapa penelitian terdahulu untuk menjadi referensi dan pembeda agar penelitian selanjutnya yang akan dilakukan tidak sama persis seperti penelitian sebelumnya. Selain itu, mencari penelitian terdahulu dilakukan untuk mengembangkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
PENELITIAN TERDAHULU 1
Penelitian terdahulu yang pertama berjudul “Pengaruh Literasi Media Digital Terhadap Tingkat Pengetahuan Mengenai Hoaks Pada Digital Native dan Digital Immigrants di Kota Bandung”. Penelitian terdahulu ini merupakan sebuah skripsi yang dibuat oleh Ignatia Mariae Adeline dari Universitas Multimedia Nusantara pada tahun 2018 (Adeline, 2018).
Latar belakang penelitian ini adalah perkembangan era media digital yang menimbulkan banyak berita hoaks. Perkembangan teknologi pada bidang media memunculkan sebuah istilah, yaitu media baru. McQuail menyebutkan bahwa dalam media baru, batasan percetakan dan model penyiaran tradisional diabaikan. Konten dari media baru juga dapat dinikmati dalam satu platform, seperti teks, gambar, audio, dan video.
16 Kemunculan media baru ini tentunya melahirkan khalayak yang baru juga. Khalayak dari media baru memiliki interativitas yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya karena konektivitas jaringan yang meningkat.
Selain itu, khalayak era ini juga tidak hanya menjadi konsumen media, namun bisa menjadi produsen media atau membuat konten sendiri melalui media sosial. Kemudahan ini ternyata menyebabkan banyak kerugian, seperti tersebarnya hoaks, ujaran kebencian, dan masih banyak lagi.
Kerugian yang muncul tersebut dikarenakan literasi media masyarakat tidak mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Menurut sebuah survei terkait hoaks, 92,40% berita hoaks dibagikan melalui media sosial, 62,80%
melalui aplikasi chatting, 34,90% melalui website, dan masih banyak yang tersebar melalui media konvensional seperti radio, televisi, dan media cetak.
Survei ini juga menyatakan bahwa berita hoaks dibuat dengan sengaja untuk mempengaruhi publik, khususnya dalam hal sosial politik dan SARA.
Salah satu contoh masalah yang ada di Indonesia adalah beredarnya berita bahwa sepuluh juta tenaga kerja asing akan masuk Indonesia pada tahun 2016 lalu. Pada media Kompas.com, disebutkan bahwa seseorang bernama Yusril Ihza Mahendra mempercayai dan ikut menanggapi serius isu yang beredar tersebut. Yusril sendiri pernah menjabat sebagai Menteri di bawah tiga kabinet yang berbeda (Aziza, 2016).
17 Gambar 2.1 Berita 10 Juta Tenaga Kerja China Mau Ditampung ke
Mana?
Sumber: kompas.com
Gambar 2.2 Lewat Akun Medsos, Elly Risman Menyatakan Minta Maaf
Sumber: tempo.co
Selain itu, ada juga kasus yang sempat membuat warganet heboh karena seorang psikolog yang bernama Elly Risman. Elly menuliskan sebuah cuitan
18 di Twitter bahwa girlband asal Korea yaitu Girl’s Generation (SNSD) merupakan symbol seks dan pelacuran. Hal ini langsung membuat masyarakat membuat petisi yang menuntut Elly untuk meminta maaf.
Akhirnya melalui Twitternya, Elly meminta maaf dan mengaku bahwa ia telah menggeneralisasi SNSD berdasarkan informasi yang beredar di media (Tempo.co, 2017).
Literasi media sangat diperlukan khalayak media baru. Kasus yang diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa literasi seseorang tidak dipengaruhi oleh usia atau tingkat pendidikan. Kurangnya literasi dalam berkomunikasi dapat menimbulkan masalah yang nyata di masyarakat.
Penelitian ini dilakukan pada digital native dan digital immigrants di kota Bandung. Digital native merupakan generasi yang tumbuh dan berkembang pada era internet dan teknologi baru, sedangkan digital immigrants merupakan generasi pertama yang mengenal dunia digital.
Dari permasalahan tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah literasi media digital berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mengenai hoaks pada digital natives dan digital immigrants. Teori dan konsep yang digunakan pada penelitian ini ada 4 yaitu, literasi media, digital natives dan immigrants, perkembangan masa dewasa, dan tingkat pengetahuan mengenai hoaks.
Literasi media merupakan gabungan dari tiga bagian besar, yaitu (kajian media (industri, konten, dan efek media), pemikiran manusia (bagaimana manusia mengatur pesan dan mengkonstruksi makna), serta
19 pedagogi (bagaimana membantu orang untuk mengakses informasi, mengembangkan kemampuan, dan mengedukasi). Untuk lebih spesifik, peneliti menggunakan konsep literasi media digital untuk pengambilan data dalam penelitian ini.
Menurut Buckingham, literasi digital adalah seperangkat kemampuan yang mencakup kemampuan mengakses perangkat-perangkat digital serta pemahaman kritis dalam penggunaannya yang data dipetakan melalui representasi, bahasa, produksi, dan audiens.
Generasi Y lahir antara tahun 1982 hingga 1995 dan dimasukkan ke dalam kategori digital natives, sedangkan generasi yang lahir sebelum tahun 1982 termasuk ke dalam kategori digital immigrants. Generasi Y dianggap sebagai ‘native speakers’ karena mereka adalah generasi pertama yang tumbuh bersama teknologi digital. Digital immigrants cenderung mengembangkan pemikiran dengan kecepatan yang lebih rendah untuk menerima informasi pembelajaran (Autry & Berge, 2011).
Menurut hasil survey Mastel (2017), sebagian besar masyarakat yang menjadi responden memahami hoaks sebagai berita bohong yang disengaja.
Namun ada juga beberapa responden yang memahami hoaks sebagai berita yang menghasut, berita yang tidak akurat, berita ramalan atau fiksi ilmiah, berita yang menyudutkan pemerintah, hingga berita yang tidak disukai.
Cambridge Dictionary mengartikan hoaks sebagai rencana untuk menipu seseorang.
20 Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan sifat eksplanatif.
Penelitian ini memiliki sifat eksplanatif karena akan mencoba menjelaskan hubungan antar variabel, yakni variabel literasi media digital dan variabel tingkat pengetahuan mengenai hoaks, dengan menguji hipotesis-hipotesis pada sub-bab 2.3 dengan Teknik analisis regresi linier sederhana dan independent samples t-test.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah non- ekperimen dengan Teknik survei. Jika metode ekperimental mengukur pengaruh dari suatu kondisi tertentu dengan sengaja melakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan, penelitian ini dilakukan tanpa perlakuan apapun. Karena itu dapat dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan metode non-eksperimen, tepatnya menggunakan teknik survei untuk mengumpulkan data.
Populasi dari penelitian ini adalah digital natives dan digital immigrants, sedangkan untuk sampel, penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling. Jadi sampel dalam penelitian ini adalah individu kelahiran tahun 1082-1994 untuk mewakili digital natives yang tergolong dewasa awal, serta individu kelahiran 1968-1973 untuk mewakili digital immigrants yang tergolong dewasa madya. Selain itu, ada kriteria tambahan untuk kedua kelompok usia, yaitu minimal pendiidkan S1 dan dalam status bekerja.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa literasi media digital pada digital natives dan digital immigrants berpengaruh terhadap tingkat
21 pengetahuannya mengenai hoaks. Pada digital natives, korelasi pada kedua variabel memiliki nilai sebesar 0,461 dan koefisien determinasinya sebesar 0,199. Maka dapat diartikan bahwa pengaruh variabel literasi media digital pada digital natives memiliki pengaruh sebesar 19,9% terhadap variabel tingkat pengetahuan mengenai hoaks. Sedangkan pada digital immigrants, korelasi kedua variabel menunjukkan nilai sebesar 0,928 dengan koefisien determinasi sebesar 0,859. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh menunjukkan bahwa pengaruh literasi pada media digital digital immigrants terhadap tingkat pengetahuannya mengenai hoaks adalah sebesar 85,9%.
Terdapat perbedaan signifikan antara literasi media digital digital natives dan digital immigrants. Maka dapat disimpulkan bahwa memang terdapat perbedaan antara literasi media digital pada digital natives dan digital immigrants di Kota Bandung. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan mengenai hoaks antara kedua kelompok tersebut.
Relevansi penelitian yang dilakukan Ignatia Mariae Adeline dengan penelitian yang dilakukan peneliti saat ini adalah sama-sama membahas tentang pengaruh dari literasi media dan merupakan penelitian kuantitatif.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan kerangka konseptual Buckingham dengan dimensi representasi, bahasa, produksi, dan audiens untuk mengukur literasi media digital.
22 PENELITIAN TERDAHULU 2
Penelitian terdahulu kedua merupakan sebuah jurnal yang berjudul
“Native Advertising-A Conceptual Model” dan dibuat oleh Dr. Anupama Gadiraju pada tahun 2018. Penelitian ini memiliki latar belakang dari iklan online yang berkembang sangat pesat dan native advertising menjadi salah satu jenis iklan online yang dapat memuaskan pembaca. Saat ini native advertising telah berkembang menjadi lebih kuat dan efektif (Gadiraju, 2018).
Native advertising didefinisikan sebagai segala bentuk promosi berbayar yang memiliki kesamaan konten dan jangka waktu, dan yang keseluruhan penampilannya sama dengan konten editorial. Konsep dari native advertising dapat disimpulkan setelah mendasarkannya pada dua model teori, yaitu ‘Source Message Channel and Receiver’ oleh Berlo dan
‘The Smart Content Cycle Model’ oleh Katie Gutwein.
Native advertising memiliki sifat yang memunculkan dua basis penting, yaitu konten dan hubungan. Konten dalam native advertising merupakan bagian yang terpenting dan harus menyatu dengan tema penerbit. Meskipun native advertising memiliki sifat yang sama dengan berita regular, namun native advertising harus bisa memprovokasi pembaca atau audiens untuk tertarik. Ada tiga karakteristik dalam konten yang harus dipatuhi, yaitu konteks, kongruensi dan daya tarik.
Iklan yang menyatu dengan konten editorial dianggap bernilai tinggi karena iklan tersebut mementingkan kepentingan individu pelanggan. Untuk memahami sebuah konteks, maka diperlukan tiga karakteristik, yaitu
23 relevansi, kontemporer, dan dapat ditindaklanjuti. Sedangkan kongruensi atau kesesuaian berdampak pada efektivitas iklan secara umum. Tim promosi merek harus bekerja sama dengan editor dan tim penerbit untuk mengembangkan ciri khas agar terlihat lebih natural sebagai berita pada umumnya.
Native advertising tidak hanya mementingkan promosinya saja, namun harus ada kombinasi antara faktual dan menghibur. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam native advertising, yaitu informasional, pendidikan, dan emosional. Jadi native advertising harus dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pembaca dan dapat mendidik, serta dapat meningkatkan emosional pembacanya. Emosional dalam hal ini berarti dapat menarik pembacanya untuk tertarik pada produk tersebut.
Basis kedua dari native advertising adalah terhubung. Koneksi menjadi kunci untuk membangun hubungan praktis dengan merek, seperti memaksa pembacanya untuk berpikir, memilih dan membuat keputusan pada suatu merek. Media memerankan peran utama dalam hal membawa pesan dan daya tariknya pada pelanggan. Ada enam kelas media yang luas dan dapat dijadikan tempat untuk native advertising. Enam media tersebut adalah cetak, audio, televisi, internet, banner, dan segala jenis acara.
Pelanggan yang memutuskan sebuah produk harus melalui empat tahap, yaitu Brand Salience, Awareness, Engagement, Evaluation and Trial.
Selain itu, kerangka konseptual dari native advertising dapat dipahami dari lima aspek penting, yaitu sumber, konten, hubungan, kenaikan, dan tindakan.
24 Namun kelima aspek ini dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama yaitu sumber, konten, hubungan. Dan bagian kedua adalah kenaikan dan tindakan dari evolusi pelanggan.
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Native Advertising
Sumber: (Gadiraju, 2018)
Lima aspek native advertising dapat dipetakan lebih lanjut menjadi lima fase dari keseluruhan proses, sebagai berikut:
• Fase pertama: merek atau sponsor dengan bantuan penerbit tidak akan mencolok. Konten iklan akan menyatu dengan sisa konten pada suatu halaman.
• Fase kedua: daya tarik konten membantu meningkatkan minat yang ditimbulkan oleh konten. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada tiga daya tarik yang mendasar, yaitu informasi, pendiidkan, dan emosional.
• Fase ketiga: pesan dengan daya tariknya ditransmisikan melalui media.
Ada enam kelas media utama, yaitu cetak, telelvisi, audio, internet, banner, dan segala jenis acara.
• Fase keempat: setelah media mengirimkan pesan kepada pelanggannya, koneksi dibuat melalui keterlibatan dan kesadaran pelanggannya.
• Fase kelima: fase ini membahas tentang kenaikan, artinya ada kenaikan pada tingkat kesadaran dan pengetahuan pelanggan.
25 Relevansi jurnal milik Gadiraju dengan penelitian ini adalah peneliti mengambil dimensi native advertising sebagai alat ukur variabel peneliti.
Dari dua basis native advertising, peneliti mengambil salah satunya yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu konten. Konten sendiri memiliki tiga dimensi, yaitu konteks, kesesuaian, dan daya tarik.
PENELITIAN TERDAHULU 3
Penelitian yang ketiga merupakan sebuah jurnal yang berjudul
“Political Advertising Camouflage as News”. Jurnal ini dibuat oleh Camelia Catharina Pasandran, seorang dosen Jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara dan dibuat pada tahun 2018. Jurnal ini berlatar belakang dari kemajuan teknologi yang mengubah cara pandang media di Indonesia.
Perubahan yang dilakukan media ada pada tiga aspek, yaitu audiens, konten, dan sumber pendapatan. Audiens saat ini lebih suka menghindari iklan yang muncul. McCoy mengatakan bahwa iklan pop-up dianggap mengganggu dan dapat memengaruhi persepsi pengguna (Pasandaran, 2018).
Perkembangan teknologi juga menyebabkan media mengalihkan fokus mereka ke media digital. Pada Desember 2017, Nielsen menunjukkan pertumbuhan pembaca media online. Penelitian ini mengungkapkan jumlah pembaca media online sudah mencapai 6 juta, sedangkan pembaca media cetak menurun menjadi 4,5 juta. Namun peningkatan ini ternyata tidak sejalan dengan pendapatan. Hal ini terjadi karena perilaku audiens yang menghindari iklan dan membuat pengiklan menemukan model bisnis yang baru.
26 BuzzFeed dan New York Times disebut sebagai media yang pertama kali memperkenalkan native advertising. Ferrer Conill mendefinisikan native advertising sebagai suatu bentuk pemasaran konten berbayar, di mana konten komersial dikirimkan dengan mengadopsi bentuk dan fungsi konten editorial dengan upaya untuk menciptakan kembali penglaman pengguna dalam membaca berita yang merupakan konten iklan. Sedangkan Greenberg, CEO agensi periklanan Sharethrough, menyebutkan bahwa native advertising merupakan bentuk media berbayar yang mengikuti bentuk dan fungsi situs atau pengalaman pengguna tempat tinggalnya.
Ada banyak penelitian eksperimen yang menunjukkan rendahnya kemampuan orang untuk melihat iklan. Menurut Amazeen dan Wojdynski, penelitian tersebut menunjukkan hanya sejumlah kecil peserta yag dapat mengenali iklan. Menurut penelitian yang dilakukan Wojdynski dan Evans, dari 242 peserta yang terlibat dalam studi eksperimen, hanya 8% yang dapat mengenali native advertising. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk menemukan native advertising dipengaruhi oleh usia dan pendidikan, dengan orang yang lebih muda dan berpendidikan memiliki peluang lebih baik dalam mengenali iklan.
Permasalahan native advertising menuntun pada tiga masalah utama, yaitu: kredibilitas media, pengiklan, dan konten yang menurun. Wu mengklaim bahwa media mempertaruhkan kredibilitas mereka untuk menerbitkan sebuah iklan. Klaim ini sejalan dengan penelitian Amazeen dan Muddiman yang menunjukkan penurunan kredibilitas media ketika orang
27 mengenali iklan. Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa label eksplisit native advertising politik dapat menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap konten berita politik.
Teori yang digunakan pada penelitian ini ada 2, yaitu Baudrillard’s Simulation dan Native Advertising. Menurut Baudrillard, simulasi terjadi dalam empat langkah. Yang pertama, mencerminkan realitas mendalam atau penampilan baik. Kedua, menutupi dan menolak kenyataan mendalam atau penampilan jahat. Ketiga, menutup diri pada kenyataan atau menjadi diri sendiri. Keempat, tidak ada hubungannya dengan penampilan dan makna sebenarnya berubah menjadi nostalgia.
Simulasi dapat bertahan karena merupakan objek permintaan sosial dan bisa membunuh kenyataan. Native advertising dapat dilihat sebagai simulasi, iklan yang mensimulasikan bentuk artikel berita. Beberapa media Indonesia menempatkan native advertising di antara artikel berita asli mereka, membuat pembaca semakin sulit mengenali native advertising.
Penelitian ini berfokus pada native advertising yang diterbitkan oleh Tempo.co dan berfokus pada tiga hal, yaitu penempatan native advertising di situs web, format native advertising dalam upaya untuk menemukan persamaan dan perbedaan dengan konten editorial asli, dan mengungkapkan penyingkapan native advertising.
Tempo memiliki website sendiri untuk klien mereka, seperti
“client.tempo.co”, “dpr.tempo.co”, atau “inforial.tempo.co”. Dalam melakukan hal ini, sebenarnya Tempo melakukan cara positif untuk
28 memisahkan artikel berita dari konten komersial. Namun ditemukan ada beberapa native advertising yang ditemukan di beranda. Selain itu, Tempo juga mengemas native advertising sesuai dengan artikel asli mereka.
Sayangnya, native advertising yang ada pada website dpr.tempo.co, sumber dari pemerintah sangat jarang tercantum, namun selalu menuliskan hal positif saja.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui sebuah native advertising pada Tempo.co, yaitu dengan melihat URL atau link website media. jika pada website tersebut ditemukan. Yang kedua, isi dari artikel tersebut selalu bernilai positif dan seakan-akan membanggakan topik yang dibahas. Ketiga, setiap native advertising yang ada di Tempo.co selalu memberikan gambar yang diambil oleh kliennya sendiri. Keempat, tidak dicantumkan nama penulis dan tanggalnya. Kelima, sumber yang ada pada native advertising selalu terbatas dan hanya melakukan interview dengan kliennya saja.
Perbandingan dari ketiga penelitian terdahulu dapat dilihat lebih jelas melalui tabel di bawah ini (tabel 2.1):
Tabel 2.1 Perbedaan Penelitian Terdahulu
No Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3
1 Judul Pengaruh Literasi Media Digital Terhadap Tingkat Pengetahuan
Mengenai Hoaks Pada Digital Native dan Digital Immigrants di Kota Bandung
Native Advertising-A Conceptual Model
Political Advertising Camouflage as News
29 2 Penulis Ignatia Mariae
Adeline
Dr. Anupama Gadiraju
Camelia Catharina Pasandran
3 Hasil Penelitian
Dapat disimpulkan bahwa memang terdapat perbedaan antara literasi media digital pada digital natives dan digital immigrants di Kota Bandung. Selain itu, disimpulkan juga bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan mengenai hoaks antara kedua kelompok tersebut.
Ada dua basis penting dalam native
advertising, yaitu konten dan hubungan.
Konten memiliki tiga karakteristik yang harus dipatuhi, yaitu konteks, kongruensi (hubungan), dan daya tarik. Untuk
memahami konteks, ada tiga
karakteristiknya, yaitu relevansi, kontemporer, dan dapat ditindaklanjuti.
Ada empat tahap yang harus dilalui pelanggan untuk memutuskan sebuah produk, yaitu brand salience, awareness, engagement,
evaluation and trial.
Tempo memiliki website sendiri untuk klien mereka, seperti
“client.tempo.co”,
“dpr.tempo.co”, atau
“inforial.tempo.co”.
Dalam melakukan hal ini, sebenarnya Tempo melakukan cara positif untuk memisahkan artikel berita dari konten komersial.
Namun ditemukan ada beberapa native advertising yang ditemukan di beranda.
Selain itu, Tempo juga mengemas native advertising sesuai dengan artikel asli mereka. Sayangnya, native advertising yang ada pada website dpr.tempo.co, sumber dari pemerintah sangat jarang tercantum, namun selalu
menuliskan hal positif saja.
4 Relevansi Relevansi penelitian yang dilakukan Ignatia Mariae Adeline dengan penelitian yang dilakukan peneliti saat ini adalah sama-sama membahas tentang pengaruh dari literasi media dan merupakan penelitian kuantitatif.
Relevansi penelitian ini adalah membahas tentang native advertising. Peneliti mengambil tiga dimensi native advertising yang diungkapkan oleh Gadiraju, yaitu konteks, kongruensi atau hubungan, dan daya tarik.
Relevansi penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang native
advertising pada media online. Dari penelitian ini, penulis dapat memahami media mana saja di Indonesia yang menerapkan native advertising yang tidak
30 baik dan bagaimana seharusnya native advertising yang baik harus diterapkan.
Sumber: Olahan Peneliti, 2020
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Literasi Media dan Informasi (LMI)
Banyak ahli yang memberikan definisi literasi media dan informasi.
Potter (2008, p. 19) mendefinisikan literasi media sebagai seperangkat perspektif yang digunakan secara aktif untuk mengekspos diri pada media massa untuk menafsirkan makna dari pesan yang ditemui. Sedangkan dalam buku yang berjudul Media Literacy: A Report of National Leadership Conference on Media Literacy (Aufderheide, 1993, p. 6), literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk. Dan menurut laporan European Commission, literasi media didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mengevaluasi segala bentuk pesan yang ditemui sehari-hari di media seperti gambar, audio, dan pesan (European Commission, 2009, p. 23).
Seperti yang dijelaskan pada latar belakang, UNESCO mendefinisikan LMI sebagai perangkat kompetensi yang memberdayakan warga negara untuk mengakses, mengambil, memahami, mengevaluasi dan menggunakan, membuat serta membagikan informasi dan konten media dalam semua format, menggunakan berbagai alat, dengan cara yang kritis, etis, dan efektif,
31 untuk berpartisipasi dan terlibat dalam kegiatan pribadi, professional, dan sosial (UNESCO, 2013, p. 29).
LMI sendiri memiliki banyak manfaat, karena itu LMI sangatlah penting untuk dimiliki. Beberapa manfaat LMI yaitu (UNESCO, 2013, p.
36):
• Melindungi kebebasan dan hak asasi manusia serta memberdayakan masyarakat dalam membuat keputusan berdasarkan informasi.
• Menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk menanggapi tantangan, risiko, ancaman, dan peluang baru, mengingat adanya pengaruh yang signifikan dari informasi, media, dan ICT.
• Membantu meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan pengetahuan mengenai fungsi dari media dan penyedia informasi dalam masyarakat demokratis, serta memberikan pemahaman tentang kondisi yang diperlukan untuk melakukan fungsi tersebut secara efektif dan bertanggung jawab.
• Membantu warga negara untuk memperoleh kompetensi dasar yang diperlukan untuk mengakses informasi dan konten media, mengevaluasi kinerja penyedia media dan informasi dengan mempertimbangkan fungsi yang diharapkan, dan untuk menciptakan berbagai pengetahuan secara efektif dan etis.
• Membantu meningkatkan kompetensi LMI di tingkat kelembagaan dan individu dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan di tingkat nasional. Sebaliknya, ketersediaan kompetensi LIM meningkatkan
32 permintaan terhadap lingkungan yang mendukung dan hasil yang terkait, seperti konten baru, layanan, dan produk, serta lapangan kerja, pertukaran dan dialog antar budaya, yang mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan dan perdamaian.
• LMI meningkatkan proses belajar mengajar yang diberikan oleh guru kepada anak muda dengan membantu mereka menjadi pemikir yang mandiri, kritis, dan reflektif.
Gambar 2.4 Mind Map Literasi Media dan Informasi
Sumber: (UNESCO, 2013, p. 31)
Literasi Media dan Informasi (LMI) merupakan gabungan dari tiga literasi, yaitu literasi media, literasi informasi, dan literasi digital. Ketiga penggabungan ini didasari oleh perkembangan kompetensi yang dibutuhkan masyarakat pada abad 21 dalam mengakses dan mengevaluasi informasi dari berbagai platform media dengan menggunakan teknologi digital yang terus
33 berkembang. Seiring dengan perkembangan teknologi dan terciptanya dunia maya, batasan antara literasi media, literasi informasi, dan literasi digital menjadi kabur dan terdapat ancaman di dalamnya. Karena itu masyarakat perlu dibekali dengan literasi media, digital, dan informasi agar dapat meminimalisir resiko terkait reliabilitas sumber informasi, privasi, keamanan, dan isu etik (UNESCO, 2013, pp. 26-29).
Literasi media, literasi informasi, dan literasi digital memiliki kesamaan, yaitu (UNESCO, 2013, p. 30):
1. Memiliki fokus yang sama, yaitu bagaimana mengelolah sebuah informasi di tengah derasnya arus informasi yang berasal dari media dan teknologi.
2. Mendukung Hak Asasi Manusia (HAM), terutama dalam kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi.
3. Menegaskan evaluasi yang kritis terhadap informasi dan konten media.
4. Memiliki tujuan yang sama, yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat dalam mengakses, mengevaluasi, membuat, dan membagikan informasi.
5. Memungkinkan individu untuk memiliki informasi, sehingga dapat terlibat dalam perkembangan sosial sebagai contributor yang sepadan.
6. Membekali individu dengan kemampuan yang dibutuhkan di abad 21, di mana ada banyak gelombang informasi besar dari berbagai sumber.
Literasi Media dan Informasi (LMI) memiliki tiga komponen, yaitu akses (access), evaluasi (evaluation), dan kreasi (creation) (UNESCO, 2013, p. 57). Ketiga komponen ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
34 a. Komponen Akses
Komponen ini merupakan komponen yang paling penting dan dipahami sebagai kemampuan untuk mengakses, mengambil, serta menyimpan informasi dan konten dari media. Komponen ini juga mencakup kemampuan untuk memenuhi informasi, konten media, dan pengetahuan serta mengidentifikasi informasi yang berguna dan konten media dari semua sumber dan format, termasuk cetak, audio, visual, dan digital untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Informasi tersebut dapat diambil dari perpustakaan, museum, file pribadi, atau sumber lain yang dapat disimpan secara fisik atau elektronik (UNESCO, 2013, p. 57).
b. Komponen Evaluasi
Komponen yang kedua ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis secara kritis, dan mengevaluasi informasi, konten media, pekerjaan dan fungsi media dan lembaga informasi, dalam konteks hak asasi manusia universal dan kebebasan berekspresi. Hal ini meliputi membandingkan fakta, membedakan fakta dari opini, mengetahui waktunya (baru atau sudah lama), mengidentifikasi ideologi dan nilai- nilai, serta mempertanyakan bagaimana kekuatan sosial, ekonomi, politik, professional, dan teknologi dapat membentuk media dan konten informasi.
Hal ini juga melibatkan evaluasi kualitas informasi, seperti akurasi, relevansi, reabilitas, dan kelengkapan (UNESCO, 2013, p. 57).
35 Selain itu, di era informasi yang berlebihan, individu juga perlu menguasai keterampilan teknis pengorganisasian, pemilihan, dan sintesis media dan informasi. Pemahaman tentang sifat, fungsi, dan kinerja lembaga media, professional media, dan penyedia informasi sangat penting untuk mengetahui cara mendekonstruksi informasi dan pesan media. penting untuk mengenali peran media dan informasi dalam konteks yang lebih luas, terutama untuk mempromosikan kebebasan berekspresi, kebebasan infomrasi dan akses ke informasi (UNESCO, 2013, p. 57).
Hal ini juga dapat membantu memahami hubungan dan dampak Literasi Media dan Informasi, kewarganegaraan, demokrasi dan pemerintahan yang baik. Media dan individu yang melek informasi mengenali kekuatan ekonomi, sosial, dan politik serta control dari perusahaan media dan penyedia informasi dan lembaga publik (UNESCO, 2013, p. 57).
c. Komponen Produksi atau Kreasi
Komponen yang ketiga ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk menguasai pengetahuan produksi, informasi, konten media, dan pengetahuan baru srta berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.
Komponen ini juga mencakup penggunaan informasi, konten media yang etis dan efektif, serta dalam pengetahuan umum, misalnya aspek kekayaan intelektual. Menjadi sebuah media dan melek informasi tidak berarti hanya dilengkapi dengan keterampilan analitis dan produksi, tetapi juga membutuhkan pengetahuan tentang media dan informasi, serta
36 membutuhkan sikap dan nilai-nilai untuk menggunakan media dan informasi dan teknologi secara etis (UNESCO, 2013, p. 57).
Pada masa kini, internet menawarkan cara baru untuk menjadi kreatif dan inovatif serta kolaboratif. Setiap orang dengan akses dan keterampilan teknologi yang memadai dapat menghasilkan, berbagi, dan memantau informasi dan pesan media. Karena itu, produksi media dan pengetahuan, serta pemantauan penggunaan dan dampak, menjadi elemen dari Literasi Media dan Informasi (UNESCO, 2013, p. 57).
2.2.2 Berita Bersponsor
Seiring perkembangan era digital, beberapa media juga mulai mengubah gaya iklan mereka. Buzzfeed merupakan media yang pertama kali menerapkan strategi ini. Buzzfeed menerapkan strategi ini berhubungan dengan politik. Pada saat itu, Obama menjadi orang pertama di Amerika yang berkampanye politik dengan memasang iklan di Buzzfeed. Kontennya juga sama dengan berita regular pada Buzzfeed, bedanya hanya mereka meletakkan tulisan “Paid Political Content” pada artikel tersebut (Pasandaran, 2018, p. 94).
37 Gambar 2.5 Contoh Native Advertising Buzzfeed
Sumber: buzzfeed.com
Gambar 2.2 merupakan salah satu contoh berita bersponsor dari Buzzfeed. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa Buzzfeed mencantumkan tanda ‘Paid Post’. Selain itu, nama penulis dan editornya juga dari pihak Buzzfeed sendiri. Dalam artikel ini, Buzzfeed menuliskan
‘Buzzfeed Contributor’ dan bukan nama reporter mereka. Artikel ini dibuat untuk mempromosikan salah satu editor di Buzzfeed yang bernama Sam Stryker. Artikel ini berisi semua hal tentang Sam Stryker, mulai dari tempat lahirnya, hobinya, hingga pekerjaannya di Buzzfeed.
Berita bersponsor atau native advertising merupakan kolaborasi antara pemilik merek dengan pemilik situs sebuah website yang menempatkan iklan di antara konten editorial lainnya (Mareck, 2014, p. 23). Sedangkan Campbell
& Marks (Aisyah & Ariyanti, 2017) menyebutkan native advertising merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan bentuk iklan online
38 baru yang dibuat seminimal mungkin agar tidak mengganggu konsumen online dengan tampilan yang sesuai.
Sedangkan menurut IAB, native advertising merupakan sebuah konsep yang mencakup aspirasi yang sesuai dengan produk iklan. Kebanyakan pengiklan dan penerbit berharap dapat membuat iklan yang sesuai dengan konten halaman, sesuai dengan desain, dan konsisten dengan aturan platform (IAB, 2019, p. 11).
Dikutip dari buku “Native Advertising Trends in News Media”, disebutkan bahwa native advertising mengalami pertumbuhan yang terus menerus. Pada tahun 2017, native advertising mengalami kenaikan sebesar 18%, angka ini meningkat 11% dari tahun sebelumnya. Pada 2020, penerbit mengharapkan angka tersebut dapat meningkat menjadi 32% (Laursen, 2017, p. 7).
Native advertising memiliki tiga jenis, yaitu In-Feed/In-Content Native Advertising, Content Recommendation Ads and Branded/Native Content.
Jenis native advertising yang pertama dan kedua merupakan iklan berbayar yang digunakan untuk mempromosikan atau mendistribusikan konten, sedangkan jenis yang ketiga adalah konten berbayar itu sendiri. Yang terpenting dari ketiga ini adalah media harus menyertakan tulisan yang menunjukkan bahwa konten ini merupakan iklan berbayar dan bukan bagian dari konten penerbit (IAB, 2019, p. 12).
Menurut IAB (IAB, 2019, p. 13), native advertising biasanya muncul pada tiga tempat, yaitu:
39
• Content feeds, biasanya mencakup artikel, gambar, atau video. Ada pada CNN dan Yahoo.
• Product feeds, biasanya mencakup produk, pelayanan, atau aplikasi. Ada pada situs penjualan dan aplikasi seperti Amazon, Etsy, dan eBay.
• Social feeds, biasanya mencakup konten sosial, artikel, video, gambar, dan musik. Ada pada media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
2.2.3 Khalayak Media: Siswa SMA
Menurut Sarwono (Herlina, 2013), remaja berada pada suatu masa di mana:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali mereka menunjukkan tanda- tanda seksual sekundernya sampai saat mereka mencapai kematangan seksual (kriteria biologis).
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa (kriteria sosial-psikologis).
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (kriteria sosial-ekonomi).
Krori (Herlina, 2013) mengatakan bahwa perubahan sosial yang penting pada masa remaja mencakup meningkatnya pengaruh teman sebaya, pola perilaku sosial yang lebih matang, pembuatan kelompok sosial yang baru, serta munculnya nilai-nilai baru dalam memilih teman dan pemimpin serta nilai dalam penerimaan sosial.
40 Jean Piaget memperkenalkan beberapa ide dan konsep untuk mendeskripsikan perubahan dalam pemikiran logis yang diamatinya pada anak-anak dan orang dewasa. Piaget meyakini bahwa anak-anak secara alami memiliki ketertarikan terhadap dunia dan secara aktif mencari informasi yang dapat membantu mereka memahami dunia tersebut. Piaget mengemukakan teori bahwa kemampuan kognitif manusia terdiri atas empat tahapan dimulai dari lahir hingga dewasa (Ibda, 2015, p. 27).
Menurut Piaget, perkembangan kognitif manusia berlangsung melalui empat tahap, yaitu (Ibda, 2015, pp. 32-34):
a. Tahap sensori-motor: 0 - 1,5 tahun
Pada tahap ini, aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat sensori dan gerak, artinya anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui kedua alat tersebut. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas sensori motor terbentuk melalui progress penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
b. Tahap pra-operasional: 1,5 – 6 tahun
Pada tahap ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal diluar dirinya serta aktivitas berpikirnya belum mempunya sistem yang terorganisasi. Cara berpikir anak pada tahap ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Hal ini ditandai dengan beberapa cara sebagai berikut:
41 1. Transductive reasoning: cara berpikir yang bukan induktif atau
deduktif tetapi tidak logis.
2. Ketidakjelasan hubungan sebab-akibat: anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak logis.
3. Animism: menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya.
4. Artificalism: kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunya jiwa seperti manusia.
5. Perceptually bound: anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau didengar.
6. Mental experiment: anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.
7. Centration: anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya.
8. Egosentrisme: anak melihat dunia lingkungannya menurut kehendak dirinya.
c. Tahap operasional konkrit: 6 – 12 tahun
Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk berpikir logika atau operasi, tapi hanya untuk objek fisik saja. Selain itu, mereka juga mulai kehilangan kecenderungan pada animism dan articialisme. Egosentrisnya juga mulai berkurang dan kemampuan dalam mengerjakan tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun mereka akan mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas logika jika tidak ada objek fisik di hadapan mereka.
42 d. Tahap operasional formal: 12 tahun ke atas
Pada tahap ini, anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Kemajuan anak pada tahap ini membuat mereka tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit. Mereka sudah mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak dan mampu memahami bentuk argumen, serta tidak dibingungkan oleh sisi argument dan karena itu disebut operasional formal.
Perkembangan kognitif anak pada usia 10 tahun keatas merupakan perkembangan kognitif yang dimulai dari masa pra-remaja. Usia 11-12 tahun merupakan masa pra remaja dan pra pubertas, usia 12-15 tahun merupakan masa remaja awal atau pebertas, usia 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, sedangkan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir (Idayanti & Kurniawati, 2019, p. 2).
Tabel 2.2 Perkembangan Kognitif Anak Usia 10 Tahun Hingga Remaja
No Usia Perkembangan Kognitif
1 10 Tahun o Pemikiran konkrit operasional
o Sudah mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan menghubungkan dimensi-dimensi tersebut
o Mampu melakukan suatu proses operasional konkrit dengan bahan yang konkrit juga
o Mampu mengklasifikasikan sesuatu yang konkrit 2 11-15 Tahun o Pemikiran formal operasional
o Mengaitkan kenyataan dengan kemungkinan o Belum kompeten dalam berfikir
43 o Pada proses operasional konkrit, anak mulai
menyelesaikan masalah dengan masuk ke dalam masalah dan melihat akibat langsung dari masalah tersebut
o Ada beberapa anak yang sudah mampu berfikir secara teoritis
o Mampu menganalisis dan membuat hipotesis
o Dapat mengutarakan pendapatnya sendiri terkait suatu masalah yang dihadapinya
o Mampu mengklasifikasikan secara tepat sesuatu yang tidak konkrit
o Pola berfikir kuantitatif dan matematis dalam konservasi berat masih kurang
3 16-19 Tahun o Pemikiran formal operasional
o Mampu mengaplikasikan pemikiran formal operasional o Menggunakan penalaran ilmiah
o Berfikir abstrak dan sistematis
o Mulai kompeten dalam dalam berfikir atau mengambil keputusan
o Mampu memikirkan berbagai kemungkinan- kemungkinan dalam memecahkan masalah o Mampu membuat berbagai perencanaan kegiatan 4 20-21 Tahun o Mampu mengembangkan kesadaran akan identitas
personal dalam memahaminya dirinya dan orang lain o Menjadi sistematis dan mampu berhipotesis lebih
dalam menurunkan suatu pemecahan masalah namun kebanyakan tidak menggunakan pemikiran operasional formal sama sekali
o Perkembangan kognitif akan berkembang sampai pada masa tenang
Sumber: (Idayanti & Kurniawati, 2019, pp. 5-6)
44
2.3 Hipotesis Teoretis
Hipotesis merupakan sebuah kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang belum sempurna. Hipotesis digunakan dalam penelitian karena hipotesis sesungguhnya hanya merupakan jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan (Bungin, 2005, p. 75).
Berdasarkan permasalahan penelitian yang ada, maka dapat ditentukan hipotesisnya sebagai berikut:
• H0: Tidak terdapat pengaruh tingkat Literasi Media dan Informasi terhadap kemampuan mengidentifikasi berita bersponsor pada siswa di 3 SMA Negeri di Tangerang.
• Ha: Terdapat pengaruh tingkat Literasi Media dan Informasi terhadap kemampuan mengidentifikasi berita bersponsor pada siswa di 3 SMA Negeri di Tangerang.
2.4 Alur Penelitian
Sesuai latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini ingin melihat apakah literasi media dan informasi berpengaruh terhadap kemampuan mengidentifikasi berita bersponsor pada siswa di 3 SMA Negeri di Tangerang. Penelitian ini mengambil siswa SMA sebagai respondennya karena siswa SMA dianggap mampu menerima materi yang diberikan dan dapat berpikir sedikit dewasa.
Untuk memulai penelitian ini, pertama-tama peneliti mencari penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu merupakan hal yang sangat penting karena
45 dapat menjadi referensi bagi peneliti. Setelah mendapatkan referensi, peneliti kemudian mencari konsep yang digunakan untuk menjadi landasan dari penelitian. Dari konsep ini, peneliti juga dapat merumuskan hipotesis.
Satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan data adalah dengan menyebarkan kuesioner online. Perlu diketahui bahwa penelitian ini dilaksanakan pada saat Covid-19 mulai meluas dan memaksa masyarakat untuk beraktivitas di dalam rumah. Untuk membuat kuesioner, peneliti terlebih dahulu merancang tabel operasionalisasi yang akan menjadi landasan untuk pembuatan kuesioner. Tabel operasionalisasi sendiri diambil dari referensi jurnal.
Kuesioner juga dibuat dari indikator tabel operasionalisasi. Setelah kuesioner selesai dibuat dan dipindahkan ke Google Form, kuesioner diberikan terlebih dahulu ke 4 siswa SMA yang dipilih sendiri oleh peneliti.
Hal ini dilakukan karena peneliti ingin meminta pendapat kepada siswa SMA terkait kuesioner apakah seluruh item pertanyaan sudah jelas atau ada sesuatu yang kurang. Setelah peneliti memperbaiki kuesioner sesuai saran dari empat siswa SMA, peneliti mulai menghubungi beberapa kepala sekolah SMA Negeri yang ada di Tangerang untuk meminta ijin untuk melakukan penelitian.
Peneliti menghubungi tiga kepala SMA Negeri di Tangerang, yaitu SMAN 7 Tangerang Selatan, SMAN 8 Tangerang Selatan, SMAN 12 Tangerang Selatan. Setelah mendapatkan persetujuan, peneliti menyebarkan link kuesioner pada guru yang mengajar di ketiga SMA Negeri tersebut agar
46 mereka menyebarkan ke siswanya. Setelah itu siswa mengisi kuesioner dan peneliti langsung mendapatkan datanya. Setelah data yang didapat dinilai cukup, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas. Pengujian ini dilakukan dengan mengambil 60 siswa. Dari pre-test tersebut, peneliti mendapati bahwa ada satu item pertanyaan dari 32 pertanyaan yang tidak valid. Item pertanyaan tersebut merupakan bagian dari variabel Literasi Media dan Informasi.
Item pertanyaan yang tidak valid tersebut dikarenakan r hitung tidak mencapai nilai dari r tabel yang telah ditentukan. Pertanyaan yang tidak valid akhirnya dihilangkan dari data responden yang sudah masuk. Jika sudah dihilangkan, maka peneliti dapat melakukan pembahasan dari penelitian yang sedang dilakukan.
47 Gambar 2.3 Alur Penelitian
Sumber: Olahan peneliti, 2020