• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuh dengan tato

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuh dengan tato"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH DENGAN TATO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

ROBERTUS BAYU KRISTANTORO NIM: 081114012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Vita non vitae, Mortua non mortuus”

“Hidup tetapi tidak hidup, Mati tetapi tidak meninggal”

Skripsi ini saya persembahkan kepada: Tuhan yang selalu beri aku keajaiban

Ibu Yuliana Mujiem dan Bapak A. Sarwono yang selalu

setia memberiku semangat dan doa

Sahabat-sahabatku tercinta

(8)

ABSTRAK

KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH DENGAN TATO

Robertus Bayu Kristantoro Universitas Sanata Dharma

2012

Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan sejumlah potensi dalam diri seorang manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa SMA bertato, motivasi yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato, dan gambaran makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam. Informasi yang dikumpulkan berasal dari kedua sumber dan dari hasil observasi peneliti selama melakukan penelitian di rumah, tempat bermain dan sekolah subjek. Subjek penelitian ini adalah A dan L. Kedua subjek sama-sama masih duduk dibangku SMA di sekolah yang berbeda namun dalam satu yayasan yaitu Muhammadiyah. A adalah siswa SMA kelas 3 sedangkan L adalah siswa SMA kelas 2, kedua subjek sama-sama memiliki tato dibeberapa bagian tubuhnya.

(9)

ABSTRACT

THE MEANING OF LIFE FOR HIGH SCHOOL STUDENTS WHO PAINTED HIS BODY WITH TATTOO

Robertus Bayu Kristantoro Sanata Dharma University

2012

Being a loser, one whose life is becoming a loser shows that the person easily surrenders, although God has given him some potency in his life. This study aims to find out some factors that cause high school students painted their body with tattoos, the motivation that encourages high school students to paint their body with tattoos, and a description of the meaning of life of some high school students who paint their body with tattoos.

This study belongs to a qualitative research. The data collections used in this study are documentation study, observation, and thorough interviews. The information is gathered from two sources, as well as the researcher’s observation while conducting the research at home, playground and school subjects. The subjects are A and L. Both of them were still studying at Muhammadiyah high school. A was in the third grade whereas L was in the second grade. Both two subjects have got tattoos in some parts of their body.

(10)

KATA PENGANTAR

Pengalaman penuh makna yang penulis dapatkan dalam penelitian dan

penulisan skripsi ini merupakan anugerah terindah dari kasih Tuhan Yang Maha

Agung. Anugerah terindah yang tiada henti penulis syukuri dan kagumi.

Anugerah yang agung ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang selalu

hadir dalam kehidupan penulis, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan,

dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulisan skripsi ini menjadi semakin

baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D, selaku dekan FKIP Unversitas Santa Dharma Yogyakarta,

yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Drs. Gendon Barus, M.Si, selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling yang

telah memberikan kesempatan untuk menulis skripsi dan memberikan

dukungan penuh kepada penulis.

3. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penulisan

skripsi yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama penelitian

dan penulisan kepada penulis.

4. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si., Drs. R.H.Dj.

Sinurat, M.A., selaku dosen prodi Bimbingan dan Konseling yang telah

membagikan ilmu dan memberikan bimbingannya kepada penulis selama

kuliah, serta terimakasih kepada dosen-dosen yang lain.

5. Sr. M. Fidelis, FCH yang setia memberikan semangat kepada penulis untuk

(11)

6. Bapak dan Ibunda tercinta, di dalam kasih dan pengertiannya telah membawa

penulis pada penemuan makna terdalam hidup ini dan memampukan penulis

bertahan dengan setia menekuni penulisan skripsi ini.

7. Anwar dan Lutfi (nama samanaran), yang telah bersedia sebagai subjek

penelitian dan dengan terbuka membagikan pengalamannya kepada penulis

sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

8. Kalian semua yang tanpa sadar telah menstimulus penulis untuk segera

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, namun

begitu penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi dunia Bimbingan dan

Konseling dan bagi siapa saja yang menaruh hati pada kebermaknaan hidup, serta

bagi mereka generasi penerus pencari makna hidup.

Yogyakarta, 18 Februari 2013

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Fokus Pertanyaan Penelitian ... 6

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kebermaknaan Hidup ... 8

a. Pengertian Kebermaknaan Hidup... 8

b. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup ... 9

(13)

d. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup... 13

e. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup ... 14

f. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup ... 15

2. Tato ... 17

a. Pengertian Tato ... 17

b. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato ... 20

c. Jenis Tato... 22

3. Kebermaknaan Siswa SMA yang Merias Tubuh dengan Tato ... 24

BAB III. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian ... 28

2. Metode Pengumpulan Data ... 28

a. Wawancara ... 28

b. Observasi ... 29

c. Alat Pengumpulan Data ... 30

3. Subjek Penelitian ... 30

4. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

5. Uji Validitas Data ... 31

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Penelitian ... 34

a. Observasi ... 35

b. Wawancara Mendalam ... 38

2. Hasil Temuan Secara Umum ... 41

(14)

b. Lingkungan Tempat Tinggal ... 43

c. Lingkungan Sekolah ... 44

d. Komunitas Bermain... 45

e. Sifatdan Karakter Saat Ini ... 45

f. Penyesuaian Sosial ... 46

g. Pengalaman Traumatik ... 48

3. Analisis Subjek Penelitian ... 49

4. Pembahasan ... 53

a. Faktor-Faktor Penyebab Siswa SMA Bertato ... 53

b. Motivasi Siswa SMA Merias Tubuhnya dengan Tato ... 55

c. Kebermaknaan Hidup Siswa SMA Bertato ... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 58

2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN 1. Hasil Observasi ... 64

2. Pedoman Wawancara dan Hasil Wawancara ... 72

3. Foto Tato Subjek ... 86

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup

yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan

sejumlah potensi dalam diri seorang manusia (Gymnasziar, 2002).

Potensi dalam diri manusia akan berguna dan bermanfaat apabila

digali dan diaktualisasikan secara positif menurut kultur yang ada pada setiap

lingkungan hidup manusia, tetapi akan lebih berguna dan bermanfaat lagi

bagi kehidupan manusia apabila potensi-potensi tersebut mendapatkan

maknanya dalam setiap aktivitasnya dan menjadikan kehidupan manusia yang

sehat. Kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya

dengan makna yang baik orang menjadi insan yang berguna bukan hanya bagi

dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Kerusakan moral dengan gangguan jiwa yang dialami setiap orang

adalah karena orang-orang tersebut tidak mampu menemukan makna hidup

yang baik dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Allport (dalam Schultz,

1991) menyimpulkan bahwa kehidupan sehat adalah kalau seseorang

memiliki suatu gambaran diri dan identitas diri yang kuat dimana ia

merasakan suatu perasaan harga diri, dapat memberi cinta yang tulus tanpa

syarat dan terbuka, merasa aman secara emosional, dan memiliki tujuan hidup

(16)

Manusia semacam itulah yang akan produktif dan efektif dalam kehidupan di

tengah masyarakat.

Masyarakat yang sehat terhimpun dari individu-individu yang sehat

dan bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya, kehidupan masyarakat menjadi

tidak sehat dan tidak produktif apabila di tengah-tengahhnya bertebaran

individu-individu yang kehidupannya tidak bermakna. Kondisi masyarakat

seperti ini rentan dan potensial menimbulkan kekacauan. Kehidupan

masyarakat yang kacau dan tidak jelas arah hidupnya dapat terjadi karena

tidak ada atau ketidakjelasan visi kehidupan bersama. Masyarakat seperti ini

pada dasarnya adalah masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat

hewani. Untuk menghindari terbentuknya masyarakat seperti ini diperlukan

visi yang baik dan tujuan hidup yang jelas. Tujuan hidup ini bisa dicapai bila

pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa menekankan sejak dini pada

pendidikan yang bermuatan pembentukan makna kehidupan yang baik,

berkarakter, berwawasan lingkungan, yang membangun kehidupan bersama

(learn to leaving together, UNESCO) sehingga manusia sadar akan tujuan

hidupnya sebagai suatu rahmat bagi sesama.

Pada dasarnya manusia memiliki cara sendiri-sendiri untuk memaknai

kehidupan masa lampau, yang sedang berlangsung, dan yang akan datang

dalam perspektif historis masing-masing. Dalam arti lain, setiap manusia

memiliki keinginan untuk memaknai setiap aktivitas yang dilakukannya

(17)

Hidup tanpa makna yang baik telah banyak menghasilkan kriminal,

koruptor, pecandu narkoba, pembunuh, dan bahkan pembunuh bagi dirinya

sendiri. Ketiadaan atau kehilangan pegangan makna hidup dapat membuat

orang mengalami kehilangan kemanusiaannya. Salah satu perbedaan manusia

dengan hewan terletak pada adanya kesadaran tentang makna kehidupan,

khususnya makna kehidupan tentang manfaat diri sendiri pada orang lain.

Kalau orang bekerja untuk mencari uang guna membeli makanan dan

mendapat tempat tinggal yang baik, pada dasarnya sama dengan hewan.

Hewan juga mencari makan dan membangun sarang. Kalau orang bekerja

mencari uang hanya untuk melampiaskan kasih sayang pada anak dan

istrinya, hewan pun melakukan hal yang sama, hewan menjilat anak-anaknya

dan mengelus pasangannya. Kalau orang bekerja hanya untuk mencari

jabatan agar dia merasa berkuasa atas orang lain, inipun sama dimiliki oleh

hewan. Banyak binatang yang memiliki “raja” yang akan mengusir hewan

jantan lainnya bila mendekati hewan betina yang menjadi pasangannya.

Dalam pencarian makna kehidupan pada setiap tindakan yang

dilakukan, individu harus berusaha untuk menghayati, mengupas, atau bahkan

kadang harus “menelanjangi” setiap tindakan atau event yang terjadi. Dalam

usaha menelanjangi setiap tindakan, diperlukan kepekaan intuitif dan efektif

terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Individu dapat menemukan kebermaknaan secara aktif melalui karya

atau aktivitas yang kreatif atau secara pasif, dengan mengalami keindahan.

(18)

penderitaan dan kematian, dengan sikap yang sengaja kita pilih untuk

menghadapi situasi-situasi kita (Schultz,1991).

Adanya kepekaan sosial dan penghayatan mendalam terhadap suatu

makna yang terkandung dan dapat mengaktualisasikan dengan baik bisa

menghasilkan pemikiran yang baik dan orientasi masa depan yang jelas.

Seorang siswa SMA bertato yang mampu menghayati, mengupas, atau

bahkan menelanjangi kehidupannya, mungkin akan mampu menghasilkan

sesuatu yang spektakuler, atau mungkin terjadi sebaliknya, yang sebenarnya

sedang berusaha mencari makna hidup dari kehidupan yang dihadapinya. “All

I need is a little space to express myself...it’s not a lot to ask but’d be

surprised” Nicolette (dalam Olong, 2006). Sepanjang hayatnya manusia

tidaklah hidup hanya dengan tubuh alamiahnya. Manusia selalu memunyai

dan menunjukkan ide, kreativitas, rasa estetik, hingga rasa kemanusiaannya

sepanjang peradaban. Salah satunya dengan menambahkan, mengubah,

mengurangi, bahkan mengatur bagian tubuh alamiahnya dengan berbagai

cara. Tindakan itu baik dilakukan oleh individu, kelompok komunal, hingga

tingkat negara, baik secara suka rela, wajib, bahkan terpaksa. Pengubahan

yang dilakukan manusia pada tubuhnya mempunyai tujuan yang

bermacam-macam, berubah dari masa kemasa serta berbeda dari area budaya yang satu

dengan lainnya.

Tato kini mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris

yaitu nilai yang tidak lagi dapat dipahami sebagai suatu bentuk kebudayaan

(19)

tato bernilai religius transendental yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami

secara logika tetapi “harus” diterima begitu saja sebagai suatu perintah agama

atau keyakinan dan magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman.

Pergeseran inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai wilayah yang

diperebutkan antara moralitas tubuh, estetika tubuh, identitas tubuh, hingga

solidaritas tubuh. Ketika tato menjadi trend maka ia akan kehilangan nilai sakralitasnya dan masuk kepelataran profan. Pada akhirnya, tato dipandang

terdemistifikasi hingga masuk kejurang stigmatisasi negatif yang bernada

klaim bahwa tato adalah cap penjahat, bajingan, gali, gento, dan lain

sebagainya.

Tato telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang menimbulkan

kesan interpretatif. Kegiatan interpretatif inilah yang disinggung oleh Geertz

(1973): yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah jalinan makna di mana

manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya menuntut

tingkahlaku. Ketika manusia menambahi, mengurangi, dan mengubah bagian

tubuhnya maka akan memunculkan simbol ataupun makna semiotik yang

dapat dibaca dengan beragam makna. Simbol adalah sebagai

ajang/tempat/wahana yang memuat sesuatu nilai bermakna. Dari berbagai

simbol tersebut kebudayaan dapat mempengaruhi cara-cara berpikir individu

(20)

B. Fokus Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan di atas,

dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah;

1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab siswa SMA bertato?

2. Motivasi apa yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya

dengan tato?

3. Bagaimana makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias

tubuhnya dengan tato?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian studi kasus ini bertujuan untuk mengungkap lebih dalam

tentang pemahaman kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuhnya

dengan tato.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bermanfaat bagi perkembangan bimbingan konseling dan menambah

wawasan tentang kebermaknaan hidup pada siswa SMA yang merias

tubuhnya dengan tato.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memerluas wawasan para konselor

ataupun masyarakat umum sebagai bahan pertimbangan dalam

memandang manusia khususnya mereka yang menato tubuhnya,

(21)

3. Penelitian ini diharapkan juga dapat membantu para siswa yang bertato

untuk lebih memiliki pemahaman tentang kebermaknaan hidup yang

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup

1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa setiap orang

memiliki medan sendiri atau misi sendiri dalam hidup untuk

melaksanakan tugas konkret yang harus diisi. Karenanya tidak bisa

dipindahkan dan hidupnya pula tidak bisa diulang. Melihat dasar filosofi

eksistensialisme, Frankl (Koeswara, 1987) menilai individu manusia

bersifat dan bermakna personal, tunggal dan unik. Kepersonalan,

ketunggalan dan keunikan dari kebermaknaan hidup merupakan akibat

logis dari penempatan kebebasan manusia sebagai prinsip utama dalam

eksistensialisme.

Menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) ditempatkannya individu

manusia secara eksistensialisme berakibat adanya tujuan-tujuan dari

setiap orang. Konsekuensi ini memberikan arti bahwa jawaban

kebermaknaan hidup individu manusia senantiasa terkait dengan kualitas

penghayatan tentang tujuan-tujuan hidupnya, sehingga dapat

menyebabkan peningkatan-peningkatan tegangan batin. Berdasarkan

penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebermaknaan hidup

adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan atau kebernilaian

(23)

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh

individu tersebut merealisasikan tujuan hidupnya.

2. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa kebermaknaan

hidup dibangun dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Ada tiga proses

terbentuknya kebermaknaan hidup menurut filsafat eksistensialisme

yakni konsep kebebasan berkeinginan, konsep keinginan akan makna,

dan konsep makna hidup.

a. Konsep Kebebasan Berkeinginan

Kebebasan adalah sebuah konsep yang memberi kekhasan

pada eksistensialisme. Menurut Frankl (Koeswara, 1987),

menyebutkan bahwa kebebasan untuk menentukan sikap terhadap

kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural. Kualitas ini adalah

khas manusia yang memiliki kemampuan untuk mengambil jarak

terhadap kondisi diluar dirinya maupun dalam dirinya sendiri,

sehingga manusia memiliki kebebasan untuk menentukan mana

yang baik dan penting bagi dirinya. Kebebasan di sini harus pula

imbang dengan tanggungjawab agar tidak menjadi kesewenangan

atau kebebasan manusia sebagai suatu kebebasan batas-batas.

Manusia bebas untuk tampil di atas determinan-deterniman somatik

dan psikis dari keberadaannya, sehingga manusia dapat memasuki

(24)

b. Konsep Keinginan Akan Makna

Frankl (Koeswara, 1987), menyebutkan bahwa semakin

seseorang terdorong untuk mencapai kesenangan, maka semakin

kecil kemungkinan orang tersebut mencapai kesenangan.

Kesenangan ini sesungguhnya merupakan hasil dari pemenuhan

dorongan atau pencapaian tujuan yang akan merusak jika dijadikan

tujuan. Semakin seseorang mengarahkan dirinya secara langsung

pada kesenangan maka seseorang akan semakin kehilangan sasaran

yang ditujunya. Manusia bertanggungjawab atas realisasi nilai–nilai dan pemenuhan makna yang spesifik bagi kehidupan pribadi atau

keberadaan dirinya.

Lebih lanjut Frankl mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan

manusia bukanlah homeostetis, melainkan noodinamik, yaitu

tegangan pada tingkat tertentu yang berasal dari sifat menuntut yang

lekat pada makna terhadap keberadaan yang memungkinkan manusia

tetap terarah kepada nilai-nilai yang akan dan harus

direalisasikannya. Kebutuhan manusia bukanlah pengurangan

tegangan melainkan gerak perjuangan ke arah tujuan tertentu yang

patut dicapai, yakni makna. Jadi suatu lapangan tegangan terbentuk

antara apa manusia itu dengan bagaimana atau menjadi apa

(25)

c. Konsep makna hidup

Menurut Frankl (Koeswara, 1987), makna merupakan sesuatu

yang objektif dan berada di seberang keberadaan manusia. Berkat

statusnya yang objektif, maka makna mempunyai sifat menuntut atau

menantang manusia untuk menggapainya. Namun demikian, Frankl

menekankan selain bersifat objektif makna juga bersifat mutlak.

Nilai-nilai yang merupakan sumber dari makna adalah milik

kawasan tertentu dan hanya cocok untuk situasi tertentu, sehingga

disebut nilai-nilai situasional. Makna yang akan dan perlu dicapai

individual adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam

situasi tertentu.

3. Faktor–Faktor Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987 dan Schultz, 1991), berpendapat bahwa

individu dapat membentuk kebermaknaan hidupnya melalui realisasi

nila-nilai manusiawi yang meliputi nilai-nilai kreatif, nilai-nilai

penghayatan, dan nilai-nilai sikap.

a. Nilai-Nilai Kreatif

Frankl (Bastaman, 1996), mengatakan bahwa inti dari nilai

kreatif adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada

kehidupannya. Kegiatan yang penting bagi realisasi nilai-nilai kreatif

adalah bekerja. Bekerja memang tidak dengan sendirinya memberi

(26)

aktivitas bekerja semata-mata memberikan peluang dan kesempatan

paling besar untuk menemukan kebermaknaan hidup.

b. Nilai-Nilai Penghayatan

Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai penghayatan pada

intinya adalah mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan

luar kemudian mendalaminya. Mendalami berarti berusaha

memahami, menghayati dan menyakini berbagai nilai yang ada

dalam kehidupan seperti kebaikan, kebenaran, keindahan dan

kebajikan serta kasih sayang maupun cinta. Menurut Frankl (Schultz,

1991) bahwa nilai-nilai penghayatan adalah nilai-nilai yang

direalisasikan dengan mengambil nilai sebaiknya dari nilai-nilai

kreatif (memberikan sesuatu dalam kehidupan), yakni sikap

menerima (reseptif) dari atau menyerahkan diri pada dunia

kehidupan. Ini dapat dilakukan dengan menemui nilai-nilai

kehidupan.

Makna tertinggi dari suatu momentum tertentu dalam

keberadaan manusia dapat muncul dan dialami terlepas dari

tindakan. Momen puncak tersebut dapat menjadi ukuran

kebermaknaan hidup dan atau suatu momen tunggal dapat terbalik

melampaui seluruh hidup dengan makna. Nilai-nilai kreatif

direalisasikan dalam bentuk aktivitas kerja yang menghasilkan

sumbangan bagi masyarakat dan kehidupan, sebaliknya komunitas

(27)

c. Nilai-Nilai Sikap

Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai-nilai sikap ialah

kesempatan yang harus digunakan individu untuk menentukan sikap

yang tepat terhadap kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa yang

terjadi.

Frankl (Koeswara, 1992) mengategorikan nilai-nilai sikap

sebagai nilai tertinggi dari pada kedua nilai sebelumnya.

Merealisasikan nilai sikap berarti individu menunjukkan keberanian

dan kemuliaan menghadapi penderitaan atau permasalahan hidup

yang lain, selama individu menderita, suatu keadaan yang tidak

semestinya terjadi. Individu berada dalam ketegangan antara apa

yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dengan apa yang tidak

semestinya terjadi di pihak lain. Pada saat itulah individu dituntut

untuk mampu mengambil sikap, sehingga subjek dapat

memertahankan pandangannya pada sesuatu yang ideal. Karena itu,

individu dapat mengoreksi kekeliruannya meskipun kekeliruan itu

tetap tidak terhapuskan.

4. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup

Berdasarkan konsep-konsep logoterapi yang dirumuskan Frankl

(Schultz, 1991) menyimpulkan bahwa individu manusia yang telah

menemukan atau berhasil membentuk kebermaknaan hidupnya,

berciri-ciri sebagai berikut;

(28)

b. Bertanggungjawab secara pribadi terhadap perilaku hidup dan

sikapnya terhadap nasib.

c. Tidak ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya

d. Telah menemukan arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan

dirinya

e. Secara sadar mampu mengontrol diri, mampu mengungkapkan

nilai-nilai pengalaman, nilai kreasi dan nilai hidup

f. Telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri

g. Berorientasi pada masa depan, mengarahkan diri pada tujuan

dan tugas yang akan datang

h. Memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen

terhadap pekerjaan serta mampu mamberi dan menerima cinta.

Ciri-ciri tersebut merupakan manifestasi individu yang

mentransendensi diri dan mengaktuaisasikan diri. Hasil penelitian

Crumbaugh dan Maholock (Koeswara, 1987), menunjukkan bahwa

kebermaknaan hidup tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat

kecerdasan dan tingkat sosial-ekonomi individu.

5. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup

Buchari dan Budiharga (1982) mengatakan bahwa

kebermaknaan hidup bermanfat bagi individu sebagai pedoman orientasi

nilai dalam memilih tindakan untuk menjalankan kehidupan

(29)

tentang makna hidup yakni hidup untuk bekerja, hidup untuk beramal

dan berbakti serta hidup untuk bersenang-senang.

Hasil penelitian ini mendukung pandangan Frankl (Bastaman,

1996) yang mengemukakan bahwa dengan bekerja berarti individu dapat

menemukan peluang untuk memenuhi kebermaknaan hidupnya, melalui

bekerja individu dapat merasakan hidupnya tidak sia-sia, tetapi memiliki

arti atau makna.

Jadi, kebermaknaan hidup akan mendorong manusia untuk

berkarya secara maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan

tetapi menerima dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat

terhadap situasi yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang

dihadapinya.

6. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup

Kegagalan dan keterlambatan menemukan kebermaknaan hidup

yang semakin lama dan semakin ekstrim oleh Frankl (Koeswara, 1992)

disebut sindroma ketidakbermaknaan hidup yang dilakukan dalam dua

tahap yakni tahap frustasi eksistensial dan tahap neorosis noogenik. Pada

tahap frustasi eksistensial, akan terjadi suatu penderitaan batin yang

berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dan

mengatasi masalahnya secara efisien. Tahap neorosis noogenik

merupakan manifestasi khusus diri frustrasi eksistensial yang ditandai

(30)

berkaitan dengan spiritual kepribadian individu yang secara religious

menunjukkan adanya konflik-konflik moral (Schultz, 1991).

Keinginan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup tetap ada

dalam diri individu, tetapi karena individu tidak memiliki pola-pola

terintegrasi sebagai tolok ukur pencapaian kebermaknaan hidup, maka

keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan, sehingga tekanan yang

ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan

tekanan tersebut membuat individu terus-menerus berada dalam

pencarian cara-cara yang diharapkan dapat menjadi saluran bagi

pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan sering kali

dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri

dalam arus pengalaman yang bersifat konpensasi menyesatkan seperti

olkoholisme, obat-obatan, perjudian dan melakukan petualangan seks.

Bastaman (1995) menambahkan bahwa kebermaknaan hidup

menyebabkan individu mengalami gangguan neurosis, sikap totaliter dan

gaya hidup konformistis.

Pernyataan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

ketidakmampuan hidup pada diri individu, dapat menyebabkan individu

tidak memiliki keyakinan dan kepastian mengenai sesuatu yang harus

(31)

B. Tato

1. Pengertian Tato

Secara epistemologi tato memiliki istilah yang hampir sama

digunakan di berbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya tatoage,

tatouage, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tattoos, tatugens, tatoveringer, dan tatu. Dalam bahasa Indonesia kata tato merupakan serapan dari kata

tattoo yang berarti goresan, gambar atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh.

Konon, kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau”

yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan alat

berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah

permukaan kulit. Pada buku “the art new Zealand” Anne Nicholas

(Olong, 2006) menjelaskan bahwa kata tato yang berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks mencatat yang pertama kali berlabuh

di Tahiti pada tahun 1769. Disana Joseph mencatat berbagai fenomena

manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi tato.

Tato dapat menjadi sebuah status sosial dalam khasanah

tradisional, tetapi dalam dunia modern, meski sempat mendapat stigma

negatif tato adalah fashion. Tidak berlebihan kalau tato disebut sebagai “penanda”. Sejak 12 ribu tahun SM bahkan hingga saat ini anggapan itu

masih berlaku. Pilihan gambar sedikit banyak menunjukkan jati diri

pemilik tato. Hanya saja sebelum memutuskan mentato tubuh, kesiapan

(32)

permanen yang terlanjur menempel akan susah dihapus jika di kemudian

hari ternyata tidak suka.

Sejalan dengan berkembangnya seni tato kini telah ditemukan

jenis tinta baru yang lebih aman dipakai dan jauh lebih mudah

dihilangkan apabila sudah tidak dikehendaki lagi. Sejauh ini belum ada

standar keamanan untuk pewarna yang dipakai dalam seni melukis tubuh.

Tato biasanya menggunakan bahan-bahan seperti karbon, garam-garam

logam, dan bahan lain yang dipakai dalam percetakan dan pengecatan

mobil. “Padahal logam-logam berat dan bahan beracun yang ada dalam

pewarna tersebut dapat masuk kesistem kelenjar getah bening”, ungkap Martin Schmieg, penemu tinta aman untuk tato (Olong, 2006).

Henk Schiffmacher (Olong, 2006) mengatakan bahwa tato

sebagai tradisi sejumlah etnis kuno mulai dari suku Maori, Inca,

Polynessians, Mesir Kuno, dan banyak lagi. Tato pada suku dayak di

Indonesia memiliki makna yang beraneka macam dari sebuah budaya

sampai sebagai modis atau trendi. Secara ritual dan tradisi, tato memiliki

sesuatu yang sangat penting, bahkan sering dianggap magis. Sementara

pada jaman modern tato adalah bagian dari seni bukan sebagai fashion.

Sebelum dianggap sebagai mode, tato dianggap sebagai simbol

pemberontakan. Anggapan negatif masyarakat bahkan semakin

menyempurnakan citra tato sebagai simbol anti kemapanan. Sebagai

masyarakat pada negara tertentu, tradisi tato dilakukan melalui upacara

(33)

Adapun yang pertama kali ditato telah dianggap mencapai kedewasaan,

baik secara biologis maupun secara psikologis. Orang tersebut baru

dinyatakan boleh mengikuti kegiatan-kegiatan yang tadinya hanya boleh

diikuti atau dilakukan oleh orang dewasa seperti memilih jodoh, dan

lain-lain. Tato juga dapat menggambarkan hubungan kekerabatan yang

dimiliki seseorang sehingga berfungsi menunjukkan kedudukan

seseorang, seperti pada masyarakat suku mentawai, yang mendapat tato

atau rajah pada inisiasi.

Pada tahun-tahun 80-an (Olong, 2006) orang akan merasa takut,

minimal orang akan curiga melihat orang bertato. Saat itu tato identik

dengan preman, penjahat, gali, bandit, apalagi hal itu dikukuhkan dengan

adanya kasus penembakan misterius (Petrus) sekitar awal tahun 1980-an

kepada orang-orang yang disebut penjahat yang secara kebetulan

bercirikan tato di tubuhnya. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu

serta keterbukaan dan modernisasi, tato tidak selalu merupakan sesuatu

yang menakutkan dan dianggap sebagai lambang kriminalitas. Kendati

demikian, sejumlah penjahat masih menggunakan tato untuk

mengukuhkan “profesinya”, namun tato nampak memasyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, tato adalah hiasan tubuh yang

mempunyai cita rasa, seni dan dianggap sebagai sesuatu yang modis,

(34)

2. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato

Menurut Henk Schiffmacher (Olong, 2006) menyebutkan bahwa

diaspora tato, sebuah kebudayaan yang ubiquitos (ada dimana-mana), layaknya kebutuhan sandang, pangan, papan, dan identitas. Identitas

merupakan bagian dari kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Tato

sebagai wahana identitas, merupakan tanda pada tubuh, yang dibutuhkan

sebagai eksistensi oleh setiap manusia diberbagai belahan dunia.

Kenyataannya, selain memiliki keinginan untuk berbeda dari orang lain,

need for isolation”, manusia memiliki kecenderungan untuk sama

dengan yang lain, “need for union”. Kerena itu, nama saja tidaklah cukup sebagai pembeda.

Christopher Scoot (Olong, 2006) membagi motivasi dan

stimulus tato tradisional ke dalam empat tema besar, yaitu:

a. Tato bertujuan sebagai fungsi kamuflase (penyamaran) selama

masa perburuan. Pada perkembangannya, tato digambarkan

sebagai prestasi dari hasil berburu binatang, kemudian berlanjut

kepada manusia sebagai objek perburuan. Di sinilah kemudian

tato mengalami perkembangan image sebagai hasil dari pemenggalan kepala manusia. Tipe kalitas (pemaknaan) tato ini

ditemukan pada masyarakat Dayak Kayan dan Iban.

b. Tato merupakan perintah religius masyarakat yang diyakinkan

(35)

religiusitasnya. Tidaklah mengherankan jika masyarakat adat

tradisional memotong jari, menggunting rambut, melubangi

daging telingga, lidah, meratakan gigi, membakar sebagian

wajah dengan batu panas. Diyakini bahwa tindakan menyiksa

tubuh tersebut untuk memuluskan jalan menuju nirwana.

Misalnya pada masyarakat kepulauan Hawai yang bertato akan

menghadapi kematian dengan senang hati.

c. Tato sebagai inisiasi dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan

dari anak-anak ke remaja, dari gadis ke perempuan dewasa,

perempuan dewasa ke ibu. Tato juga dianggap mampu

mengatasi masa-masa sakit dan duka.

d. Tato sebagai jimat mujarab, simbol kesuburan dan kekuatan

dalam melawan berbagai penyakit, kecelakaan, bencana alam

dan gangguan setan.

Selain keempat alasan di atas, kepuasan pribadi juga selalu

menjadi alasan, sekedar cuek, iseng atau hanya sekedar ingin saja,

seringkali didengar dari orang yang bertato. Berdasarkan semua alasan

itu akan berujung pada kepuasan yang datang dari dalam diri, karena

tidak mungkin seseorang bertato permanen hanya untuk keisengan dan

coba-coba. Tato memang memiliki seribu satu alasan untuk bisa

menempel pada tubuh seseorang, tentu dengan ide kreatif seseorang itu

(36)

3. Jenis tato

Kent-Kent (Olong, 2006) mengatakan bahwa seni tato dapat

diklarifikasikan menjadi lima bagian, yaitu:

a. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan

alam atau bentuk muka.

b. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat

menggunakan blok warna. Banyak dipakai oleh suku Maori.

c. Out School, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman dulu, seperti perahu, jangkar, atau simbol love yang tertusuk

pisau.

d. New School, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk graffiti

dan anime.

e. Biomekanik, berupa gambar-gambar aneh yang merupakan imajinasi dari teknologi, seperti gambar robot atau mesin.

Bermacam bentuk dan desain ini menunjukkan sebuah

perkembangan tato ketahap inovasi, sehingga pada kelanjutannya

mampu menggeser image tabu dan jahat menuju ke ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.

Chris Miller (Olong, 2006) menguraikan beberapa desain tato

maskulin yang diyakini memberikan rasa dan kekuatan berbeda bagi

pemakainya, yaitu:

a. Api, menyimbolkan dualisme kehidupan. Satu sisi api

(37)

Api sering dijadikan representasi media spiritual yang

melambangkan reinkarnasi dan kesucian. Sisi lain api

menyimbolkan sesuatu yang merusak, memiliki daya pemusnah

dan dianggap sebagai sumber kematian yang menakutkan.

b. Elang, merupakan simbol kekuatan dalam berperang.

Ketajaman, kekuatan dan kecepatan serta kemampuan yang

ulung, sehingga karakteristiknya selalu diadopsi oleh para

prajurit yang kuat dan bijaksana.

c. Jangkar, awalnya gambar jangkar oleh umat Kristen dianggap

sebagai simbol penyelamatan. Model tato ini sangat popular

dikalangan pelaut kerena dianggap sebagai mistifikasi

penyelamat dan pengaman pelaut dari tenggelamnya kapal.

d. Beruang, menurut totem masyarakat Indian Amerika, beruang dikenal sebagai hewan yang bijaksana, tegar namun sukar

dikekang. Beruang merupakan hewan yang bengis dan tak

terkalahkan dalam setiap perkelahian. Beruang juga dapat

bergerak dinamis, terutama ketika berdiri sebagaimana layaknya

manusia.

e. Macan, kepercayaan masyarakat Cina sering menyamakan

hewan ini dengan kegelapan atau masa bulan baru sebelum

berbentuk sabit. Macan, juga selalu diasosiasikan dengan

(38)

f. Matahari, menurut mitologi Mesir, matahari merupakan perlambang Dewa Ra yang mendapat julukan sebagai anak

surga. Matahari merupakan simbol kekuatan prima dan

kekuasaan tertinggi.

g. Pisau dan Pedang, secara maknawi pisau dan pedang memiliki simbol yang mirip namun berbeda. Pisau sering diasosiasikan

sebagai alat kelamin (phallus), penggambaran rasa dendam

seorang laki-laki pengecut, juga menggambarkan kekuatan fisik.

Pedang menggambarkan tingkat spiritualitas dan kesatriaan

seseorang. Pedang juga diasosiasikan sebagai phallus.

h. Singa, menurut kepercayaan masyarakat Romawi, raja hutan

atau singa disimbolkan sebagai Dewa Matahari yang bernama

Mithras. Simbolisasi Mithras ini hanya dibatasi oleh laki-laki,

khususnya para prajurit yang mempunyai kekuatan, kekuasaan,

dan ciri-ciri maskulin lainnya.

C. Kebermaknaan Hidup Siswa SMA Yang Merias Tubuh dengan Tato Tiga hal penting yang perlu diketahui pada sub bab ini yaitu persoalan

kebermaknaan hidup, remaja, dan tato. Seperti sudah dijelaskan di depan

bahwa kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan

atau kebernilaian individual yang khas tentang seberapa besar dirinya dapat

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh individu

tersebut merealisasikan tujuan hidupnya. Tato adalah hiasan tubuh yang

(39)

dan fashionable. Selanjutnya adalah remaja yakni manusia atau individu yang berusaha untuk selalu menemukan kebernilaian atau kebermaknaan dalam

hidupnya melalui ide, rasa, dan kreativitas yang dimiliki individu tersebut.

Pada kehidupan siswa SMA, gejala ketertarikan pada tato sangat

tinggi. Ketertarikan ini didasari oleh berbagai alasan, mulai dari sekedar

ikut-ikutan, petualangan, bakat, fashion hingga sebagai ekspresi sebuah seni. Pada

kalangan siswa SMA, bertato bukanlah sebuah perkara yang mudah,

mengingat bahwa tuntutan mereka sebagai pelajar yang sedang menempuh

pendidikan Selain itu, persyaratan untuk sebuah lapangan pekerjaan yang

menuntut untuk bebas dari hal-hal negatif termasuk tato. Anggapan dan

stigma negatif terhadap tato masih sangat luas di kalangan masyarakat luas.

Pandangan dan harapan masyarakat luas menjadi tantangan tersendiri bagi

siswa SMA yang sudah memutuskan dirinya untuk bertato.

Siswa SMA dengan ide, rasa, dan kreativitas yang dimilikinya

mencoba untuk membentuk atau menemukan nilai atau makna dari sesuatu

yang merupakan hasil dari perwujudan ide, rasa, dan kreativitasnya yaitu tato.

Untuk menemukan nilai atau makna tato, Frankl (Koeswara, 1987)

mengatakan bahwa kebermaknaan hidup dibangun dalam kerangka filsafat

eksistensialisme. Ada tiga proses terbentuknya kebermaknaan hidup menurut

filsafat eksistensialisme, yakni; konsep kebebasan berkeinginan, konsep

keinginan akan makna, dan konsep makna hidup. Ketiga konsep ini juga akan

sangat bergantung pada nilai kreatif, nilai penghayatan, dan nilai sikap dari

(40)

Siswa SMA merupakan remaja tengah dengan tugas-tugas

perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja. Menurut Hurlock

(1991:11), siswa SMA (remaja) memiliki tugas perkembangan sebagai

berikut; mampu menerima keadaan fisiknya, mampu menerima dan

memahami peran seks usia dewasa, mampu membina hubungan baik dengan

anggota kelompok, mencapai kemandirian emosional, dan mencapai

kemandirian ekonomi. Selain itu, siswa SMA (remaja) diharapkan mampu

mencapai pemenuhan diri dan pengembangan potensi diri, mengembangkan

konsep dengan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk

melakukan peran sebagai anggota masyarakat, memahami nilai-nilai orang

dewasa dan orang tua, dan mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan,

serta memahami dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga.

Melalui tato sebagai sebuah hiasan tubuh yang mempunyai cita rasa,

seni dan dianggap sesuatu yang modis, trendi dan fashionable, remaja

mencoba untuk menemukan nilai atau makna dalam kehidupannya. Jika siswa

SMA bertato berhasil atau mampu menemukan nilai atau makna dari tato

yang ada pada tubuhnya dan/atau siswa SMA berhasil menemukan

kebermaknaan hidupnya, Frankl (Schultz, 1991) mengatakan akan memiliki

ciri-ciri seperti bebas memilih langkah tindakannya, bertanggungjawab secara

pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib, tidak ditentukan

oleh kekuatan di luar dirinya. Selain itu, siswa SMA yang telah menemukan

arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan dirinya, secara sadar mampu

(41)

kreasi dan nilai hidup, telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri. Siswa

SMA yang telah menemukan makna dalam hidupnya memiliki orientasi pada

masa depan, mengarahkan diri pada tujuan dan tugas yang akan datang,

memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen terhadap

pekerjaan serta mampu memberi dan menerima cinta.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup

siswa SMA bertato adalah kemampuan siswa SMA untuk berkarya secara

maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan tetapi menerima

dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap situasi dan

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan dilakukan

dengan kerangka studi kasus, yakni studi kasus yang mendalam terhadap satu

atau beberapa aspek yang dipilih dari data yang ada serta relevan dengan

permasalahan mengenai kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuh

dengan tato. Tujuannya untuk mempertahankan pemahaman subjek

penelitian. Hal ini berarti bahwa data dan fakta yang telah dikumpulkan,

ditelaah, dipelajari, dan dimengerti sebagai suatu keseluruhan yang intrgrasi.

Menurut Denzin dan Linclon (Moleong, 2010), penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah dengan maksud

menafsirkan fenomena yang terjadi dan melakukan dengan jalan melibatkan

berbagai metode yang ada. Sebab itu peneliti harus berada di lapangan dalam

jangka waktu yang lama.

B. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara

Banister (Poerwandari, 1998), wawancara adalah percakapan dan

tanyajawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara

kualitatif dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu

(43)

eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan

melalui pendekatan lain.

Wawancara sangat penting dalam penelitian kualitatif karena proses

ini mengungkap makna yang dipahami individu (subjek). Hal ini yang

mengundang peneliti untuk menggunakan metode wawancara dalam

penelitiannya. Peneliti menggunakan metode wawancara bebas tidak

berstruktur yaitu dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat

umum, mencantumkan isu yang harus diteliti tanpa ada urutan. Pedoman

wawancara yang digunakan peneliti mengenai aspek-aspek yang akan

dibahas dan sebagai daftar pengecek (checklist) apakah aspek tertentu

sudah dibahas atau sudah ditanyakan.

2. Observasi

Menurut Patton (Poerwandari, 1998), observasi merupakan metode

pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan

pendekatan kualitatif. Hadi, 1992, mengatakan bahwa observasi diartikan

sebagai suatu penghayatan dan pencatatan yang dilakukan secara

sistematis serta teratur terhadap gejala-gejala yang diamati,yang dapat

dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

Observasi sangat penting dan sangat besar pengaruhnya dalam suatu

hasil wawancara. Hal ini karena dalam suatu wawancara tidak hanya

berpegang pada apa yang dikatakan oleh subjek yang diwawancarai,

(44)

misalnya kecepatan bicara, nada suara, perubahan raut wajah atau ekspresi

wajah, posisi duduk, dan ekspresi non verbal lainnya.

3. Alat Pengumpulan Data

a. Handphone, berfungsi untuk menghubungi subjek dalam membuat

janji wawancara dan berfungsi untuk merekam semua percakapan

dan pembicaraan dalam wawancara.

b. Buku catatan dan pena, berfungsi untuk menulis

pertanyaan-pertanyaan wawancara dan jawaban yang diberikan subjek atas

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

c. Kamera foto, berfungsi untuk mengambil gambar subjek. Menurut Moleong, 2010 kamera foto dapat meningkatkan keabsahan

penelitian akan lebih terjamin, karena benar-benar melakukan

pengumpulan data. Tetapi kembali kepada hak dari subjek penelitian

dalam memutuskan untuk menggunakan atau tidak suatu alat

pengumpulan data berupa kamera foto, karena kerahasiaan subjek

penelitian harus dijaga pada setiap penelitian.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini berjumlah dua orang yaitu

siswa SMA Muhammadiyah, Yogyakarta yang berjenis kelamin laki-laki,

berusia 16 tahun dan 17 tahun. Kedua subjek ini sama-sama merias tubuhnya

dengan tato. Sangat dimungkinkan peneliti akan menggunakan subjek

pembanding dengan cara mencari subjek lagi sebagai pembanding dan

(45)

Teknik yang dipakai oleh peneliti dalam menentukan subjek penelitian

adalah purposive sampling. Menurut Moleong, 2010 purposive sampling

adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu.

Pertimbangan tertentu ini misalnya subjek yang dianggap paling tahu tentang

apa yang diharapkan, dan memenuhi syarat-syarat sebagai subjek penelitian.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tempat tinggal subjek dan tempat bermain

subjek dalam komunitas yang diikutinya. Lokasi penelitian ini dikhususkan

untuk subjek yang bertempat tinggal di Yogyakarta. Waktu penelitian lebih

banyak dilakukan sehabis subjek pulang sekolah, mengingat subjek masih

menempuh studi dan sehabis subjek pulang sekolah adalah waktu yang tepat

atau senggang serta pada setiap malam minggu saat subjek berkumpul

bersama teman-teman.

E. Uji Validitas Data

Untuk mengukur validitas data, maka dalam penelitian ini peneliti

menggunakan teknik triangulsi. Adapun teknik triangulsi yang digunakan

dalam penelitan ini meliputi:

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber menurut Patton (Sutopo, 2008) yaitu

pengumpulan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber penelitian

(46)

Peneliti juga membandingkan data yang diperoleh dari kedua sumber

dengan data yang diperoleh dari sumber ketiga sebagai pembanding.

Selain sumber data tersebut, peneliti juga menggunakan sumber

data berupa dokumen atau arsip-arsip yang meliputi buku-buku dan

jurnal-jurnal tentang tato yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang

ingin dicapai dari subjek. Sumber lain yang digunakan sebagai

triangulasi berupa peristiwa atau kejadian yang terjadi di lapangan atau

tempat ketika wawancara berlangsung.

2. Triangulasi Metode

Yaitu teknik untuk mengecek kredibilitas data dilakukan dengan

cara yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti mengecek data hasil

wawancara dengan metode observasi dan dokumentasi.

Apabila pengecekan kredibilitas data dengan teknik triangulasi

metode menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti mengadakan

diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan untuk

memastikan data mana yang dianggap benar atau mungkin semuanya

benar hanya persepsinya yang berbeda-beda.

3. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering menentukan kredibilitas data. Data yang

dikumpulkan dengan teknik wawancara pada saat subjek tidak ada

masalah atau tidak sedang kelelahan, akan memberikan data yang lebih

(47)

sebagai alat untuk berkomunikasi dalam menentukan waktu wawancara

yang tepat.

Untuk itu, dalam rangka pengujian kredibilitas, peneliti melakukan

pengecekan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi dalam

waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji kredibilitas menghasilkan

data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang sampai ditemukan

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan

wawancara. Terlebih dahulu dilakukan observasi di lapangan selama satu

bulan yaitu pertengahan bulan Agustus sampai pertengahan bulan September

2012. Observasi pra penelitian dilakukan terhadap kedua subjek. Observasi

dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan lingkungan,

kehidupan sehari-hari diri subjek. Hasil dari observasi ini akan digunakan

dalam penyusunan guide interview yang akan digunakan dalam penelitian.

Guide interview yang disusun akan berisi beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu mengungkapkan permasalahan penelitian.

Guide interview yang disusun berdasarkan beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu mengungkap hal-hal yang menjadi pertanyaan penelitian.

Selanjutnya disusun daftar pertanyaan yang dapat dilihat pada lampiran.

Dalam proses wawancara, pertanyaan dapat dikembangkan sesuai dengan

keadaan dan kebutuhan penelitian.

Dalam pelakasanaa observasi pra penelitian, dilakukan pertemuan awal

dengan kedua calon subjek penelitian. Pertemuan pertama dilakukan guna

memperkenalkan diri, dan menjelaskan mengenai topik penelitian yaitu untuk

mengetahui kebermaknaan hidup seorang siswa SMA yang merias tubuhnya

(49)

berpartisipasi dalam penelitian dan kesediaan subjek meluangkan waktu

untuk diwawancarai. Langkah terakhir setelah subjek menyatakan

kesediaannya diwawancarai yaitu menentukan waktu dan tempat pertemuan

wawancara. Waktu dan tempat wawancara disesuaikan dengan waktu luang

subjek penelitian. Selanjutnya, peneliti melakukan observasi dan wawancara.

1. Observasi

Observasi dilakukan saat peneliti melakukan pendekatan terhadap

subjek penelitian. Hal ini dilakukan agar peneliti mengerti secara langsung

kehidupan dan pengalaman subjek dalam permasalahan penelitian yang akan

dibahas. Dalam proses pendekatan ini subjek menceritakan

pengalaman-pengalamannya secara terbuka terkait dengan keberadaan subjek sebagai

pemakai tato. Peneliti sangat dimudahkan dalam observasi karena kedua

subjek tinggal di daerah yang sama dan ikut dalam komunitas yang sama

pula.

a. Observasi terhadap subjek pertama A, dilakukan pada hari sabtu, 18

Agustus 2012 pukul 21.00-23.00 WIB. Observasi dilakukan di Tugu

Yogyakarta, yang menjadi tempat berkumpul subjek bersama

teman-teman komunitasnya setiap malam minggu. Pada observasi pertama

diperoleh hasil bahwa subjek penelitian adalah seorang pria, berbadan

kecil dan kurus, rambut cukup panjang dan hitam, kulit berwarna coklat

sawo matang serta beberapa bagian tubuhnya yang ditato. Dibawah

terang lampu kota, subjek dan teman-temannya duduk membentuk

(50)

Observasi kedua dilakukan pada hari selasa, 21 Agustus 2012

pukul 16.00-17.00 WIB. Observasi kedua ini dilakukan di tempat tinggal

subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hal yang di observasi adalah

situasi tempat tinggal dan keseharian subjek dirumah. Dalam observasi

ini diperoleh hasil bahwa subjek tinggal bersama orang tuanya. Letak

rumah yang berada dikawasan padat penduduk tampak kecil dan sempit.

Selain bersama kedua orang tua, dalam rumah sederhana ini subjek

tinggal bersama adiknya. Keseharian subjek setelah pulang sekolah

adalah bermain-main dengan vespanya, sorenya membersihkan rumah

dan bermain dengan teman-teman disekitar rumah.

Observasi ketiga dilakukan pada hari sabtu, 25 Agustus 2012 pukul

20.00-22.00 WIB. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui subjek

ketika dalam masalah. Subjek cenderung diam dan ingin segera

melupakan masalah yang sedang dihadapinya, karena itu subjek memilih

jalan lain dengan merokok dan minum-minuman keras (mabuk).

Merokok dan mabuk merupakan cara terbaik bagi subjek untuk

melupakan masalah yang sedang dihadapinya.

Observasi terakhir dilakukan pada saat wawancara berlangsung

pada hari Minggu, 2 September 2012 pukul 11.00-12.30 WIB. Ketika

pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada subjek, tampak subjek sangat

bersemangat memberikan jawaban dan penuh hati-hati dalam pemilihan

kata yang akan digunakan untuk mewakili maksud yang ingin

(51)

pertama kali diwawancarai atau karena tape recorder yang peneliti gunakan. Namun demikian, proses wawancara tetap berjalan lancar

dengan jawaban-jawaban yang tegas dan penuh keyakinan subjek

mengenai apa yang dialaminya. Akhirnya wawancara secara profesional

dan kooperatif pun berhasil dengan subjek memohon maaf apabila ada

jawaban yang kurang tepat serta mengatakan siap untuk diwawancarai

ulang.

b. Observasi terhadap subjek kedua L, dilakukan pertama kali pada hari

sabtu, 18 Agustus 2012 pukul 21.00-23.00 WIB. Observasi dilakukan

secara bersamaan dengan subjek A di Tugu Yogyakarta, karena kedua

subjek terlibat dalam satu komunitas sepeda yang sama di Yogyakarta.

Dalam observasi ini diperoleh hasil bahwa subjek penelitian adalah

seorang pria, berbadan kurus tinggi, rambut ikal dan hitam, kulit

berwarna coklat sawo matang. Subjek penelitian ini memiliki beberapa

tato di bagian tubuhnya. Penampilan subjek yang sederhana dan tampak

rapi memberikan kesan tersendiri pada peneliti

Observasi kedua dilakukan pada hari selasa, 28 Agustus 2012

pukul 17.00-18.00 WIB. Observasi kedua ini dilakukan di tempat tinggal

subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hal yang di observasi adalah

situasi tempat tinggal dan keseharian subjek dirumah. Dalam observasi

ini diperoleh hasil bahwa subjek tinggal bersama kedua orang tua, kakak

(52)

membantu sang ibu membersihkan rumah dan sesudah selesai subjek

menghabiskan waktu untuk tidur.

Observasi ketiga dilakukan pada hari sabtu, 8 September 2012

pukul 20.00-21.00 WIB. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui

subjek ketika dalam masalah. Ketika mengalami masalah subjek

cenderung menceritakan masalah yang dihadapinya kepada teman-teman

dan pacarnya, juga sering mengambil jalan lain dengan mendengarkan

musik kesukaannya dengan keras-keras, merokok dan mabuk.

Observasi terakhir dilakukan pada saat wawancara berlangsung

pada hari Jumat, 14 September 2012 pukul 17.00-18.30 WIB. Ketika

pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada subjek, tampak subjek sangat

bersemangat dan asyik sekali dalam menjawab. Tanpa ada keraguan

sama sekali pada diri subjek saat menjawab pertanyaan demi pertanyaan

yang peneliti ajukan, vokal suara pun sangat jelas dan tegas, mungkin

karena karakter subjek yang senang bercerita dengan teman-temannya.

Pada akhir wawancara subjek mengatakan bahwa siap untuk

diwawancarai lagi apabila masih ada yang kurang atau ada jawaban yang

tidak memuaskan.

2. Wawancara Mendalam

Proses pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan setelah peneliti

melakukan perkenalan dan pendekatan dengan kedua subjek. Pertama-tama

(53)

dan sangat bergantung dengan kesediaan subjek. Peneliti tidak mengalami

hambatan dalam pendekatan terhadap subjek.

Pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan kesepakatan antara peneliti

dengan subjek penelitian. Dalam proses wawancara peneliti tidak terpaku

pada satu tempat yaitu di rumah subjek, tetapi peneliti juga mendatangi

tempat berkumpulnya subjek bersama komunitasnya. Lamanya proses

wawancara pada masing-masing subjek berbeda-beda, dengan rentang waktu

antara satu jam sampai satu setengah jam. Hal ini dikarenakan subjek tidak

langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti, tetapi

subjek terlebih dahulu menceritakan pengalamannya dan kadang jawaban atas

pertanyaan yang diberikan pun tidak sesuai. Dalam hal ini, peneliti berusaha

mengali pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh subjek. Selanjutnya

dalam proses wawancara pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada

subjek dapat berkembang mengikuti situasi dan kondisi wawancara. Hal lain

menjadi penyebab lamanya penelitian, karena selama proses wawancara

dilakukan sambil merokok dan minum untuk menghilangkan ketengangan

subjek penelitian.

Semua subjek menjalani proses wawancara lebih dari satu kali, hal ini

dikarenakan jawaban dan pernyataan-pernyataan subjek yang perlu digali

lebih dalam lagi. Seluruh kegiatan wawancara disimpan menggunakan

handphone yang disisipkan dengan persetujuan subjek penelitian.

a. Wawancara terhadap subjek pertama A, dilaksanakan pada hari

(54)

daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hasil wawancara terhadap subjek

pertama bahwa subjek pertama kali mentato tubuhnya saat SMA kelas 1.

Hubungan subjek dengan orang tua sangat baik, namun sekarang telah

berbeda karena kedua orang tua sudah berpisah (cerai). Awal ketertarikan

subjek pada tato karena pengaruh lingkungan, dimana lingkungan tempat

tinggal subjek dan komunitas sepeda tinggi yang subjek ikuti banyak

bertato. Subjek memandang bahwa tato sebenarnya adalah seni kulit

yang tak pernah bisa hilang, karena itu subjek masih ingin menambah

koleksi tato ditubuhnya. Subjek adalah seorang yang pendiam dan

pemalu, namun setelah bertato subjek mengatakan bahwa dirinya

menjadi semakin percaya diri dan lebih berani berekspresi ketimbang

dulu sebelum tatoan. Selama ini subjek tidak merasa bahwa tato menjadi

penghalang dalam bergaul dengan orang lain.

b. Wawancara terhadap subjek kedua L, dilaksanakan pada hari Sabtu,

14 september 2012, pukul 17.00-18.30 WIB di tempat tinggal subjek di

daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hasil wawancara terhadap subjek kedua

bahwa subjek pertama kali memakai tato sejak SMA kelas 1, pertama

kali bagian tubuh yang ditato adalah punggung. Hubungan subjek dengan

orang tua dan kedua saudara kandungnya sangat baik, begitu juga

hubungan dengan lingkungan dan teman-temannya. Awal ketertarikan

subjek pada tato itu kerena teman, melihat teman yang bertato sepertinya

bagus, keren dan karena subjek ingin mencoba bagaimana rasanya ditato,

(55)

adalah sebuah karaya seni yang bisa ditempelkan di tubuh dan bisa

dibawa sampai mati. Selama ini subjek tidak merasa bahwa tato menjadi

penghalang untuk bergaul, dikemudian hari pun subjek ingin menghapus

tatonya.

B. Hasil Temuan Secara Umum

Subjek penelitian ini terdiri dari dua orang siswa SMA dan berjenis

kelamin laki-laki yang merias tubuhnya dengan tato dan menjadi penikmat

tato. Hasil wawancara ini merupakan ulasan menyeluruh tentang latar

belakang kehidupan subjek, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal

(masyarakat), lingkungan sekolah, komunitas bermain, sifat dan karakter saat

ini, penyesuaian sosial, dan pengalaman traumatik. Pemahaman berbagai

fenomena kehidupan subjek diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara

peneliti.

Subjek pertama A, adalah seorang siswa SMA kelas XII pada salah satu

sekolah Muhamadiyah di Yogyakarta dan berusia 17 tahun. Persepsi yang

muncul ketika pertama kali bertemu dengan subjek adalah pribadi pendiam,

mudah bergaul, ramah, senang bercanda. Dilihat dari penampilannya, subjek

berpakaian sederhana tapi tidak rapi. Ketika peneliti berkunjung ketempat

berkumpulnya bersama teman-teman komunitasnya, subjek sedang bercanda

sambil minum (lotce), ketika itu subjek menyambut peneliti dengan baik dan memperkenalkan peneliti kepada teman-temannya.

Subjek kedua L, juga merupakan siswa SMA Muhamadiyah di

(56)

Ketika peneliti berkunjung ketempat berkumpulnya bersama teman-teman

komunitasnya, subjek menyambut peneliti dengan baik dan ramah.

Penampilan subjek sangat sederhana dan cukup rapi.

1. Lingkungan Keluarga

Subjek pertama A, adalah anak tunggal dalam keluarganya. Subjek SD

kelas 5 kedua orang tunya berpisah (cerai). Sekarang subjek tinggal bersama

bapaknya yang bekerja sebagai penjahit dan ibunya yang sekarang tinggal di

Prambanan berjualan angkringan. Subjek bertemu dengan ibunya hanya

ketika subjek merasa kangen dan harus berkunjung ke tempat ibunya di

Prambanan. Kondisi ekonomi keluarga subjek termasuk kelas menenggah

kebawah atau pas-pasan. Hubungan subjek dengan kedua orang tuanya sangat

dekat, hanya dengan ibu yang terpisahkan karena perceraian dan subjek

sangat menghormati kedua orang tuanya.

Subjek kedua L, adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Bersama kedua

orang tua dan kedua saudaranya subjek tinggal dalam sebuah rumah kecil

yang terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu dan dapur yang hanya

berbatasan lemari dengan ruang tamu. Pekerjaan bapak subjek yang dulu

sebagai atlet tinju dan sekarang bekerja sebagai petugas keamanan, ibu

sebagai ibu rumah tangga. Hubungan subjek dengan kedua orang tua, kakak

subjek yang sudah bekerja dan adik subjek yang masih SD dan memiliki

kekurangan fisik ini tampak sangat rukun. subjek mengatakan bahwa

(57)

2. Lingkungan Tempat Tinggal

Subjek pertama A, tinggal di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Tempat

tinggal yang sangat padat penduduknya, tidak ada jarak antara rumah yang

satu dengan yang lainnya, jalan masuk menuju rumah subjek hanya gang

kecil yang cukup untuk lewat satu motor. Kawasan yang padat dan sempit ini

terasa tidak nyaman untuk tempat tinggal karena letak rumah yang dekat

dengan sungai membuat aroma disekitar lingkungan tidak sedap.

Subjek mengatakan bahwa di daerah tempat tinggalnya ada banyak

orang yang memiliki tato, baik itu orang tua maupun pemuda dan pemudinya.

Meskipun situasi lingkungan ini terlihat kurang nyaman, tapi masyarakatnya

ramah-ramah.

Subjek kedua L, juga tinggal di daerah Notoyudan, Yogyakarta.

Lingkungan tempat tinggal subjek terlihat sangat sumpek, rumah-rumah dilingkungan ini hanya berjarak dinding tidak ada jarak pembatas. Letak

rumah subjek pun terhitung berada dideretan paling pojok di daerah itu.

Hampir seluruh rumah yang berada di aderah itu tidak memiliki halaman dan

langsung berhadapan dengan jalan kecil berupa gang. Kondisi geografis yang

tidak jauh dari pusat kota membuat subjek dan keluarganya tidak kesulitan

untuk mencari kebutuhan keluarga dan hiburan. Menurut subjek bahwa

dilingkungan tempat tinggalnya banyak terdapat orang-orang yang memiliki

(58)

3. Lingkungan Sekolah

Subjek pertama A, mengatakan bahwa sekolahnya memiliki aturan

yang sama dengan sekolah lain pada umumnya. Namun masa-masa SMA

adalah masa yang menyenangkan apabila berhadapan dengan aturan seperti

membolos dan tatoan. Pertama kali subjek tatoan adalah kelas 1 SMA, sudah

banyak teman-teman yang tahu kalau subjek memiliki tato di tubuhnya. Sejak

memiliki tato subjek tidak pernah menunjukkan kepada teman-temannya

kalau dirinya bertato, bahkan membiarkan teman-temannya tahu dengan

sendirinya. Menurut subjek bukan suatu kebanggaan bila sudah memiliki tato

lalu menunjukkan kepada orang lain.

Selama ini tato yang melekat di tubuh subjek tidak pernah menjadi

penghalang baginya dalam bergaul dengan teman-teman di sekolahnya.

Subjek juga mengatakan bahwa di sekolahnya ada tiga orang yang memiliki

tato.

Subjek kedua L, mengatakan bahwa dirinya termasuk anak yang

pendiam dan penurut pada orang tua juga pada guru-guru di sekolah, tetapi

bukan berarti tidak pernah membangkang. Selama sekolah, subjek memang

belum pernah mendapatkan prestasi yang gemilang, tetapi menurut subjek

adalah sesuatu kebanggaan tersendiri bila dapat melanggar aturan di sekolah.

Subjek mengaku bahwa dirinya suatu hari nanti ingin berubah dan ingin

membahagiakan orang tua.

Subjek tatoan pertama kali kelas 1 SMA, tato pertamanya adalah tulisan

Gambar

gambar yang
gambar atau arti dari tato tersebut. Peneliti diharapkan dapat dengan
gambar di tubuhku.
gambar yang relistis aja mas.

Referensi

Dokumen terkait

Atau jika anggota jemaat hanya mau berpartisipasi di komisi, namun tidak mau jika menjadi majelis, pertanyaan pun muncul, “Ada apa dengan majelis Gereja?” Asumsinya,

Berdasarkan hasil ana- lisis data, secara umum unsur-unsur teks- tual novel Supernova yang diresepsi oleh pembaca lebih banyak pada peng- gambaran aspek-aspek teks, tokoh,

Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya dapat disingkat SKRDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi

Cara kerja dari Internet menggunakan Soundcard Modem ini adalah dimana data komputer yang panjang akan dikirim dalam penggalan paket yang pendek-pendek melalui Soundcard Modem

Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas

Adapun tujuan pembuatan permainan ini adalah memperkenalkan Java, sebagai bahasa pemrograman yang mudah dipahami dan dapat digunakan untuk membuat berbagai macam aplikasi yang

Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke

Pada hasil MP3 yang telah disisipkan suara tidak banyak berubah pada saat MP3 tersebut dimainkan pada aplikasi pemutar MP3 baik pada komputer maupun pada pemutar MP3 portabel,