KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH DENGAN TATO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh :
ROBERTUS BAYU KRISTANTORO NIM: 081114012
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Vita non vitae, Mortua non mortuus”
“Hidup tetapi tidak hidup, Mati tetapi tidak meninggal”
Skripsi ini saya persembahkan kepada: Tuhan yang selalu beri aku keajaiban
Ibu Yuliana Mujiem dan Bapak A. Sarwono yang selalu
setia memberiku semangat dan doa
Sahabat-sahabatku tercinta
ABSTRAK
KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH DENGAN TATO
Robertus Bayu Kristantoro Universitas Sanata Dharma
2012
Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan sejumlah potensi dalam diri seorang manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa SMA bertato, motivasi yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato, dan gambaran makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam. Informasi yang dikumpulkan berasal dari kedua sumber dan dari hasil observasi peneliti selama melakukan penelitian di rumah, tempat bermain dan sekolah subjek. Subjek penelitian ini adalah A dan L. Kedua subjek sama-sama masih duduk dibangku SMA di sekolah yang berbeda namun dalam satu yayasan yaitu Muhammadiyah. A adalah siswa SMA kelas 3 sedangkan L adalah siswa SMA kelas 2, kedua subjek sama-sama memiliki tato dibeberapa bagian tubuhnya.
ABSTRACT
THE MEANING OF LIFE FOR HIGH SCHOOL STUDENTS WHO PAINTED HIS BODY WITH TATTOO
Robertus Bayu Kristantoro Sanata Dharma University
2012
Being a loser, one whose life is becoming a loser shows that the person easily surrenders, although God has given him some potency in his life. This study aims to find out some factors that cause high school students painted their body with tattoos, the motivation that encourages high school students to paint their body with tattoos, and a description of the meaning of life of some high school students who paint their body with tattoos.
This study belongs to a qualitative research. The data collections used in this study are documentation study, observation, and thorough interviews. The information is gathered from two sources, as well as the researcher’s observation while conducting the research at home, playground and school subjects. The subjects are A and L. Both of them were still studying at Muhammadiyah high school. A was in the third grade whereas L was in the second grade. Both two subjects have got tattoos in some parts of their body.
KATA PENGANTAR
Pengalaman penuh makna yang penulis dapatkan dalam penelitian dan
penulisan skripsi ini merupakan anugerah terindah dari kasih Tuhan Yang Maha
Agung. Anugerah terindah yang tiada henti penulis syukuri dan kagumi.
Anugerah yang agung ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang selalu
hadir dalam kehidupan penulis, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan,
dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulisan skripsi ini menjadi semakin
baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D, selaku dekan FKIP Unversitas Santa Dharma Yogyakarta,
yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.
2. Drs. Gendon Barus, M.Si, selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling yang
telah memberikan kesempatan untuk menulis skripsi dan memberikan
dukungan penuh kepada penulis.
3. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penulisan
skripsi yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama penelitian
dan penulisan kepada penulis.
4. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si., Drs. R.H.Dj.
Sinurat, M.A., selaku dosen prodi Bimbingan dan Konseling yang telah
membagikan ilmu dan memberikan bimbingannya kepada penulis selama
kuliah, serta terimakasih kepada dosen-dosen yang lain.
5. Sr. M. Fidelis, FCH yang setia memberikan semangat kepada penulis untuk
6. Bapak dan Ibunda tercinta, di dalam kasih dan pengertiannya telah membawa
penulis pada penemuan makna terdalam hidup ini dan memampukan penulis
bertahan dengan setia menekuni penulisan skripsi ini.
7. Anwar dan Lutfi (nama samanaran), yang telah bersedia sebagai subjek
penelitian dan dengan terbuka membagikan pengalamannya kepada penulis
sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.
8. Kalian semua yang tanpa sadar telah menstimulus penulis untuk segera
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, namun
begitu penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi dunia Bimbingan dan
Konseling dan bagi siapa saja yang menaruh hati pada kebermaknaan hidup, serta
bagi mereka generasi penerus pencari makna hidup.
Yogyakarta, 18 Februari 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Fokus Pertanyaan Penelitian ... 6
3. Tujuan Penelitian ... 6
4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kebermaknaan Hidup ... 8
a. Pengertian Kebermaknaan Hidup... 8
b. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup ... 9
d. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup... 13
e. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup ... 14
f. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup ... 15
2. Tato ... 17
a. Pengertian Tato ... 17
b. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato ... 20
c. Jenis Tato... 22
3. Kebermaknaan Siswa SMA yang Merias Tubuh dengan Tato ... 24
BAB III. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian ... 28
2. Metode Pengumpulan Data ... 28
a. Wawancara ... 28
b. Observasi ... 29
c. Alat Pengumpulan Data ... 30
3. Subjek Penelitian ... 30
4. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
5. Uji Validitas Data ... 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Penelitian ... 34
a. Observasi ... 35
b. Wawancara Mendalam ... 38
2. Hasil Temuan Secara Umum ... 41
b. Lingkungan Tempat Tinggal ... 43
c. Lingkungan Sekolah ... 44
d. Komunitas Bermain... 45
e. Sifatdan Karakter Saat Ini ... 45
f. Penyesuaian Sosial ... 46
g. Pengalaman Traumatik ... 48
3. Analisis Subjek Penelitian ... 49
4. Pembahasan ... 53
a. Faktor-Faktor Penyebab Siswa SMA Bertato ... 53
b. Motivasi Siswa SMA Merias Tubuhnya dengan Tato ... 55
c. Kebermaknaan Hidup Siswa SMA Bertato ... 56
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 58
2. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN 1. Hasil Observasi ... 64
2. Pedoman Wawancara dan Hasil Wawancara ... 72
3. Foto Tato Subjek ... 86
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup
yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan
sejumlah potensi dalam diri seorang manusia (Gymnasziar, 2002).
Potensi dalam diri manusia akan berguna dan bermanfaat apabila
digali dan diaktualisasikan secara positif menurut kultur yang ada pada setiap
lingkungan hidup manusia, tetapi akan lebih berguna dan bermanfaat lagi
bagi kehidupan manusia apabila potensi-potensi tersebut mendapatkan
maknanya dalam setiap aktivitasnya dan menjadikan kehidupan manusia yang
sehat. Kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya
dengan makna yang baik orang menjadi insan yang berguna bukan hanya bagi
dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Kerusakan moral dengan gangguan jiwa yang dialami setiap orang
adalah karena orang-orang tersebut tidak mampu menemukan makna hidup
yang baik dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Allport (dalam Schultz,
1991) menyimpulkan bahwa kehidupan sehat adalah kalau seseorang
memiliki suatu gambaran diri dan identitas diri yang kuat dimana ia
merasakan suatu perasaan harga diri, dapat memberi cinta yang tulus tanpa
syarat dan terbuka, merasa aman secara emosional, dan memiliki tujuan hidup
Manusia semacam itulah yang akan produktif dan efektif dalam kehidupan di
tengah masyarakat.
Masyarakat yang sehat terhimpun dari individu-individu yang sehat
dan bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya, kehidupan masyarakat menjadi
tidak sehat dan tidak produktif apabila di tengah-tengahhnya bertebaran
individu-individu yang kehidupannya tidak bermakna. Kondisi masyarakat
seperti ini rentan dan potensial menimbulkan kekacauan. Kehidupan
masyarakat yang kacau dan tidak jelas arah hidupnya dapat terjadi karena
tidak ada atau ketidakjelasan visi kehidupan bersama. Masyarakat seperti ini
pada dasarnya adalah masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat
hewani. Untuk menghindari terbentuknya masyarakat seperti ini diperlukan
visi yang baik dan tujuan hidup yang jelas. Tujuan hidup ini bisa dicapai bila
pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa menekankan sejak dini pada
pendidikan yang bermuatan pembentukan makna kehidupan yang baik,
berkarakter, berwawasan lingkungan, yang membangun kehidupan bersama
(learn to leaving together, UNESCO) sehingga manusia sadar akan tujuan
hidupnya sebagai suatu rahmat bagi sesama.
Pada dasarnya manusia memiliki cara sendiri-sendiri untuk memaknai
kehidupan masa lampau, yang sedang berlangsung, dan yang akan datang
dalam perspektif historis masing-masing. Dalam arti lain, setiap manusia
memiliki keinginan untuk memaknai setiap aktivitas yang dilakukannya
Hidup tanpa makna yang baik telah banyak menghasilkan kriminal,
koruptor, pecandu narkoba, pembunuh, dan bahkan pembunuh bagi dirinya
sendiri. Ketiadaan atau kehilangan pegangan makna hidup dapat membuat
orang mengalami kehilangan kemanusiaannya. Salah satu perbedaan manusia
dengan hewan terletak pada adanya kesadaran tentang makna kehidupan,
khususnya makna kehidupan tentang manfaat diri sendiri pada orang lain.
Kalau orang bekerja untuk mencari uang guna membeli makanan dan
mendapat tempat tinggal yang baik, pada dasarnya sama dengan hewan.
Hewan juga mencari makan dan membangun sarang. Kalau orang bekerja
mencari uang hanya untuk melampiaskan kasih sayang pada anak dan
istrinya, hewan pun melakukan hal yang sama, hewan menjilat anak-anaknya
dan mengelus pasangannya. Kalau orang bekerja hanya untuk mencari
jabatan agar dia merasa berkuasa atas orang lain, inipun sama dimiliki oleh
hewan. Banyak binatang yang memiliki “raja” yang akan mengusir hewan
jantan lainnya bila mendekati hewan betina yang menjadi pasangannya.
Dalam pencarian makna kehidupan pada setiap tindakan yang
dilakukan, individu harus berusaha untuk menghayati, mengupas, atau bahkan
kadang harus “menelanjangi” setiap tindakan atau event yang terjadi. Dalam
usaha menelanjangi setiap tindakan, diperlukan kepekaan intuitif dan efektif
terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
Individu dapat menemukan kebermaknaan secara aktif melalui karya
atau aktivitas yang kreatif atau secara pasif, dengan mengalami keindahan.
penderitaan dan kematian, dengan sikap yang sengaja kita pilih untuk
menghadapi situasi-situasi kita (Schultz,1991).
Adanya kepekaan sosial dan penghayatan mendalam terhadap suatu
makna yang terkandung dan dapat mengaktualisasikan dengan baik bisa
menghasilkan pemikiran yang baik dan orientasi masa depan yang jelas.
Seorang siswa SMA bertato yang mampu menghayati, mengupas, atau
bahkan menelanjangi kehidupannya, mungkin akan mampu menghasilkan
sesuatu yang spektakuler, atau mungkin terjadi sebaliknya, yang sebenarnya
sedang berusaha mencari makna hidup dari kehidupan yang dihadapinya. “All
I need is a little space to express myself...it’s not a lot to ask but’d be
surprised” Nicolette (dalam Olong, 2006). Sepanjang hayatnya manusia
tidaklah hidup hanya dengan tubuh alamiahnya. Manusia selalu memunyai
dan menunjukkan ide, kreativitas, rasa estetik, hingga rasa kemanusiaannya
sepanjang peradaban. Salah satunya dengan menambahkan, mengubah,
mengurangi, bahkan mengatur bagian tubuh alamiahnya dengan berbagai
cara. Tindakan itu baik dilakukan oleh individu, kelompok komunal, hingga
tingkat negara, baik secara suka rela, wajib, bahkan terpaksa. Pengubahan
yang dilakukan manusia pada tubuhnya mempunyai tujuan yang
bermacam-macam, berubah dari masa kemasa serta berbeda dari area budaya yang satu
dengan lainnya.
Tato kini mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris
yaitu nilai yang tidak lagi dapat dipahami sebagai suatu bentuk kebudayaan
tato bernilai religius transendental yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami
secara logika tetapi “harus” diterima begitu saja sebagai suatu perintah agama
atau keyakinan dan magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman.
Pergeseran inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai wilayah yang
diperebutkan antara moralitas tubuh, estetika tubuh, identitas tubuh, hingga
solidaritas tubuh. Ketika tato menjadi trend maka ia akan kehilangan nilai sakralitasnya dan masuk kepelataran profan. Pada akhirnya, tato dipandang
terdemistifikasi hingga masuk kejurang stigmatisasi negatif yang bernada
klaim bahwa tato adalah cap penjahat, bajingan, gali, gento, dan lain
sebagainya.
Tato telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang menimbulkan
kesan interpretatif. Kegiatan interpretatif inilah yang disinggung oleh Geertz
(1973): yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah jalinan makna di mana
manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya menuntut
tingkahlaku. Ketika manusia menambahi, mengurangi, dan mengubah bagian
tubuhnya maka akan memunculkan simbol ataupun makna semiotik yang
dapat dibaca dengan beragam makna. Simbol adalah sebagai
ajang/tempat/wahana yang memuat sesuatu nilai bermakna. Dari berbagai
simbol tersebut kebudayaan dapat mempengaruhi cara-cara berpikir individu
B. Fokus Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan di atas,
dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah;
1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab siswa SMA bertato?
2. Motivasi apa yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya
dengan tato?
3. Bagaimana makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias
tubuhnya dengan tato?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian studi kasus ini bertujuan untuk mengungkap lebih dalam
tentang pemahaman kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuhnya
dengan tato.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bermanfaat bagi perkembangan bimbingan konseling dan menambah
wawasan tentang kebermaknaan hidup pada siswa SMA yang merias
tubuhnya dengan tato.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memerluas wawasan para konselor
ataupun masyarakat umum sebagai bahan pertimbangan dalam
memandang manusia khususnya mereka yang menato tubuhnya,
3. Penelitian ini diharapkan juga dapat membantu para siswa yang bertato
untuk lebih memiliki pemahaman tentang kebermaknaan hidup yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup
1. Pengertian Kebermaknaan Hidup
Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa setiap orang
memiliki medan sendiri atau misi sendiri dalam hidup untuk
melaksanakan tugas konkret yang harus diisi. Karenanya tidak bisa
dipindahkan dan hidupnya pula tidak bisa diulang. Melihat dasar filosofi
eksistensialisme, Frankl (Koeswara, 1987) menilai individu manusia
bersifat dan bermakna personal, tunggal dan unik. Kepersonalan,
ketunggalan dan keunikan dari kebermaknaan hidup merupakan akibat
logis dari penempatan kebebasan manusia sebagai prinsip utama dalam
eksistensialisme.
Menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) ditempatkannya individu
manusia secara eksistensialisme berakibat adanya tujuan-tujuan dari
setiap orang. Konsekuensi ini memberikan arti bahwa jawaban
kebermaknaan hidup individu manusia senantiasa terkait dengan kualitas
penghayatan tentang tujuan-tujuan hidupnya, sehingga dapat
menyebabkan peningkatan-peningkatan tegangan batin. Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebermaknaan hidup
adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan atau kebernilaian
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh
individu tersebut merealisasikan tujuan hidupnya.
2. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup
Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa kebermaknaan
hidup dibangun dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Ada tiga proses
terbentuknya kebermaknaan hidup menurut filsafat eksistensialisme
yakni konsep kebebasan berkeinginan, konsep keinginan akan makna,
dan konsep makna hidup.
a. Konsep Kebebasan Berkeinginan
Kebebasan adalah sebuah konsep yang memberi kekhasan
pada eksistensialisme. Menurut Frankl (Koeswara, 1987),
menyebutkan bahwa kebebasan untuk menentukan sikap terhadap
kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural. Kualitas ini adalah
khas manusia yang memiliki kemampuan untuk mengambil jarak
terhadap kondisi diluar dirinya maupun dalam dirinya sendiri,
sehingga manusia memiliki kebebasan untuk menentukan mana
yang baik dan penting bagi dirinya. Kebebasan di sini harus pula
imbang dengan tanggungjawab agar tidak menjadi kesewenangan
atau kebebasan manusia sebagai suatu kebebasan batas-batas.
Manusia bebas untuk tampil di atas determinan-deterniman somatik
dan psikis dari keberadaannya, sehingga manusia dapat memasuki
b. Konsep Keinginan Akan Makna
Frankl (Koeswara, 1987), menyebutkan bahwa semakin
seseorang terdorong untuk mencapai kesenangan, maka semakin
kecil kemungkinan orang tersebut mencapai kesenangan.
Kesenangan ini sesungguhnya merupakan hasil dari pemenuhan
dorongan atau pencapaian tujuan yang akan merusak jika dijadikan
tujuan. Semakin seseorang mengarahkan dirinya secara langsung
pada kesenangan maka seseorang akan semakin kehilangan sasaran
yang ditujunya. Manusia bertanggungjawab atas realisasi nilai–nilai dan pemenuhan makna yang spesifik bagi kehidupan pribadi atau
keberadaan dirinya.
Lebih lanjut Frankl mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan
manusia bukanlah homeostetis, melainkan noodinamik, yaitu
tegangan pada tingkat tertentu yang berasal dari sifat menuntut yang
lekat pada makna terhadap keberadaan yang memungkinkan manusia
tetap terarah kepada nilai-nilai yang akan dan harus
direalisasikannya. Kebutuhan manusia bukanlah pengurangan
tegangan melainkan gerak perjuangan ke arah tujuan tertentu yang
patut dicapai, yakni makna. Jadi suatu lapangan tegangan terbentuk
antara apa manusia itu dengan bagaimana atau menjadi apa
c. Konsep makna hidup
Menurut Frankl (Koeswara, 1987), makna merupakan sesuatu
yang objektif dan berada di seberang keberadaan manusia. Berkat
statusnya yang objektif, maka makna mempunyai sifat menuntut atau
menantang manusia untuk menggapainya. Namun demikian, Frankl
menekankan selain bersifat objektif makna juga bersifat mutlak.
Nilai-nilai yang merupakan sumber dari makna adalah milik
kawasan tertentu dan hanya cocok untuk situasi tertentu, sehingga
disebut nilai-nilai situasional. Makna yang akan dan perlu dicapai
individual adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam
situasi tertentu.
3. Faktor–Faktor Kebermaknaan Hidup
Frankl (Koeswara, 1987 dan Schultz, 1991), berpendapat bahwa
individu dapat membentuk kebermaknaan hidupnya melalui realisasi
nila-nilai manusiawi yang meliputi nilai-nilai kreatif, nilai-nilai
penghayatan, dan nilai-nilai sikap.
a. Nilai-Nilai Kreatif
Frankl (Bastaman, 1996), mengatakan bahwa inti dari nilai
kreatif adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada
kehidupannya. Kegiatan yang penting bagi realisasi nilai-nilai kreatif
adalah bekerja. Bekerja memang tidak dengan sendirinya memberi
aktivitas bekerja semata-mata memberikan peluang dan kesempatan
paling besar untuk menemukan kebermaknaan hidup.
b. Nilai-Nilai Penghayatan
Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai penghayatan pada
intinya adalah mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan
luar kemudian mendalaminya. Mendalami berarti berusaha
memahami, menghayati dan menyakini berbagai nilai yang ada
dalam kehidupan seperti kebaikan, kebenaran, keindahan dan
kebajikan serta kasih sayang maupun cinta. Menurut Frankl (Schultz,
1991) bahwa nilai-nilai penghayatan adalah nilai-nilai yang
direalisasikan dengan mengambil nilai sebaiknya dari nilai-nilai
kreatif (memberikan sesuatu dalam kehidupan), yakni sikap
menerima (reseptif) dari atau menyerahkan diri pada dunia
kehidupan. Ini dapat dilakukan dengan menemui nilai-nilai
kehidupan.
Makna tertinggi dari suatu momentum tertentu dalam
keberadaan manusia dapat muncul dan dialami terlepas dari
tindakan. Momen puncak tersebut dapat menjadi ukuran
kebermaknaan hidup dan atau suatu momen tunggal dapat terbalik
melampaui seluruh hidup dengan makna. Nilai-nilai kreatif
direalisasikan dalam bentuk aktivitas kerja yang menghasilkan
sumbangan bagi masyarakat dan kehidupan, sebaliknya komunitas
c. Nilai-Nilai Sikap
Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai-nilai sikap ialah
kesempatan yang harus digunakan individu untuk menentukan sikap
yang tepat terhadap kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi.
Frankl (Koeswara, 1992) mengategorikan nilai-nilai sikap
sebagai nilai tertinggi dari pada kedua nilai sebelumnya.
Merealisasikan nilai sikap berarti individu menunjukkan keberanian
dan kemuliaan menghadapi penderitaan atau permasalahan hidup
yang lain, selama individu menderita, suatu keadaan yang tidak
semestinya terjadi. Individu berada dalam ketegangan antara apa
yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dengan apa yang tidak
semestinya terjadi di pihak lain. Pada saat itulah individu dituntut
untuk mampu mengambil sikap, sehingga subjek dapat
memertahankan pandangannya pada sesuatu yang ideal. Karena itu,
individu dapat mengoreksi kekeliruannya meskipun kekeliruan itu
tetap tidak terhapuskan.
4. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup
Berdasarkan konsep-konsep logoterapi yang dirumuskan Frankl
(Schultz, 1991) menyimpulkan bahwa individu manusia yang telah
menemukan atau berhasil membentuk kebermaknaan hidupnya,
berciri-ciri sebagai berikut;
b. Bertanggungjawab secara pribadi terhadap perilaku hidup dan
sikapnya terhadap nasib.
c. Tidak ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya
d. Telah menemukan arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan
dirinya
e. Secara sadar mampu mengontrol diri, mampu mengungkapkan
nilai-nilai pengalaman, nilai kreasi dan nilai hidup
f. Telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri
g. Berorientasi pada masa depan, mengarahkan diri pada tujuan
dan tugas yang akan datang
h. Memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen
terhadap pekerjaan serta mampu mamberi dan menerima cinta.
Ciri-ciri tersebut merupakan manifestasi individu yang
mentransendensi diri dan mengaktuaisasikan diri. Hasil penelitian
Crumbaugh dan Maholock (Koeswara, 1987), menunjukkan bahwa
kebermaknaan hidup tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat
kecerdasan dan tingkat sosial-ekonomi individu.
5. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup
Buchari dan Budiharga (1982) mengatakan bahwa
kebermaknaan hidup bermanfat bagi individu sebagai pedoman orientasi
nilai dalam memilih tindakan untuk menjalankan kehidupan
tentang makna hidup yakni hidup untuk bekerja, hidup untuk beramal
dan berbakti serta hidup untuk bersenang-senang.
Hasil penelitian ini mendukung pandangan Frankl (Bastaman,
1996) yang mengemukakan bahwa dengan bekerja berarti individu dapat
menemukan peluang untuk memenuhi kebermaknaan hidupnya, melalui
bekerja individu dapat merasakan hidupnya tidak sia-sia, tetapi memiliki
arti atau makna.
Jadi, kebermaknaan hidup akan mendorong manusia untuk
berkarya secara maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan
tetapi menerima dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat
terhadap situasi yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang
dihadapinya.
6. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup
Kegagalan dan keterlambatan menemukan kebermaknaan hidup
yang semakin lama dan semakin ekstrim oleh Frankl (Koeswara, 1992)
disebut sindroma ketidakbermaknaan hidup yang dilakukan dalam dua
tahap yakni tahap frustasi eksistensial dan tahap neorosis noogenik. Pada
tahap frustasi eksistensial, akan terjadi suatu penderitaan batin yang
berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dan
mengatasi masalahnya secara efisien. Tahap neorosis noogenik
merupakan manifestasi khusus diri frustrasi eksistensial yang ditandai
berkaitan dengan spiritual kepribadian individu yang secara religious
menunjukkan adanya konflik-konflik moral (Schultz, 1991).
Keinginan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup tetap ada
dalam diri individu, tetapi karena individu tidak memiliki pola-pola
terintegrasi sebagai tolok ukur pencapaian kebermaknaan hidup, maka
keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan, sehingga tekanan yang
ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan
tekanan tersebut membuat individu terus-menerus berada dalam
pencarian cara-cara yang diharapkan dapat menjadi saluran bagi
pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan sering kali
dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri
dalam arus pengalaman yang bersifat konpensasi menyesatkan seperti
olkoholisme, obat-obatan, perjudian dan melakukan petualangan seks.
Bastaman (1995) menambahkan bahwa kebermaknaan hidup
menyebabkan individu mengalami gangguan neurosis, sikap totaliter dan
gaya hidup konformistis.
Pernyataan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
ketidakmampuan hidup pada diri individu, dapat menyebabkan individu
tidak memiliki keyakinan dan kepastian mengenai sesuatu yang harus
B. Tato
1. Pengertian Tato
Secara epistemologi tato memiliki istilah yang hampir sama
digunakan di berbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya tatoage,
tatouage, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tattoos, tatugens, tatoveringer, dan tatu. Dalam bahasa Indonesia kata tato merupakan serapan dari kata
tattoo yang berarti goresan, gambar atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh.
Konon, kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau”
yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan alat
berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah
permukaan kulit. Pada buku “the art new Zealand” Anne Nicholas
(Olong, 2006) menjelaskan bahwa kata tato yang berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks mencatat yang pertama kali berlabuh
di Tahiti pada tahun 1769. Disana Joseph mencatat berbagai fenomena
manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi tato.
Tato dapat menjadi sebuah status sosial dalam khasanah
tradisional, tetapi dalam dunia modern, meski sempat mendapat stigma
negatif tato adalah fashion. Tidak berlebihan kalau tato disebut sebagai “penanda”. Sejak 12 ribu tahun SM bahkan hingga saat ini anggapan itu
masih berlaku. Pilihan gambar sedikit banyak menunjukkan jati diri
pemilik tato. Hanya saja sebelum memutuskan mentato tubuh, kesiapan
permanen yang terlanjur menempel akan susah dihapus jika di kemudian
hari ternyata tidak suka.
Sejalan dengan berkembangnya seni tato kini telah ditemukan
jenis tinta baru yang lebih aman dipakai dan jauh lebih mudah
dihilangkan apabila sudah tidak dikehendaki lagi. Sejauh ini belum ada
standar keamanan untuk pewarna yang dipakai dalam seni melukis tubuh.
Tato biasanya menggunakan bahan-bahan seperti karbon, garam-garam
logam, dan bahan lain yang dipakai dalam percetakan dan pengecatan
mobil. “Padahal logam-logam berat dan bahan beracun yang ada dalam
pewarna tersebut dapat masuk kesistem kelenjar getah bening”, ungkap Martin Schmieg, penemu tinta aman untuk tato (Olong, 2006).
Henk Schiffmacher (Olong, 2006) mengatakan bahwa tato
sebagai tradisi sejumlah etnis kuno mulai dari suku Maori, Inca,
Polynessians, Mesir Kuno, dan banyak lagi. Tato pada suku dayak di
Indonesia memiliki makna yang beraneka macam dari sebuah budaya
sampai sebagai modis atau trendi. Secara ritual dan tradisi, tato memiliki
sesuatu yang sangat penting, bahkan sering dianggap magis. Sementara
pada jaman modern tato adalah bagian dari seni bukan sebagai fashion.
Sebelum dianggap sebagai mode, tato dianggap sebagai simbol
pemberontakan. Anggapan negatif masyarakat bahkan semakin
menyempurnakan citra tato sebagai simbol anti kemapanan. Sebagai
masyarakat pada negara tertentu, tradisi tato dilakukan melalui upacara
Adapun yang pertama kali ditato telah dianggap mencapai kedewasaan,
baik secara biologis maupun secara psikologis. Orang tersebut baru
dinyatakan boleh mengikuti kegiatan-kegiatan yang tadinya hanya boleh
diikuti atau dilakukan oleh orang dewasa seperti memilih jodoh, dan
lain-lain. Tato juga dapat menggambarkan hubungan kekerabatan yang
dimiliki seseorang sehingga berfungsi menunjukkan kedudukan
seseorang, seperti pada masyarakat suku mentawai, yang mendapat tato
atau rajah pada inisiasi.
Pada tahun-tahun 80-an (Olong, 2006) orang akan merasa takut,
minimal orang akan curiga melihat orang bertato. Saat itu tato identik
dengan preman, penjahat, gali, bandit, apalagi hal itu dikukuhkan dengan
adanya kasus penembakan misterius (Petrus) sekitar awal tahun 1980-an
kepada orang-orang yang disebut penjahat yang secara kebetulan
bercirikan tato di tubuhnya. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu
serta keterbukaan dan modernisasi, tato tidak selalu merupakan sesuatu
yang menakutkan dan dianggap sebagai lambang kriminalitas. Kendati
demikian, sejumlah penjahat masih menggunakan tato untuk
mengukuhkan “profesinya”, namun tato nampak memasyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, tato adalah hiasan tubuh yang
mempunyai cita rasa, seni dan dianggap sebagai sesuatu yang modis,
2. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato
Menurut Henk Schiffmacher (Olong, 2006) menyebutkan bahwa
diaspora tato, sebuah kebudayaan yang ubiquitos (ada dimana-mana), layaknya kebutuhan sandang, pangan, papan, dan identitas. Identitas
merupakan bagian dari kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Tato
sebagai wahana identitas, merupakan tanda pada tubuh, yang dibutuhkan
sebagai eksistensi oleh setiap manusia diberbagai belahan dunia.
Kenyataannya, selain memiliki keinginan untuk berbeda dari orang lain,
“need for isolation”, manusia memiliki kecenderungan untuk sama
dengan yang lain, “need for union”. Kerena itu, nama saja tidaklah cukup sebagai pembeda.
Christopher Scoot (Olong, 2006) membagi motivasi dan
stimulus tato tradisional ke dalam empat tema besar, yaitu:
a. Tato bertujuan sebagai fungsi kamuflase (penyamaran) selama
masa perburuan. Pada perkembangannya, tato digambarkan
sebagai prestasi dari hasil berburu binatang, kemudian berlanjut
kepada manusia sebagai objek perburuan. Di sinilah kemudian
tato mengalami perkembangan image sebagai hasil dari pemenggalan kepala manusia. Tipe kalitas (pemaknaan) tato ini
ditemukan pada masyarakat Dayak Kayan dan Iban.
b. Tato merupakan perintah religius masyarakat yang diyakinkan
religiusitasnya. Tidaklah mengherankan jika masyarakat adat
tradisional memotong jari, menggunting rambut, melubangi
daging telingga, lidah, meratakan gigi, membakar sebagian
wajah dengan batu panas. Diyakini bahwa tindakan menyiksa
tubuh tersebut untuk memuluskan jalan menuju nirwana.
Misalnya pada masyarakat kepulauan Hawai yang bertato akan
menghadapi kematian dengan senang hati.
c. Tato sebagai inisiasi dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan
dari anak-anak ke remaja, dari gadis ke perempuan dewasa,
perempuan dewasa ke ibu. Tato juga dianggap mampu
mengatasi masa-masa sakit dan duka.
d. Tato sebagai jimat mujarab, simbol kesuburan dan kekuatan
dalam melawan berbagai penyakit, kecelakaan, bencana alam
dan gangguan setan.
Selain keempat alasan di atas, kepuasan pribadi juga selalu
menjadi alasan, sekedar cuek, iseng atau hanya sekedar ingin saja,
seringkali didengar dari orang yang bertato. Berdasarkan semua alasan
itu akan berujung pada kepuasan yang datang dari dalam diri, karena
tidak mungkin seseorang bertato permanen hanya untuk keisengan dan
coba-coba. Tato memang memiliki seribu satu alasan untuk bisa
menempel pada tubuh seseorang, tentu dengan ide kreatif seseorang itu
3. Jenis tato
Kent-Kent (Olong, 2006) mengatakan bahwa seni tato dapat
diklarifikasikan menjadi lima bagian, yaitu:
a. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan
alam atau bentuk muka.
b. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat
menggunakan blok warna. Banyak dipakai oleh suku Maori.
c. Out School, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman dulu, seperti perahu, jangkar, atau simbol love yang tertusuk
pisau.
d. New School, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk graffiti
dan anime.
e. Biomekanik, berupa gambar-gambar aneh yang merupakan imajinasi dari teknologi, seperti gambar robot atau mesin.
Bermacam bentuk dan desain ini menunjukkan sebuah
perkembangan tato ketahap inovasi, sehingga pada kelanjutannya
mampu menggeser image tabu dan jahat menuju ke ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.
Chris Miller (Olong, 2006) menguraikan beberapa desain tato
maskulin yang diyakini memberikan rasa dan kekuatan berbeda bagi
pemakainya, yaitu:
a. Api, menyimbolkan dualisme kehidupan. Satu sisi api
Api sering dijadikan representasi media spiritual yang
melambangkan reinkarnasi dan kesucian. Sisi lain api
menyimbolkan sesuatu yang merusak, memiliki daya pemusnah
dan dianggap sebagai sumber kematian yang menakutkan.
b. Elang, merupakan simbol kekuatan dalam berperang.
Ketajaman, kekuatan dan kecepatan serta kemampuan yang
ulung, sehingga karakteristiknya selalu diadopsi oleh para
prajurit yang kuat dan bijaksana.
c. Jangkar, awalnya gambar jangkar oleh umat Kristen dianggap
sebagai simbol penyelamatan. Model tato ini sangat popular
dikalangan pelaut kerena dianggap sebagai mistifikasi
penyelamat dan pengaman pelaut dari tenggelamnya kapal.
d. Beruang, menurut totem masyarakat Indian Amerika, beruang dikenal sebagai hewan yang bijaksana, tegar namun sukar
dikekang. Beruang merupakan hewan yang bengis dan tak
terkalahkan dalam setiap perkelahian. Beruang juga dapat
bergerak dinamis, terutama ketika berdiri sebagaimana layaknya
manusia.
e. Macan, kepercayaan masyarakat Cina sering menyamakan
hewan ini dengan kegelapan atau masa bulan baru sebelum
berbentuk sabit. Macan, juga selalu diasosiasikan dengan
f. Matahari, menurut mitologi Mesir, matahari merupakan perlambang Dewa Ra yang mendapat julukan sebagai anak
surga. Matahari merupakan simbol kekuatan prima dan
kekuasaan tertinggi.
g. Pisau dan Pedang, secara maknawi pisau dan pedang memiliki simbol yang mirip namun berbeda. Pisau sering diasosiasikan
sebagai alat kelamin (phallus), penggambaran rasa dendam
seorang laki-laki pengecut, juga menggambarkan kekuatan fisik.
Pedang menggambarkan tingkat spiritualitas dan kesatriaan
seseorang. Pedang juga diasosiasikan sebagai phallus.
h. Singa, menurut kepercayaan masyarakat Romawi, raja hutan
atau singa disimbolkan sebagai Dewa Matahari yang bernama
Mithras. Simbolisasi Mithras ini hanya dibatasi oleh laki-laki,
khususnya para prajurit yang mempunyai kekuatan, kekuasaan,
dan ciri-ciri maskulin lainnya.
C. Kebermaknaan Hidup Siswa SMA Yang Merias Tubuh dengan Tato Tiga hal penting yang perlu diketahui pada sub bab ini yaitu persoalan
kebermaknaan hidup, remaja, dan tato. Seperti sudah dijelaskan di depan
bahwa kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan
atau kebernilaian individual yang khas tentang seberapa besar dirinya dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh individu
tersebut merealisasikan tujuan hidupnya. Tato adalah hiasan tubuh yang
dan fashionable. Selanjutnya adalah remaja yakni manusia atau individu yang berusaha untuk selalu menemukan kebernilaian atau kebermaknaan dalam
hidupnya melalui ide, rasa, dan kreativitas yang dimiliki individu tersebut.
Pada kehidupan siswa SMA, gejala ketertarikan pada tato sangat
tinggi. Ketertarikan ini didasari oleh berbagai alasan, mulai dari sekedar
ikut-ikutan, petualangan, bakat, fashion hingga sebagai ekspresi sebuah seni. Pada
kalangan siswa SMA, bertato bukanlah sebuah perkara yang mudah,
mengingat bahwa tuntutan mereka sebagai pelajar yang sedang menempuh
pendidikan Selain itu, persyaratan untuk sebuah lapangan pekerjaan yang
menuntut untuk bebas dari hal-hal negatif termasuk tato. Anggapan dan
stigma negatif terhadap tato masih sangat luas di kalangan masyarakat luas.
Pandangan dan harapan masyarakat luas menjadi tantangan tersendiri bagi
siswa SMA yang sudah memutuskan dirinya untuk bertato.
Siswa SMA dengan ide, rasa, dan kreativitas yang dimilikinya
mencoba untuk membentuk atau menemukan nilai atau makna dari sesuatu
yang merupakan hasil dari perwujudan ide, rasa, dan kreativitasnya yaitu tato.
Untuk menemukan nilai atau makna tato, Frankl (Koeswara, 1987)
mengatakan bahwa kebermaknaan hidup dibangun dalam kerangka filsafat
eksistensialisme. Ada tiga proses terbentuknya kebermaknaan hidup menurut
filsafat eksistensialisme, yakni; konsep kebebasan berkeinginan, konsep
keinginan akan makna, dan konsep makna hidup. Ketiga konsep ini juga akan
sangat bergantung pada nilai kreatif, nilai penghayatan, dan nilai sikap dari
Siswa SMA merupakan remaja tengah dengan tugas-tugas
perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja. Menurut Hurlock
(1991:11), siswa SMA (remaja) memiliki tugas perkembangan sebagai
berikut; mampu menerima keadaan fisiknya, mampu menerima dan
memahami peran seks usia dewasa, mampu membina hubungan baik dengan
anggota kelompok, mencapai kemandirian emosional, dan mencapai
kemandirian ekonomi. Selain itu, siswa SMA (remaja) diharapkan mampu
mencapai pemenuhan diri dan pengembangan potensi diri, mengembangkan
konsep dengan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk
melakukan peran sebagai anggota masyarakat, memahami nilai-nilai orang
dewasa dan orang tua, dan mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan,
serta memahami dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga.
Melalui tato sebagai sebuah hiasan tubuh yang mempunyai cita rasa,
seni dan dianggap sesuatu yang modis, trendi dan fashionable, remaja
mencoba untuk menemukan nilai atau makna dalam kehidupannya. Jika siswa
SMA bertato berhasil atau mampu menemukan nilai atau makna dari tato
yang ada pada tubuhnya dan/atau siswa SMA berhasil menemukan
kebermaknaan hidupnya, Frankl (Schultz, 1991) mengatakan akan memiliki
ciri-ciri seperti bebas memilih langkah tindakannya, bertanggungjawab secara
pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib, tidak ditentukan
oleh kekuatan di luar dirinya. Selain itu, siswa SMA yang telah menemukan
arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan dirinya, secara sadar mampu
kreasi dan nilai hidup, telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri. Siswa
SMA yang telah menemukan makna dalam hidupnya memiliki orientasi pada
masa depan, mengarahkan diri pada tujuan dan tugas yang akan datang,
memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen terhadap
pekerjaan serta mampu memberi dan menerima cinta.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup
siswa SMA bertato adalah kemampuan siswa SMA untuk berkarya secara
maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan tetapi menerima
dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap situasi dan
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan dilakukan
dengan kerangka studi kasus, yakni studi kasus yang mendalam terhadap satu
atau beberapa aspek yang dipilih dari data yang ada serta relevan dengan
permasalahan mengenai kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuh
dengan tato. Tujuannya untuk mempertahankan pemahaman subjek
penelitian. Hal ini berarti bahwa data dan fakta yang telah dikumpulkan,
ditelaah, dipelajari, dan dimengerti sebagai suatu keseluruhan yang intrgrasi.
Menurut Denzin dan Linclon (Moleong, 2010), penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan melakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada. Sebab itu peneliti harus berada di lapangan dalam
jangka waktu yang lama.
B. Metode Pengumpulan Data
1. Wawancara
Banister (Poerwandari, 1998), wawancara adalah percakapan dan
tanyajawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara
kualitatif dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu
eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan
melalui pendekatan lain.
Wawancara sangat penting dalam penelitian kualitatif karena proses
ini mengungkap makna yang dipahami individu (subjek). Hal ini yang
mengundang peneliti untuk menggunakan metode wawancara dalam
penelitiannya. Peneliti menggunakan metode wawancara bebas tidak
berstruktur yaitu dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat
umum, mencantumkan isu yang harus diteliti tanpa ada urutan. Pedoman
wawancara yang digunakan peneliti mengenai aspek-aspek yang akan
dibahas dan sebagai daftar pengecek (checklist) apakah aspek tertentu
sudah dibahas atau sudah ditanyakan.
2. Observasi
Menurut Patton (Poerwandari, 1998), observasi merupakan metode
pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan
pendekatan kualitatif. Hadi, 1992, mengatakan bahwa observasi diartikan
sebagai suatu penghayatan dan pencatatan yang dilakukan secara
sistematis serta teratur terhadap gejala-gejala yang diamati,yang dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Observasi sangat penting dan sangat besar pengaruhnya dalam suatu
hasil wawancara. Hal ini karena dalam suatu wawancara tidak hanya
berpegang pada apa yang dikatakan oleh subjek yang diwawancarai,
misalnya kecepatan bicara, nada suara, perubahan raut wajah atau ekspresi
wajah, posisi duduk, dan ekspresi non verbal lainnya.
3. Alat Pengumpulan Data
a. Handphone, berfungsi untuk menghubungi subjek dalam membuat
janji wawancara dan berfungsi untuk merekam semua percakapan
dan pembicaraan dalam wawancara.
b. Buku catatan dan pena, berfungsi untuk menulis
pertanyaan-pertanyaan wawancara dan jawaban yang diberikan subjek atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
c. Kamera foto, berfungsi untuk mengambil gambar subjek. Menurut Moleong, 2010 kamera foto dapat meningkatkan keabsahan
penelitian akan lebih terjamin, karena benar-benar melakukan
pengumpulan data. Tetapi kembali kepada hak dari subjek penelitian
dalam memutuskan untuk menggunakan atau tidak suatu alat
pengumpulan data berupa kamera foto, karena kerahasiaan subjek
penelitian harus dijaga pada setiap penelitian.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini berjumlah dua orang yaitu
siswa SMA Muhammadiyah, Yogyakarta yang berjenis kelamin laki-laki,
berusia 16 tahun dan 17 tahun. Kedua subjek ini sama-sama merias tubuhnya
dengan tato. Sangat dimungkinkan peneliti akan menggunakan subjek
pembanding dengan cara mencari subjek lagi sebagai pembanding dan
Teknik yang dipakai oleh peneliti dalam menentukan subjek penelitian
adalah purposive sampling. Menurut Moleong, 2010 purposive sampling
adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu ini misalnya subjek yang dianggap paling tahu tentang
apa yang diharapkan, dan memenuhi syarat-syarat sebagai subjek penelitian.
D. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tempat tinggal subjek dan tempat bermain
subjek dalam komunitas yang diikutinya. Lokasi penelitian ini dikhususkan
untuk subjek yang bertempat tinggal di Yogyakarta. Waktu penelitian lebih
banyak dilakukan sehabis subjek pulang sekolah, mengingat subjek masih
menempuh studi dan sehabis subjek pulang sekolah adalah waktu yang tepat
atau senggang serta pada setiap malam minggu saat subjek berkumpul
bersama teman-teman.
E. Uji Validitas Data
Untuk mengukur validitas data, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik triangulsi. Adapun teknik triangulsi yang digunakan
dalam penelitan ini meliputi:
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber menurut Patton (Sutopo, 2008) yaitu
pengumpulan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber penelitian
Peneliti juga membandingkan data yang diperoleh dari kedua sumber
dengan data yang diperoleh dari sumber ketiga sebagai pembanding.
Selain sumber data tersebut, peneliti juga menggunakan sumber
data berupa dokumen atau arsip-arsip yang meliputi buku-buku dan
jurnal-jurnal tentang tato yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang
ingin dicapai dari subjek. Sumber lain yang digunakan sebagai
triangulasi berupa peristiwa atau kejadian yang terjadi di lapangan atau
tempat ketika wawancara berlangsung.
2. Triangulasi Metode
Yaitu teknik untuk mengecek kredibilitas data dilakukan dengan
cara yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti mengecek data hasil
wawancara dengan metode observasi dan dokumentasi.
Apabila pengecekan kredibilitas data dengan teknik triangulasi
metode menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti mengadakan
diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan untuk
memastikan data mana yang dianggap benar atau mungkin semuanya
benar hanya persepsinya yang berbeda-beda.
3. Triangulasi Waktu
Waktu juga sering menentukan kredibilitas data. Data yang
dikumpulkan dengan teknik wawancara pada saat subjek tidak ada
masalah atau tidak sedang kelelahan, akan memberikan data yang lebih
sebagai alat untuk berkomunikasi dalam menentukan waktu wawancara
yang tepat.
Untuk itu, dalam rangka pengujian kredibilitas, peneliti melakukan
pengecekan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi dalam
waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji kredibilitas menghasilkan
data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang sampai ditemukan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan
wawancara. Terlebih dahulu dilakukan observasi di lapangan selama satu
bulan yaitu pertengahan bulan Agustus sampai pertengahan bulan September
2012. Observasi pra penelitian dilakukan terhadap kedua subjek. Observasi
dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan lingkungan,
kehidupan sehari-hari diri subjek. Hasil dari observasi ini akan digunakan
dalam penyusunan guide interview yang akan digunakan dalam penelitian.
Guide interview yang disusun akan berisi beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu mengungkapkan permasalahan penelitian.
Guide interview yang disusun berdasarkan beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu mengungkap hal-hal yang menjadi pertanyaan penelitian.
Selanjutnya disusun daftar pertanyaan yang dapat dilihat pada lampiran.
Dalam proses wawancara, pertanyaan dapat dikembangkan sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan penelitian.
Dalam pelakasanaa observasi pra penelitian, dilakukan pertemuan awal
dengan kedua calon subjek penelitian. Pertemuan pertama dilakukan guna
memperkenalkan diri, dan menjelaskan mengenai topik penelitian yaitu untuk
mengetahui kebermaknaan hidup seorang siswa SMA yang merias tubuhnya
berpartisipasi dalam penelitian dan kesediaan subjek meluangkan waktu
untuk diwawancarai. Langkah terakhir setelah subjek menyatakan
kesediaannya diwawancarai yaitu menentukan waktu dan tempat pertemuan
wawancara. Waktu dan tempat wawancara disesuaikan dengan waktu luang
subjek penelitian. Selanjutnya, peneliti melakukan observasi dan wawancara.
1. Observasi
Observasi dilakukan saat peneliti melakukan pendekatan terhadap
subjek penelitian. Hal ini dilakukan agar peneliti mengerti secara langsung
kehidupan dan pengalaman subjek dalam permasalahan penelitian yang akan
dibahas. Dalam proses pendekatan ini subjek menceritakan
pengalaman-pengalamannya secara terbuka terkait dengan keberadaan subjek sebagai
pemakai tato. Peneliti sangat dimudahkan dalam observasi karena kedua
subjek tinggal di daerah yang sama dan ikut dalam komunitas yang sama
pula.
a. Observasi terhadap subjek pertama A, dilakukan pada hari sabtu, 18
Agustus 2012 pukul 21.00-23.00 WIB. Observasi dilakukan di Tugu
Yogyakarta, yang menjadi tempat berkumpul subjek bersama
teman-teman komunitasnya setiap malam minggu. Pada observasi pertama
diperoleh hasil bahwa subjek penelitian adalah seorang pria, berbadan
kecil dan kurus, rambut cukup panjang dan hitam, kulit berwarna coklat
sawo matang serta beberapa bagian tubuhnya yang ditato. Dibawah
terang lampu kota, subjek dan teman-temannya duduk membentuk
Observasi kedua dilakukan pada hari selasa, 21 Agustus 2012
pukul 16.00-17.00 WIB. Observasi kedua ini dilakukan di tempat tinggal
subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hal yang di observasi adalah
situasi tempat tinggal dan keseharian subjek dirumah. Dalam observasi
ini diperoleh hasil bahwa subjek tinggal bersama orang tuanya. Letak
rumah yang berada dikawasan padat penduduk tampak kecil dan sempit.
Selain bersama kedua orang tua, dalam rumah sederhana ini subjek
tinggal bersama adiknya. Keseharian subjek setelah pulang sekolah
adalah bermain-main dengan vespanya, sorenya membersihkan rumah
dan bermain dengan teman-teman disekitar rumah.
Observasi ketiga dilakukan pada hari sabtu, 25 Agustus 2012 pukul
20.00-22.00 WIB. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui subjek
ketika dalam masalah. Subjek cenderung diam dan ingin segera
melupakan masalah yang sedang dihadapinya, karena itu subjek memilih
jalan lain dengan merokok dan minum-minuman keras (mabuk).
Merokok dan mabuk merupakan cara terbaik bagi subjek untuk
melupakan masalah yang sedang dihadapinya.
Observasi terakhir dilakukan pada saat wawancara berlangsung
pada hari Minggu, 2 September 2012 pukul 11.00-12.30 WIB. Ketika
pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada subjek, tampak subjek sangat
bersemangat memberikan jawaban dan penuh hati-hati dalam pemilihan
kata yang akan digunakan untuk mewakili maksud yang ingin
pertama kali diwawancarai atau karena tape recorder yang peneliti gunakan. Namun demikian, proses wawancara tetap berjalan lancar
dengan jawaban-jawaban yang tegas dan penuh keyakinan subjek
mengenai apa yang dialaminya. Akhirnya wawancara secara profesional
dan kooperatif pun berhasil dengan subjek memohon maaf apabila ada
jawaban yang kurang tepat serta mengatakan siap untuk diwawancarai
ulang.
b. Observasi terhadap subjek kedua L, dilakukan pertama kali pada hari
sabtu, 18 Agustus 2012 pukul 21.00-23.00 WIB. Observasi dilakukan
secara bersamaan dengan subjek A di Tugu Yogyakarta, karena kedua
subjek terlibat dalam satu komunitas sepeda yang sama di Yogyakarta.
Dalam observasi ini diperoleh hasil bahwa subjek penelitian adalah
seorang pria, berbadan kurus tinggi, rambut ikal dan hitam, kulit
berwarna coklat sawo matang. Subjek penelitian ini memiliki beberapa
tato di bagian tubuhnya. Penampilan subjek yang sederhana dan tampak
rapi memberikan kesan tersendiri pada peneliti
Observasi kedua dilakukan pada hari selasa, 28 Agustus 2012
pukul 17.00-18.00 WIB. Observasi kedua ini dilakukan di tempat tinggal
subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hal yang di observasi adalah
situasi tempat tinggal dan keseharian subjek dirumah. Dalam observasi
ini diperoleh hasil bahwa subjek tinggal bersama kedua orang tua, kakak
membantu sang ibu membersihkan rumah dan sesudah selesai subjek
menghabiskan waktu untuk tidur.
Observasi ketiga dilakukan pada hari sabtu, 8 September 2012
pukul 20.00-21.00 WIB. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui
subjek ketika dalam masalah. Ketika mengalami masalah subjek
cenderung menceritakan masalah yang dihadapinya kepada teman-teman
dan pacarnya, juga sering mengambil jalan lain dengan mendengarkan
musik kesukaannya dengan keras-keras, merokok dan mabuk.
Observasi terakhir dilakukan pada saat wawancara berlangsung
pada hari Jumat, 14 September 2012 pukul 17.00-18.30 WIB. Ketika
pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada subjek, tampak subjek sangat
bersemangat dan asyik sekali dalam menjawab. Tanpa ada keraguan
sama sekali pada diri subjek saat menjawab pertanyaan demi pertanyaan
yang peneliti ajukan, vokal suara pun sangat jelas dan tegas, mungkin
karena karakter subjek yang senang bercerita dengan teman-temannya.
Pada akhir wawancara subjek mengatakan bahwa siap untuk
diwawancarai lagi apabila masih ada yang kurang atau ada jawaban yang
tidak memuaskan.
2. Wawancara Mendalam
Proses pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan setelah peneliti
melakukan perkenalan dan pendekatan dengan kedua subjek. Pertama-tama
dan sangat bergantung dengan kesediaan subjek. Peneliti tidak mengalami
hambatan dalam pendekatan terhadap subjek.
Pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan kesepakatan antara peneliti
dengan subjek penelitian. Dalam proses wawancara peneliti tidak terpaku
pada satu tempat yaitu di rumah subjek, tetapi peneliti juga mendatangi
tempat berkumpulnya subjek bersama komunitasnya. Lamanya proses
wawancara pada masing-masing subjek berbeda-beda, dengan rentang waktu
antara satu jam sampai satu setengah jam. Hal ini dikarenakan subjek tidak
langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti, tetapi
subjek terlebih dahulu menceritakan pengalamannya dan kadang jawaban atas
pertanyaan yang diberikan pun tidak sesuai. Dalam hal ini, peneliti berusaha
mengali pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh subjek. Selanjutnya
dalam proses wawancara pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada
subjek dapat berkembang mengikuti situasi dan kondisi wawancara. Hal lain
menjadi penyebab lamanya penelitian, karena selama proses wawancara
dilakukan sambil merokok dan minum untuk menghilangkan ketengangan
subjek penelitian.
Semua subjek menjalani proses wawancara lebih dari satu kali, hal ini
dikarenakan jawaban dan pernyataan-pernyataan subjek yang perlu digali
lebih dalam lagi. Seluruh kegiatan wawancara disimpan menggunakan
handphone yang disisipkan dengan persetujuan subjek penelitian.
a. Wawancara terhadap subjek pertama A, dilaksanakan pada hari
daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hasil wawancara terhadap subjek
pertama bahwa subjek pertama kali mentato tubuhnya saat SMA kelas 1.
Hubungan subjek dengan orang tua sangat baik, namun sekarang telah
berbeda karena kedua orang tua sudah berpisah (cerai). Awal ketertarikan
subjek pada tato karena pengaruh lingkungan, dimana lingkungan tempat
tinggal subjek dan komunitas sepeda tinggi yang subjek ikuti banyak
bertato. Subjek memandang bahwa tato sebenarnya adalah seni kulit
yang tak pernah bisa hilang, karena itu subjek masih ingin menambah
koleksi tato ditubuhnya. Subjek adalah seorang yang pendiam dan
pemalu, namun setelah bertato subjek mengatakan bahwa dirinya
menjadi semakin percaya diri dan lebih berani berekspresi ketimbang
dulu sebelum tatoan. Selama ini subjek tidak merasa bahwa tato menjadi
penghalang dalam bergaul dengan orang lain.
b. Wawancara terhadap subjek kedua L, dilaksanakan pada hari Sabtu,
14 september 2012, pukul 17.00-18.30 WIB di tempat tinggal subjek di
daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hasil wawancara terhadap subjek kedua
bahwa subjek pertama kali memakai tato sejak SMA kelas 1, pertama
kali bagian tubuh yang ditato adalah punggung. Hubungan subjek dengan
orang tua dan kedua saudara kandungnya sangat baik, begitu juga
hubungan dengan lingkungan dan teman-temannya. Awal ketertarikan
subjek pada tato itu kerena teman, melihat teman yang bertato sepertinya
bagus, keren dan karena subjek ingin mencoba bagaimana rasanya ditato,
adalah sebuah karaya seni yang bisa ditempelkan di tubuh dan bisa
dibawa sampai mati. Selama ini subjek tidak merasa bahwa tato menjadi
penghalang untuk bergaul, dikemudian hari pun subjek ingin menghapus
tatonya.
B. Hasil Temuan Secara Umum
Subjek penelitian ini terdiri dari dua orang siswa SMA dan berjenis
kelamin laki-laki yang merias tubuhnya dengan tato dan menjadi penikmat
tato. Hasil wawancara ini merupakan ulasan menyeluruh tentang latar
belakang kehidupan subjek, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal
(masyarakat), lingkungan sekolah, komunitas bermain, sifat dan karakter saat
ini, penyesuaian sosial, dan pengalaman traumatik. Pemahaman berbagai
fenomena kehidupan subjek diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara
peneliti.
Subjek pertama A, adalah seorang siswa SMA kelas XII pada salah satu
sekolah Muhamadiyah di Yogyakarta dan berusia 17 tahun. Persepsi yang
muncul ketika pertama kali bertemu dengan subjek adalah pribadi pendiam,
mudah bergaul, ramah, senang bercanda. Dilihat dari penampilannya, subjek
berpakaian sederhana tapi tidak rapi. Ketika peneliti berkunjung ketempat
berkumpulnya bersama teman-teman komunitasnya, subjek sedang bercanda
sambil minum (lotce), ketika itu subjek menyambut peneliti dengan baik dan memperkenalkan peneliti kepada teman-temannya.
Subjek kedua L, juga merupakan siswa SMA Muhamadiyah di
Ketika peneliti berkunjung ketempat berkumpulnya bersama teman-teman
komunitasnya, subjek menyambut peneliti dengan baik dan ramah.
Penampilan subjek sangat sederhana dan cukup rapi.
1. Lingkungan Keluarga
Subjek pertama A, adalah anak tunggal dalam keluarganya. Subjek SD
kelas 5 kedua orang tunya berpisah (cerai). Sekarang subjek tinggal bersama
bapaknya yang bekerja sebagai penjahit dan ibunya yang sekarang tinggal di
Prambanan berjualan angkringan. Subjek bertemu dengan ibunya hanya
ketika subjek merasa kangen dan harus berkunjung ke tempat ibunya di
Prambanan. Kondisi ekonomi keluarga subjek termasuk kelas menenggah
kebawah atau pas-pasan. Hubungan subjek dengan kedua orang tuanya sangat
dekat, hanya dengan ibu yang terpisahkan karena perceraian dan subjek
sangat menghormati kedua orang tuanya.
Subjek kedua L, adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Bersama kedua
orang tua dan kedua saudaranya subjek tinggal dalam sebuah rumah kecil
yang terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu dan dapur yang hanya
berbatasan lemari dengan ruang tamu. Pekerjaan bapak subjek yang dulu
sebagai atlet tinju dan sekarang bekerja sebagai petugas keamanan, ibu
sebagai ibu rumah tangga. Hubungan subjek dengan kedua orang tua, kakak
subjek yang sudah bekerja dan adik subjek yang masih SD dan memiliki
kekurangan fisik ini tampak sangat rukun. subjek mengatakan bahwa
2. Lingkungan Tempat Tinggal
Subjek pertama A, tinggal di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Tempat
tinggal yang sangat padat penduduknya, tidak ada jarak antara rumah yang
satu dengan yang lainnya, jalan masuk menuju rumah subjek hanya gang
kecil yang cukup untuk lewat satu motor. Kawasan yang padat dan sempit ini
terasa tidak nyaman untuk tempat tinggal karena letak rumah yang dekat
dengan sungai membuat aroma disekitar lingkungan tidak sedap.
Subjek mengatakan bahwa di daerah tempat tinggalnya ada banyak
orang yang memiliki tato, baik itu orang tua maupun pemuda dan pemudinya.
Meskipun situasi lingkungan ini terlihat kurang nyaman, tapi masyarakatnya
ramah-ramah.
Subjek kedua L, juga tinggal di daerah Notoyudan, Yogyakarta.
Lingkungan tempat tinggal subjek terlihat sangat sumpek, rumah-rumah dilingkungan ini hanya berjarak dinding tidak ada jarak pembatas. Letak
rumah subjek pun terhitung berada dideretan paling pojok di daerah itu.
Hampir seluruh rumah yang berada di aderah itu tidak memiliki halaman dan
langsung berhadapan dengan jalan kecil berupa gang. Kondisi geografis yang
tidak jauh dari pusat kota membuat subjek dan keluarganya tidak kesulitan
untuk mencari kebutuhan keluarga dan hiburan. Menurut subjek bahwa
dilingkungan tempat tinggalnya banyak terdapat orang-orang yang memiliki
3. Lingkungan Sekolah
Subjek pertama A, mengatakan bahwa sekolahnya memiliki aturan
yang sama dengan sekolah lain pada umumnya. Namun masa-masa SMA
adalah masa yang menyenangkan apabila berhadapan dengan aturan seperti
membolos dan tatoan. Pertama kali subjek tatoan adalah kelas 1 SMA, sudah
banyak teman-teman yang tahu kalau subjek memiliki tato di tubuhnya. Sejak
memiliki tato subjek tidak pernah menunjukkan kepada teman-temannya
kalau dirinya bertato, bahkan membiarkan teman-temannya tahu dengan
sendirinya. Menurut subjek bukan suatu kebanggaan bila sudah memiliki tato
lalu menunjukkan kepada orang lain.
Selama ini tato yang melekat di tubuh subjek tidak pernah menjadi
penghalang baginya dalam bergaul dengan teman-teman di sekolahnya.
Subjek juga mengatakan bahwa di sekolahnya ada tiga orang yang memiliki
tato.
Subjek kedua L, mengatakan bahwa dirinya termasuk anak yang
pendiam dan penurut pada orang tua juga pada guru-guru di sekolah, tetapi
bukan berarti tidak pernah membangkang. Selama sekolah, subjek memang
belum pernah mendapatkan prestasi yang gemilang, tetapi menurut subjek
adalah sesuatu kebanggaan tersendiri bila dapat melanggar aturan di sekolah.
Subjek mengaku bahwa dirinya suatu hari nanti ingin berubah dan ingin
membahagiakan orang tua.
Subjek tatoan pertama kali kelas 1 SMA, tato pertamanya adalah tulisan