• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KURIKULUM 2013

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan yang diampu oleh Dr. H. Maman Rusmana, M.Pd

Disusun oleh: Nama : Dalfa Fariha NIM : 13222051 Kelas : 1B

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat serta salam semoga terlimpah curah kepada Nabi Muhamad SAW yang telah memberikan contoh suritauladan yang baik, terutama yang telah memberikan contoh pendidikan yang sangat bermanfaat bagi seluruh umat-Nya. Atas karunia dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013 ”.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pembaca agar mengetahui lebih jelas tentang pendidikan karakter bangsa berbais budaya. Selainitu diharapkan makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.

Penulis menyadari makalah ini belum sempurna untuk itu saya mohon kritik serta saran untuk perbaikan makalah berikutnya.

Dalam kesmpatan ini pula saya mohon maaf atas kekurangannya baik penulisan maupun bahasannya.

Garut, Januari 2014

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB 1 Pendahuluan

a. Latar Belakang b. Tujuan

BAB II Pembahasan

a. Sejarah Perkulikuluman

b. Pendidikan Karakter dalam kurikulum 2013 c. Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Budaya d. Siapkan Guru

BAB III Penutup

a. Kesimpulan b. Saran

BAB IV Daftar Pustaka

(4)

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya, sehingga persoalan budaya dan karakter bangsa yang kurang baik akan menjadi sorotan tajam masyarakat terhadap

pelaksanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan

mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa, karena akhir-akhir ini karakter budaya Indonesia sudah mulai luntur dari kalangan anak bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang cukup lama, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat dalam waktu yang relatif lama sehingga membangun pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang.

b. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini ialah untuk mengetahui penyebab mulai lunturnya karakter budaya Indonesia serta untuk menumbuhkan kembali karakter anak bangsa yang berbasis budaya Indonesia.

(5)

PEMBAHASAN a. Sejarah Perkulikuluman

Bahwa tulisan Pak Boediono memacu dan memicu revisi kurikulum pendidikan rasanya benar. Setahu penulis, pasca dikorankan tulisan Pak Boediono maka para pimpinan Kemdikbud segera mengadakan evaluasi tentang kondisi pendidikan nasional kita; dan akhirnya berkesimpulan bahwa penyebab kegagalan pendidikan kita ujung pangkalnya terletak pada kurikulum pendidikan.

Kalau bangsa kita tidak mampu bersaing dalam bidang-bidang ter-tentu dengan negara maju hal itu dikarenakan kurikulum pendidikan kita belum mampu memberi bekal yang memadai kepada anak didik untuk bersaing; kalau pejabat kita banyak yang korup hal itu disebabkan kuriku-lum pendidikan kita belum memberikan bekal kejujuran yang

memadai; kalau banyak siswa tawuran di jalanan hal itu dikarenakan pendidikan kita belum mampu memberikan bekal karakter yang baik, dan sebagainya.

Senyatanya rencana pergantian kurikulum sudah ada sebelum tulisan Pak Boediono dikorankan; persiapannya sudah dilakukan oleh Kemdikbud khususnya pada Pusat

Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Badan Pene-litian dan Pengembangan (Balitbang). Banyak pakar pendidikan dan pakar kurikulum pendidikan dihadirkan; bahkan konsep kurikulum baru sudah hampir jadi tinggal menunggu “polesan” di sana-sini.

Pengembangan dan pergantian kurikulum pendidikan merupakan hal yang wajar. Setiap kurikulum pasti dikembangkan, direvisi, diganti, diubah, diperbaiki, disempurnakan atauapa pun namanya. Bahkan, kalau ada kuri-kulum yang tidak pernah direvisi sudah dapat dipastikan akan “ditinggal” oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seingat penulis, kita sudah berkali-kali melakukanpengembangan atau kurikulum pendidikan pada era pascakemerdekaan. Pertama kali pendi-dikan nasional kita membuat rencana pelajaran (leer plan) untuk sekolah-sekolah pada tahun 1947. Setelah rencana

pelajaran ini dipraktik-cobakan selama tiga tahun maka lahirlah sebuah kurikulum pendidikan pada tahun 1950. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum 1950 yang menjadi tong-gak perkembangan pendidikan di Indonesia.

Dua tahun kemudian rencana pelajaran yang disusun pada tahun 1947 dan

(6)

menyangkut bahan ajar atau yang seka-rang dikenal dengan silabus. RPT ini selanjutnya dikenal dengan Kurikulum 1952 yang merupakan pengembangan dari Kurikulum 1950.

Selanjutnya di tahun 1964 dikembangkan Rencana Pendidikan yang ditekankan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan pendidik-an moral. Salah satu latar belakang dikembangkannya rencana pendidikan ini adalah munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan yang bukan sekedar pengajaran.

Pengajaran dianggap belum mengakomo-dasi “otak kanan” seperti penanaman sikap dan moral. Rencana Pendidikan ini akhirnya menjadi kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum 1964.

Pada tahun 1968 muncul lagi kurikulum baru yang dikenal dengan sebutan Kurikulum 1968. Lahirnya kurikulum ini sangatlah berbau politis. Karena Kurikulum 1964 dianggap sebagai peninggalan Orde Lama yang dianggap berbau komunis dan tidak mampu membekali anak didik untuk saling bersatu maka dikembangkan kurikulum yang bertujuan untuk mem-bentuk manusia Pancasila Sejati. Pada akhirnya lahirlah Kurikulum 1968 yang pertama kali dikembangkan oleh Orda Baru.

Setelah Kurikulum 1968 dianggap “out of date” maka dikembang-kan Kurikulum 1975. Kurikulum ini menekankan pentingnya pelaksanaan pendidikan secara elbih efisien dan efektif. Dasar pengembangannya adalah teori Management by Objective (MBO). Di dalam kurikulum ini metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sis-tem Instruksional (PPSI).

Sembilan tahun kemudian lahir Kurikulum 1984 yang menekankan pentingnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Untuk menyusun

kurikulum ini banyak tenaga kita yang dikirim ke beberapa negara maju terutama Inggris yang telah mempraktikannya.

Sepuluh tahun berikutnya muncul lagi kurikulum pendidikan baru yang kemudian kita kenal dengan sebutan Kurikulum 1994. Munculnya kurikulum baru ini merupakan upaya untuk memadukan pendekatan pada kurikulum-kurikulum yang sebelumnya; dalam hal ini ingin mengkombina-sikan antara Kurikulum 1975 dengan Kurikulum 1984, antara

(7)

Sebagaimana dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang dirasa masih memiliki kekurangan di sana-sini setelah beberapa tahun dijalankan maka Kurikulum 1994 pun juga mengalaminya. Pemerintah pun kemudian menyempurnakan kurikulum baru ini dengan memberikan tambahan sub-stansi dalam jumlah yang signifikan. Keadaan ini terjadi lima tahun setelah diberlakukannya Kurikulum 1994. Karena jarak waktunya dipandang relatif sangat pendek untuk melakukan penggantian kurikulum maka tambahan substansi tersebut dipandang tidak cukup untuk mengganti kurikulum yang sebelumnya; akhirnya dikenallah Kurikulum 1994 Yang Disempurnakan, atau Kurikulum 1994 dengan Suplemen.

Selanjutnya pada tahun 2004 pemerintah baru “berani” meluncurkan kurikulum baru yang dikenal dengan Kurikulum 2004. Kurikulum ini relatif terkenal pada waktu dijalankan sampai sekarang disebabkan tujuan pem-belajaran yang langsung mengarah pada jenis kompetensi apa yang harus dikuasai anak didik. Kurikulum ini dikenal masyarakat dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Di dalam kurikulum ini semua tujuan pembelajaran adalah pembentukan kompetensi yang jelas.

Ketika KBK belum tuntas dijalankan oleh sekolah dan madrasah, bahkan belum layak diukur hasil penerapannya di lapangan karena baru tiga tahun dijalankan, pemerintah

memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2007. Sekarang ini sekolah dan madrasah di Indonesia pada berbagai satuan pendidikan masih menjalankan KTSP dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sekolah dan madrasah yang berlokasi di dae-rah perkotaan dan di daerah pusat informasi pada umumnya memang sudah sangat familiar dengan KTSP tersebut namun dalam realitasnya banyak sekolah dan madrasah di daerah “remote” yang ternyata belum sepenuhnya familiar dengan KTSP.

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa pergantian kurikulum di Indonesia selama ini tidak selalu didasarkan pada tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pun tuntutan budaya masyarakat setempat, akan tetapi ternyata ada yang lebih didasarkan pada pertimbangan politik. Di dalam hal ini adalah pergantian kurikulum pendidikan dari Kurikulum 1964 yang dianggap sebagai produk Orde Lama dengan segala kekurangannya menjadi Kurikulum 1968 sebagai produk Orde Baru dengan segala kelebihannya saat itu.

(8)

mana pergan-tian kurikulum dilakukan karena adanya tuntutan perkembangan ilmu, pengetahuan, teknologi dan budaya masyarakat.

Apakah penyusunan Kurikuulum 2013yang sedang dikerjakan oleh Kemdikbud saat ini merupakan sesuatu yang sangat baru dan merupakan reaksi sesaat atas tulisan Pak Boediono di harian Kompas tempo hari?

Bisa jadi pula! Di negeri ini kemungkinan seperti itu sangatlah bisa terjadi! Apabila hal ini benar-benar terjadi maka pengembangan kurikulum pendidikan yang sedang

dikerjakanKemdikbudsedikit banyak pertim-bangannya merupakan pertimbangan politik; dan bila pertimbangan politik terlalu dominan maka hasilnya tidak akan optimal.

b. Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013

Untuk membangun karakter dalam Kurikulum 2013 ada baiknya mengacu pendapat Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Di samping Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar adalah pendiri sekaligus pemimpin Perguruan Nasional Tamansiswa (National Onderwijs Tamansiswa). Kiranya banyak orang mengerti bahwa pendidikan budi pekerti (dan/atau karakter) merupakan cirikhas pendidikan Tamansiswa dengan Ki Hadjarnya.

Di Majalah Poesara edisi Februari 1954,Ki Hadjar menyatakan budi pekerti wajib disampaikan kepada siswaoleh semua guru. “Pengajaran budi pekerti sebaiknya diberikan secara spontan oleh sekalian pamong; jadi menurut adanya setiap kesempatan dan tidak harus menurut daftar pelajaran. Pendidikan budi pekerti harus diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik ia mengajarkan bahasa, sejarah, kebudayaan maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan sebagainya”, tulisnya.

Untuk menjabarkan konsepnya, Ki Hadjar menyampaikan pentingnya empat tingkatan dalam menanamkan budi pekerti kepada anak didik; yaitu syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat.

Tingkat syari’at cocok diberikan pada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK dan RA. Adapun metodanya dengan membiasakan berperilaku baik menurut norma

(9)

Tingkat hakikat cocok diberikan pada anak berusia di atasnya; dalam hal ini murid SD dan MI. Anak tetap dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum tetapi dalam waktu bersamaan mulai perlu diberi pengertian sederhana mengenai mengapa ia harus berbuat demikian. Contohnya, di samping dibiasakan mengucap salam sewaktu bertemu teman mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucapkan salam itu; misalnya saja ucapan salam itu dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir batin antarteman.

Tingkat tarikat cocok diberikan kepada anak berusia di atasnya lagi; dalam hal ini siswa SMP dan MTs. Siswa tetap dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian mengenai pentingnya hal itu dilakukan; tetapi bersamaan waktunya juga disertai dengan aktivitas pendukung yang cocok. Misalnya bagaimana anak-anak SMP dan MTs itu berkesenian, berolah puisi, berolah raga, dan bersastraria sambil berolah budi. Contohnya anak-anak SMP dan MTs dilatih menari “halus”sambil dijelaskan makna-makna gerakan yang ada

didalamnya untuk menanamkan budi pekerti.

Selanjutnya tingkatan makrifat cocok diberikan pada anak berusia di atasnya lagi; yaitu siswa SMA, MA dan SMK. Sang anak disentuh pema-haman dan kesadarannya sehingga berperilaku baik bukan sekedar kebiasa-an dan berpengertian, tetapi berkesadaran di lubuk hatinya untuk melakukan hal itu. Dalam bahasa Tamansiswa sampai tingkatan “Tringa”; yaitu ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan) dan nglakoni (menjalankan). Sang anak mengerti maksud berperilaku baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri.

c. Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Budaya

Istilah karakter merujuk pada ciri khas, perilaku khas seseorang atau kelompok, kekuatan moral, atau reputasi. Dengan demikian, karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu atau berbagai atribut, termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti keberanian, ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, atau perilaku atau kebiasaan yang baik. Ketika seseorang memiliki karakter moral, hal inilah yang membedakan kualitas individu yang satu

dibandingkan dari yang lain.

Karakter juga dipahami sebagai seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan tentang keberadaan dirinya kepada orang lain.

(10)

kedua kata ini mengandung makna yang berbeda. Kepribadian pada dasarnya merupakan sifat bawaan, sedangkan karakter terdiri atas prilaku-prilaku yang diperoleh dari hasil belajar.

Ada beberapa faktor yang dianggap dapat menyebabkan lunturnya karakter berbudaya Indonesia, yang pertama yaitu karena pengaruh lingkungan pergaulan. Seseorang yang terbiasa bergaul di lingkungan yang modern cenderung akan melupakan budaya lokal,

ia justru akan mengikuti mode yang sedang berlaku. Yang kedua yaitu faktor pandidikan yang kurang menekankan nilai kebudayaan. Banyak sekolah yang hanya mementingkan prestasi akademiknya. Yang ketiga adalah adanya sikap acuh tak acuh terhadap kebudayaan lokal. Banyak anak muda sekarang ini yang tidak mengetahui kebudayaan apa saja yang ada di daerahnya, seperti lagu daerah, rumah adat, tarian adat, pakaian adat, dan lain-lain. Faktor yang keempat yaitu pemanfaatan teknologi yang kurang tepat.

Seperti fenomena saat ini, banyak orang, terutama anak-anak muda yang justru

mengunduh file-file yang berisi tentang kebudayaan luar, misal goyang gangnamstyle. Faktor kelima yaitu adanya perasaan malu saat menggunakan budaya lokal, misal dalam berbahasa, banyak orang Jawa yang malu menggunakan bahasa jawa karena takut jika dianggap

kampungan. Dan faktor yang terakhir yaitu faktor pengaruh budaya luar. Anak-anak lebih tertarik pada budaya luar daripada budaya lokal. Hal ini dapat terlihat berbagai aspek salah satunya dari aspek cara bergaul. Sekarang ini dalam bergaul seperti tidak ada batasan antara pria dan wanita, misal adanya budaya “cipika-cipiki” atau cium pipi kanan cium pipi kiri.

Dari masalah-masalah di atas, yaitu masalah mengenai mulai lunturnya karakter

berbudaya dapat diatasi dengan berbagai cara. Cara yang pertama yaitu cara preventif. Cara preventif merupakan suatu usaha pencegahan terhadap tingkah laku yang menyimpang dari budaya Indonesia. Cara ini dilakukan sebelum suatu peristiwa terjadi yang bertujuan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perilaku menyimpang sedini mungkin. Cara preventif ini bisa dilakukan melalui pendidikan informal di lingkungan keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan formal, yaitu sekolah. Dalam lingkungan informal dan formal akan ditanamkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, seperti sopan santun dalam hal bertutur kata, berpakaian, dan lain sebagainya.

(11)

Misal Ryan berlaku tidak sopan pada gurunya, ia memukul gurunya yang sedang menasehatinya, maka pihak sekolah akan memberikah hukuman kepadanya.

Selain cara preventif dan represif, untuk menangani masalah mulai lunturnya karakter berbudaya juga bisa dilakukan dengan cara sosialisasi.

Semua masyarakat terutama badan-badan yang bertanggung jawab atas pendidikan warga Negara hendakny aturut serta dalam pensosialisasian kebudayaan Indonesia dalam rangka pembentukan karakter bangsa yang berbudaya Indonesia. Betapa hebatnya anak-anak bangsa jika mereka mampu menerapkan budaya sebagai dasar berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara Indonesia.

Semua warga negara wajib ikut serta dalam hal pembentukan karakter berbudaya Indonesia ini. Baik kaum muda maupun yang sudah tua hendaknya bekerja sama dalam menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya lokal Indonesia. Generasi terdahulu dituntut untuk mengajarkan atau memperkenalkan serta menanamkan sedini mungkin budaya lokal kepada generasi muda agar karakter kaum muda yang kelak akan menonjol adalah karakter yang berbudaya. Bagi generasi muda hendaknya mengetahui, mempelajari, dan memahami budaya-budaya yang ada di Indonesia yang sebenarnya bisa dijadikan landasan perperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya yaitu Jawa dengan budaya tata kramanya yang terkenal sangat baik. Apabila orang muda ingin berbicara pada orang yang lebih tua atau kepada orang yang dihormati maka hendaknya ia menggunakan bahasa krama inggil. Bahasa krama inggil ini dalam dalam tata bahasa Jawa merupakan bahasa yang tertinggi atau bisa dikatakan bahasa yang paling santun.

Namun karena pengaruh globalisasi budaya tersebut kini sudah mulai luntur. Saat ini banyak orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa krama sehingga jika mereka berbicara pada orang yang lebih tua atau pada orang yang dihormati mereka hanya menggunakan bahasa biasa atau bahasa Jawa ngoko yang biasa digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya. Hal ini dianggap kurang sopan karena seakan-akan tidak ada bedanya antara orang yang dihormati dengan teman sebayanya.

Karakter berbasis budaya bisa ditanamkan maupun dikembangkan dimana saja. Baik di lingkungan pendidikan formal maupun informal.

(12)

tidak hanya akan menekankan pada prestasinya tapi juga dalam hal tata kelakuan atau etika para siswanya. Dengan adanya pelajaran Seni Budaya diharapkan para peserta didik bisa mengetahui budaya-budaya lokal Indonesia.

Begitu juga dengan adanya mata pelajaran Bahasa Jawa, dalam mata pelajaran ini akan dipelajari tentang budaya-budaya Jawa seperti tata krama dalam berbahasa dengan orang yang lebih tua dan orang-orang yang dihormati.

Sedangkan yang di lingkungan informal misalnya dalam keluarga serta lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat tentu akan diajarkan budaya sopan santun baik sopan santun dalam berbicara maupun berperilaku. Sebagai contoh yang di lingkungan keluarga yaitu ketika makan kita diharuskan sambil duduk, menggunakkan tangan kanan, tidak boleh bergurau saat makan, dsb.

Peran masyarakat dalam hal mengembalikan atau penanaman kembali karakter budaya Indonesia sangatlah penting. Masyarakat terdahulu berperan dalam penyebaran atau pengenalan budaya lokal pada generasi sekarang. Sedangkan generasi sekarang berperan sebagai pelestari serta penerus budaya-budaya lokal agar kelak budaya-budaya tersebut tidak hilang. Kita sebagai generasi muda jaman sekarang hendaknya turut serta melestarikan budaya lokal Indonesia. Jangan terlalu meniru budaya orang lain, apalagi jika budaya tersebut kurang baik sebagai patokan berperilaku. Sebagai contoh budaya orang-orang Barat yang kurang baik tapi banyak ditiru masyarakat Indoesia yaitu pola hidup yang konsumtif serta cara berpakaian. Cara berpakaian orang Barat yang terkenal minim sebenarnya tidak baik untuk diterapkan di Indonesia terutama bagi masyarakat Jawa yang sangat menjunjung tinggi sopan santun.

Sebagai generasi penerus bangsa, tentu kita tidak ingin jika anak cucu kita kelak hidup dengan keadaan tidak mengetahui jati dirinya atau kebudayaannya sendiri, tapi justru hidup dengan kebudayaan orang lain yang mungkin lebih buruk dari kebudayaan kita sekarang ini. Maka dari itu, marilah mulai dari sekarang kita pelajari, kita pahami, dan kita lestarikan budaya lokal Indonesia dengan harapan kelak kubudayaan tersebut bisa kita turunkan pada generasi masa mendatang sebagai patokan dalam berperilaku serta sebagai pembentuk karakter bangsa Indonesia mendatang. Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan maka jangan sampai budaya tersebut kemudian hilang seiring kemajuan zaman karena sebaik-baiknya budaya lain budaya ibu tetap yang terbaik.

(13)

Salah satu isu menarik Kurikulum 2013 menyangkut penambahan jam pelajaran dan pengurangan mata pelajaran. Di SMP misalnya dalam struktur KTSP terdapat 12 dan dalam Kurikulum 2013 tinggal 10 mata pela-jaran; terjadi pengurangan 2 mata pelajaran, termasuk TIK. Argumentasi-nya, nanti TIK bukan mata pelajaran tetapi menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran. Sementara jumlah jam pelajaran ditambah 6 jam setiap minggu.

Di SD juga sama. Dalam struktur Kurikulum 2013 hanya ada 6 dari semula 10 mata pelajaran; artinya terjadi pengurangan 4 mata pelajaran, termasuk IPA dan IPS.

Argumentasinya IPA dan IPS akan diintegrasi da-lam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sementara jumlah jam pelajarannya justru bertambah 4 jam setiap minggu.

Kalau nantinya TIK di SMP berubah menjadi sarana pembelajaran artinya semua guru harus memiliki keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran agar produktivitasnya semakin optimal. Disinilah

masalahnya! Jangankan guru di daerah “remote” yang aksesabilitas teknologinya rendah, guru di kota saja masih banyak yang tidak familiar terhadap kemajuan teknologi

pembelajaran. Banyak guru belum terbiasa menjalankan komputer, mema-kai LCD Projector, membuka internet, mengunduh (down load) materi pembelajaran, mengunggah (up load) karya akademik, dsb. Guru seperti ini jelas bukan “Guru Kurikulum 2013”, guru yang siap menjalankan Kuriku-lum 2013.

Di SD, kalau IPA dan IPS diintegrasi dalam Bahasa Indonesia maka gurunya harus menguasai materi IPA dan IPS. Di SD berlaku sistem ‘guru kelas’; artinya setiap guru mengajar semua mata pelajaran untuk satu kelas. Dalam praktiknya banyak SD

memberlakukan ‘guru mata pelajaran’ pada siswa tingkat 4 sd 6 karena sistem ‘guru kelas’ dianggap tidak efektif.

Penguasaan IPA dan IPS oleh guru bahasa Indonesia bukan pekerjaan mudah karena banyak guru Bahasa Indonesia yang sudah berat memikirkan materi

(14)

BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Pendidikan karakter bangsa berbasis budaya adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dalam pendidikan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Menciptakan manusia yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme yang akhir-akhir ini mulai hilang dari kalangan remaja Indonesia. Oleh karena itu sekolah sebagai agen pendidikan formal maupun masyarakat serta keluarga sebagai lembaga informal harus mampu menanamkan membentuk karakter berbudaya pada anak sedini mungkin.

b. Saran

Agar karakter bangsa Indonesia bisa sesuai dengan kebudayaan lokal maka harus

(15)

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

5 AGUS SALEH ATMADIPOERA PUPT Lanjut. 6 ANI KURNIAWATI

masyarakat tidak percaya kepada pada kapabilitas Polri hal ini ditandai dengan siding kode etik yang dilaksanakan oleh Polri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota,

Ciri khas wilayah pada kurikulum inti yang dimiliki oleh program studi arsitektur sangat berpengaruh dari faktor potensi dan keunikan wilayah yang ada pada area

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Sedangkan untuk variabel Intensitas, Positif Valensi, Negatif Valensi, dan Konten memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel terikat yaitu keputusan

Kunjungan ANC men- jadi salah satu faktor risiko yang mening- katkan kejadian perdarahan pasca persalin- an karena apabila ibu melakukan pelayanan ANC secara teratur

Skripsi yang berjudul LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP KESULITAN BELAJAR SISWA KELAS VIII OLEH GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DI MTsN BANJAR SELATAN 1 JALAN

maksud untuk memahami makna yang terkandng dalam ajaran tersebut. b) Metode komparatif, yaitu ajaran ajaran islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan