501
PEMANFAATAN ASBUTON BUTIR DAN BIOASPAL TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI MODIFIER UNTUK CAMPURAN BERASPAL HANGAT: A STATE OF THE ART
REVIEWS
Atmy Verani Rouly Sihombing Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bandung Jln. Gegerkalong Hilir, Ciwaruga,
Jawa Barat 40559 [email protected]
Retno Utami Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bandung Jln. Gegerkalong Hilir, Ciwaruga,
Jawa Barat 40559 [email protected]
Abstract
Asbuton is a natural rock asphalt on Buton island, Indonesia with a deposit of 677.247 million tons, one type of asbuton is buton granular asphalt (ASB) which in its utilization still requires rejuvenating agent to improve the workability of asbuton mixture. The use of rejuvenating agent can soften asbuton softer than asphalt binder, so the mixture of asbuton and rejuvenator is more suitable for using warm-mix asphalt (WMA) technology.
Asbuton warm mix based on specifications, produced using a warm agitator with a penetration class of 800 – 1200 cSt or 80 – 120 seconds. Coconut shell bioasphalt (BTK) which is considered to be potential as a rejuvenating agent, has been tested for its potential to soften hard asphalt and can produce asphalt mixtures with 30% recycled material (RAP) according to specifications. BTK has been shown to soften ASB softer than asphalt binder, so the potential validity of BTK as a rejuvenating agent can be further investigated by using it as an ASB rejuvenating agent in WMA technology.
Keywords: Asbuton, Bioasphalt Coconut Shell, WMA
Abstrak
Asbuton adalah aspal alam berbentuk batuan yang berada di Pulau Buton, Indonesia dengan deposit 677,247 juta ton, salah satu jenis asbuton adalah asbuton butir (ASB), yang dalam pemanfaatannya masih membutuhkan bahan peremaja untuk memudahkan dalam perencanaan dan pencampurannya. Penggunaan bahan peremaja dapat melunakkan asbuton lebih lunak dari aspal minyak, sehingga campuran asbuton dengan bahan peremaja lebih cocok menggunakan teknologi campuran beraspal hangat (WMA). Asbuton campuran hangat berdasarkan spesifikasi, diproduksi menggunakan peremaja hangat yang memiliki kelas penetrasi 800 – 1200 cSt atau 80 – 120 detik. Bioaspal tempurung kelapa (BTK) yang dianggap berpotensi sebagai bahan peremaja, telah diuji potensinya dapat melunakkan aspal keras dan dapat menghasilkan campuran beraspal dengan 30 % bahan daur ulang (RAP) sesuai spesifikasi. BTK mengindikasikan dapat melunakkan Asbuton Butir lebih lunak dari aspal minyak, sehingga validitas potensi BTK sebagai bahan peremaja, dapat diteliti lebih lanjut dengan menggunakannya sebagai bahan peremaja untuk ASB pada teknologi WMA.
Kata Kunci: Asbuton, Bioaspal Tempurung Kelapa, WMA.
PENDAHULUAN
Kebutuhan aspal di indonesia setiap tahunnya rata – rata sebesar 1,2 juta ton yang 70% nya dipenuhi melalui import aspal (Dirjen Bina Marga KemenPUPR, 2019). Meski indonesia memiliki cadangan aspal batu alam yang sangat besar, yaitu Asbuton, pemanfaatannya hingga saat ini masih perlu dioptimalkan dengan menambahkan bahan peremaja/modifier
502
yang rata – rata masih menggunakan bahan peremaja berbasis minyak bumi, yang mana lagi – lagi pemenuhannya memerlukan import, selain itu penggunaan material berbasis minyak bumi keberadaannya semakin hari semakin menipis dan tidak dapat diperbaharui. Sehingga perlu, untuk mencari alternatif bahan peremaja lain yang dapat diproduksi secara lokal untuk mengurangi import, dapat diproduksi tanpa melakukan penambangan minyak bumi, dapat diperbaharui dan berkelanjutan.
Sihombing (2019) telah meneliti bahan peremaja lokal yang dapat diperbaharui dan berkelanjutan, yaitu bioaspal tempurung kelapa (BTK) terhadap aspal yang telah mengalami penuaan, dari penelitiannya diketahui bahwa penambahan BTK dapat melunakkan aspal dengan penetrasi 10 dmm hingga menjadi penetrasi 65 pada kadar BTK 23% terhadap berat aspal tua. Kemudian tahun 2021, Sihombing melakukan penelitian dengan memanfaatkan BTK terhadap bitumen Asbuton B 50/30 (ASB) yang selanjutnya disebut bioasbuton, dari penelitiannya diketahui bahwa penambahan BTK dapat melunakkan bitumen ASB yang merupakan aspal keras penetrasi 40 dmm menjadi penetrasi 65 dmm dengan kadar BTK sebesar 6,5% terhadap berat bitumen ASB.
Dari beberapa literatur menyebutkan bahwa BTK memiliki potensi sebagai bahan peremaja, bukan hanya dilihat dari karakteristik reologi dasarnya, berdasarkan karakteristik mekanistiknya seperti master curve hasil pengujian dynamic shear rheometer (DSR) frequency sweep, penambahan BTK terhadap aspal RAP dapat mengubah reologi mekanistiknya, jika dilihat dari kelandaiannya (gambar 1), penambahan bioaspal pada aspal RAP mengubah kelandaian master curve aspal RAP menjadi lebih landai. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan bioaspal dapat meningkatkan performa aspal dengan bertambahnya rentang temperatur dan waktu pembebanan, sehingga lebih mudah untuk digunakan di lapangan (Sihombing, 2020).
Gambar 1. Master curve btk + aspal rap
Potensi BTK sebagai bahan peremaja tersebut, dapat digunakan terhadap pemanfaatan Asbuton butir pada campuran beraspal. Penggunaan BTK terhadap ASB pada kadar tertentu,
▪ Virgin Asphalt
▪ Aged Asphalt
▪ BioCS+Aged Asphalt
▪ BitutechRAP+Aged Asphalt Sf Aged Asphalt
Sf BioCS + Aged Asphalt
Sf BitutechRAP + Aged Asphalt
503
bisa saja menghasil asbuton yang lebih lunak dari aspal minyak, sehingga penggunaan teknologi WMA akan lebih cocok untuk menghasilkan campuran beraspal yang mengandung Asbuton butir dan BTK sebagai bahan peremajanya.
Asbuton
Asbuton yang merupakan aspal alam batu di pulau Buton, Sulawesi Tenggara, terbentuk secara alami melalui proses geologi yang umumnya berbentuk padat. Asbuton berasal dari minyak bumi di dalam perut bumi yang terdorong hingga muncul ke permukaan dan masuk diantara batuan berpori. Sebagai aspal batu yang terbentuk dari alam, penggunaan asbuton di Indonesia sudah tidak asing lagi. Asbuton adalah aspal alam dengan deposit diperkirakan 677,247 juta ton (affandi, 2012) atau setara dengan penggunaan aspal hingga 100 tahun, senilai 700 juta US Dollar, hal tersebut merupakan potensi yang besar yang perlu dimanfaatkan secara optimal, khususnya untuk perkerasan jalan di Indonesia.
Berdasarkan jenisnya, asbuton diproduksi menjadi 2 (dua) jenis asbuton, yaitu yang pertama adalah asbuton butir (ASB) yang diperolah dari hasil pengolahan asbuton dalam bentuk padat kemudian dipecah menggunakan alat pemecah batu hingga menjadi bentuk butiran dalam ukuran butir tertentu. Sedangkan jenis asbuton yang kedua adalah asbuton hasil ekstraksi, yang diproduksi dengan mengekstraksi asbuton secara total sehingga mendapatkan bitumen asbuton murni dan mineral asbuton yang dapat digunakan sebagai filler. Bitumen asbuton tersebut dapat dimanfaatkan sebagai aditif atau bahan tambah untuk aspal atau sebagai bahan pengikat selayaknya aspal keras yang sesuai dengan spesifikasi (Setiawan, 2011).
Tabel 1. Karakteristik asbuton butir berdasarkan jenisnya
Sifat Metode
Uji
Tipe
5/20 15/20 15/25 20/25
Kadar Bitumen SNI 03-
3640-1994 18 – 22 18 – 22 23 – 27 23 – 27 Ukuran butir asbuton butir
-Lolos saringan No. 4 (4,75 mm); % SNI 03-
1968-1990 100 100 100 100
-Lolos saringan No. 8 (2.36 mm); % SNI 03-
1968-1990 100 100 100 Min 95
-Lolos saringan No. 16(1.18 mm); % SNI 03-
1968-1990 Min 95 Min 95 Min 95 Min 75
Kadar air; % SNI 06-
2490-1991 Maks 2 Maks 2 Maks 2 Maks 2 Penertasi bitumen asbuton pada 25 °C,
100 g, 5 detik ; 0,1 mm
SNI 03-
2456-1991 ≤10 10 – 8 10 – 8 19 – 22
504
Tabel 2 Karakteristik asbuton butir tipe b 50/30
Spesifikasi Asbuton B50/30 Standar Spesifikasi
Kadar Bitumen, % SNI 03-3640-1994 25-30
Kadar Air Asbuton, % SNI 2490;2008 maks 2,0
Titik Nyala Asbuton, C SNI 06-2433-2011 min 232
Ukuran Butir Asbuton, Inch SNI 03-1968-1990 maks 3/8"
Penetrasi Bitumen, dmm SNI 06-2456-2011 40-60
Titik Lembek Bitumen, C SNI 06-2434-2011 min 55
Daktilitas Bitumen, Cm SNI 06-2432-2011 min 100
Penurunan Berat (TFOT) Bitumen, % SNI 06-2440-1991 ≦3 Penetrasi setelah TFOT Bitumen, dmm SNI 06-2456-2011 ≧ 54 Lolos Ayakan 3/8" (9,5 mm) (%) SNI 03-1969-1990 100
Berat Jenis SNI 03-2441-2011 min 1
Saat ini penggunaan asbuton butir telah dan tengah dilakukan dengan ukuran butir yang lebih kecil dari sebelumnya yaitu berukuran maksimum 1,16 mm, dan dikemas dalam karung plastik tahan air, yang diklasifikasikan dalam empat tipe yaitu asbuton berbutir tipe B5/20, B15/20, B15/25 dan B20/25 (Pusjatan, 2013) yang terbaru adalah tipe B50/30 (Yamin dkk, 2014). Adapun karakteristik Asbuton butir berdasarkan tipe/jenisnya ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Bioaspal
Bioaspal merupakan aspal buatan atau alternatif aspal yang dibuat dari biomassa atau bahan berbasis non petroleum dari sumber daya terbarukan (Nindita, 2012). Keberadaan bioaspal bisa menjadi solusi dalam mengurangi limbah (optimalisasi penggunaan biomassa) dan pemenuhan terhadap kekurangan aspal dalam negeri. Bahan baku untuk membuat bioaspal dianggap lebih mudah untuk didapatkan dan murah, serta tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, hal ini menjadikan bioaspal sebagai produk yang kompetitif.
Biomassa yang dimaksud sebagai bahan baku pembuat bioaspal ini, menurut Loppinet- Serani dkk (2008) adalah bahan – bahan organik yang berasal dari makhluk hidup baik tumbuhan maupun hewan. Sedangkan menurut United Nations Framework Convention on Climate change, UNFCC (2005) pengertian dari biomassa merupakan bahan organik biodegradable non-fosil yang berasal dari tanaman, hewan dan mikro-organisme, diantaranya adalah produk, produk samping, residu dan limbah dari pertanian, hasil hutan, dan hasil industri terkait sebagai non-fosil dan fraksi organik biodegradable dari limbah industri dan kota.
Secara umum, bioaspal terbuat dari biomassa yang mengandung lignin, menurut Batu Bara (2002) lignin adalah zat yang keras, lengket, serta kaku. Sedangkan gignin menurut beberapa penelitian berpotensi sebagai antioksidan untuk aspal (Bishara dkk., 2005; Carrier dkk., 2011; Pan, 2012; Pérez dkk., 2019), pada penelitian bishara contohnya, dia melakukan pengujian beberapa jenis lignin yang menunjukkan adanya efek terhadap aging index. R.
Christopher Williams dan McCready (2008) berdasarkan penelitiannya terhadap lignin yang terkandung dalam produk samping etanol dikombinasikan dengan aspal dengan beberapa variasi jumlah yang dievaluasi berdasarkan spesifikasi superpave dan performance grade, menyatakan bahwa hasilnya range temperature stiffening menjadi lebih besar, pengujian juga dilakukan menggunakan spektoskopi inframerah yang menghasilkan kesimpulan
505
bahwa lignin berfungsi sebagai antioksidan karena dapat mengurangi oksidasi aspal. Hal tersebut diperkuat oleh Syahbirin (2012) yang menyatakan pada penelitiannya bahwa Lignin berpotensi sebagai antioksidan, dalam penelitiannya diketahui bahwa gugus hidroksil fenolik pada lignin mampu menangkap radikal bebas.
Pada tahun 2009 Williams dkk, melakukan penelitian terhadap aditif aspal yang berasal dari fraksi bio oil, biomassa yang digunakan adalah biomassa yang mengandung lignin yaitu jagung dan kayu oak, dari biomassa tersebut diproses menggunakan pirolisis sehingga dihasilkan alternatif aspal yaitu bioaspal jagung dan kayu oak.
Pirolisis merupakan pengarangan dengan cara pembakaran tidak sempurna bahan yang mengandung karbon yang dilakukan di suhu tinggi. Hampir semua proses pirolisis dilakukan dengan menggunakan reaktor bertutup yang terbuat dari baja, sehingga tidak terjadi kontak langsung antara bahan yang digunakan dengan oksigen. Menurut Paris dkk (2005), secara umum proses pirolisis berlangsung pada suhu di atas 300°C selama 4 – 7 jam. Dari proses pirolisis ini kemudian bioaspal terbentuk.
Di Indonesia, bahan baku atau biomassa untuk pembuatan bioaspal yang sudah diproduksi dalam skala cukup besar adalah limbah tempurung kelapa, selanjutnya biasa disebut bioaspal tempurung kelapa (BTK), sedangkan pada skala penelitian bahan baku yang digunakan berupa biomassa dari limbah kelapa sawit, tempurung kelapa, ampas tebu, serta serbuk kayu (Kusnadi dan Setiaji, 2009; Kusumawati, 2012; Nindita, 2012; Ningrum dkk., 2016;
Ningrum dan Setiaji, 2013). Sedangkan di negara maju seperti Amerika, Jepang, dan beberapa negara Eropa, bahan baku pembuat bioaspal berasal dari rumput, straw, swine waste, batang tumbuhan terung terungan, olive pits, nut shells, miscanthus, sorghum , dan mikroalga. Di sekala industri bioaspal yang sudah diaplikasikan di lapangan dan sudah terbukti potensi untuk infrastruktur jalan adalah bioaspal yang berasal dari limbah pepohonan / jerami yang diproduksi di Amerika oleh hydrogreen dengan merk dagang BituTech RAP (Texas DOT, 2017). Jenis bioaspal ini biasa digunakan sebagai bahan peremaja untuk material daur ulang aspal yaitu reclaimed asphalt pavement (RAP).
Penggunaan bioaspal, selain sebagai pengganti aspal secara penuh (100% replacement), bioaspal juga dapat digunakan sebagai ekstender (25% - 75% replacement) atau sebagai modifier (< 10% replacement) dalam hal ini sebagai bahan peremaja untuk material sub standar dan sebagai bahan tambah untuk menurunkan viskositas aspal yang berdampak pada suhu pencampuran dan suhu pemadatan (Peralta dkk, 2012).
Bioaspal tempurung kelapa (BTK) yang merupakan bioaspal yang terbuat dari biomassa tempurung kelapa, dianggap berpotensi sebagai bahan peremaja karena kandungan ligninnya menurut penelitian Suhardiyono (1988) dalam (Aziz dkk, 2011) cukup tinggi yaitu 29,40%.
Campuran Beraspal Hangat (WMA)
Campuran beraspal hangat atau warm mix asphalt (WMA) adalah campuran beraspal yang diproduksi dan diaplikasikan pada suhu 20 °C – 40 °C lebih rendah dari hot mix asphalt, HMA (campuran beraspal panas) yaitu pada temperatur 100 °C hingga 150 °C (EAPA, 2014), temperatur sedang 93 °C sampai dengan 135 °C (Newcomb, 2006), > 95 °C sampai
506
dengan 155 °C (Bina Marga PU, 2018). Karena suhu pencampuran yang lebih rendah tersebut, WMA memiliki beberapa keunggulan (EAPA, 2014), diantaranya adalah:
1. Emisi yang dihasilkan lebih sedikit sehingga mempermudah dalam pelaksanaan pekerjaan (meningkatkan workability).
2. Energi yang digunakan dan emisi yang dihasilkan lebih sedikit
3. Penuaan (harderning) pada aspal lebih rendah dan sangat cocok bila diaplikasikan pada campuran beraspal yang mengandung RAP
4. WMA dapat dipadatkan pada suhu/temperatur yang lebih rendah dari HMA
5. Produksi WMA pada suhu HMA akan memberikan rentang waktu yang lebih lama untuk pengangkutan dan pemadatan.
6. Penurunan suhu setelah pengaplikasian WMA di lapangan lebih cepat, sehingga jalan dapat lebih cepat digunakan untuk lalu lintas kendaraan.
Penurunan suhu pencampuran dan pemadatan pada teknologi campuran beraspal hangat yaitu dengan cara mengurangi/menurunkan viskositas aspal sebagai bahan pengikat, dan atau menambah/meningkatkan kemudahan dari campuran beraspal dalam proses pencampuran di suhu yang rendah (chowdhury, 2008). Teknologi yang umum digunakan untuk menurunkan atau mengurangi temperatur pencampuran dan pemadatan diantaranya adalah (EAPA, 2014):
1. Aditif dari bahan organik : penggunaan aditif organik digunakan untuk menurunkan viskositas dari aspal pada temperatur di atas 90 °C. contoh aditif organik yang biasa digunakan adalah lilin atau parafin khusus yang dihasilkan dari proses konversi gas alam.
Aditif organik biasanya memberikan penurunan suhu antara 20 °C – 30 °C, serta dapat meningkatkan ketahanan terhadap deformasi aspal yang dimodifikasi.
2. Aditif dari proses kimiawi : aditif kimia yang tidak mengubah viskositas aspal melainkan sebagai surfaktan yang bekerja pada struktur mikroskopis dari agregat dan aspal, sehingga dapat mengatur dan mengurangi gesekan antarmuka agregat dan aspal pada suhu 85 °C hingga 140 °C, sehingga penggunaan aditif kimia dapat mengurangi suhu pencampuran dan pemadatan antara 20 °C – 40 °C.
3. Teknik pembusaan (foaming): teknik pembusaan diterapkan untuk mengurangi viskositas aspal, berbagai cara dilakukan untuk memasukkan sejumlah kecil air ke dalam aspal panas. Air berubah menjadi uap, meningkatkan volume aspal dan mengurangi viskositasnya untuk waktu yang singkat. Perluasan aspal memungkinkan melapisi agregat pada suhu yang lebih rendah dan kelembaban sisa mendukung pemadatan aspal di lokasi konstruksi. Suhu pencampuran dan pemadatan dapat dikurangi secara paralel.
PEMBAHASAN
Asbuton pada Campuran Beraspal
Teknologi campuran asbuton terbagi atas : 1) asbuton campuran panas; 2) asbuton campuran hangat; dan 3) asbuton campuran dingin aspal emulsi. Asbuton campuran hangat diproduksi dengan menggunakan asbuton butir dicampur dengan bahan peremaja dan agregat dengan suhu pencampuran 120 °C dan suhu pemadatan 100 °C atau sekitar 30 °C lebih rendah dari suhu pencampuran dan pemadatan asbuton campuran panas (Hermadi, 2015). Pemanfaatan asbuton pada teknologi campuran beraspal hangat relatif lebih ramah lingkungan
507
dibandingkan dengan campuran beraspal panas, karena energi yang dibutuhkan lebih sedikit (bioenergy, 2009).
Penggunaan bahan peremaja pada asbuton dapat melunakkan asbuton lebih lunak dari aspal minyak, hal ini lah mengapa campuran asbuton yang menggunakan bahan peremaja lebih cocok menggunakan teknologi campuran beraspal hangat dan direkomendasikan untuk perkerasan jalan yang melayani lalu lintas ringan hingga sedang (Bina Marga, 2006 dan Iriansyah, 2009).
Menurut spesifikasi Bina Marga (2006), bahan peremaja yang biasa digunakan pada teknologi campuran hangat yang menggunakan asbuton adalah bahan peremaja hangat dengan PH – 1000 dan memiliki penetrasi 800 – 1200 cSt atau 80 – 120 detik. Setiawan pada tahun 2011 menggunakan AC 60/70 dan solar untuk menghasilkan bahan peremaja PH – 1000 yang digunakan pada campuran beraspal hangat yang mengandung asbuton berbutir T 15/25, dari hasil penelitiannya diketahui bahwa karakteristik marshall yang dihasilkan memenuhi spesifikasi dengan kadar asbuton berbutir T 15/25 sebanyak 11,5 % hingga 14,5
% dan kadar asbuton butir optimum adalah 12,1 %.
Yuniarti (2012) menggunakan bioflux oil sebagai modifier pada campuran beraspal panas AC-WC yang mengandung asbuton butir T 5/20, dari penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja campuran beraspal yang terbaik diperoleh pada kadar aspal 6%, dengan proporsi campuran terdiri dari 13,80% asbuton; 3,72% bioflux oil dan 82,48% agregat.
Ramlan (2015) menggunakan bahan peremaja yaitu campuran antar aspal pen 60/70 dan solar ex untuk WMA yang mengandung asbuton butir T 15/25, dari hasil penelitiannya diketahui bahwa suhu pencampuran dan pemadatan 105 °C dan 95 °C tidak direkomendasikan untuk digunakan karena menghasilkan campuran beraspal dengan durabilitas di bawah standar spesifikasi.
Soehardi (2018) memanfaatkan asbuton butir type 5/20 pada campuran beraspal panas AC- BC dan agregat quarry desa Muara Takus, diketahui bahwa campuran beraspal memenuhi spesifikasi dengan kadar aspal optimum 5,6%.
Pemanfaatan asbuton butir menggunakan teknologi campuran beraspal hangat sudah dilakukan aplikasinya secara penuh oleh Iriansyah (2009) di Kabupaten Kota Waringin Kalimantan Tengah, pada ruas jalan Pangkalan Lima – Kumai (Km 6+225 s/d Km 8+115), campuran beraspal dibuat menggunakan spesifikasi AC-WC, dengan suhu pencampuran 120
°C menggunakan asbuton butir tipe 5/20, bahan peremaja yang digunakan adalah campuran antara aspal shell pen 60/70 dan marine flux oil dengan perbandingan 70 : 30, dari studinya diketahui sifat – sifat campuran beraspal tersebut memenuhi syarat, begitu pula dengan hasil pengambilan contoh di lapangan, dimana didapatkan derajat kepadatan rata – rata lapangan adalah 99,1 % juga telah memenuhi persyaratan kepadatan di laboratorium sebesar 98%.
Menurut Binamarga PU (2006) pemanfaatan asbuton butir menggunakan teknologi campuran beraspal hangat, masih mengalami beberapa kendala salah satunya adalah jenis peremaja yang kurang tepat, dari persyaratan yang diberikan, peremaja yang digunakan untuk campuran beraspal hangat (WMA) adalah minyak berat, seperti short residu, flux oil, minare D atau minyak berat yang telah dimodifikasi.
508
Dari studi atau penelitian yang dilakukan sebelumnya terkait WMA dengan ASB, dapat diketahui bahwa penggunaan bahan peremaja yang tepat dapat menghasilkan campuran beraspal dengan karakteristik yang sesuai dengan spesifikasi, selama ini bahan peremaja yang digunakan masih berbasis minyak bumi, sehingga diharapkan dapat ditemukan bahan peremaja non petroleum berbasis sumber daya alama yang dapat diperbaharui dan berkelanjutan.
Bioaspal pada Campuran Beraspal
Penggunaan bioaspal yang berasal dari sumber daya alam non makanan sebagai bahan peremaja, telah dilakukan penelitiannya di beberapa negara, rata – rata penggunaannya dilakukan terhadap campuran beraspal yang mengandung bahan daur ulang aspal (RAP).
Florida Department Of Transportation tahun 2009, melakukan pengujian berskala penuh dengan menggunakan 40% RAP dan 0,75% bioaspal dengan metode WMA (suhu pencampuran 132 °C dan pemadatan 124 °C), hasilnya menunjukkan bahwa pada saat pencampuran tidak menimbulkan asap biru ataupun bau, dan pengaplikasiannya setelah 3 tahun masih memiliki performa perkerasan yang baik.
Penelitian skala penuh dilakukan oleh Los Angeles Department Of Transportation pada tahun 2010 terhadap campuran beraspal hangat (WMA) yang menggunakan bioaspal sebagai modifier, dari penelitiannya diketahui bahwa penggunaan aspal dapat menurunkan viskositas aspal dan menurukan temperatur pencampuran hingga 65 °F, yang mana pada saat produksi dan penghamparan campuran beraspal di lapangan, asap yang ditimbulkan berwarna biru, hal tersebut menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan rendah.
Pada tahun 2011, Elseifi menggunakan bioaspal dari pepohonan (pinus dan jerami) sebagai bahan perermaja untuk campuran beraspal panas yang mengandung 40% RAP, hasilnya menunjukkan bahwa performa campuran beraspal pada temperatur tinggi meningkat, serta penggunaan bioaspal dapat melunakan aspal RAP dan cukup untuk mendapatkan nilai PG target.
Lalu Walaa di tahun 2013 melakukan penelitian terhadap berbagai macam peremaja (salah satunya bioaspal) untuk mengetahui pengaruhnya terhadap campuran beraspal yang mengandung RAP hingga 40%, dari penelitiannya diketahui bahwa bioaspal yang berasal dari swine dapat mengurangi stiffness dan menghasilkan campuran beraspal dengan performa yang baik.
Sedangkan Mohammad, dkk, pada tahun 2013 melakukan penelitian berupa pengaruh penggunaan bioaspal yang berasal dari kayu pinus untuk memodifikasi aspal minyak, terhadap campuran beraspal konvensional, dari penelitiannya diketahui bahwa ketahanan rutting dan fracture di suhu rendah meningkat.
Hajj, dkk di tahun 2013 melakukan penelitian penggunaan bioaspal berasal pinus dan jerami sebagai bahan peremaja campuran beraspal panas yang mengandung 50% RAP, dari penelitiannya diketahui bahwa Penambahan bioaspal pada campuran dengan RAP meningkatkan ketahanan terhadap kelembaban, berdasarkan pengamatan setelah tiga kali
509
siklus cair. Penambahan bioaspal mengurangi Thermal Cracking pada campuran beraspal berdasarkan uji thermal stress strained. Penggunaan bioaspal dengan 50% RAP menunjukkan potensi penghematan biaya, selama suhu pencampuran yang tinggi diabaikan.
Zhanping (2013) meneliti mengenai pengaruh penambahan bioaspal yang berasal dari swine terhadap aspal PG 64 – 22, dari penelitiannya diketahui bahwa penambahan 10% bioaspal dapat pengurangi suhu pencampuran hingga 4,6 – 4,9 °C dan menghasilkan campuran beraspal dengan low temperature performance yang baik.
Podolsky dkk, di tahun 2015 memanfaatkan Isosorbide distillation bottoms (IDB) yaitu bioaspal yang merupakan produk lain dari konversi sorbitol menjadi isosorbitol, sebagai modifier pada WMA yang diuji ketahanan ruttingnya dengan stress creep recovery (MSCR) test, dan deformasi dengan Hamburg Wheel-Tracking Device (HWTD) test. Hasil MSCR dan HWTD menunjukkan bahwa penggunaan bio additives dengan non polymer modified tidak ada peningkatan, sedangkan jika menggunakan polymer modified terjadi peningkatan secara statistic terhadap ketahanan rutting dan stripping.
Di Indonesia sendiri, penggunaan bioaspal diteliti pengaruhnya terhadap campuran beraspal panas yang mengandung RAP, bioaspal yang digunakan berasal dari biomassa tempurung kelapa. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan bioaspal tempurung kelapa pada campuran beraspal yang mengandung 30 % RAP menunjukkan kinerja campuran beraspal yang sesuai dengan spesifikasi, kinerja tersebut tidak akan tercapai bilai campuran beraspal dengan 30% RAP tidak menggunakan bahan peremaja sama sekali. (Sihombing, dkk 2019).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai Asbuton butir, bioaspal (khususnya bioaspal tempurung kelapa) dan warm mix asphalt, dapat diketahui bahwa bioaspal tempurung kelapa dapat melunakkan aspal yang telah mengalami penuaan seperti aspal RAP dan aspal keras seperti aspal ASB. Potensi tersebut sangat erat hubungannya dengan kebutuhan bahan peremaja untuk pemanfaatan Asbuton butir dalam campuran beraspal. Penggunaan BTK terhadap ASB berindikasi dapat melunakkan aspal ASB lebih lunak dari aspal minyak, hal tersebutlah yang menjadi dasar bahwa teknologi campuran beraspal hangat lebih cocok diaplikasikan pada campuran yang mengandung ASB dengan BTK sebagai bahan peremajanya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada UPPM POLBAN untuk bantuan dana pada pelaksanaan penelitian ini.Z
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, F., 2012, The performance of bituminous mixes using Indonesia natural asphalt, 25th ARRB Confrence, 1–12
510
Aziz, T., Indraman, M. F., dan Alawiyah, U. (2011): Pemanfaatan tempurung kelapa dan tempurung sawit untuk pembuatan asap cair sebagai penghilang bau pada lateks dengan metode pirolisis, Jurnal Teknik Kimia, 17(8), 41–48.
Bishara, S. W., Robertson, R. E., dan Mohoney, D, 2005, Lignin as an antioxidant: A Limited study on asphalts frequency used on Kansas roads, The 42nd Peterson asphalt research conference, Cheyenne, WY.
Carrier, M., Loppinet-Serani, A., Denux, D., Lasnier, J. M., Ham-Pichavant, F., Cansell, F., dan Aymonier, C., 2011, Thermogravimetric analysis as a new method to determine the lignocellulosic composition of biomass, Biomass and Bioenergy.
Dirjen Bina Marga, 2006, Pemanfaatan Asbuton Buku 4 Campuran Beraspal Hangat dengan Asbuton Butir, Jakarta, Kementerian PUPR.
Dirjen Bina Marga, 2018, Spesifikasi Umum 2018, Jakarta, Kementerian PUPR, Divisi 6 hal 71-74.
EAPA, 2014, The Use of Warm Mix Asphalt, Brussels, Belgium, European Asphalt Pavement Association, hal 5 – 12.
Elseifi, M. A., Mohammad, L. N., dan Cooper III, S. B. (2011): Laboratory evaluation of asphalt mixtures containing sustainable technologies, Journal of the Association of Asphalt Paving Technologists.
Hajj, et al. (2013) Influence of Hydrogreen Bioasphalt on Viscoelastic Properties of Reclaimed Asphalt Mixtures. Washington.
Iriansyah, A.S, 2009, “Uji Coba Skala Penuh Asbuton Campuran Hangat Jalan Pangkalan Lima – Kumai di Kalimantan Tengah”, Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, Bandung, hal 164-178.
Kusnadi, and Setiadji, B. 2009. Bioasphalt batch production test as an alternative to petroleum asphalt, Tugas Akhir Universitas Gajah Mada (tidak dipublikasikan).
Kusumawati, I., 2012, Sintesis Bioaspal dari Ampas Tebu dengan Metode Pirolisis, Tugas Akhir, Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).
Loppinet-Serani, A., Aymonier, C., dan Cansell, F., 2008, Current dan foreseeable applications of supercritical water for energy and the environment, ChemSusChem, 1, 486-503.
Newcomb, D., 2006, An Introduction to Warm Mix Asphalt, National Asphalt Pavement Association.
Nindita, D., 2012, Synthesis of bioasphalt from albasia wood sawdust with pyrolysis method, Tugas Akhir, Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).
Ningrum, R. S., 2013, Pembuatan dan karakterisasi bahan peredam panas berbasis bioaspal, Thesis, Universitas Gajah Mada (tidak dipublikasikan).
Ningrum, R. S., Setiadji, B.,dan Trisunaryanti, W., 2016, Preparation of heat-adsorbing materials from coconut shell-tar, Journal of Lignocellulose Technology, 01, 26–31.
Pan, T., 2012, A first-principles based chemophysical environment for studying lignins as an asphalt antioxidant, Construction and Building Materials, 36, 654-664.
Paris, O., Zollfrank, C., dan Zickler, G. A., 2005, Decomposition and carbonisation of wood biopolymers - a microstructural study of softwood pyrolysis, Carbon, 43(1), 53-66.
Peralta, J., Raouf, M. A., Sheng Tang, and Williams, R. C., 2012, Bio-Renewable Asphalt Modifiers and Asphalt Substitutes, Green Energy and Technology, 62, 89–115.
Pérez, I., Pasandín, A. R., Pais, J. C., dan Pereira, P. A. A., 2019, Feasibility of using a lignin containing waste in asphalt binders, Waste and Biomass Valorization.
511
Podolsky, et al. (2014) Estimation and assessment of high temperature mix performance grade for select bio-based WMA additives, Iowa State University, Department of Civil, United States.
Pusjatan, 2013, Pedoman spesifikasi teknis campuran beraspal dengan aspal buton, Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.
Ramlan, R., Hanusu, A.S., Setiawan, A., 2015, Analisis Variasi Suhu Pencampuran Terhadap Durabilitas Asphaltic Concrete-Wearing Course (AC-WC ASB H), Jurnal Infrastruktur, Vol 5, hal 9 -19.
Setiawan, 2011. Studi Penggunaan Asbuton Butir Terhadap Karakteristik Marshall Asphaltic Concrete Wearing Course Asbuton Campuran Hangat (AC-WC-ASB-H).
Jurnal SMARTek, Vol. 9 No. 1, hal 11 – 27.
Sihombing, A.V.R., Subagio, B.S., Susanto, E. dan Yamin, R.A., 2019, “The Effect of Bioasphalt on Aged Asphalt” dalam Tarumanagara International Conference on the Applications of Technology and Engineering (Jakarta, Indonesia 22–23 November 2018).
Sihombing, A.V.R., Subagio, B.S., Susanto, E. dan Yamin, R.A., 2020, “Mechanical Properties of Bio-Asphalt on Recycled Asphalt Pavement Binder” dalam Proceedings of the 9th International Conference on Maintenance and Rehabilitation of Pavements—Mairepav9 (Zurich, Switzerland 1 – 3 Juli 2020).
Sihombing, A.V.R., Subagio, B.S., Susanto, E. dan Yamin, R.A., 2021. Chemical, morphological, and high temperature rheological behaviour of Bioasbuton® as an alternative binder for asphalt concrete in Indonesia. Journal of King Saud University - Engineering Sciences, Volume 33, hal 308 – 317. ISSN 10183639.
Soehardi, F., Putri, L. D., 2018, Penggunaan Aspal Buton Berbutir Pada Campuran Lapisan Perkerasan AC-BC, Jurnal Saintek STT Pekanbaru, Vol 6 No. 1, hal 6 – 14.
Syahbirin, G., Darwis, A. A., Suryani, A., dan Syafii, W., 2012, Potential of lignosulphonate of eucalyptus lignin from pulp plant as dispersant in gypsum paste, Procedia Chemistry, 4, 343-351.
Walaa, dkk., (2013), Evaluating the effect of rejuvenatorson the degree of blending and performance of high RAP, RAS, and RAP/ RAS mixtures, University of Massachusetts – Highway Sustainability Research Center.
Williams, R. Christopher, dan McCready, N. S., 2008, The Utilization of agriculturally derieved lignin as an antioxidant in asphalt binder, Final Report of Intrans Project, Iowa State University.
Williams, Ronald Christopher, Satrio, J., Rover, M., Brown, R. C., dan Teng, S., 2009, Utilization of Fractionated Bio-Oil in Asphalt, Transportation Research Board 88th Annual Meeting, 1–19.
Yamin, A., Pravianto, W., dan Dewita, H., 2014, Asbuton pracampur antara harapan dan kenyataan, Jurnal Ilmiah Poli Rekayasa, Vol 10 (1), hal 31.
Yuniarti, R, 2012, “Kinerja Bioflux pada Campuran Aspal Buton”, Konferensi Nasional Teknik Sipil KoNTeks 6, Universitas Trisakti, (Jakarta 1-2 November 2012.
Zhanping. et. Al (2013), Evaluation of Low Temperature Binder Properties of Warm Mix Asphalt, Extracted and Recorvered RAP and RAS, and Bioasphalt, University Transportation Center for Materials in Sustainable Transportation Infrastructure at Michigan Technological University.