• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan manusia untuk dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan manusia untuk dapat"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan manusia untuk dapat berinteraksi dengan manusia lainya. Perkembangan zaman yang semakin maju dan didorong dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat perkembangan bahasa menjadi beraneka ragam. Bahasa yang awal mulanya hanya bahasa lisan baku yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mulai berkembang menjadi bahasa yang beraneka ragam, yang sudah mulai sedikit bergeser dari bahasa bakunya.

Perkembangan zaman sekarang ini membuat hubungan manusia yang satu dengan lainnya bisa dengan mudah terhubung satu sama lain. Ketika intensitas interaksi sudah sering dilakukan dan dipermudah dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka bahasa lisan pun menjadi beraneka ragam dan tidak baku lagi.

Orang Jepang termasuk memiliki ciri khas yang unik, yaitu mereka sangat ekspresif dalam mengutarakan apa yang dirasakannya melalui ekspresi wajah, gerakan anggota tubuh, hingga pengucapan kata secara lisan yang intonasinya diubah untuk menunjukkan perasaan yang mereka rasakan.

Beberapa tahun belakangan ini di kalangan masyarakat Jepang sering dipakai akar adjektiva -i sebagai ungkapan interjeksi. Contohnya adalah ketika makan makanan yang terlalu panas, saat itu biasanya mereka akan mengucapkan

(2)

atsu di mana berasal dari adjektiva atsui yang berarti panas. Contoh lain saat melihat harga barang yang terlalu mahal, biasanya secara otomatis tanpa pikir panjang langsung mengucapkan taka dimana berasal dari kata takai yang berarti mahal. Selain contoh dua kata tersebut, ada banyak contoh adjektiva lainnya dimana hanya menyebutkan akar katanya saja. Dalam penggunanannya mereka tidak bermaksud mengajak orang lain untuk berbicara, namun hanya mengungkapkan keterkejutannya karena terkadang hal tersebut mereka ucapkan baik ketika ada orang lain ataupun ketika sendirian.

Meskipun tidak semua diperlakukan sama, namun banyak adjektiva digunakan sebagai interjeksi. Adjektiva yang digunakan hanyalah i-keiyooshi, dan dalam i-keiyooshi pun tidak semuanya digunakan sebagai interjeksi. Penggunan ini bermula dari sebuah acara televisi di Jepang bernama dauntaun no gaki no tsukai ya arahen de lebih dari 10 tahun yang lalu. Dauntaun no gaki no tsukai ya arahen de merupakan lawakan talkshow para artis di Jepang. Dalam acara tersebut, seorang artis bernama Hamada Masatoshi saat melihat gorila yang berukuran besar, dia berteriak deka! berasal dari adjektiva dekai yang berarti ‘besar’. Selain itu, dalam talkshow para artis, mereka sering menggunakan akar adjektiva -i tersebut sebagai interjeksi. Bermula dari acara televisi, kemudian menyebar dan akhirnya hampir sebagian besar orang di Jepang menggunakan interjeksi tersebut.

Selain pengaruh dari acara televisi, perbedaan dialek bahasa di setiap wialayah juga ikut berpengaruh. Jepang yang secara geografis merupakan negara kepulauan memiliki dialek yang beragam. Dialek Kantou merupakan dialek yang

(3)

digunakan wilayah Tokyo dan sekitarnya sedangkan dialek Kansai merupakan dialek yang digunakan di wilayah Kansai (Kyoto dan sekitarnya). Meskipun memiliki bahasa Jepang standar yang sama atau disebut hyoujungo, Kantou dan Kansai tetap memiliki perbedaan dialek. Dialek Kansai ini juga berpengaruh terhadap penggunaan akar adjektiva -i.

Pada koran harian Asahi Sinbun edisi 5 Desember 2011 halaman 30, Inoue Fumio, salah seorang profesor di bidang sosiolinguistik di Universitas Meikai, menyatakan bahwa penggunaan akar adjektiva -i ada pengaruh dari wilayah Kansai. Dalam keadaan kaget, meskipun cukup mengucapkan “ah”, namun di wilayah Kansai ada gejala tentang kebiasaan penggunaan kata secara jelas, salah satu contohnya adalah sejak dulu sering mengucapkan kata atsu dalam pengungkapannya. Pada umumnya, aturan ungkapan yang berkembang di wilayah Kansai sering dipakai oleh para artis lawak, sekarang tren tersebut telah memasuki Tokyo dan menjadi sebuah kebiasaan.

Dalam pengamatannya penulis pernah melakukan observasi kepada beberapa mahasiswa Jepang, antara lain ketika ditanya “mengapa anda menggunakan akar adjektiva -i tersebut sebagai interjeksi?”, salah seorang mahasiswa menjawab “saya rasa mungkin karena merepotkan, jadi dipendekkan saja”, ada juga mahasiswa yang menjawab “saya rasa mungkin saat kaget pengucapannya menjadi lebih pendek. Misalkan saat panas atau saat tiba-tiba menyentuh benda yang panas, kaget kemudian langsung mengucapkan atsu”. Selain 2 jawaban tersebut, mahasiswa lain menjawab dengan “saat mengucapkan secara spontan kata atsui, daripada mengucapkan atsui, mengucapkan atsu itu rasa

(4)

panasnya lebih tersampaikan bukan? Tentu saja selain lebih mudah diucapkan, kalau dibandingkan, daripada atsui mengucapkan atsu itu tingkat panasnya saya rasa agak berbeda. Selain itu terdengar lebih panas.”

Selain mengajukan pertanyaan tersebut di atas, penulis juga mengajukan pertanyaan “dalam kondisi seperti apa atau pada situasi seperti apa akar adjektiva -i tersebut digunakan sebagai interjeksi?”. Salah seorang mahasiswa menjawab “pada suatu keadaan yang tidak terduga, misalnya saat tidak menduga bahwa di luar itu panas, begitu keluar ternyata di luar panas, secara spontan akan mengucapkan atsu”. Mahasiswa lain menjawab “digunakan saat misalkan mahalnya maupun panasnya melebihi apa yang diperkirakan”. Ada juga mahasiswa yang menjawab “saat kaget, tiba-tiba masuk ke tempat yang dingin kemudian mengucapkan samu, tiba-tiba masuk ke kamar mandi yang sangat panas juga segera mengucapkan atsu”.

Dari jawaban beberapa mahasiswa tersebut, tampak bahwa dalam setiap penggunaan akar adjektiva -i sebagai interjeksi mengandung unsur keterkejutan. Keterkejutan di mana sesuatu yang dirasakan atau dilihatnya di luar dugaannya. Dalam pengucapannya, pada bagian akhir kata selalu diucapkan dengan intonasi yang agak naik. Sebagai contoh adalah saat keluar dari kamar yang hangat dan di luar kamar sangat dingin, biasanya secara spontan orang tersebut akan mengucapkan samu. Pada pengucapan kata samu, penekanan intonasi naik terjadi di akhir kata yaitu samu↑. Intonasi naik tersebut menggambarkan keterkejutan si pengucap.

(5)

Melihat fenomena tersebut, peneliti bermaksud untuk meneliti tentang penggunaan akar adjektiva -i sebagai interjeksi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Pada situasi seperti apa akar adjektiva -i digunakan sebagai interjeksi?”

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pada situasi seperti apa akar adjektiva -i tersebut digunakan sebagai interjeksi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para pembelajar bahasa Jepang dalam mengetahui pada situasi seperti apakah akar adjektiva -i digunakan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitiannya hanya menganalisis pada situasi seperti apakah akar adjektiva -i tersebut digunakan sebagai interjeksi. Untuk memperoleh data yang obyektif, penulis mengambil data secara acak dengan batasan data yaitu dialog drama dan status twitter.

1.5 Sumber Data

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini berasal dari film, drama, dan twitter.

(6)

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa tahap penelitian, yaitu: tahap pengumpulan data, analisis data, pemaparan hasil analisis data atau penyajian hasi penguraian data. Penjaringan data dilakukan dengan teknik simak bebas libat cakap. Teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati-pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada di luar dirinya (Sudaryanto, 1988:4). Data yang disimak dengan teknik ini dapat berupa data dari sumber lisan dan tertulis.

1.7 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap opini mengenai penggunaan akar adjektiva -i pernah dilakukan oleh Bunkachou atau ‘Badan Kebudayaan Jepang’. Hasil penelitian tersebut diterbitkan di sebuah artikel koran harian Asahi Shinbun edisi 16 September 2011 halaman 38 dengan judul artikel Samu, sugo, urusa – gokan nomi no keeyooshi hirogaru ‘dingin, luar biasa, berisik – penyebaran adjektiva yang hanya terdiri dari akar kata’. Penelitian tersebut melibatkan sebanyak 2104 responden laki-laki dan perempuan dari seluruh Jepang berusia di atas 16 tahun. Berdasarkan penelitian tersebut, mengenai kata samu (berasal dari kata samui yang berarti ‘dingin’) responden yang menjawab: “saya memakainya, orang lain mememakainya juga saya tidak terlalu memikirkan” dan “saya tidak memakainya,

(7)

tapi jika orang lain memakainya pun saya tidak keberatan” sebanyak 85%. Responden yang menggunakan kata sugo dan mijika lebih dari 70%, responden yang menggunakan kata naga dan urusa pun mencapai lebih dari 65%.

Sebuah karya tulis mengenai penggunaan akar adjektiva -i ditulis oleh Togashi Junichi dari Universitas Tsukuba. Dia menulis tentang penggunaan akar adjektiva -i di mana penelitiannya berjudul keeyooshi gokan tandoku ni tsuite – sono seeyaku to shinteki tezutsuki ‘mengenai akar adjektiva yang berdiri sendiri – pembatasan dan urutan psikis nya’. Laporan mengenai hasil penelitian Togashi

tersebut dapat diunduh di alamat website:

http://www.ic.daito.ac.jp/~jtogashi/articles/togashi2006c.pdf (penulis mengunduh pada 17 November 2012 pukul 09:44). Dalam penelitian tersebut, Togashi menyebutkan bahwa penggunaan akar adjektiva -i sebagai interjeksi tidak bisa dipakai untuk menyatakan kejadian di masa lalu dan hal yang bersifat terus-menerus. Sebagai contohnya adalah sebagai berikut:

(1) (Senshuu tabeta karee wo omoidashite) *kara. (hal.167 no.26) (‘Mengingat kare yang dimakan minggu lalu) berseru: *pedas’. (2) (Asa kara hiza ga zukizuki to shiteite) *ita. (hal.167 no.28)

(‘Dari pagi lutut terasa perih) berseru: *sakit’.

(Togashi:2006) pada contoh (1), senshuu tabeta karee wo omoidashite merupakan kalimat dengan konteks yang bersifat lampau yaitu mengingat kare yang dimakan minggu lalu, sehingga akar adjektiva -i tersebut tidak bisa diterapkan sebagai interjeksi. Sedangkan pada contoh (2), asa kara hiza ga zukizuki to shiteite merupakan kalimat dengan konteks yang berkelanjutan yaitu rasa sakit yang terjadi sejak pagi

(8)

hingga sekarang, sehingga akar adjektiva -i tersebut juga tidak bisa diterapkan sebagai interjeksi.

Selain itu, di dalam tulisannya Togashi memaparkan 2 contoh penggunaan akar adjektiva -i sebagai interjeksi yang agak sulit untuk diterapkan. Contoh tersebut adalah:

(3) (Terebi dorama miowatte) *kanashi. (hal.165 no.3) (‘Selesai melihat drama televisi) berseru: *sedih’.

(4) (juuyoona adobaisu wo moratte) *arigata. (hal.165 no.4)

(‘Menerima nasehat yang bermanfaat) berseru: *berterimakasih’. (Togashi:2006) kedua adjektiva itu (kanashii dan arigatai) sulit untuk diterapkan dalam penggunaan interjeksi tersebut, namun Togashi belum menemukan alasannya.

Togashi memaparkan bahwa bahwa akar adjektiva -i yang memiliki 2 suku kata dirasa mudah untuk digunakan pada interjeksi, sedangkan akar adjektiva -i yang memiliki suku kata 3 atau lebih masih ada kemungkinan untuk diterapkan. Namun pada akar adjektiva -i yang hanya memiliki 1 suku kata tidak dapat digunakan pada interjeksi. Untuk jenis adjektiva -i yang berakhiran “-ooi” seperti tooi ‘jauh’ dan ooi ‘banyak’ maka kemungkinan penggunaannya semakin menurun. Berikut beberapa contohnya:

(5) (Tomodachi to eki de machiawase. Yuujin ga okurete kaisatsu kara dete kita) oso. (hal.168 no.34)

(‘Janji bertemu dengan teman di stasiun. Teman terlambat dan muncul dari tempat pengecekan tiket) lama’.

(6) (Beruto no nagasa ga tarizu) mijika. (hal.166 no.10) (‘Sabuknya kurang panjang) pendek’.

(7) (Saifu ga nakunatte ite) *na. ← (nai) (hal.166 no.11) (‘Dompetnya hilang) *tidak ada. ← (tidak ada’)

(8) (Engi ga umai no wo mite) *yo. ← (yoi) (hal.166 no.13) (‘Melihat akting yang bagus) *bagusnya. ← (bagus’)

(9) (Chizu de eki no basho wo mite) ? too. ← (tooi) (hal.166 no.14) (‘Melihat tempat stasiun di peta) ? jauhnya. ← (jauh’)

(9)

(10) (Yamamori no gohan wo dasare) ? oo. ← (ooi) (hal.166 no.15) (‘Diberi nasi yang menggunung) ? banyaknya. ← (banyak’)

(Togashi:2006) Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Togashi adalah ia menjelaskan tentang aturan-aturan penggunaan akar adjektiva -i sedangkan dalam penelitian ini, penulis menganalisis tentang dalam situasi apa akar adjektiva -i tersebut digunakan.

1.8 Sistematika Penyajian

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 4 bab. Bab I yaitu pendahuluan yang berisi (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) ruang lingkup penelitian, (5) sumber data, (6) metode penelitian, (7) tinjauan pustaka, dan (8) sistematika penyajian. Bab II berisi tentang landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Bab III berisi tentang analisis data dan selanjutnya bab IV berisi kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

mewakili pekerjaan yang bersangkutan pada jadwal waktu pelaksanaan pekerjaan b) pekerjaan atap dan plafond pada network planning system dilaksanakan selama 30 hari. kalender

Antara berikut, yang manakah makanan semulajadi ikan yang diternak di dalam kolam tanah. A Ikan hancur B Zooplankton C Hampas kelapa D

Sedangkan metode penelitian kualitatif merupakan metode baru karena popularitasnya belum lama, metode ini juga dinamakan postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat

Hal ini menjadi perhatian ketika mendesain sistem proteksi busbar karena ketika terjadi arus gangguan eksternal bernilai besar dapat menyebabkan arus yang dihasilkan pada

Pendekatan yang interaktif dengan fasilitator unggulan dalam bidang GCG dan manajemen risiko terpadu (Enterprise Risk Management - ERM) akan memberikan kesempatan bagi peserta

Pada tanggal 22 April 2013, tentang Pengumuman atas dipublikasikannya Laporan Pertama Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah, yang mengumumkan kepada masyarakat

Sebagai proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat (Moenir, 2000 : 17 ) yang dimaksud pelayanan

Jam digital merupakan salah satu aplikasi dari mikrokontroler ATMega8, hal ini sangat masuk akal karena harga dari mirokontroler cukup ekonomis apabila dijadikan