1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam dan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, umumnya berakhir dengan gagal ginjal dan ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel dan memerlukan terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Setiati et al., 2014).
Penyakit ginjal kronis (PGK) saat ini muncul sebagai salah satu penyebab kematian yang paling menonjol di abad ke 21 (Kovesdy, 2021). Pada tahun 2017 terdapat 697,5 juta kasus PGK serta menyebabkan 1,2 juta kasus kematian dan berada dalam peringkat ke-12 penyebab kematian serta mengakibatkan lebih banyak kematian dibandingkan tuberkulosis atau HIV, hampir sepertiga pasien berasal dari China dan India diikuti Bangladesh, Brazil, Indonesia, Jepang, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Rusia, Amerika serikat, dan Vietnam yang memiliki lebih dari 10 juta kasus PGK pada masing-masing negara tersebut (GBD Chronic Kidney Disease Collaboration, 2020).
Prevalensi PGK di Indonesia menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 adalah 0,2% dari jumlah penduduk Indonesia (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2018 prevalensi PGK mengalami peningkatan secara signifikan menjadi 0,38% dari jumlah penduduk Indonesia yaitu sebanyak 713.783 jiwa, dengan prevalensi terbanyak didapatkan di provinsi Kalimantan utara (0,64%), Maluku Utara (0,56%), dan Sulawesi Utara (0,53%) (Riskesdas, 2018).
Pasien PGK yang mencapai tahap terminal (PGK stadium 5) memerlukan pengobatan pengganti ginjal, hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal utama disamping peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di dunia (Setiati et al., 2014). Data IRR (Indonesian Renal Registry) dari 249 renal unit di Indonesia yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah pasien dengan gagal ginjal kronik (Kemenkes, 2017).
Terapi hemodialisis yang dijalani oleh pasien PGK merupakan pengobatan dengan jangka waktu yang lama dan secara signifikan dapat merubah hidup dan rutinitas pasiennya, hal ini dapat menyebabkan masalah psikologis seperti kecemasan maupun depresi (Um-e-Kalsoom, Khan, dan Ahmad, 2020). Pada pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis banyak menunjukkan adanya gejala kecemasan, hal ini dikarenakan gejala emosional yang cenderung berfluktuasi secara signifikan diakibatkan oleh keadaan hidup, beban penyakit, tahap penyakit, faktor pengobatan, dan masalah psikososial lainnya, pasien PGK dapat mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kondisinya, karena diperlukan penyesuaian psikologis yang berkelanjutan selama perjalanan penyakit mereka, seperti menerima diagnosis yang mengancam jiwa dan kebutuhan akan perawatan seumur hidup, pemahaman mengenai prosedur terapi, mengintegrasikan pengobatan ke dalam kehidupan mereka, mengatasi kegagalan pengobatan, efek samping, dan komplikasi (Goh & Griva, 2018).
Prevalensi gejala kecemasan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan gangguan neuropsikiatri lain yang dialami pasien PGK seperti gangguan
kognitif dan depresi dan jika dibandingkan dengan prevalensi kecemasan pada orang dewasa umumnya (3,8-25%), prevalensi kecemasan pada PGK yang menjalani hemodialisis lebih tinggiyaitu sebesar 42,1% (Huang et al., 2021)
Penelitian yang dilakukan oleh El Filali et al (2017) menemukan prevalensi gangguan kecemasan pada pasien PGK yang sedang menjalani terapi hemodialisis yaitu 25,2% dari total responden. Dalam penelitian dari Mosleh et al (2020) didapatkan 19,7% dari respondennya yaitu pasien PGK yang sedang melakukan terapi hemodialisis menunjukkan gejala kecemasan, dari data yang didapatkan menunjukkan kecemasan terjadi lebih banyak pada wanita dibandingkan responden pria serta lebih banyak terjadi pada pasien yang lebih tua.
Gejala kecemasan sering ditemukan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, gejala kecemasan pada pasien mengakibatkan peningkatan resiko hasil klinis menjadi buruk, sehingga gejala kecemasan harus dievaluasi sedini mungkin (Loosman et al., 2015).
Ulasan diatas mendorong ketertarikan penulis untuk mengetahui tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di instalasi hemodialisis RSI Aisyiyah Kota Malang, alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan belum ada penelitian serupa yang dilakukan di lokasi tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul “Gambaran Tingkat Kecemasan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Terapi Hemodialisis di RSI Aisyiyah Kota Malang”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSI Aisyiyah Kota Malang?”.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSI Aisyiyah Kota Malang.
1.3.2 Tujuan khusus
Mengetahui karakteristik pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSI Aisyiyah Kota Malang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama terapi HD, dan frekuensi terapi HD.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat klinis
Sebagai referensi mengenai tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis bagi dokter dan perawat sehingga dapat membantu pengembangan penanganan kecemasan pada pasien.
1.4.2 Manfaat akademik
Menjadi sumber referensi ilmiah mengenai gambaran tingkat kecemasan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
1.4.3 Manfaat masyarakat
Sebagai informasi bagi keluarga pasien agar lebih memahami kondisi psikologis pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.