• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

TRADISI SADENGESATHE DI LINGKARAN HIDUP MASYARAKAT ETNIS TAMIL (INDIA) DI KAMPUNG MADRAS KOTA MEDAN

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, 11 September 2020

JUNI DAHNIATY

(5)

ABSTRAK

JUNI DAHNIATY, Desember 2020. JUDUL skripsi: Tradisi Sadengesathe di Lingkaran Hidup Masyarakat Etnis Tamil (India) di Kampung Madras Kota Medan . Skripsi ini terdiri dari 5 BAB, 87 halaman, 12 gambar.

Penulisan ini berjudul Tradisi Sadengesathe di Lingkaran Hidup Masyarakat Etnis Tamil (India) di Kampung Madras. Bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses pelaksanaan upacara tradisi sadengesathe, dan menjelaskan makna- makna dari setiap bahan yang ada di dalam upacara, juga mendeskripsikan seberapa penting upacara ini dilakukan bagi perempuan etnik India Tamil.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode kualitatif dan jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari wawancara mendalam (in depth interview) dengan interview guide sebagai pedomannya serta dengan melakukan observasi partisipatif. Penelitian ini juga memakai jenis data sekunder yang didapat dari sumber buku, referensi jurnal dan internet.

Hasil penelitian ini menunjukkan tata cara pelaksanaan tradisi sadengesathe bagi kalangan perempuan etnik India Tamil. Dan betapa pentingnya tradisi ini bagi anak-anak perempuan yang telah memasuki masa remaja yang ditandai dengan munculnya menstruasi. Karena tradisi ini dilakukan secara turun-temurun yang diadakan bila sang anak gadis telah mengalami haid atau menstruasi untuk pertama kalinya.

Kata Kunci : ritus, life cycle, tradisi sadengesathe, etnik Tamil

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Di dalam kehidupan manusia selalu terdapat momen-momen yang penting, yang mengikat hidupnya dari masa lalu ke masa yang dihadapinya. Manusia akan meninggalkan suatu tingkatan kehidupan dan kemudian segera akan memasuki tingkatan kehidupan selanjutnya. Tiap tingkatan kehidupan yang satu saling berkaitan dengan tingkatan-tingkatan berikutnya. Manusia dari banyak kebudayaan percaya sekali bahwa ada suasana berbahaya yang ditemui, apabila ia tiba pada saat meninggalkan satu tingkat ke tingkat kehidupan yang lain. Untuk menghindari dan menolak bahaya tersebut, manusia menciptakan usaha untuk menyelamatkan diri dari bahaya tersebut. Usaha penyelamatan tersebut berbentuk upacara-upacara yang dilakukan sendiri atau bersama yang bertujuan untuk berkomunikasi dan mengembangkan hubungan baik dengan para kekuatan ghaib, hantu, setan, roh,dan sebagainya.

Upacara-upacara yang demikian dinamakan crisis rites atau rites de passage atau upacara peralihan oleh para antropolog. Upacara-upacara tersebut juga berfungsi sebagai sarana pengumuman kepada khalayak ramai tentang tingkatan kehidupan yang telah dicapai seseorang (Koentjaraningrat 1997: hlm. 89-90).

Begitupula dalam masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan etnis yang masing-masing suku memiliki ritus dan upacara yang berbeda-beda, yang mana religi dan upacara religi merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat suku-suku bangsa manusia yang telah banyak menarik perhatian para pengarang etnografi. Tak terkecuali etnis India Tamil.

Masyarakat India Tamil khususnya beragama Hindu juga kental akan tradisi-tradisi yang sudah

(18)

diwariskan dan dilestarikan secara turun-temurun. Di dalam penulisan laporan ini peneliti menekankan pada satu tradisi etnis India Tamil yaitu “Tradisi sadengesathe”.

Makna dari kata ritus itu sendiri adalah suatu tindakan yang biasanya terdiri dalam bidang keagamaan , yang bersifat seremonial dan tertata. Ritus ini merupakan salah satu bagian dari lima komponen religi berdasarkan pemikiran Koentjaranaingrat, sehingga ritus merupakan suatu hal yang sakral dalam tradisi-tradisi masyarakat. Dalam pemikiran Preusz dalam bukunya yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904) yang ditulisnya sekitar sepuluh tahun kemudian, ia menentukan bahwa pusat dari sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara (Koentjaraningrat 1985 : 25). Ritus ini sendiri terbagi dalam tiga golongan, yakni :

 Ritus peralihan, ialah ritus yang umumnya mengubah status sosial seseorang. Ataupun

upacara dalam kehidupan manusia dari tahap ke tahap. Contohnya dalam suku Jawa ada upacara tingkeban, kelahiran, selapanan, tedak siten, khitanan, perkawinan, dan lain-lain.

 Ritus peribadatan, ialah ritus yang dimana suatu komunitas berhimpun bersama-sama

untuk beribadah. Contohnya umat Muslim melaksanakan shalat jamaah, atau umat Kristen yang menghadiri Misa.

 Ritus devosi pribadi, ialah ritus yang mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan berziarah. Contohnya umat Muslim yang melaksanakan ibadah haji.

Van Gennep dalam Dhavomony (1995:179) menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap : pemisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap pemisahan, individu dipisahkan dari satu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur

(19)

perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan ke pada suatu tempat, kelompok atau status baru.

Van Gennep berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara umum pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia terjadi secara berulang dengan jarak waktu tertentu.

Tradisi sadengesathe adalah salah satu tradisi yang berkaitan dengan tahap peralihan dalam kehidupan seorang perempuan. Tradisi sadengesathe ini merupakan budaya dan upacara bagi masyarakat India yang dilaksanakan bila anak gadis telah memasuki masa akil balighnya atau pada saat menstruasi pertama kalinya. Sebelum memasuki masa menstruasi yang terjadi pada masa remaja, manusia khususnya perempuan mengalami perubahan dalam setiap tahap kehidupannya. Menurut (Van Gennep : 1975) bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orangtua, hingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi tahap pertumbuhan yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya itu manusia juga memerlukan

“regenerasi” semangat kehidupan sosial. Van Gennep menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap petumbuhan, atau “lingkaran hidup” individu (life cycle rites) itu sebagai rangakaian ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat dan kebudayaan manusia.

(20)

Serupa dengan banyak suku bangsa lain di Indonesia pada khususnya , etnis India Tamil juga menganggap saat-saat kelahiran, seperti masa hamil, kelahiran bayi, saat pemberian nama, saat remaja dan sebagainya sebagai saat-saat peralihan yang mengandung unsur kritis dan ritus serta upacara peralihan yang merayakan saat-saat itu, yang mempunyai ciri-ciri upacara krisis seperti apa yang diuraikan oleh A. Van Gennep (1975).

Upacara daur hidup juga merupakan bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari penghayatan manusia terkait dengan tiga fase penting kehidupannya. Kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan pendekatan biososiokultur dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran tidak hanya dilihat dari aspek biologis dan fisiologisnya saja, tetapi dilihat juga sebagai proses yang mencakup pandangan budaya yang ada sebagai pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta bayi dan ibu postpartum. Upacara tradisi dari proses kehamilan sampai dengan kematian dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, diantaranya masa kehamilan itu sendiri, kelahiran, masa anak-anak, remaja, perkawinan, dan kematian.

Selama proses tumbuh kembang tersebut berlangsung, manusia khususnya wanita perlu melakukan pemantauan sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan pendekatan siklus hidup (Life Cycle approach). Pendekatan siklus hidup berarti memperhatikan kebutuhan khas penanganan sistem reproduksi dan kesinambungan antar siklus hidup tersebut. Oleh karena itu wanita memiliki kebutuhan khusus dibandingkan pria (contoh : wanita mengalami menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui serta menopause), maka wanita memerlukan perawatan yang lebih intensif selama daur kehidupannya. Masalah kesehatan reproduksi sangat penting bagi wanita, yang apabila tidak ditangani dengan baik maka akan berakibat buruk pada masa kehidupan selanjutnya.

(21)

Di kampung Madras, tradisi sadengesathe ini termasuk salah satu tradisi yang sangat penting bagi anak gadis yang mengalami haid atau menstruasi untuk pertama kalinya. Tradisi tersebut memiliki beberapa tahapan upacara atau syarat-syaratnya, dan masih dilestarikan di daerah tersebut maupun etnik India Tamil lainnya. Walaupun sedikit demi sedikit ada juga yang mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Adapun maksud dilaksanakan tradisi tersebut ialah untuk menolak bahaya yang menghampiri si anak gadis, dan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai yang secara tidak langsung menyatakan si anak gadis siap untuk dinikahi.

Seperti yang kita ketahui bahwa pernikahan muda sangat rentan sekali dalam etnik India.

Meskipun bagi beberapa masyarakat merayakan menstruasi tersebut merupakan hal yang tabu.

1.2.Tinjauan Pustaka 1.2.1.Konsep Religi a. Definisi Religi

Ada dua konsep umum yang menjelaskan tentang ‘kepercayaan’ kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap Tuhan, yaitu antara konsep agama dan konsep religi. Menurut Koentjaraningrat (1987) bahwa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan, dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan beliau lebih menghindari istilah ‘agama’ , dan lebih menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu ‘religi’. Pendapat Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan karena beliau mengacu pada sebagian konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu :

1. Emosi keagamaan, yang menyebabkan bahwa manusia memiliki sikap serba religi dan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Getaran jiwa tersebut ada kalanya hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Emosi keagamaan itulah yang

(22)

mendorong manusia untuk berperilaku serba religi. Emosi keagamaan ini yang mendasari setiap perilaku yang serba religi itu menyebabkan munculnya sifat keramat dari perilaku tersebut, dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat.

2. Sistem keyakinan, para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang sifat-sifat Tuhan, konsepsi tentang makhluk-makhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni), masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup dan maut, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain. Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa- dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusasteraan suci.

3. Sistem ritus dan upacara keagamaan, biasanya berwujud aktivitas dan tindakan keagamaan dan berlangsung secara berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Semua itu tergantung dari isi acara upacara, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari kombinasi yang merangkaikan beberapa tindakan, tindakan tersebut seperti : berdoa, bersujud, bersaji, makan bersama, menari dan menyanyi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemedi, dan lain-lain. Adapun empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi dalam sistem ritus atau upacara religi ini, antara lain : - tempat upacara keagamaan dilakukan,

- saat-saat upacara keagamaan dilakukan atau dijalankan,

- benda-benda dan alat upacara,

(23)

- orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;

4. Umat keagamaan yang menganut sistem religi tersebut, secara khusus unsur ini meliputi soal- soal pengikut suatu agama atau kepercayaan, hubungan antara satu umat dengan umat lainnya, hubungan antara umat penganut kepercayaan dengan para pemimpin agamanya baik dalam upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari, organisasi dari para umat, kewajiban umat dalam menjalankan kepercayaannya, serta hak-hak para penganutnya.

Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Proses-proses fisiologis dan psikologis apakah yang terjadi apabila manusia terhinggap oleh getaran jiwa tadi, belum banyak diteliti oleh orang-orang yang berkepentingan tentangnya, namun demikianlah kira-kiranya keadaan jiwa manusia yang dimasuki cahaya Tuhan.

1.2.2.Konsep Simbolisme

Penggunaan pendekatan konsep simbolisme ini dikarenakan dalam penelitian ini mendeskripsikan simbol-simbol bentuk, makna,fungsi yang terdapat pada tradisi sadengesathe di Kampung Madras di Kota Medan yang mana dalam tradisi tersebut meliputi pemilihan hari baik untuk melakukan upacara tersebut, mendoakan anak gadis menggunakan bahan-bahan dan peralatan yang telah ditentukan oleh pihak keluarga, dan lain-lain. Konsep simbolisme yang digunakan dalam penelitian ini mengandung makna simbol-simbol bentuk, makna, fungsi yang terdapat dalam rangkaian tradisi sadengesathe yang pada umumnya masih dilakukan oleh

(24)

masyarakat India Tamil, yang mana semua itu berfungsi untuk mengekspresikan budaya seperti perasaan, nilai, atau gagasan.

Clifford Geertz (2003) menekankan signifikansi konteks sosial sebagai unsur yang amat penting dalam memahami makna simbol. Ia mengusulkan agar para antropolog mengalihkan penelitian dari meneliti tanda dan symbol dalam abstraksi ke penelitian tentang tanda dan simbol dalam habitat alamiahnya, dunia alamiah di mana manusia melihat, memberi warna, mendengar dan membuat. Artinya, antropologi simbolik atau interpretivisme simbolik didasarkan pada konsep bahwa para anggota masyarakat memiliki bersama sistem simbol dan makna yang disebut kebudayaan. Sistem tersebut merepresentasi realitas di mana manusia hidup.

1.2.3.Konsep Kebudayaan

Manusia dan kebudayaan tak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun kehidupan.

Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial budaya yang disebut dengan masyarakat.

Masyarakat manusia melahirkan, menciptakan, menumbuhkan, dan mengembangkan kebudayaan. Tidak ada manusia tanpa kebudayaan, begitu juga sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa manusia; tak ada masyarakat tanpa kebudayaan, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat.

Pada pertengahan kedua abad ke-19 Sir Edward Burnett Tylor (London, 2 Oktober 1832 – Wellington, 2 Januari 1917), Bapak Antropologi Budaya, Profesor Antropologi pada Universitas Oxford, Inggris, melakukan serangkaian studi tentang masyarakat-masyarakat “primitif”, yang meliputi perkembangan kebudayaan masyarakat manusia melampaui fase-fase transisi “from savage through barbaric to civilized life,” dari masyarakat liar, melewati kehidupan barbarik sampai pada kehidupan beradab. Studi tentang kebudayaan masyarakat manusia ini disampaikannya dalam 2 (dua) jilid buku berjudul Primitive Culture setebal hampir 1000

(25)

halaman (Tylor, 1871), meliputi berbagai aspek kehidupan dan ketahanan hidup, kehidupan spiritual, kekuatan magik, sihir, astrologi, permainan anak-anak, peribahasa, sajak anak-anak, ketahanan adat, ritus pengorbanan, bahasa emosional dan imitatif, seni menghitung, berbagai macam dan ragam mitologi, hingga berbagai macam dan ragam animisme, ritus dan upacara.

Konsep awal kebudayaan yang bersumber dari studi tentang masyarakat-masyarakat primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi rangkaian gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan modern. Menyusun suatu hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak berbudaya pikirkan dan lakukan, dan apa yang manusia-manusia modern berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah ilmu pengetahuan teoritik yang tak dapat diterapkan, karena persoalan ini mengangkat masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah laku modern berdasarkan atas landasan kuat ilmu pengetahuan modern yang paling masuk akal (Tylor, 1871: 443-44).

Lebih dari setengah abad kemudian, Ralph Linton (Philadelphia, Pennsylvania, 27 Februari 1893 – New Haven, Connecticut, 24 Desember 1953), Profesor Antropologi pada Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, menawarkan rumusan tentang kebudayaan yang menekankan pada faktor integrasi yang dicapai melalui tingkah laku belajar. Kebudayaan bisa dicapai dengan belajar dan sebagai hasil belajar yang dibiasakan antar anggota suatu masyarakat.

Menurut Linton,

“A culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose component elements are shared and transmitted by the members of a particular society” (Linton, 1945).

(Kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga masyarakat).

(26)

1.2.4. Konsep Wanita

Wanita adalah sosok yang memiliki perangai lemah lembut dalam bertingkah dan bertutur kata. Dan bila sorang wanita yang telah menikah, mereka bisa menjadi seseorang yang baik yang telah membuktikan cinta dan kesediannya berkorban untuk keluarganya. Pencitraan seperti ini yang sering kita dengar sebagai bentuk pencitraan terhadap sosok ibu yang baik. Makna pencitraan tersebut bahwa seorang wanita bersedia mengorbankan segala tenaga yang dimilikinya, waktu serta fikirannya untuk melayani keluarganya dengan baik. Pekerjaan wanita biasanya meliputi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, membersihkan rumah, memasak, dan mengurus anaknya bila telah menikah dan menjadi seorang ibu.

Konsep wanita ini merupakan bagian dari konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya, manusia jenis laki-laki yang memiliki sifat berikut ini : laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia laki-laki atau perempuan. Hal ini tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat (Fakih, 2004:7).

Wanita atau kerap disebut juga dengan perempuan, puteri, istri, ataupun ibu adalah sejenis mahkluk dari bangsa manusia yang halus kulitnya, lemah sendi tulangnya dan memiliki bentuk tubuh yang berbeda dari susunan bentuk tubuh lelaki. Tuhan menjadikan wanita atau perempuan berlainan susunan bentuk tubuh dengan lelaki juga memiliki perbedaan kekuatan dengan laki-

(27)

laki, dan akal fikirannya berbeda dibandingkan dengan lelaki. Perbedaan itu mengandung kepentingan dan hikmah yang tidak dapat disangkal oleh pria maupun wanita.

Secara terminologi, wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa. Secara etimologi wanita berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita yang ditata atau diatur oleh lelaki. Arti wanita sama dengan perempuan yaitu bangsa manusia yang halus kulitnya, lemah sendi tulangnya dan agak berlainan bentuk dari susunan bentuk tubuh lelaki.1

Adapun pengertian perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti “tuan”, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar.2 Plato mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spritual, perempuan memiliki mental lebih lemah daripada laki-laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya. Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang didasarkan pada kajian medis, psikologis, dan sosial, terbagi atas dua faktor, yaitu faktor fisik dan psikis.

Secara biologis atau dari segi bentuk tubuh, perempuan memiliki banyak perbedaan dengan laki-laki, dimulai dari suaranya yang lebih halus, lalu perkembangan tubuh perempuan yang terjadi lebih cepat dibandingkan laki-laki, kekuatan perempuan tidak sekuat laki-laki dan sebagainya. Dan perempuan memiliki sikap pembawaan yang anggun dan kalem, perasaan perempuan lebih sensitif dan peka seperti contoh mudah menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan yang berat.

Northrup (2002: 11) menunjukkan bahwa kaum perempuan telah mengalami proses internalisasi tentang definisi tubuh perempuan yang mengarah kepada ”denigration of the female

1Sarwono Sarlito W, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012),123

2Abdul Syani, Sosiologi: Sistematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),hal: 45.

(28)

body”, yang membuat perempuan takut, malu atau merasa jijik terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dalam proses yang sebenarnya sangat alamiah seperti menstruasi, melahirkan dan menopause, dan menempatkan sebagai bagian dari kondisi kesehatan yang membutuhkan perawatan medis.

Menurut Kartini Kartono yang menyatakan bahwa “perbedaan fisiologis yang dialami oleh perempuan sejak lahir pada umumnya kemudian akan diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat-istiadat, sistem sosial-ekonomi dan pengaruh-pengaruh pendidikan”.

Pengaruh kultural tersebut diarahkan pada perkembangan pribadi perempuan menurut satu pola hidup dan satu ide tertentu.

Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat dan kemampuan perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat-pendapat umum atas tradisi menurut kriteria-kriteria, feminis tertentu. Dalam konsep gendernya dikatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki maupun wanita merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural.3

Secara individu, menurut (Hamka, 1996.) perempuan dipandang sebagai empu atau yang artinya dihargai. Ibarat empu dalam empu jari mengandung arti penguat jari, sehingga jari tidak dapat memegang teguh jika empu jarinya tidak ada.akan tetapi dihadapan Tuhan pria ataupun wanita adalah manusia yang sama derajatnya dihadapan-Nya. Dalam agama-agama yang ada di dunia ini, wanita juga memiliki peran tersendiri dalam hal keagamaan. Dalam agama Hindu dijelaskan bahwa wanita adalah pasangan bagi pria. Seperti yang tercantum dalam kitab Weda :

”Pasangan Suami Istri, yang ingin sekali memuaskan-Mu dan mempersembahkan pemberian-pemberian bersama-sama merayakan (pemujaan terhadap-Mu), demi untuk (memperoleh) sejumlah ternak”.

3Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. IX (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal:9.

(29)

Wanita sebagai pasangan pria atau disebut istri hadir dalam peristiwa-peristiwa ini dan berpartisipasi di dalamnya melalui himne-himne pujian dan sikap yang ramah. Baik ritual domestik maupun ritual publik menekankan kehadiran bersama suami dan istri.4 Maksud dari memperoleh sejumlah ternak ialah dengan adanya persembahan dari suami istri yang tujuannya ialah memperoleh beberapa harta benda duniawi.

1.2.5. Adat Istiadat Etnik Tamil

(Fredrick Barth, 1988) mengatakan walaupun adat kebiasaan dan pandangan yang khas sering digunakan untuk mengelompokkan suku-suku bangsa, cara ini sering tidak cocok untuk diterapkan pada masyarakat yang latar belakang dan cara hidupnya berbeda; sehingga homogenitas etnik tetap dipertahankan walaupun terdapat beragam cara hidup dan bentuk sosial.

Sebagaimana etnik lainnya, etnik Tamil juga memiliki serangkaian upacara sendiri dalam merayakan berbagai peristiwa-peristiwa penting dalam daur kehidupannya. Upacara tersebut biasanya berkaitan dengan tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakat. Upacara-upacara yang dilakukan oleh mereka biasanya berfungsi untuk memaparkan atau menunjukkan sistem atau tataran yang ada (pengetahuan lokal etnik Tamil yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Hindu dan budaya Tamil).

Menurut etnik Tamil pelaksanaan upacara-upacara adat yang mereka lakukan sepanjang hidupnya lambat laun ada yang mengalami perubahan dari aslinya. Contohnya dalam pesta perkawinan, adanya suatu kebiasaan yang dilakukan para leluhur mereka yaitu menempatkan si pengantin dan kerabat berbaur dengan para tamu undangan mereka duduk pada tikar. Kemudian pada acara makan mereka tidak menggunakan piring, melainkan menggunakan daun pisang.

4Katherine K. Young, Perempuan Dalam Agama Agama Dunia, Diterbitkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, ed. Arvind Sharma (Jakarta: Suka Press, 2002), hal:74.

(30)

Menurut beberapa masyarakat hal tersebut sudah tidak lazim dilakuka karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan sangat merepotkan. Untuk itu mereka menyesuaikan dengan perkembangan zaman yakni si pengantin duduk di tempat yang telah disediakan yakni di pelaminan, sedangkan para tamu undangan dapat duduk tenang di kursi yang telah disediakan dan makan tidak perlu menggunakan daun pisang karena telah disediakan piring-piring.

Pada suatu bentuk kehidupan dengan ritus daur hidup yang biasa disebut dengan “rites of passages”, yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu prosesi perjalanan hidup manusia dalam menjalani tiap tingkatan hidup baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula dalam setiap tahap daur kehidupan wanita juga ada beberapa tradisi yang mengaturnya. Adapun penjelasan tahapan-tahapan siklus hidup wanita dan upacara adat yang dilaksanakan setiap tahapan tersebut, yakni sebagai berikut :

1. Masa Bayi (Baby)

Bayi adalah seorang anak yang muda usianya. Disini akan dijelaskan tentang bentuk rupa ketika bayi baru lahir, seperti dagu dan pinggul bayi yang baru lahir itu sempit, dengan perut agak buncit, serta lengan dan kaki yang agak pendek. Kepala bayi baru lahir itu amat besar di banding bagian-bagian badan yang lain, Sedangkan tengkorak manusia dewasa adalah kurang lebih 1/8 dari panjang badan. Ketika dilahirkan, tengkorak bayi baru lahir masih belum sempurna menjadi tulang.

Setengah bayi baru lahir mempunyai bulu halus, khususnya di belakang, bahu, dan dahi bayi. Bulu-bulu halus tersebut akan hilang dengan sendirinya dalam masa beberapa minggu.

Tidak semua bayi mempunyai rambut yang banyak. Ada yang botak, dan ada yang mempunyai rambut yang terlalu halus sehingga hampir tidak dapat dilihat. Biasanya setelah kelahiran, kulit

(31)

bayi baru lahir sering berwarna keabu-abuan hingga kebiru-biruan. Dan dalam etnis India Tamil, para bayi yang baru lahir biasanya memiliki kulit berwarna hitam.

Lalu bayi juga memiliki tali pusar. Tali pusar bayi baru lahir berwarna putih kebiru-biruan.

Selepas kelahiran, dokter akan memotong tali pusar dan tali pusar yang ada di bayi baru lahir kira-kira panjangnya 1-2 inci. Tali pusar itu akan menjadi kering dan keriput, serta menjadi hitam, dan kemudian lepas dengan sendirinya dalam kurun waktu kira-kira tiga minggu.

Dalam tradisi India Tamil, ada tradisi yang berkaitan dengan kelahiran bayi yang terdiri dari 2 rangkaian upacara yaitu :

Upacara Walai Kappu

Upacara ini dilakukan saat seorang wanita telah menikah dan hamil, yang kandungannya berusia sekitar 7-9 bulan. Dalam pelaksanaannya akan diundang kerabat-kerabat dekat saja baik dari pihak suami ataupun istri. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengundang kekuatan baik yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada calon bayi dan menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh buruk.

Upacara yang seperti ini juga ada dalam suku Jawa. Di dalam suku tersebut upacara ini disebut dengan tradisi mitoni atau tingkeban. Upacara tingkeban bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman disertai doa. Tujuannya untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.

 Upacara Pathinaru

Upacara Pathinaru ini disebut juga upacara untuk membuang sial. Upacara ini dilaksanakan pada bayi yang baru lahir, upacara ini dilakukan saat bayi tersebut berusia 16

(32)

hari. Upacara dilakukan dengan tujuan untuk pensucian sang bayi dan memohon untuk kesehatan dan keselamatan si bayi semasa hidupnya. sang bayi semasa hidupnya. Pada upacara ini juga sekaligus dijadikan upacara untuk pemberian nama bagi sang bayi. Upacara seperti ini juga ada dalam agama Islam, yang sering disebut sebagai acara aqiqah.

2. Masa Kanak-Kanak (Senepelinggo)

Pada masa ini anak-anak India Tamil juga sama seperti anak dari etnis lainnya, yakni masa untuk mengenal dan mencari terhadap hal-hal yang dilihatnya. Pada usia kanak-kanak mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Biasanya yang mempengaruhi keingintahuan mereka yakni berasal dari lingkungan sosial sekitar rumah, taman bermain, lingkungan pendidikan atau sekolah. Di masa ini anak-anak belum memahami mana yang benar atau yang boleh dilakukan dan mana yang salah atau perbuatan yang tidak baik.

3. Masa Remaja (Amble : untuk laki-laki; Pone : untuk perempuan)

Pada masa inilah laki-laki dan perempuan mulai mengalami perubahan pada tubuh secara signifikan. Baik perubahan bentuk tubuh di beberapa bagian, perubahan emosional, hormon, dan lain-lain. Perubahan yang terjadi pada tubuh tersebut biasa disebut dengan pubertas. Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa. Antara kedua masa ini tidak ada batasan yang terlihat. Dan di sini penulis lebih menekankan pubertas yang dialami oleh perempuan. Seperti contoh pada masa pubertas yang dialami perempuan diawali dengan berfungsinya ovarium dan berakhir pada saat ovarium berfungsi dengan mantap dan teratur. Pada masa ini terjadi perubahan organ-organ fisik secara cepat dan perubahan tersebut tidak seimbang dengan perubahan kejiwaannya dan terjadi kematangan seksual atau alat-alat reproduksi. Dan pada masa remaja inilah hal yang paling diteliti oleh penulis.

(33)

Yang paling diperhatikan dalam masa pubertas ini ialah bahwa sang gadis mengalami haid atau menstruasi. Menstruasi adalah siklus alamiah tubuh wanita untuk reproduksi. Menurut (Manuaba, 2009) menstruasi adalah situasi pelepasan endometrium dalam bentuk serpihan dan pendarahan akibat pengeluaran hormon estrogen dan hormon progesteron yang turun dan berhenti sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah yang segera diikuti vasodilatasi. Secara kematangan seksual (menstruasi, kematangan fisik) ini disebabkan antara lain oleh konstitusi fisik individual, ras, suku bangsa, iklim , cara hidup, dan lingkungan. Sangatlah penting bagi kaum wanita untuk mengetahui semua hal yang berkaitan dengan menstruasi terutama bagi mereka yang baru pertama kali mengalaminya.

Di kalangan masyarakat India Selatan, terdapat adat untuk mengasingkan diri bagi perempuan yang mengalami menstruasi. Mereka harus meninggalkan rumah dan tinggal di asrama yang tersedia bagi perempuan selama masa menstruasi. Menurut Irwan Abdullah, pengucilan terhadap perempuan yang mengalami menstruasi juga terdapat di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain di Toraja. Di antara bentuk pengucilan itu tidak mengikutsertakan perempuan dalam aktivitas produktif. Perempuan yang menstruasi mengalami pembatasan dalam beraktivitas maupun dalam berkomunikasi. Banyak lagi larangan yang ditujukan kepada perempuan menstruasi. Pada dasarnya larangan-larangan itu mengurangi dan menghilangkan hak-hak perempuan sebagai manusia.5

Sedangkan etnis Tamil di Medan ada tradisi atau upacara terutama bagi wanita yang mengalami menstruasi pertama kalinya. Etnis India Tamil biasanya melakukan upacara yang dinamakan “Upacara sadengesathe atau waisuki wanthepenn”.Upacara ini dilakukan pada

5Sri Suhandjati. Bias Gender dalam Pemahaman Islam. (Yogyakarta: Gama Media. 2002), hlm.

122. Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Suhendra. Haid (Menstruasi) dalam Hadis. Tesis.

Konsentrasi Al-Qur’an dan Hadis. Program Studi Agama dan Filsafat. Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. 2014, hlm. 47-49.

(34)

seorang gadis remaja yang baru pertama kali memasuki masa akil baligh. Para kerabat dan teman akan hadir pada upacara ini. Si gadis biasanya menerima hadiah dari para undangan. Namun demikian hadiah yang paling diperhatikan dari sekian banyak adalah hadiah yang diberikan oleh saudara perempuan dari bapak si gadis. Biasanya saudara perempuan dari Bapak si gadis yang dipanggil Atteh akan membawa berbagai macam jenis-jenis barang, makanan dan buah-buahan yang diletakkan dalam talam yang berisi sari, perlengkapan kosmetika untuk si gadis dan hadiah yang lazim diberikan adalah berupa emas (cincin atau kalung). Mereka akan merasa bangga bila seorang Atteh mampu memberikan hadiah tersebut.

Yang membuat upacara ini begitu penting, karena upacara ini merupakan suatu tradisi atau kebiasaan yang dilakukan etnik Tamil untuk memohon kekuatan atau restu atau perlindungan untuk menjauhkan si gadis dari pengaruh-pengaruh buruk. Dan upacara ini dilaksanakan sebagai salah satu sarana pengumuman kepada masyarakat bahwa anak gadisnya sudah mengalami menstruasi dan sudah siap untuk dinikahi. Dan upacara ini juga menjadi penghalang pernikahan bila para gadis India tidak melakukannya. Sehingga bila ada anak gadis yang inigin menikah tetapi belum melakukan tradisi sadengesathe sebelumnya, maka di saat menjelang pernikahannya diwajibkan melakukan upacara tersebut walaupun hanya dengan beberapa syarat utama.

Selain etnis India yang memiliki tradisi yang khas bagi perempuan yang mengalami menstruasi untuk pertama kalinya yang lebih umum dikenal dengan sebutan “Tradisi sadengesathe”, ternyata ada juga beberapa suku yang memiliki tradisi yang serupa. Dan di sini penulis membahas tiga suku yang masih kental budayanya dalam menjalani tradisi tersebut. Tiga suku tersebut yakni suku Naulu-Dusun Rohua (Maluku) yang tradisi menstruasinya disebut

“Tradisi Pengasingan”, di suku Jawa dikenal dengan “Upacara Tarapan”, dan yang terakhir pada

(35)

masyarakat Gorontalo yang dikenal dengan tradisi adat Mo Me’ati. Berikut ialah penjelasan tradisi masing-masing :

a. Tradisi Pengasingan bagi Perempuan Suku Naulu-Dusun Rohua Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku

Dalam masyarakat suku Naulu-Dusun Rohua terdapat banyak perlakuan hal tabu terhadap perempuan yang berkaitan dengan hal menstruasi yang lumrah dialaminya. Hal ini diperkuat oleh kepatuhan suku tersebut terhadap kepercayaan asli dalam menjalankan ritual-ritual adat yang dipercaya sebagai perintah wajib yang diberikan oleh para leluhur atau Sang pencipta.

Sehingga tradisi ini masih kental keasliannya serta tetap dilestarikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Tradisi menstruasi pada suku Naulu lebih dikenal dengan “Tradisi Pengasingan”. Tradisi dilakukan sejak zaman leluhur yang wajib dilakukan bagi suku Naulu. Tradisi ini menjadi suatu keharusan dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga tradisi ini sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat suku tersebut. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk menjaga tatanan kehidupan bersama, jika tidak ada tradisi pengasingan kepada perempuan di saat menstruasi, maka kehidupan spiritual, moral dan sosial masyarakat akan hancur. Makna tradisi ini sama halnya dengan etnis India, yakni upacara masa dewasa bagi anak perempuan mempunya arti penting dalam tata kehidupan masyarakat suku Naulu, karena pesta adat yang diadakan terkait dengan upacara ini merupakan penyataan bahwa di dalam masyarakat telah bertambah seseorang perempuan dewasa yang telah siap dinikahi dan membangun biduk rumah tangga.

Berikut penjelasan terkait dengan tradisi pengasingan ini. Gadis yang mengetahui bahwa ia telah mendapat menstruasi pertamanya, harus memberitahu kepada keluarganya yakni terutama

(36)

ibunya. Kemudian sang ibu mengumpulkan kerabat untuk menyiapkan Posune. Posune merupakan rumah pengasingan untuk si gadis saat menstruasi, bentuk bangunannya seperti rumah mungil yang dilingkari tertutup dengan daun kelapa yang bertujuan untuk melindungi si gadis dari roh-roh jahat dan sebagai penangkal bagi diri si gadis agar bahaya kenajisan dari dalam dirinya tidak keluar.

Setelah si gadis masuk ke dalam posune dia tidak diperbolehkan untuk mandi hanya diperbolehkan mengoleskan pasta arang pada seluruh bagian tubuhnya kecuali gigi, hal ini berlaku sampai akhirnya tiba pada acara pemandian yang diperkirakan dalam waktu 3 sampai 2 minggu tergantung masa menstruasi si gadis. Selama si gadis mendiami rumah tersebut, para keluarga dan kerabat melakukan penebangan pohon sagu utnuk makanan si gadis dan melakukan kegiatan berburu. Lalu mereka mengadakan rapat untuk menentukan waktu si gadis keluar dari pengasingannya. Lalu si gadis diberikan pakaian adat dan dioleskan ramuan pada wajahnya di depan posune. Setelah itu, si gadis dituntun berjalan menuju rumah adat sesuai marganya dan disaksikan oleh semua orang yang ada di dusun tersebut. Lalu diadakan upacara papar gigi, yang diawali dengan menaikkan doa. Papar gigi dilakukan dengan menggunakan batu khusus yang digosokkan ke gigi si gadis sampai seluruhnya menjadi rata. Batu tersebut dirahasiakan nama dan bentuknya karena dianggap sakral bagi suku tersebut. Kemudian keesokan paginya, si gadis diantarkan ke sungai yang berlokasi tidak jauh dari dusun tersebut dan si gadis dimandikan. Lalu kepala suku berdoa memohon untuk keselamtan si gadis, doa tersebut merupakan bagian akhir dari rangakian upacara yang dilakukan, dan dia dinyatakan sebagai perempuan dewasa.

Kemudian acara dilanjutkan dengan semua rombongan upacara dan seluruh masyarakat di dusun tersebut diundang untuk mengambil bagian dalam acara makan bersama (makan patita) dan mengikuti pesta. Perayaan ini berlangsung 30 sampai 40 hari tergantung dari kesanggupan

(37)

dari keluarga si gadis. Gadis tersebut tidak diperkenankan meninggalkan Posune walaupun masa menstruasinya sudah berakhir, sebelum keluarga dan kerabat selesai menyiapkan keperluan perayaan dan pesta terakhir.

b. Upacara Tarapan pada Suku Jawa di Yogyakarta

Suku Jawa juga kental dengan kebudayaan dan adat istiadat. Contoh upacara adat dari suku Jawa yaitu yang berkaitan dengan daur hidup manusia, seperti tradisi mitoni, tedhak siten, tetesan, tarapan, dan lain-lain. Dan yang berkaitan dengan menstruasi adalah upacara tarapan.

Upacara tarapan merupakan upacara yang diperuntukkan bagi anak perempuan yang mendapatkan haid pertama kali yang biasanya pada usia sekitar 12 sampai 15 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk :

- Menghindarkan individu yang dalam keadaan kritis dari gangguan gaib.

- Untuk menyatakan kepada khalayak ramai bahwa individu tersebut telah memasuki status sosial yang baru, yakni dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau dewasa. Dan pertanda perempuan tersebut sudah siap secara fisik untuk dibuahi dan menjalani kehamilan sebagai salah satu tugas seorang perempuan.

- Memberikan pendidikan kepada individu yang bersangkutan bahwa dia sudah memasuki tahap kehidupan yang lebih tinggi yaitu kehidupan dewasa.

Pelaksanaan upacara dilakukan selama tujuh hari setelah permulaan menstruasi yan pertama. Pada zaman dahulu, seorang gadis tersebut tidak diijinkan keluar rumah yang biasa dikenal dengan sebutan “dipingit”. Selama tujuh hari itu pula si gadis melakukan pengasingan di kamarnya sendiri. Selama pengasingan ibu dan sanak saudara si gadis melakukan tuguran (tidak tidur di malam hari) secara bergiliran dan silih berganti. Tujuannya untuk menemani si gadis,

(38)

dan juga untuk memberikan nasihat dan bekal hidup bagi si gadis menyangkut tugas, kewajiban, pantangan, anjuran yang harus dilakukan sesudah memasuki masa dewasa.

Setelah melewati masa tujuh hari, dilanjutkan dengan adat siraman, si gadis mengenakan pakaian adat lengkap, kemudian diberikan diberi berbagai obat-obatan tradisional yang berupa jamu mamahan dan jamu godhogan, menelan telur mentah, diberi alas duduk yang berasal dari dedaunan dan empon-empon yang seluruhnya dimaksudkan untuk menjaga kesehatan, kebugaran, juga kecantikan si gadis. Lalu dilaksanakan kenduri atau pesta dan pembacaan doa- doa untuk memohon keselamatan.

Dalam pelaksanaan upacara tarapan dilakukan sesuai dengan empat golongan kelompok sosial, yaitu :

 Golongan bangsawan

 Golongan rakyat biasa

 Golongan petani di pedesaan tepi pantai

 Golongan masyarakat beragama Buddha

Keempat golongan tersebut memiliki karakteristik masing-masing yang berpengaruh pada pelaksanaan upacara tarapan ini. Namun demikian mengingat sumber semua upacara tradisional itu bermula dari golongan bangsawan yang tinggal di Keraton, maka pada tiga golongan yang lainnya pada prinsipnya mengikuti apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan namun cenderung lebih sederhana sesuai dengan kondisi golongannya. Sehingga apa yang dilakukan oleh golongan bangsawan menjadi acuan bagi golongan-golongan lainnya. Dan poin dari tradisi ini adalah perayaannya dilakukan berdasarkan golongan-golongan individunya dan keluarganya.

c. Upacara Mome’ati pada Suku Gorontalo

(39)

Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia yang kaya dengan nilai- nilai agama yang dikonstruk oleh penganutnya menjadi nilai-nilai budaya. Hal ini karena, praktek tradisi, adat dan syara’ banyak diwarnai oleh ajaran Islam, sehingga falsafah Gorontalo yang dikenal dalam bahasa daerahnya “adati hulahulaa to syaraa, syaraa hulahulaa to Quruani” yang artinya “adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah”6. Tradisi Islam merupakan hasil dari dari proses dinamika perkembangan agama tersebut dalam ikut serta mengatur pemeluknya dan dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Tradisi Islam lebih dominan mengarah pada peraturan yang sangat ringan terhadap pemeluknya dan selalu tidak memaksa terhadap ketidak mampuan pemeluknya. Beda halnya dengan tradisi lokal atau tradisi adat yang awalnya bukan berasal dari Islam walaupun pada tarafnya perjalanan mengalami asimilasi dengan Islam itu sendiri. Salah satu adat yang sudah diasimilasi dengan Islam yaitu adat mome’ati yang ada pada masyarakat Gorontalo pada umumnya dan masyarakat kota Gorontalo pada khususnya. Adat inipun merupakan salah satu adat yang mendapatkan legalitas dari pemerintah Provinsi Gorontalo. Bahkan, dijadikan sebagai aset kekayaan budaya masyarakat Gorontalo.

Akulturasi ajaran agama dan tradisi yang unik terkait hal ini yaitu, masyarakat Gorontalo lazim melakukan upacara baiat atau dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan “mo me’ati”

sebagai kegiatan upacara tradisi untuk menyambut anak perempuan mereka yang mendapatkan menstruasi pertamanya. Inti acara yang sangat bernuansa religius ini adalah mengantarkan seorang gadis menjadi muslimah seutuhnya.7 Anak gadis yang telah menginjak masa akil balig

6 Moh. Karim Baruadi. Sendi Adat dan Eksistensi Sastra; Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo (Jurnal el-Harakah. Vol. 14, 2 Tahun 2012) h. 296

7 Ahmad Syarifuddin. Khitan dan Baiat Untuk Akil Balig Anak Kita.

(http://lazisharomain.blogspot.com/2011/01/khitan-dan-baiat-untuk-akil-balighanak.)

(40)

itu dituntun seorang pemuka agama untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, yakni kalimat ikrar peneguhan tauhid sebagai seorang muslimah. Setelah itu, sang gadis membacakan rukun iman, rukun Islam, dan rukun ihsan. Prosesi itu disaksikan ayah, ibu, nenek, kakek, dan seluruh anggota keluarga serta handai taulan sebagai pertanda bahwa si gadis berikrar (momeqati)8 akan memegang teguh syariat dan ajaran Islam. Poin penting dalam upacara ini ialah untuk mendekatkan si anak gadis dalam ajaran dan syariat agama Islam. Dan si anak gadis memahami akidah-akidah Islam sebagai pedoman mereka ke jenjang kehidupan berikutnya, contoh pada saat mereka menikah.

4. Masa Dewasa (Amble : untuk laki-laki, Pone : untuk perempuan)

Masa dewasa adalah salah satu fase dalam rentang kehidupan manusia setelah melewati masa remaja. Pengertian masa dewasa dari sisi biologisnya dapat diartikan sebagai suatu periode dalam kehidupan manusia yang ditandai dengan pencapaian kematangan tubuh secara optimal dan kesiapan untuk bereproduksi (memiliki keturunan). Dari sisi psikologisnya, masa ini dapat diartikan sebagai periode dalam kehidupan manusia yang ditandai dengan ciri-ciri kedewasaan atau kematangan yaitu: (1) kestabilan emosi (emotional stability), mampu mengendalikan perasaan tidak mudah marah, sedih, cemas, gugup, frustasi, atau tidak mudah tersinggung. (2) memiliki kesadaran realitasnya (sense of reality) cukup tinggi mau menerima kenyataan, tidak mudah melamun bila mengalami kesulitan, tidak menyalahkan orang lain atau keadaan bila mengalami kegagalan. (3) bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda; dan (4) bersikap optimis dalam menghadapi kehidupan.

8momeqati (pembacan ikrar dan nesehat) ialah sejumlah kata yang digunakan masyarakat Gorontalo dalam ritual dan peradatan mome’ati (pembeatan) seorang gadis yang dinobatkan menjadi seorang muslim sejati.

(41)

Pada masa atau tahapan ini pria dan wanita sudah memiliki ketertarikan satu sama lain.

Sehingga pria dewasa dan wanita dewasa bila telah memiliki kecocokan maka akan melanjutkan kehidupannya ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Di dalam kebudayaan masyarakat manapun, perkawinan adalah sebuah institusi yang dipandang suci, dengan tujuan meneruskan generasi manusia. Perkawinan akan melibatkan sistem religi, ekonomi, kekerabatan, dan sistem sosial lainnya.

Upacara perkawinan ini dalam kebudayaan Tamil disebut thirumanam. Berasal dari dua kata thiru dan manam. Kata thiru berarti tentang, berasal dari atau berhubungan dengan Tuhan, di sisi lain kata manam berarti menyatukan. Jadi kata thirumanam dalam perspektif agama Hindu adalah penyatuan kedua jenis manusia atau kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan keseluruhan rangkaian thirumanam terdiri dari: (a) upacara melamar yang disebut niscchayam;

(b) upacara tunangan yaitu parisam; (c) upacara perkawinan (thirumanam). Pada upacara niscchayam, sebelum upacara melamar, wakil dari laki-laki akan mendatangi pihak perempuan untuk menanyakan apakah bersedia memberikan anak gadisnya untuk dijadikan menantu. Jika pihak perempuan setuju, maka tahapan berikutnya pihak laki-laki akan datang ke kediaman pihak perempuan untuk membicarakan masalah-masalah selanjutnya, seperti kapan pelaksanaan upacara akan diadakan, apa persiapan ke arah sana, siapa saja yang mengelolanya, dan lain-lain.

5. Masa Lansia atau Menopause (Tata : untuk laki-laki, Pati : untuk perempuan) Masa lansia merupakan aspek terakhir dalam fase daur hidup manusia. Pada masa ini sistem tubuh dan kekebalan tubuh manusia mulai berkurang. Aspek fisik manusia juga sudah mulai mengalami penurunan fungsi, seperti fungsi alat-alat indra, organ tubuh, dan lain-lain. Dan pada masa ini manusia juga mengalami penyakit yang belum pernah dialami sebelumnya (seperti

(42)

rematik, asam urat, diabetes, dan lain-lain). Dan pada wanita akan mengalami menopause atau tidak mengalami periode menstruasi lagi pada usia lanjut ini.

Adapun upacara yang terakhir dalam masyarakat etnik India Tamil, yaitu :

 Upacara Kematian

Rangkaian upacara terakhir yang dilakukan pada setiap individu ialah upacara kematian.

Sesuai dengan ajaran agama Hindu yang dianut etnik Tamil bahwa sebenarnya di dalam badan manusia memiliki roh atau yang disebut dengan atma. Roh atau atma ini akan tetap kekal dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tinggallah jasad atau badan yang sudah tidak memiliki roh atau atma. Karena selama hidup telah banyak melakukan pengorbanan maka kelurga yang ditinggalkan merasa sangat perlu menghormati mereka yang telah meninggal.

Pada umumnya ada dua upacara yang dilakukan apabila seseorang telah meninggal dunia.

Pertama dibakar dan kedua adalah di kebumikan. Hal ini dilakukan atas permintaan mereka yang telah meninggal pada semasa hidupnya, yang lazim dilakukan adalah dibakar, karena etnik Tamil meyakini badan manusia terbentuk dari 5 unsur alam yaitu api, air, udara, tanah, gas sehingga apabila dibakar maka akan mempercepat proses kembalinya atma (jiwa) mereka kepada unsur- unsur tersebut. Dan biasanya kalau setelah dibakar, abu dari orang yang meninggal tersebut dibuang di laut lepas. Dan pembakaran itu sendiri mayoritas orang Tamil di Medan ini melakukannya di daerah Deli Tua.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi sadengesathe dan keterkaitan tradisi tersebut terhadap segala fungsi?

(43)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan mengenal tradisi sadengsathe pada masyarakat etnik India tamil dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.

2. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan perempuan etnik India Tamil yang menjalani atau pun tidak menjalani tradisi tersebut.

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi penulis, diharapkan mampu menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai masalah yang akan diteliti terutama yang berkaitan dengan tradisi sadengesathe dalam lingkaran hidup perempuan etnik India Tamil.

2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan, informasi, dan wawasan tentang tradisi kebudayaan etnik India Tamil yang unik dan beragam.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data dan gambaran mendalam mengenai semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan fungsi tradisi sadengesathe pada etnik Tamil, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi.

1.5.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan tepatnya di Jalan Tengku Cik Ditiro, yang mana daerah tersebut dikenal dengan sebutan Kampung Madras. Dan mayoritas penduduknya merupakan masyarakat etnik India Tamil. Penelitian ini pun diambil karena masyarakat tersebut

(44)

sangat komplek dan kental akan tradisi budaya. Tetapi penulis juga melakukan wawancara di lokasi yang berbeda yakni di daerah jalan Mangkubumi dan Jalan Brigjend Katamso.

1.5.2.Teknik pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mengumpulkan data-data (jika ada) sebelumnya, sumber data ini bisa berupa sumber data sekunder dan sumber data primer. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa berkas-berkas dan literature yang ada kaitannya dengan masalah penelitian. Kemudian, sumber data primer yakni tokoh-tokoh masyarakat, instansi terkait yang memberi informasi tentang masalah terkait. Dengan hal itu makan akan dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan cara pengamatan (observasi) dan dokumentasi serta wawancara observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1986:136).

Untuk memperoleh data yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat memberikan gambaran permasalahan secara menyeluruh maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Wawancara

Dari data penulisan ini peneliti melakukan tanya jawab secara langsung dengan beberapa informan. Di sini peneliti mewawancarai orangtua atau keluarga yang pernah melakukan tradisi sadengesathe untuk putrinya, dan mewawancarai pendeta atau tokoh agama di daerah Kampung Madras tersebut. Di sini penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yakni Ibu Rajima, Ibu Tina, Pak Chandra, Ibu Weliman, Ibu Angelina Dewi, Ibu Seroja, Kak Sumitra Dewi, Ibu Seroja, dan Pak Dewadas.

(45)

Teknik wawancara ini juga memanfaatkan sarana komunikasi lainnya misalnya telepon pintar dan jaringan internet. Dalam mengumpulkan data dengan menggunakan teknik ini, penulis awalnya akan membuat janji bertemu dengan informan terlebih dahulu agar waktunya cocok dengan informan. Selain itu penulis jugan menggunakan telepon pintar untuk merekam setiap rekaman wawancara yang berlangsung sehingga dapat memudahkan penulis dalam memperoleh data primer.

2. Observasi Partisipan

Peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian yakni di daerah kampung Madras. Peneliti akan ikut serta dalam melaksanakan tradisi sadengesathe tersebut, bila saat penelitian bertepatan dengan pelaksanaan tradisi tersebut. Peneliti akan mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan tradisi ini. Seperti tahap-tahap cara melaksanakannya, lalu peralatan ynag tersedia, siapa saja yang terlibat dalam tradisi ini, dan lain-lainnya.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyalin data- data atau arsip-arsip yang tersedia pada interview guide. Dan di sini penulis menggunakan alat bantu kamera telepon genggam untuk mendokumentasikan gambar-gambar di lokasi penelitian.

Dan menggunakan alat bantu rekam suara yang ada di dalam fitur ponsel guna merekam percakapan atau dialog yang dilakukan di lapangan.

1.6. Pengalaman Penelitian

Pertama kali untuk melakukan penelitian penulis sedikit kebingungan mau ke rumah yang terlebih dahulu didatangi, karena penulis tidak mengenal satu pun etnis India di wilayah Kampung Madras. Lalu teman saya yang kebetulan etnis India menyarankan untuk ke rumah

(46)

attehnya saja yang tinggal di lokasi tersebut. Jadi, pada tanggal 18 November 2018, saya memulai penelitian di Jalan Karuma Kecamatan Medan Petisah dalam tepatnya berlokasi di dekat Kuil Shri Mariamman. Saya pergi ke lokasi tersebut bersama tetangga saya yang keturunan etnis Tamil juga, yang bernama Sumitra Dewi, dia berusia 27 tahun. Saya memilih dia sebagai teman untuk ke lokasi penelitian agar mempermudah saya berinteraksi dengan penduduk daerah tersebut yang mayoritas etnis Tamil dan juga mengikuti sarannya untuk mewawancarai beberapa kerabatnya saja dahulu untuk mendapatkan info awal.

Saya sampai di lokasi sekitar pukul 10.30 WIB, saya datang dengan mengendarai sepeda motor bersama dengan teman saya tersebut. Saat di lokasi saya sedikit kebingungan untuk meletakkan motor saya agar aman. Sebab saat kami sampai di lokasi tersebut rumahnya berdempet-dempetan antara satu dengan yang lain sehingga tidak ada lahan parkir. Lalu teman saya menyarankan untuk menaruh motornya di lapangan dekat kawasan tersebut. Orang-orang sekitar daerah tersebut awalnya membuat saya merasa sedikit canggung, mereka melirik-lirik saya dan teman saya, yang mungkin bagi mereka asing karena kami bukan warga di daerah tersebut. Lalu saya berdiskusi dengan teman saya tersebut untuk memulai darimana wawancaranya. Lalu dia menawarkan untuk mewawancarainya attehnya terlebih dahulu. Dari lahan parkir tersebut kami pergi ke rumah attehnya teman saya dengan berjalan kaki, saat itu keadaan rumah tampak sepi, yang ada di rumah hanya atteh dari teman saya. Attehnya bernama Rajima, beliau berumur 84 tahun.awalnya teman saya bercengkrama sebentar dengan attehnya, lalu dia membantu saya untuk mewawancarai attehnya. Awalnya atteh tersebut sedikit bingung atas kedatangan saya apalagi ketika saya mewawancarainya. Tapi teman saya membantu meyakinkan beliau, bahwa saya sedang melakukan penelitian untuk skripsi. Lalu attehnya pun bersedia diwawancarai dengan menceritakan segala hal yang diketahuinya terkait tradisi

(47)

sadengesathe. Kesan saya saat memasuki rumah beliau ternyata orang India Tamil termasuk orang yang pembersih, karena dilihat dari keadaan rumahnya yang bersih dan barang-barangnya tertata rapi. Sehingga mengaburkan pandangan orang awam yang sering melakukan diskriminasi terhadap kulit mereka yang sering direndahkan karena memiliki kulit hitam dan dianggap kotor, padahal faktanya walaupun mereka hitam tetapi mereka merupakan contoh orang yang cinta kebersihan dan kerapian.

Selama proses wawancara saya sedikit bingung karena atteh tersebut berbicara sedikit rancu sebab beliau terkadang menggabungkan Bahasa Tamil dan Bahasa Indonesia. Jadi saat merekam dan mencatat saya sedikit bingung mengartikan makna perkataan beliau. Untungnya teman saya sedikit paham bahasanya sehingga mempermudah saya untuk memahami isi percakapan yang ada setelah mendengar rekaman tersebut. Dan dalam wawancara tersebut attehnya terkadang lupa tahapan dalam tradisi sadengesathe sehingga informasi yang didapatkan dari beliau sangat sedikit.

Setelah dari rumah atteh Rajima, kami berkeliling lagi di wilayah tersebut guna mencari informan berikutnya. Lalu setelah itu saya berdiskusi dengan teman saya untuk mencari informan berikutnya. Dan kami bertemu informan yang kedua di dekat parkiran motor. Ibu tersebut bernama Tina, beliau berusia 64 tahun. Kami bertemu beliau saat beliau sedang duduk- duduk bercengkrama dengan tetangga di warung mie balap daerah tersebut. Mulanya kami memohon izin sebentar kepada beliau karena mengganggu waktu bersantainya. Dan syukurnya beliau menerima kami dengan baik dan mengajak kami ke rumahnya. Kebetulan saat kami kesana masyarakat etnis India Tamil masih dalam momen merayakan Depawali. Sehingga saat kami masuk ke rumah beliau, beliau langsung menyuguhkan kami kue-kue raya seperti kue nastar, kue kacang hijau, kacang tojin, dan lain-lain. Rumah beliau sangat sederhana, bersih, dan

(48)

barang-barang yang ada tersusun rapi walaupun beliau hanya tinggal sendiri. Dan beliau juga sangat ramah dengan kami sehingga saat wawancara berlangsung kami merasa nyaman satu sama lain dan terkadang diselingi lelucon atau candaan.

Setelah dari rumah bu Tina kami mencari informan lainnya. Namun informan yang ketiga ini saya tidak mendapatkan dari warga daerah tersebut. Karena di hari tersebut hampir seluruh warga sedang pergi ke acara pernikahan di suatu gedung. Jadi kami pergi ke wilayah lain, kami pergi ke daerah kampung anggrung tepatnya berada di belakang Hermes. Di sana kami mewawancarai salah satu warga yang bernama bu Weldima. Kami mewawancarai beliau atas saran dari bu Rajima. Karena menurut beliau bu Weldima lebih memahami tradisi sadengesathe tersebut karena beliau sering melakukan upacara tradisi sadengesathe baik untuk anak perempuannya atau pun untuk cucu-cucunya yang telah memasuki masa akil baligh.

Saat saya mendatangi rumah beliau, beliau sedang beristirahat di ruang tamu. Dan rumahnya termasuk cukup ramai, ada tiga orang cucunya yang sedang menonton televisi, dan ada anak perempuannya yang sedang masak di dapur. Di sini saya dan teman saya disambut dengan sangat baik dan ramah. Malahan sebelum saya merekam isi wawancara dengan beliau, beliau menanyakan kepada saya perihal tentang apa saja pertanyaan yang akan saya tanyakan kepada beliau, agar isi rekamannya berurut sesuai dengan daftar pertanyaan yang saya buat. Tak lupa pula saya mendokumentasikan photo-photo informan yang saya wawancarai saat itu. Saya menyelesaikan wawancara di sore hari dan setelah itu saya dan teman saya pulang ke rumah.

Lalu, saya pergi lagi wawancara di tanggal 22 Januari 2019. Di sini saya pergi ditemani oleh teman saya yang satu jurusan yang bernama Yufa Ilhammy. Awalnya saya menjemputnya di rumahnya di Jalan Prof. H.M. Yamin Gang Lurah. Saya menjemputnya sekitar pukul 11.00 WIB, dan kami langsung bergerak ke tempat tujuan wawancara yakni di Kuil Shri Mariamman.

(49)

Awalnya saya sedikit ragu ke kuil, karena berdasarkan hasil wawancara dengan tiga informan sebelumnya, mereka menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tradisi sadengesathe tidak diperlukan pendeta karena hanya atteh-atteh dari keluarga ayah si gadis yang melaksanakannya.

Tapi saya tetap ke kuil tersebut untuk menggali informasi lebih dalam dan memastikan anggapan atau pendapat dari informan.

Setelah sampai di kuil kami memarkirkan motor di dekat pintu gerbang kuil. Dan kebetulan kuil saat itu sedang buka. Dan kami pun masuk ke dalam kuil setelah membersihkan kaki di wilayah dekat gerbang kuil. Saat memasuki wilayah dalam kuil kami sedikit bingung untuk memulai darimana, karena saat itu kuil sangat sepi. Yang kami lihat hanya dua orang ibu- ibu yang sedang mengobrol dalam kuil, jadi saya menghampirinya dan bertanya-tanya tentang tradisi sadengesathe dan menanyakan keberadaan pendeta kuil tersebut. Dan ternyata beliau juga kurang mengetahui tentang tradisi sadengesathe walaupun beliau pernah melaksanakan untuk anak gadisnya. Menurut beliau orang-orang tua yang lebih yang banyak mengetahuinya.

Kemudian saya mencari keberadaan pendeta di kuil tersebut. Tetapi saya tidak menemukannya, yang ada hanya seorang pemuda yang bertugas membersihkan seisi kuil. Saat saya mengahmpiri pemuda tersebut dia sedang tidur di salah satu kursi di belakang patung- patung. Saya segan membangunkannya, sehingga saya meminta tolong kepada salah satu dari ibu-ibu tadi untuk membangunkannnya. Lalu pemuda tersebut bangun, lalu saya menanyakan perihal tradisi tersebut sesuai pengetahuannya. Namun beliau menyarankan untuk datang ke kantor yang berada di belakang kuil untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Karena kantor tersebut adalah pengurus kuilnya. Kemudian saya dan teman saya bergegas ke belakang kuil. Kami sedikit bingung karena tidak ada orang di wilayah tersebut, lalu kami naik ke lantai dua dan di situlah kami menemukan kantor kepengurusan Kuil Shri Mariamman. Di sana kami

(50)

bertemu dengan Pak Chandra, beliau saat itu sedang sibuk menangani beberapa surat sehingga kami diminta untuk menunggu beliau di ruangan sebelahnya.

Kami menunggu beliau di ruangan tersebut, kurang lebih dalam jangka waktu 15 menit beliau menghampiri kami.Lalu kami berkenalan terlebih dahulu dengan beliau. Beliau menyambut kami dengan sangat baik dan ramah. Lalu beliau mempersilahkan kami duduk, kemudian beliau menanyakan perihal apa saja yang ingin saya ketahui tentang tradisi tersebut.

Beliau pun menjelaskan dengan sangat baik sehingga wawancara kami dengan beliau berlangsung sangat lama. Informasi yang saya dapatkan dari beliau sangat membantu tulisan saya ini. Dan beliau pun menawarkan untuk bergabung bila ada acara-acara etnis Tamil, dan saya pun menerimanya dengan senang hati.

Pada tanggal 25 Sepetmber 2019 saya melakukan penelitian lagi. Saya pergi penelitian bersama teman saya Dewi Handikayani. Kami menjumpai informan di daerah Kmapung Anggrung, di sana saya menemui saudara dari Kak Sumitra Dewi yang bernama Bu Seroja, beliau menerima kedatangan kami dengan sangat baik. Namun saat wawancara berlangsung ada beberapa pertanyaan yang beliau kurang tahu jawabannya. Sehingga beliau mengajak saya untuk datang ke Jalan Darat bersama beliau keesokan harinya. Kami sepakat untuk bertemu pukul 4 sore keesokkan harinya yakni pada tanggal 26 September 2019. Dan keesokan harinya, saya pergi sendiri ke daerah tersebut, Karena beliau mengatakan menunggu saya di warung kopi dekat Jalan Darat tersebut. Namun saat saya sampai di lokasi, saya tidak menemukan ibu tersebut.

Saya berinisiatif untuk kembali ke rumah beliau, tetapi beliau juga tidak ada di rumah. Sehingga saya tidak bisa melanjutkan penelitian di hari tersebut.

(51)

Kemudian saya pergi penelitian di tanggal 30 September 2019, saya ditemani oleh ibu saya sendiri. Kami pergi ke kedai dekat Istana Maimun untuk menemui informan saya yang selanjutnya. Di sana saya mewawancarai Pak Dewadas. Beliau tidak hanya bekerja sebagai pedagang, namun juga sebagai jasa make up untuk acara gadis, acara pernikahan orang India, dan acara kematian. Awal kedatangan saya bapak tersebut sedikit terkejut karena saya menemuinya secara dadakan dan tiba-tiba. Lalu saya menjelaskan maksud kedatangan saya untuk mewawancarainya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan skripsi saya. Awalnya saya ingin merekam suara beliau saat kami berdialog, namun beliau dengan sangat baiknya meminta buku saya agar beliau tulis semua tentang semua yang berkaitan dengan skripsi saya. Sehingga saya pun menurutinya, beliau menyambut kami dengan baik dan sambil wawancara beliau juga menyuguhkan kami minuman dan makanan ringan. Dan setelah wawancara saya selesai tak lupa pula saya mengucapkan terima kasih banyak karena beliau sudah banyak menolong skripsi saya.

Dan beliau juga menawarkan bila ada hal-hal yang mau ditanyakan atau informasi yang didapatkan kurang, agar menemui beliau lagi.

Adapun kendala yang dihadapi penulis selama penelitian, yaitu kurangnya informasi tentang orang yang sedang melaksanakan upacara ini, karena upacara ini dibuat secara mendadak. Sehingga penulis hanya pernah mengikuti dan melihat tradisi tersebut beberapa kali.

Gambar

Gambar 4.2.Keluarga yang sedang melaksanakan upacara sadengesathe.
Gambar 4.5. Si gadis didoakan oleh salah satu atteh dengan menggunakan  api suci dan diberikan tanda di dahinya dengan menggunakan bubuk
Gambar 4.6. Beberapa syarat dibuang di dekat rumah keluarga si gadis. Sumber :  Dokumentasi penulis(2019)
Gambar 4.8. Anak Pak Dewadas beserta warse yang dibawakan oleh  keluarganya. Sumber : Dokumentasi Pribadi Pak Dewadas (2017)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat bahwa dangdut tak jarang dipandang sebelah mata, maka diadakan penelitian mengenai Pengaruh Terpaan Tayangan D’Academy

Lebih lanjut menurut keterangan Kasi Perkebunan Maluku Tengah, Octo Patty, Bahwa kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah DaerahMaluku Tengah antara lain ; a)

Menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang diampu untuk mencapai tujuan pembelajaran secara

a) Iterasi 1 : dari Tabel 3.58 diperoleh penghematan terbesar 7,85 yaitu pengabungan rute untuk TPS SMP 1 Mlati dan TPS Polsek Cebongan. Dilakukan pengecekan apakah

2.1.1 Menghayati dan mengamalkan sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, dan gotong royong dalam menyelesaikan soal yang terkait dengan materi merubah

Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pedoman Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah, perlu ditetapkan pedoman

Mengacu pada empat model komunikasi yang dikemukakan oleh Grunig tentang model komunikasi kehumasan yang dilakukan pada masyarakat, maka dalam penelitian proses

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan, ada perbedaan pengaruh antara pembelajaran pendekatan bermain dan konvensional terhadap peningkatan kemampuan sprint 60