12 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Kebiasaan Perilaku Beribadah
a. Pengertian Perilaku Beribadah
Perilaku beribadah terdiri dari dua kata yaitu perilaku dan beribadah.
Martin dan Pear (2015) menjelaskan bahwa pada esensinya, perilaku merupakan apapun yang dikatakan atau dilakukan. Istilah perilaku pada umumnya disamakan dengan istilah ‘aktivitas’, ‘tindakan’, ‘performa’,
‘aksi’, ‘perbuatan’, ‘respons’, ‘reaksi’. Secara teknis, perilaku adalah apapun aktivitas otot dan kelenjar atau aktivitas di sebuat organisme.
Pendapat tersebut juga senada dengan pendapat Desmita (2008) yang mengemukakan bahwa perilaku adalah kegiatan organisme yang dapat diamati dan bersifat umum mengenai otot-otot dan kelenjar-kelenjar sekresi eksternal sebagaimana terwujud pada gerakan bagian-bagian tubuh atau pada pengeluaran air mata, keringat. Berdasarkan pada kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh individu dan dapat diamati.
Beribadah berasal dari kata ibadah yang berarti wujud pernyataan bakti umat manusia kepada Tuhan Sang Pencipta dengan menaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Berkaitan dengan ibadah Subandrijo (2003) menyampaikan pendapatnya tentang ibadah sebagai rasa bakti dan penyembahan kepada satu Kuasa yang diyakini bersifat Supranatural, dengan melibatkan seluruh segi kehidupan manusia. Ia juga menjelaskan bahwa penyembahan disimbolkan dalam bentuk ritus dan tatacara peribadahan dan harus diwujudkan dalam sikap terhadap sesama dan lingkungannya. Peribadahan tidak hanya menyangkut ritual dan berorientasi pada diri sendiri, tetapi harus dapat dirasakan pengaruhnya dalam konteks berbangsa, bermasyarakat, serta memberi
sumbangan positif bagi kehidupan bersama sehingga agama menjadi berkat bagi manusia.
Pendapat lain juga disampaikan oleh Ahmad & Khan (2015) yang mengatakan bahwa ”ibadah merupakan tanggung jawab individu khususnya sebagai umat Muslim berdasarkan hubungan langsung antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Muslim percaya bahwa seluruh tujuan hidupnya adalah untuk menyembah Allah dan untuk mencari Ridho- Nya.”
Uraian tersebut menjelaskan bahwa perilaku beribadah merupakan segala sesuatu yang dilakukan manusia dengan niat yang baik dan penuh tanggung jawab sebagai bentuk ketaatannya kepada Tuhan. Ibadah juga menjadi sarana dalam berhubungan dengan Sang Pencipta.
b. Faktor Kebiasaan Perilaku Beribadah
Terdapat beberapa faktor yang mendukung seseorang untuk membiasakan perilaku beribadah. Faktor tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1) Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri sendiri dalam melaksanakan ibadah. Adapun yang termasuk ke dalam faktor internal kebiasaan perilaku beribadah yaitu:
a) Pemahaman akan Pentingnya Beribadah.
Herlina (2016) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan remaja tidak melakukan salat berjamaah yaitu mereka merasa dirinya kurang memahami dalam melaksanakan shalat berjamaah di mesjid. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Naqiy (2017: 4) bahwa banyak remaja yang mengabaikan salat karena mereka tidak mengetahui akan kewajibannya melaksanakan salat serta hikmah yang terkandung dalam salat itu sendiri. Berdasarkan pada dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman akan pentingnya beribadah dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan ibadah.
Pemahaman tersebut dapat menjadi dasar untuk menumbuhkan kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus taat dan tunduk kepada Tuhan dengan melaksanakan ibadah.
b) Perasaan Cinta Terhadap Tuhan.
Taimiyah (Sidiq, dkk., 1998: 51) mengemukakan bahwa ibadah artinya tunduk kepada Allah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Orang yang taat kepada Tuhan berarti ia merasa wajib melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya. Adapun perasaan mencintai Tuhan maksudnya adalah rasa wajib, taat dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta kepada Tuhan yakni ketundukan jiwa dari hati yang penuh kecintaan pada Tuhan, dan merasa kebesaran-Nya, karena memiliki keyakinan bahwa Tuhan yang menciptakan Alam semesta dan isinya. Ibadah merupakan himpunan kesempurnaan cinta, tunduk dan takut kepada Tuhan. Thoha (2004) mengemukakan perasaan cinta kepada Tuhan menuntun seseorang melakukan ibadah dengan taat sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Tuhan, itulah yang menjadi tuntutan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupannya.
Berdasarkan pada kedua pendapat tersebut menunjukkan bahwa perasaan mencintai Tuhan yang terdapat dalam diri seseorang akan mendorong seseorang tersebut untuk beribadah kepada Tuhan. Perilaku beribadah menjadi wujud cinta kasih manusia terhadap Tuhan yang menciptakannya.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah faktor yang berasal dari luar diri sendiri dalam melaksanakan ibadah. Al-Farih (2017) menyebutkan faktor- faktor yang mendukung dalam mendisiplinkan beribadah (dalam hal ini salat) kepada anak yaitu:
a) Keluarga
Dukungan keluarga menjadi penting bagi anak dalam menjalankan ibadah. Al-Farih (2017) menyebutkan upaya yang dapat dilakukan orang tua dalam mendisiplinkan perilaku beribadah bagi anak yaitu membiasakan ibadah salat, memberikan teladan dalam melaksanakan salat, mengajarkan, serta menyadarkan mereka tentang pentingnya ibadah salat.
Herlina (2016) juga menyebutkan salah satu penyebab remaja tidak mau melaksanakan salat berjamaah di masjid adalah karena kurangnya dorongan dari orang tua. Berdasarkan pada pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan orang tua berpengaruh dalam pelaksanaan ibadah bagi individu.
b) Pendidikan
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal juga ikut memberikan dampak terhadap kebiasaan perilaku beribadah peserta didik. Gunarsa (Khoiri, 2014: 42) menyebutkan tiga kelompok dalam institusi sekolah yang memberikan dampak terhadap perkembangan kepribadian yaitu: kurikulum dan peserta didik, hubungan antara guru dan peserta didik, serta hubungan antara sesama peserta didik.
Berdasarkan pendapat tersebut Khoiri (2014) mengemukakan bahwa dalam tiga kelompok tersebut secara umum tersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan kepribadian seperti, disiplin, kejujuran, ketekunan, simpati, toleransi, sosibilitas, sabar, keadilan, dan keteladanan. Sifat-sifat tersebut pada umumnya menjadi bagian di dalam program sekolah.
c) Pergaulan
Al-Farih (2017) menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam melaksanakan ibadah yaitu pergaulan dengan teman-teman. Pernyataan tersebut diperkuat
dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Muathi (2008) bahwa ”teman adalah kawan duduk yang dekat bagi anak-anak dan dengannya mereka akan berpengaruh, bahkan akhlak mereka akan berubah sesuai dengan akhlak teman tersebut.”
Berdasarkan pada pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pergaulan yang baik bagi individu dapat memberikan pengaruh yang baik pula bagi kehidupannya. Kebiasaan beribadah dapat muncul apabila individu berada di lingkungan pergaulan yang juga melaksanakan ibadah secara disiplin.
c. Cara Membentuk Kebiasaan Perilaku Beribadah
Covey (1997) berpendapat bahwa kebiasaan adalah faktor yang kuat dalam hidup kita. Karena konsisten dan sering merupakan pola yang tak disadari, maka kebiasaan secara terus menerus, setiap hari, mengekspresikan karakter kita dan menghasilkan efektivitas dan ketidakefektifan kita. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kebiasaan dapat diputuskan, dapat dipelajari, dan dilepaskan. Akan tetapi, bukanlah suatu perbaikan segera, diperlukan suatu proses dan komitmen yang luar biasa untuk itu. Pendapat tersebut juga serupa dengan pendapat Alwisol (2011: 7) yang mengakatan bahwa kebiasaan merupakan respon yang sama dan cenderung berulang untuk stimulus yang sama juga.
Kebiasaan terbentuk ketika orang mengejar tujuan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berulang kali melakukan perilaku dalam konteks tertentu, orang tersebut mengembangkan asosiasi implisit dalam ingatan antara konteks dan respon (Wood & Runger, 2016: 289). Sebagaimana diuraikan dalam model komputasi, kebiasaan dan tujuan yang ditentukan secara sinergis untuk tindakan yang terarah, meskipun kebiasaan merupakan hal yang efisien, mode respon standar. Wood juga menyampaikan bahwa seseorang seseorang cenderung mengambil kesimpulan bahwa frekuensi dari kinerja suatu kebiasaan merupakan perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merupakan aktivitas yang dilakukan secara berulang dan terus menerus secara konsisten sehingga membentuk suatu kepribadian dalam diri seseorang. Dengan demikian, kebiasaan perilaku beribadah merupakan suatu aktivitas beribadah yang dilakukan secara terus-menerus dan konsisten. Kebiasaan perilaku beribadah dapat membentuk kepribadian yang taat dalam menjalankan ibadah karena dilakukan terus menerus.
Dalam hal ini kepribadian yang taat beribadah merupakan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut tentulah kebiasaan tersebut harus terbentuk terlebih dahulu. Membentuk kebiasaan perilaku beribadah dapat dilakukan melalui pembelajaran dari lingkungan yaitu:
1) Conditioning
Conditioning merupakan suatu pembiasaan atas apa yang dipelajarinya dan akan dilaksanakan secara terus menerus.
Lingkungan berpengaruh dalam membentuk perilaku. Jika lingkungan mengajarkan dan membiasakan perilaku dengan baik, maka perilaku seseorang akan baik pula.
2) Habits
Seperti yang telah diuraikan di atas, habits merupakan perilaku yang telah terbentuk dan dilakukan secara otomatis dan terus- menerus dengan dasar bahwa perilaku tersebut mudah, dan menguntungkan apabila dilakukan.
3) Trait
Friedman & Schustack (2008: 330) menjelaskan bahwa trait merupakan aspek konstan yang menemani bagian dari individu yang berubah. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan dasar yang membuat tiap orang unik dan konsisten, walaupun kepribadiannya mengalami variasi. Alwisol (2011: 220) mengemukakan tentang trait yaitu suatu struktur neuropsikis yang membimbing seseorang agar bertingkahlaku secara konsisten lintas waktu dan tempat, merespon secara sama kelompok stimuli yang mirip. Dengan
demikian, trait dapat dikatakan sebagai sifat-sifat yang menjadi dasar keunikan seseorang sehingga mereka dapat bertingkahlaku konsisten ketika dilakukan dalam waktu dan tempat dengan stimulus yang ada.
4) Internalitation
Grolnick (Barry, Walker, & Nelson, 2012: 67) mengemukakan bahwa internalisasi merupakan proses untuk mengubah regulasi nilai-nilai dari sumber kontrol eksternal ke nilai-nilai internal.
Proses ini berasal dari faktor eksternal yaitu kekuatan eksternal yang menentukan dorongan pada diri sendiri hingga regulasi internal atau terpadu. Soedijarto (Suhartini, 2016: 431) juga menyampaikan bahwa internalisasi nilai merupakan proses untuk menjadikan nilai tersebut menjadi bagian dari individu.
Berdasarkan pada dua uraian pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa internalisasi merupakan suatu proses dalam menciptakan pengalaman tertentu yang dialami individu untuk memasukannya ke dalam diri individu tersebut dengan menunjukkan suatu identitas yang khas dari pengalaman tersebut. Dalam hal ini berarti dalam agama Islam sudah mampu menjalankan nilai-nilai salat dalam dirinya, agama Kristen dan Katholik sudah mampu menjalankan nilai-nilai agamanya.
5) Personality
Allport (Friedman & Schustack, 2008: 301) mengemukakan bahwa personality atau kepribadian merupakan “organisasi dinamis dari sistem psikofisik yang menentukan karakteristik perilaku dan pemikirannya”. Cervone & Pervin (2011: 10) mengemukakan bahwa istilah kepribadian menggambarkan “kualitas psikologis yang memberikan kontribusi terhadap ketahanan individu dan pola khusus dari perasaan, pola pikir, dan perilaku.”
d. Ibadah Salat dalam Agama Islam, Membaca Alkitab dalam Agama Kristen dan Katholik
1) Ibadah Salat dalam Agama Islam a) Pengertian Ibadah Salat
El-Fati (2016: 35) mengemukakan bahwa salat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam syariat agama Islam.
Kesempurnaan amal seseorang, baik buruk perbuatan manusia, dilihat dari sempurna atau tidak pelaksanaan salatnya. Menurut bahasa, salat merupakan doa. Menurut istilah syara’, salat adalah ibadah kepada Allah dalam bentuk perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dilakukan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’.
b) Dalil Kewajiban Salat
El-Fati (2016: 36) menjelaskan bahwa salat merupakan kewajiban utama bagi setiap umat muslim yang telah baligh, hukumnya adalah fardhu ‘ain, selama ia masih dapat menghembuskan nafas, selama itu pula kewajiban salat melekat di pundaknya, tidak dapat diwakilkan. El-fati juga menyampaikan bahwa dalam pelaksanaannya salat harus dikerjakan bagaimanapun keadaannya, kapan pun, dan dimana pun.
c) Pembagian Salat Fardhu dan Waktu Mengerjakannya El-Fati (2016: 40) menyebutkan terdapat lima salat yang Wajib dilakukan oleh tiap-tiap mukallaf dalam sehari semalam, yaitu:
(1) Salat Zuhur 4 rakaat, waktu pelaksanaanya setelah tergelincir matahari sampai bayang-bayang suatu benda telah sama dengan panjang benda tersebut.
(2) Salat Asar 4 rakaat, waktu pelaksanaanya dimulai setelah waktu salat Zuhur habis, sampai matahari terbenam di ufuk barat.
(3) Salat Maghrib 3 rakaat, waktunya mulai terbenamnya matahari hingga hilangnya mega merah.
(4) Salat Isya 4 rakaat, pelaksanaanya dimulai hilangnya mega merah di ufuk barat hingga terbitnya fajar sadiq (fajar putih yang terbenam di ufuk timur)
(5) Salat Subuh 2 rakaat, dimulai terbit fajar sadiq hingga terbitnya matahari.
d) Hukum Meninggalkan Salat
Al Sawwaf (1999:28) Setiap umat yang tidak melaksanakan perintah agamanya akan diberikan hukuman oleh Tuhannya.
Dalam agama Islam terdapat kepercayaan bahwa kelak akan ada Yaumul Hisab yaitu amalan manusia selama di dunia akan ditimbang baik dan buruknya. Terlebih lagi yang akan ditanyai oleh Allah SWT dan para malaikatnya kepada umatnya yaitu mengenai pelaksanaan salat mereka. Al Sawwaf (1999: 28) mengemukakan hukum meninggalkan salat di dalam Islam sebagai berikut:
(1) Orang yang menjauhkan dirinya dari salat, sesungguhnya ia telah menjauhkan dirinya dari Islam. Ia akan mendapat kemurkaan dari Allah, menyalahi perintah agamanya, dan melemparkan dirinya ke tempat yang membinasakan.
(2) Orang yang terus menerus meninggalkan salat dengan tanpa merasa keberatan apa-apa, tidak merasa menyesal, tidak merasa kecewa, dan tidak merasa perlu bertaubat, maka orang tersebut dipandang dan dihukum sebagai kafir.
2) Ibadah Membaca Alkitab dalam Agama Kristen dan Katholik a) Pengertian Membaca Alkitab
Richards dan Schroeder (2015) mengemukakan bahwa membaca merupakan kegiatan memahami teks tertulis.
Menurutnya memahami teks tertulis merupakan tugas kognitif yang kompleks. Seorang pembaca harus memecahkan kode kata-kata individual, mengidentifikasi koneksi di antara mereka dan mengintegrasikan artinya dalam struktur keseluruhan klausa, kalimat, dan paragraf. Senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Newman (2013) membaca adalah keterampilan kompleks dimana seseorang harus mengekstrak makna dari apa yang tertulis. Dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan kegiatan kognitif dalam memahami informasi yang diamati. Informasi tersebut biasanya berupa teks tertulis.
Alkitab adalah kitab yang dipercaya oleh penganut agama Kristen dan Katholik. Alkitab merupakan firman Tuhan yang berisi perintah maupun larangan yang harus dilakukan oleh umat Kristen maupun Katholik. Mereka percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan yang diilhami dan tidak mungkin salah, penuntun yang sempurna dan resmi untuk iman dan kehidupan (Smith, 2013: 8). Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Piper (2017: 32) Alkitab merupakan Firman Tuhan yang sempurna secara lisan, terinspirasi oleh Tuhan dan tanpa kesalahan dalam naskah aslinya. Ia juga menambahkan bahwa kitab suci merupakan otoritas tertinggi dan terakhir dalam menguji semua pandangan tentang sesuatu yang benar dan indah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Alkitab memiliki otoritas terakhir dalam setiap bidang kehidupan, dan oleh karena itu, umat Tuhan harus berusaha membawa semua pemikiran dan
perasaan serta perilaku sesuai dengan apa yang diajarkan Alkitab. Dapat disimpulkan menurut umat Kristen dan Katholik Alkitab merupakan pedoman hidup agar dapat hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas dapat diketahui bahwa membaca Alkitab menurut agama Kristen dan Katholik merupakan kegiatan memahami perkataan Tuhan yang tertulis di dalam buku-buku Perjanjian lama dan Perjanjian baru bagi agama Kristen serta tambahan kitab Deuterokanonika bagi agama Katholik. Membaca Alkitab dapat menjadi langkah awal untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
b) Pentingnya Membaca Alkitab
Pada uraian di atas telah dijelaskan bahwa Alkitab merupakan pedoman hidup bagi umat Kristen dan Katholik. Hal tersebut menunjukkan bahwa memahami Alkitab merupakan hal yang penting. Haryono dan Panuntun (2019: 18) menjelaskan bahwa mempelajari Alkitab bermanfaat untuk menumbuhkan kehidupan rohani menuju kedewasaan penuh. Haryono dan Yuliati (2018: 54) juga menyebutkan manfaat lainnya dalam mempelajari Alkitab bagi umat Kristen yaitu menolong individu dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Pemenuhian kebutuhan psikologis merupakan proses kedewasaan psikologis yang dipahami sebagai meningkatnya kapasitas seseorang untuk mencintai secara mendalam dan bekerja secara produktif, meningkatnya kapasitas untuk mengasihi Tuhan, sesama dan bekerja untuk melakukan kehendak Tuhan.
Membaca Alkitab juga dapat membantu individu dalam mengenal dirinya sendiri. Anderson (1997) mengemukakan bahwa sebagai umat Tuhan pengenalan diri yang baik adalah pengenalan diri yang ditambahkan pengenalan akan Tuhan yang menguasai hidup umat manusia.
Chery (2018: 1) juga menyebutkan 20 alasan pentingnya membaca Alkitab. Berikut 9 alasan alasan diantaranya, yaitu:
(1) Membaca Alkitab setiap hari dapat membantu umat Tuhan menjalani hidup yang benar.
(2) Membaca Alkitab dapat membantu dalam melakukan kehendak Tuhan dan menjauhkan perbuatan dosa.
(3) Untuk melatih disiplin diri secara rohani.
(4) Menghabiskan waktu bersama Tuhan.
(5) Menginsafkan diri dari dosa.
(6) Untuk lebih mengenal Tuhan lebih baik.
(7) Untuk menguatkan diri ketika merasa lemah.
(8) Menjadikan Tuhan sebagai prioritas utama dalam hidup individu.
(9) Agar memiliki relasi yang lebih baik dengan sesama.
c) Membaca Alkitab dengan Metode Induktif
Dalam membaca Alkitab masing-masing individu memiliki cara yang berbeda-beda (Smith, 2013: 28). Ada yang membaca Alkitab serta buku renungan harian sebagai penuntunnya, ada juga yang hanya membaca Alkitab saja dan menafsirkan sendiri Firman Tuhan yang dibacanya. Selain itu ada juga individu yang membaca alkitab satu pasal penuh, namun juga masih ada yang membaca beberapa ayat. Walau demikian tidak ada cara yang salah dalam membaca Alkitab. Hal yang salah ketika membaca Alkitab adalah ketika salah menafsirkan Firman Tuhan.
Agar tidak salah dalam menafsirkannya, ketika membaca Alkitab dapat menggunakan metode Induktif. Membaca Alkitab dengan metode ini dapat membantu pembaca untuk menarik kesimpulan dari apa yang telah dia baca, amati, dan mengesampingkan pikiran atau gagasan yang sudah terbentuk sebelumnya (Michael & Jeremiah, 2016: 278). Selain itu dengan membaca Alkitab secara induktif berarti memahami Alkitab
tetap di dalam konteks, sehingga memberikan definisi yang jelas, analisis, penalaran dan ketergantungan sepenuhnya pada konteks informasi tulisan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu (Michael, & Jeremiah, 2016: 279):
(1) Berdoa
Sebelum memahami Firman-Nya tentulah perlu meminta pimpinan Tuhan agar dimampukan dalam upaya memahami Firman Tuhan.
(2) Membaca Teks Alkitab
Teks Alkitab yang akan dibaca baiknya ditentukan minimal satu bagian dari surat yang dibaca agar tidak terlepas dari konteks surat itu sendiri.
(3) Observasi
Usaha mencari fakta dan data Alkitab sebanyak- banyaknya sebagai dasar untuk mengerti maksud penulis.
Fakta-fakta tersebut dapat berupa penulis surat, latar belakang, kisah yang terjadi pada teks.
(4) Interpretasi
Menafsirkan bagian Alkitab yang telah dibaca dan di observasi. Dalam menafsirkan tidak disarankan untuk mengambil kesimpulan seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya, perlu studi yang teliti, membaca dengan teliti setiap kata, kalimat demi kalimat, kejujuran, obyektivitas untuk mencoba menafsirkan situasi aktual.
(5) Aplikasi
Penerapan kebenaran Firman Tuhan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
2. Teknik Reflective Journaling
a. Pengertian Teknik Reflective Journaling
Erford (2016) mengatakan bahwa journaling merupakan teknik terapeutik yang efektif dan tidak mahal, yang dapat digunakan secara
luas untuk menjaga klien agar tetap termotivasi dan terfokus di antara sesi-sesi konseling. Dyment & O'Connell juga menyebutkan bahwa penelitian mengenai jurnal pedagogi sangat luas dan menunjukkan keberhasilan yang bervariasi dalam pendidikan di luar ruangan. Hasil positif yang paling umum dari journaling adalah memungkinkan peserta didik untuk terlibat dengan lingkungan mereka (Bennion, et al., 2016).
Reflective journaling merupakan salah satu teknik pendekatan experiential learning. Kolb mengemukakan bahwa experiential learning menyoroti proses reflective sebagai bagian penting dalam melibatkan peserta didik (Hubbs & Brand, 2005: 60). Schön (Chuan- Yuan, et.al., 2012) berpendapat bahwa refleksi adalah mengintegrasikan atau menyelidiki pengalaman untuk mengembangkan aplikasi, solusi, atau pemahaman baru. Melalui refleksi, celah-celah antara akademik dan praktik dapat diminimalisir selagi menyiapkan ahli-ahli untuk menuntut bekerja klinis.
Thorpe (2004: 328), menjelaskan bahwa reflective learning journal sama dengan "penulisan dokumen yang dibuat peserta didik ketika mereka memikirkan tentang berbagai konsep, kejadian, atau interaksi pada suatu periode waktu untuk tujuan mendapatkan wawasan tentang kesadaran diri dan pembelajaran". Pendapat senada juga disebutkan oleh Pleschová (2018) yang menjelaskan bahwa reflective journal (buku harian reflektif, jurnal pembelajaran, atau catatan belajar) merupakan bentuk buku harian dimana peserta didik secara teratur mencatat refleksi mereka pada topik yang ditugaskan. Bailes, et al. (2010) menyatakan bahwa reflective journal dapat digunakan sebagai alat penting dalam self-monitoring yang akan menjadi kunci dalam meningkatkan kualitas dirinya.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa reflective journaling merupakan teknik penulisan refleksi atas kejadian-kejadian, pikiran- pikiran, konsep-konsep yang dialami atau terjadi pada individu tersebut.
Selanjutnya, hasil penulisan refleksi tersebut dapat dijadikan acuan
untuk mengubah pikiran maupun perilaku individu sehingga mereka memiliki kualitas diri yang baik.
b. Kegunaan Teknik Reflective Journaling
Dyment & O'Connell (2007) menggambarkan salah satu potensi dalam penggunaan jurnal yaitu untuk membantu peserta didik mengembangkan keterampilan, nilai-nilai, dan sikap yang memungkinkan refleksi diri, pemikiran kritis, kolaborasi, dan tindakan untuk perubahan sosial. Membuat peserta didik menulis reflective journal merupakan cara yang baik bagi mereka untuk mempelajari konsep baru. Pendekatan ini juga berguna agar guru dapat mendapat umpan balik tentang konsep yang dipelajari oleh peserta didik (Mansor, 2011: 507). Salehudin, et al. (2012) juga menyampaikan kegunaan reflective journaling lainnya yaitu peserta didik yang merefleksikan secara bermakna dalam reflective diary mereka dapat menghubungkan pengetahuan yang mereka peroleh dengan pengetahuan mereka sebelumnya dengan lebih baik daripada mereka yang tidak. Hal ini menunjukkan bahwa menulis diary reflektif dapat membantu peserta didik mengelompokkan hasil pembelajaran mereka.
Hal senada juga disampaikan oleh Pleschová (2018) yang mengemukakan bahwa reflective journaling dapat menjadi alat yang bermakna untuk meningkatkan pembelajaran peserta didik dengan memfasilitasi refleksi peserta didik pada pemahaman mereka tentang masalah dan konsep dengan membantu mereka untuk membuat perubahan konseptual. Yang paling penting bagi keberhasilan jurnal yaitu bahwa tugas tersebut harus dirancang dengan cermat.
Dalam penelitian ini reflective journaling dapat membentuk konsep dan makna tentang beribadah bagi peserta didik sehingga mereka memiliki struktur pikiran yang menunjukkan bahwa beribadah merupakan kewajiban bagi umat beragama. Terbentuknya struktur pikiran tersebut dapat mendorong perubahan perilaku dalam diri mereka. Aspek kognitif yang aktif dari individu sangat penting selama
pembelajaran: selain berespons pada penguatan langsung dengan mengubah perilaku dimasa depan, orang dapat berpikir dan mengantisipasi pengaruh dari lingkungan (Friedman & Schustack, 2008: 276). Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan juga berpengaruh atas perilaku beribadah yang baik. Oleh sebab peserta didik perlu mengamati sendiri bahwa beribadah merupakan hal baik yang harus dilakukan.
c. Tahapan Teknik Reflective Journaling
Gibbs (Chen, et al., 2018) menyebutkan 6 tahapan dalam reflective learning. Keenam tahapan tersebut berguna untuk membantu individu belajar dari situasi yang mereka alami sendiri secara teratur, terutama ketika situasi tersebut tidak berjalan dengan baik. Keenam tahapan itu, yaitu:
1) Description
Pada tahap ini, perlu dijelaskan hal-hal yang direfleksikan dalam tulisan kepada para pembaca. Mungkin termasuk informasi latar belakang, seperti apa yang direfleksikan dan menyampaikan kepada pembaca yang terlibat. Penting untuk diingat agar menjaga informasi yang diberikan tetap relevan dan tepat sasaran. Tidak perlu membahas tentang detail yang tidak diperlukan.
2) Feelings
Pada tahap ini penulis dapat menceritakan perasaan dan pikirannya tentang pengalaman yang telah dijelaskan pada tahap sebelumnya.
3) Evaluation
Tahap selanjutnya yaitu tahap evaluasi. Pada tahap ini penulis diminta menilai seberapa baik pengalaman tersebut berjalan. Pada tahap ini penulis juga dapat menceritakan hal-hal baik atau buruk dalam pengalaman yang dialaminya tersebut.
4) Analysis
Pada tahap analisis, penulis dapat mempertimbangkan hal-hal yang mungkin telah membantu atau menghambat pengalaman tersebut. Pada tahap ini juga penulis dapat membandingkan pengalaman yang dialaminya dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku.
5) Conclusion
Dalam tahap kesimpulan, penting bagi penulis untuk mengakui hal-hal yang dipelajari dari pengalamannya tersebut, mempertimbangkan cara lain dalam merespon pengalamannya tersebut. Jika pengalaman positif yang dialami coba dipikirkan apakah penulis akan melakukan hal yang sama lagi untuk memastikan hal yang positif, juga pertimbangkan jika ada sesuatu yang dapat diubah untuk memperbaiki keadaan. Jika pengalaman negatif yang terjadi ceritakan juga bagaimana penulis dapat memastikan hal tersebut tidak akan terjadi lagi.
6) Action Plan
Tahap terakhir yaitu perencanaan aksi. Tahapan ini merangkum seluruh pengalaman yang perlu diketahui dan dilakukan untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan pada waktu berikutnya.
B. Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling: Kurikulum Bimbingan Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan salah satu komponen penting yang terdapat dalam pendidikan formal di Indonesia. BK diperlukan di setiap tingkat pendidikan khususnya di tingkat menengah, SMP, SMA, dan SMK. Shertzer dan Stone (Yusuf dan Nurihsan : 2005) merumuskan bahwa bimbingan dan konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada individu agar mereka mampu memahami diri dan lingkungannya. Proses ini bertujuan untuk mengadakan perubahan perilaku sehingga memungkinkan kehidupan individu menjadi lebih produktif dan memuaskan.
Pada perkembangan zaman BK mengalami perkembangan paradigma didalamnya, salah satu perkembangan paradigmanya yaitu BK Komprehensif.
Gysbers dan Henderson (2012 : 62) mendefinisikan BK Komprehensif sebagai suatu program yang memiliki kerangka organisasi menggunakan keselarasan bahasa yang sama dengan konfigurasi spesifik yang direncanakan, diurutkan, dan dikoordinasi dengan aktivitas dan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik, sekolah, dan komunitas/ sumber daya lainnya serta mendesain untuk melayani semua peserta didik dan orang tua/ wali di distrik lokal sekolah.
BK Komprehensif memiliki empat elemen yaitu: elemen konten; elemen kerangka organisasional: struktur, kegiatan-kegiatan, elemen waktu; elemen sumber daya dan pengembangan, pengelolaan dan akuntanbilitas. Adapun penjabaran dari elemen-elemen tersebut yaitu: (1) Content element (elemen konten) berisi tentang pengetahuan yang harus diperoleh peserta didik, keterampilan yang harus dikembangkan peserta didik, dan sikap yang harus dibentuk sebagai hasil dari partisipasinya dalam kegiatan dan layanan bimbingan dan konseling komprehensif.
Fokus dari (2) organizational framework: (kerangka kerja operasional) dibagi menjadi tiga diantaranya komponen strukural yang berisi definisi, asumsi-asumsi, dan rasionalisasi. Komponen program yang berisi kurikulum bimbingan, perencanaan individual peserta didik, layanan responsif, dukungan sistem yang disertai dengan contoh-contoh kegiatan program dan waktu konselor sekolah dapat menyalurkan empat komponen program tersebut. (3) Resources element (sumberdaya elemen) berisi tentang sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan program BK Komprehensif, adapun yang termasuk didalamnya yaitu sumber daya personil, sumber daya finansial, dan sumber daya politik. Elemen yang terakhir yaitu (4) development, management, and accountability element (elemen pengembangan, pengelolaan dan akuntabilitas) yang berisikan fase-fase yang harus dilakukan dalam melaksanakan program BK Komprehensif. Fase-fase tersebut yaitu perencanaan, perancangan, implementasi, evaluasi, dan peningkatan. Unsur ini juga mencakup berbagai tugas pengelolaan yang harus diselesaikan di setiap transisi untuk mengaktifkan fase proses perubahan terungkap lancar dan efisien.
Penelitian ini difokuskan pada elemen kerangka organisasi: komponen program. Di dalam komponen program terdapat salah satu sub di dalamnya yang berkenaan dengan penelitian ini yaitu kurikulum bimbingan. Gysbers dan Henderson (2012: 72) mengemukakan kurikulum bimbingan merupakan konten bimbingan dan konseling yang dibutuhkan seluruh peserta didik untuk dipelajari secara sistematis dan berkelanjutan. Kurikulum tersebut didasari pada standar bimbingan dan konseling yaitu bidang karir, akademik, dan pribadi-sosial dan identifikasi sikap, pengetahuan serta keterampilan yang penting untuk dikembangkan pada peserta didik mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga kelas 12. Kurikulum bimbingan secara khusus terdiri dari kompetensi-kompetensi yang terpilih untuk memenuhi kebutuhan peserta didik (yang disusun berdasarkan bidang dan dispesifikasikan berdasarkan tingkat kelas) dan kegiatan yang terstruktur, disajikan secara sistematis, dipilih untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, sekolah dan komunitas melalui strategi kegiatan di dalam kelas dan juga kegiatan di lingkungan sekolah.
C. Teori Pengembangan Produk dan Kriteria Kualitas Produk 1. Teori Pengembangan Produk
Penelitian dan pengembangan produk memiliki beberapa desain yang dikemukakan oleh beberapa ahli R&D. Pada penelitian ini model yang akan digunakan adalah desain penelitian dan pengembangan dari Borg dan Gall yang dimodifikasi berdasarkan pendapat Akker dan Nieveen yaitu dengan menambahkan uji validitas, uji kepraktisan, dan uji kefektifan. Borg dan Gall (1983: 775) merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan produk dalam penelitian dan pengembangan yaitu melakukan kegiatan pra-penelitian dan pengumpulan informasi yang berkaitan dengan penelitian menggunakan instrumen yang sesuai, kemudian dilanjutkan dengan membuat susunan rencana penelitian yang akan dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari pra-penelitian dilakukan pengembangan format produk awal, kemudian melakukan revisi terhadap produk awal berdasarkan hasil dari uji coba tahap awal, setelah direvisi dilakukan kembali uji coba
lapangan, berdasarkan uji coba lapangan dilakukan revisi, selanjutnya dilakukan uji lapangan operasional atau dalam lingkup yang lebih besar, selanjutnya dilakukan revisi produk akhir sebelum dilakukan tahap diseminasi dan implementasi oleh guru BK di sekolah.
2. Kriteria Kualitas Produk
Secara umum, aturan produk yang berhubungan dengan pendidikan memainkan banyak peran dalam pendidikan. Akker (1998) dan Ball & Cohen (1996) mengemukakan sebagai contoh materi-materi pembelajaran yang patut dicontoh (sebagai suatu sub yang telah ditetapkan sebagai produk pendidikan) dapat menjadi sangat penting khususnya selama tahap awal implementasi suatu kurikulum baru, sebagai materi-materi:
a. Dapat menyatakan latar belakang teoritis dalam memaknai perubahan;
b. mendemonstrasikan makna praktis mengenai perubahan;
c. memberikan pengguna-pengguna yang potensial suatu kesempatan untuk melakukan percobaan dengan materi-materi untuk mendapat wawasan berdasarkan pada konsekuensi-konsekuensi perubahan untuk praktik sehari- hari mereka;
d. merangsang diskusi tentang perubahan hal-hal yang menyangkut pendidikan di antara guru-guru yang menggunakan materi-materi tersebut.
Untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut tentu saja materi pembelajaran harus memiliki kualitas yang baik. Beberapa orang menyatakan persyaratan produk itu bekerja dengan baik apabila; ketika di lain waktu mereka mamaknai produk berguna untuk memimpin pada hasil yang lebih baik (Nieveen, 1999).
Nieveen (1999: 126) mengemukakan tentang tipologi representasi kurikulum. Tipologi representasi kurikulum ini dimulai dari gagasan bahwa setiap produk dapat dimanifestasikan dalam bentuk yang kurang lebih konkret.
Dalam bidang pengembangan kurikulum biasanya terdapat 6 representasi kurikulum yang dibedakan. Tabel 2.1. memberikan gambaran umum dari representasi ini.
Tabel 2.1. Representasi Kurikulum Representasi Kurikulum
Intended Ideal (cita-cita) Menggambarkan asal mula asumsi, visi, dan maksud yang tercantum dalam dokumen kurikulum.
Formal (tertulis) Menggambarkan dokumen kurikulum yang konkret seperti materi peserta didik dan panduan guru. Dalam beberapa penelitian istilah ‘intended curriculum’ digunakan untuk mengacu pada kombinasi kurikulum ideal dan formal.
Implemented Perceived (dirasakan)
Menggambarkan kurikulum yang dipahami oleh penggunanya (khususnya guru).
Operational (operasional)
Menggambarkan proses pembelajaran yang sebenarnya seperti yang disadari (sering disebut sebagai kurikulum yang ditetapkan).
Attained Experiential (pengalaman)
Merupakan pengalaman belajar yang dirasakan dengan jelas oleh peserta didik.
Learned (ketercapaian)
Menunjukkan hasil belajar peserta didik.
(Sumber: Akker dalam Plomp dan Nieveen, 2010:38)
Adapun penjelasan mengenai representasi kurikulum tersebut yaitu:
pertama, sejauh mana materi yang berkualitas baik, yaitu yang harus dipertimbangkan dengan baik. Komponen materi harus berdasarkan pada pengetahuan masa kini (validitas konten) dan seluruh komponen harus secara konsisten berhubungan satu sama lain (validitas konstruk). Jika produk menunjukkan persyaratan tersebut maka produk dipertimbangkan valid.
Karakteristik kedua dari materi berkualitas tinggi yaitu guru (dan ahli lainnya) menilai materi-materi tersebut dapat digunakan dan materi tersebut mudah bagi guru dan peserta didik untuk menggunakan materi-materi yang sebagian besar cocok dengan maksud pengembang. Ini berarti konsistensi harus ada diantara kurikulum formal (intended) dengan kurikulum presepsi dan kurikulum formal (intended) dengan kurikulum operasional. Jika kedua konsistensi tersebut ada pada tempatnya, maka materi-meteri tersebut disebut praktis.
Karkteristik ketiga dari materi yang berkualitas tinggi yaitu bahwa peserta didik menilai program pemberalajaran dan bahwa pembelajaran yang diinginkan
sesuai. Dengan materi efektif semacam itu, konsistensi ada diantara kurikulum formal (intended) dengan kurikulum eksperiensial dan kurikulum formal (intended) dengan attained kurikulum.
Berdasarkan pada klasifikasi yang digambarkan pada tabel 2.1. dapat dilihat bahwa kurikulum ideal dan kurikulum formal merupakan penggambaran kurikulum yang dicita-citakan (intended). Kurikulum intended ini harus memenuhi kriteria pertama yaitu validitas. Adapun kurikulum perceived dan operational merupakan penggambaran kurikulum yang diimplementasikan (implemented). Kurikulum implemented ini menunjukkan kriteria yang kedua yaitu praktis bagi pengguna. Demikian pula halnya dengan kurikulum experiential dan learned merupakan penggambaran kurikulum yang dicapai (attained). Kurikulum attained ini menunjukkan kriteria yang ketiga yaitu efektif.
D. Kerangka Berpikir
Berdasarkan pada teori yang telah dikemukakan di atas, dapat disusun kerangka berpikir bahwa kurikulum yang berkualitas memiliki enam representasi. Representasi pertama yaitu kurikulum ideal yang menggambarkan asal mula asumsi, visi, dan maksud yang tercantum dalam dokumen kurikulum.
Dalam hal ini permasalahan kebiasaan beribadah menjadi dasar bahwa kebiasaan perilaku beribadah perlu dikembangkan bagi peserta didik.
Mengembangkan kebiasaan tersebut dapat menggunakan teknik reflective journaling. Reflective journaling merupakan teknik penulisan refleksi atas kejadian-kejadian, pikiran-pikiran, konsep-konsep yang dialami atau terjadi pada individu.
Representasi kedua yaitu kurikulum formal yang menggambarkan dokumen kurikulum yang konkret seperti materi peserta didik dan panduan guru. Dalam hal ini kurikulum formal berupa pengembangan layanan meningkatkan kebiasaan perilaku beribadah ritual bagi peserta didik dengan teknik reflective journaling. Adapun tujuan yang akan dicapai pada layanan peningkatan kebiasaan perilaku beribadah dengan teknik reflective journaling ini adalah
peserta didik mampu menerapkan perilaku beribadah sesuai dengan agama yang dianutnya setiap hari. Peserta didik yang beragama Islam mampu menerapkan perilaku salat lima waktu setiap hari, sedangkan peserta didik yang beragama Kristen dan Katholik mampu menerapkan perilaku baca Alkitab setiap hari.
Representasi ketiga yaitu kurikulum perceived atau instruksional yang menggambarkan kurikulum yang dipahami oleh penggunanya. Pada pengembangan ini kurikulum instruksional yang dimaksud adalah rencana pemberian layanan meningkatkan kebiasaan perilaku beribadah pada peserta didik dengan teknik reflective journaling. Dalam rencana pemberian layanan ini akan dijelaskan hal-hal yang perlu disiapkan dan juga proses yang harus dijalankan dalam memberikan layanan meningkatkan kebiasaan perilaku beribadah pada peserta didik tingkat SMP dengan teknik reflective journaling.
Pada penelitian ini akan menghasilkan prototipe-1 yang merupakan gabungan dari kurikulum formal dan kurikulum instruksional. Prototipe-1 ini belum diuji validitas, kepraktisan, dan keefektifannya namun, sudah siap untuk diujikan. Prototipe-1 yang lulus uji validitas dan kepraktisan menghasilkan prototipe-2 yang dapat diimplementasikan di dalam kelas.
Implementasi prototipe-2 di dalam kelas merupakan representasi produk yang keempat yaitu kurikulum operational yang menggambarkan proses pembelajaran yang sebenarnya. Dalam implementasi prototipe-2 ini menghasilkan pengalaman belajar yang menjadi representasi kelima yaitu kurikulum experential. Prototipe-2 yang dinyatakan efektif ketika diimplementasikan di dalam kelas menghasilkan prototipe-3 atau produk akhir.
Prototipe-3 merupakan representasi yang terakhir yaitu kurikulum learned yang menunjukkan hasil belajar peserta didik pada saat implementasi prototipe- 2. Dengan demikian, prototipe-3 atau produk akhir ini sudah dapat disebarluaskan. Berdasarkan teori tersebut dapat digambarkan kerangka berfikir seperti gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Pengembangan Panduan Layanan Membiasakan Perilaku Beribadah dengan Teknik Reflective Journaling yang berkualitas
Produk yang berkualitas mencakup enam representasi kurikulum
1. Kebiasaan perilaku beribadah merupakan suatu aktivitas beribadah yang dilakukan secara terus-menerus dan konsisten.
Kebiasaan perilaku beribadah dapat membentuk kepribadian yang taat dalam menjalankan ibadah karena dilakukan terus menerus. Kebiasaan perilaku dapat ditingkatkan dengan teknik reflective journaling. Reflective journaling merupakan teknik penulisan refleksi atas kejadian-kejadian, pikiran-pikiran, konsep-konsep yang dialami atau terjadi pada individu.
Kurikulum Ideal
2. Pengembangan kebiasaan perilaku beribadah ritual menghasilkan rancangan pemberian layanan yang berisi kompetensi dasar dan indikator pencapaian. Seluruhnya mencakup tujuan untuk meningkatkan kebiasaan perilaku beribadah pada peserta didik dengan teknik reflective journaling.
Kurikulum Formal
3. Rencana Pelaksanaan Layanan (RPL) peningkatan kebiasaan beribadah dengan teknik reflective journaling siswa SMP.
Kurikulum Perceived/
Instruksional
4. Prototipe 1 – Kurikulum Formal dan Kurikulum Instruksional yang siap diuji validitas, kepraktisan, dan keefektifannya.
5. Prototipe 2 – Merupakan protipe 1 yang dinyatakan valid dan praktis setelah diuji validitas dan kepraktisannya.
Kurikulum Operational 6. Implementasi Prototipe 2 di dalam kelas
7. Protipe 2 ini kemudian diuji kefektifannya pada peserta didik.
8. Protipe 3 (Produk Akhir) – Merupakan Prototipe 2 yang dinyatakan efektif diberikan kepada peserta didik dilihat dari hasil belajar siswa.
Prototipe 3 ini sudah dapat disebarluaskan.
Kurikulum Learned Kurikulum Eksperential