BAB III
RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor
Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah adalah
Laju Pertumbuhan PDRB. Indikator ini menunjukkan perkembangan /
pertumbuhan produk yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di
daerah tersebut. Untuk lebih jelas melihat Laju Pertumbuhan PDRB Kota
Bogor menurut Sektor Lapangan Usaha disajikan pada Tabel 3.1 berikut
ini :
Tabel 3.1
Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2008 – 2009 (%).
Kode Sekt or Lapangan Usaha PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
PDRB Atas Dasar Harga Konstan
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pertanian
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa 7,84 7,90 19,89 14,34 13,61 15,11 28,18 18,58 10,44 7,83 7,91 20,18 14,37 13,65 14,50 28,46 18,80 10,64 3,18 1,88 6,32 6,82 4,09 5,18 7,17 7,44 5,22 3,19 1,20 6,34 6,87 4,10 5,08 7,29 7,65 5,25
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 17,90 17,98 5,98 6,01
Untuk melihat perkembangan Laju Pertumbuhan PDRB pada kurun
waktu
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
2005 2006 2007 2008 2009
Grafik 1. Perkembangan Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Tahun 2005 - 2009 (%)
PDRB ATAS DASAR HARGA BERLAKU PDRB ATAS DASAR HARGA KONSTAN
Dari grafik 1 terlihat bahwa pada tahun 2005 Laju Pertumbuhan
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menunjukkan angka positif sebesar
18,04 persen, sebaliknya Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga
Konstan hanya mencapai 6,12 persen.
Dapat kita perhatikan dari tahun ke tahun harga relatif meningkat
dan stabil maka perlahan keadaan mulai membaik dan telah terjadi
peningkatan produk riil di tahun 2009 jika dibandingkan keadaan pada
tahun 2005. Untuk melihat perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB antar
Sektor Tahun 2009 disajikan pada grafik 2.
7.83 7.91
20.18 14.37
13.65 14.5
28.46 18.8
10.64
3.19 1.2
6.34 6.87 4.1
5.08 7.29
7.65 5.25
1. Pertanian 2.Pertambangan 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan … 7. Pengangkutan dan Komunikasi
8. Keuangan, Sewa&Jasa … 9. Jasa-jasa
Berdasarkan grafik 2 terlihat bahwa untuk PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku Sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan Sektor yang
paling tinggi pertumbuhannya yaitu sebesar 28,46 % dan Sektor yang
pertumbuhannya paling rendah adalah Sektor Pertanian sebesar 7,83 %
diikuti Sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 7,91 %.
Dilihat dari PDRB Atas Dasar Harga Konstan, Sektor Keuangan,
Persewaan dan Jasa Perusahaan paling tinggi pertumbuhannya yaitu 7,65
% dan sektor yang pertumbuhannya paling rendah adalah Sektor
Pertambangan dan Penggalian yaitu 1,20 % diikuti Sektor Pertanian dan
Sektor Bangunan masing-masing sebesar 3,19 % dan 4,10 %.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan mencerminkan perubahan PDRB
tanpa dipengaruhi oleh harga yang cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Untuk itu jika dilihat berdasarkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan,
sub Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Sub Sektor Bank,
Lembaga Keuangan bukan Bank, Jasa Penunjang Keuangan, Sewa
Bangunan, Jasa perusahaan dengan angka pertumbuhan masing-masing
sebesar 1,29 %, 12,18 % 11,27 % dan 6,51 %.
Untuk lebih jelasnya gambaran kemajuan ekonomi suatu daerah
biasanya dilakukan pengelompokkan Sektor ekonomi yang terdiri atas :
1. Sektor Primer, yaitu Sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber
alam seperti tanah dan deposit di dalamnya. Yang termasuk
kelompok ini adalah Sektor Pertanian dan Sektor Pertambangan dan
Penggalian.
2. Sektor Sekunder, yaitu Sektor yang mengolah bahan mentah atau
bahan baku baik berasal dari Sektor Primer maupun dari Sektor
Sekunder menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Sektor ini
mencakup Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air
Minum dan Sektor Bangunan (Konstruksi).
3. Sektor Tersier atau dikenal sebagai Sektor Jasa, yaitu Sektor yang
tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk Jasa.
Sektor yang tercakup adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan
Persewaan dan Jasa Perusahaan serta Sektor Jasa-jasa.
Bila Lapangan Usaha dikelompokkan ke dalam kelompok Sektor
Primer, Sekunder dan Tersier, maka Laju Pertumbuhan Kota Bogor Atas
Dasar Harga Berlaku tahun 2009, masing-masing 7,83 %, 18,67 % dan
17,68 %. Pengaruh harga yang cenderung meningkat dan tinggi di Sektor
Sekunder, yaitu Sektor Industri Pengolahan mengakibatkan Laju
Pertumbuhan Sektor Sekunder cukup tinggi. Sedangkan Laju
Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan tahun 2009 masing-masing 3,17
%, 5,98 % dan 6,05 %.
Dari komposisi Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan ini
menunjukkan bahwa jika tanpa dipengaruhi oleh harga maka telah terjadi
pergeseran perilaku Sektoral, dimana pada tahun-tahun sebelumnya Laju
Pertumbuhan Sektor Sekunder menunjukkan laju yang tinggi yaitu
seperti pada tahun 2005, Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder 6,19 %
sedangkan Sektor Primer sebesar 4,30 % dan Sektor Tersier 6,09 %.
Pada tahun 2006, Sektor yang pertumbuhannya tercepat adalah Sektor
Tersier (sektor Perdagangan, hotel dan Restoran, Pengangkutan dan
Komunikasi, Keuangan Perusahaan dan Jasa perusahaan, dan Jasa-Jasa).
Sejak tahun 2006 hingga 2007, Sektor tersier mengalami laju
pertumbuhan tercepat yaitu masing-masing sebesar 6,45 % dan 6,20 %,
disusul sektor Sekunder dan Primer, Sedangkan tahun 2008 hingga 2009
sektor tersier mengalami pertumbuhan tercepat yaitu sebesar 6,02%,
6,05 % dan 6,02 %, kemudian disusul oleh sektor sekunder dan primer
masing-masing sebesar 5.98 % dan 3,17%. Tampaknya peran serta
masyarakat dalam bidang ekonomi telah menunjukkan arah kepada
proses yang diharapkan.
Untuk melihat Laju Pertumbuhan menurut Sektor Primer, Sekunder,
Tabel 3.2
Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan menurut Kelompok Sektor
Tahun 2008 – 2009 (%)
No .
KELOMPOK SEKTOR
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
PDRB Atas Dasar Harga Konstan
2008 2009 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (6) (7)
1
2
3
PRIMER
SEKUNDER
TERSIER
7, 84
18,38
17,70
7,83
18,67
17,68
3,17
5,95
6,02
3,17
5,98
6,05
PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO 17,90
17,9
8 5,98 6,01
Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
pada tahun 2005 menunjukkan laju tertinggi sebesar 22,25 % yang
diikuti Sektor Tersier sebesar 16,15 % dan Sektor Primer sebesar 10,79
%. Sedangkan pada tahun 2009, Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar
Harga Berlaku tertinggi ada pada Sektor Sekunder yaitu sebesar 18,67 %.
Laju Pertumbuhan Sektor Tersier Atas Dasar Harga Berlaku tahun 2005
sebesar 16,15 %. Namun pada tahun 2006 hanya sebesar 16,82 % dan
terus mengalami kenaikan laju pertumbuhan pada tahun-tahun
berikutnya yaitu sebesar 17,49 % pada tahun 2007, 17,70 % pada tahun
2008 dan 17,68 % di tahun 2009.
Ketika keadaan ekonomi mulai berangsur normal, pada tahun 2005
Sektor Sekunder memperlihatkan laju sebesar 22,25 % dan 18,12 %
tahun 2006. Namun pada tahun 2007, laju pertumbuhannya lebih besar
yaitu sebesar 18,88 % dan turun kembali di tahun 2008 sebesar 18,38 %
sedangkan pada tahun 2009 kembali mengalami kenaikan menjadi
sebesar 18,67 %.
Laju Pertumbuhan Sektor Tersier Atas Dasar Harga Berlaku dari
tahun 2006 dan 17,49 % pada tahun 2007 serta tahun 2008 naik sebesar
17,70 %, kemudian sedikit mengalami penurunan sebesar 17,68 % di
tahun 2009. Untuk tahun 2009 Laju Pertumbuhan Sektor Sekunder Atas
Dasar Harga Berlaku tahun 2009 tumbuh dengan angka pertumbuhan
tertinggi dibandingkan sektor lainnya sebesar 18,67 % kemudian diikuti
sektor tersier sebesar 17,68 % dan yang terakhir sektor primer sebesar
7,83 %.
Untuk Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan ( umumnya
disebut “Laju Pertumbuhan Ekonomi” / LPE ) yang tidak dipengaruhi
harga, terlihat bahwa untuk lima tahun terakhir Laju Pertumbuhan Sektor
Primer lebih rendah dibandingkan Sektor lainnya. Laju Pertumbuhan
Sektor Sekunder (Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Minum serta
Bangunan) pada tahun 2005 sebesar 6,19 %, pada tahun 2006 sebesar
5,44 % dan pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 5,95 %. Pada tahun 2009
laju pertumbuhannya sebesar 5,98 %.
Pada tahun 2004 laju pertumbuhan Sektor Sekunder sebesar 6,19
%, lebih rendah dari angka pertumbuhan secara umum 6,12 %. Begitu
pun pada tahun 2005 memperlihatkan laju pertumbuhannya
sebesar 5,44 %, lebih tinggi dari angka pertumbuhan secara total
sebesar 6,03 %. Sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya Laju
Pertumbuhan Sektor Sekunder lebih kecil dari Laju Pertumbuhan Ekonomi
(LPE), yaitu sebesar 5,98 % dimana LPE 2009 adalah 6,01 %.
Keadaan pada tiga tahun terakhir ini cukup baik, terlihat dari
peningkatan Laju Pertumbuhan yang cukup cepat untuk Sektor Sekunder
dan Tersier. Untuk Sektor Primer (Sektor Pertanian) di Kota Bogor,
walaupun bukan Sektor yang memberikan kontribusi Utama bagi PDRB
kota Bogor, bahkan jika dibandingkan Sektor Sekunder dan Sektor Tersier
lainnya dimana kontribusi Sektor Primer kecil, kemungkinan hal ini
disebabkan lebih digalakkannya Agro Industri dan peningkatan pelayanan
jasa-jasa dan perdagangan di Kota Bogor
Berbagai tantangan yang akan dihadapi Kota Bogor di tahun 2012
tentunya tidak terlepas dari perekonomian nasional dan Propinsi Jawa
Barat yang masih akan dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu
pengelolaan arus modal (capital inflow) dan nilai tukar (exchange rate) dimana harga-harga komoditas terus merangkak naik. Disisi lain adanya
pasar bebas akan menyebabkan semakin beratnya industri kecil di Kota
Bogor dalam melakukan persaingan dunia. Persaingan ini tidak hanya
dalam hal produk tapi juga menyangkut SDM di Kota Bogor. Tingkat
pengangguran dan kemiskinan yang masih cukup tinggi juga akan terus
mewarnai tantangan perekonomian Kota Bogor di tahun 2012. Hal inilah
yang turut berpengaruh terhadap perekonomian Kota Bogor. Pada tahun
2012 perekonomian Kota Bogor diperkirakan akan lebih baik dari
perkiraan awal dari tumbuh 5,27 % menjadi 6,03 %. Pemulihan ini
terutama disebabkan oleh berhasilnya intervensi pemerintah diberbagai
bidang yang telah mendorong sisi permintaan dan mengurangi
ketidakpastian dan terjadinya resiko sistemik pada pasar keuangan.
Pencapaian Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor tahun 2009,
tahun 2010 dan tahun 2011 sebagaimana tertuang dalam tabel 3.3
berikut:
Tabel 3.3
Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor Tahun 2009-2011.
Indikator Tahun
2009 *2010 **2011
1. Jumlah Penduduk 946.204 950.334 973.113
− Laki-laki 481.559 484.791 496.411
− Perempuan 464.645 465.543 476.702
2. Kepadatan Penduduk (per Km2) 7.985 8.009 8.212
3. Jumlah Rumah Tangga (KK) 238.902 239.945 245.696
4 Penduduk Miskin (%) 17,46 17,02 16,71
5 IPM 75,47 75,52 75,71
a. Indeks Pendidikan 87,54 87,54 87,74
− Angka Melek Huruf (%) 98,75 98,75 98,77
− Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 9,77 9,77 9,85
− Angka Harapan Hidup (tahun) 68,77 68,86 68,95
c. Indeks Daya Beli 65,91 65,91 66,16
− Purchasing Power Parity (Rp) 645.22 645,22 646.27
6. Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2,83 2,70 2,39
7. Pengangguran terbuka (%) 18,52 18.00 18
8. Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.01 5,27 6,11
9. PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) 11.904.599,66 14.058.351,26 16.459.940,44
10. Jumlah Investasi (Juta Rp) 932.295. 977.295. 1.022.295,
11. Inflasi (%) 2,16 6,57 6
Sumber BPS Kota Bogor Tahun 2011
Sedangkan perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kota Bogor dan Provinsi Jawa Barat tahun 2009 – 2011 adalah
sebagaimana tabel 3.4 dibawah ini :
Tabel 3.4
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bogor dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2011
No
. Keterangan
2009 *2010 **2011
Jabar Bogor Jabar Bogor Jabar Bogor
1 Indeks Kesehatan 71,6 72,95 72,1 73,10 72,7 73,25
2 Indeks Pendidikan 81,1 87,54 81,8 87,74 82,1 87,74
3 IndeksBeli Daya 62,1 65,91 62,8 65,91 63,5 66,16
IPM 71,6 75.47 72,3 75,52 72,8 75,71
Adapun proyeksi Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor tahun 2012
dan Rencana Pencapaian Indikator Makro Ekonomi berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah pada tahun 2014 adalah
sebagaimana tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.5
Proyeksi Indikator Makro Ekonomi Kota Bogor Tahun 2012
Indikator Tahun
**2012
RPJMD 2014
3. IPM 75.86 80,73
a. Indeks Pendidikan 87,94
-−Angka Melek Huruf (%) 98,80 99,66
−Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 9,93 12.00
b. Indeks Kesehatan 73,40
-−Angka Harapan Hidup (tahun) 69,04 74,5
c. Indeks Daya Beli 66,24
-−Purchasing Power Parity (Rp) 646.62 647,50
4. Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2,39 2,71
5. Pengangguran terbuka (%) 18,00 4,91
6. Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,03 6,43
7. PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) 18.103.221.00
-8. Jumlah Investasi (Juta Rp) 1.022.295,00 1.386.930,00
9. Inflasi (%) 6 6
Sumber :BPS Kota Bogor dan Perda Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMD 2010-2014
3.2 Arah Kebijakan Keuangan Daerah
3.2.1. Proyeksi Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, Pasal 1 angka 13, pendapatan daerah merupakan hak
Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih
dalam periode tahun terkait.
Pendapatan Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dikelompokkan atas: a) PAD,
yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD
pada umumnya terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang Sah; b)
Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari dana penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus;
c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah meliputi hibah, dana darurat,
DBH pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota, dana penyesuaian dan
otsus, serta bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemda lainnya.
Berdasarkan data series kurun waktu 2009-2011, secara
keseluruhan pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan
persentase kenaikan berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya
kelompok komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara
konsisten mengalami kenaikan, begitu juga dengan kelompok dana
perimbangan yang menunjukkan kecenderungan peningkatan baik
secara nominal dan persentase kontribusi terhadap pendapatan daerah,
seperti terlihat pada tabel 3.6 berikut ini :
Tabel 3.6
Realisasi dan Proyeksi/Target Pendapatan Kota Bogor Tahun 2009 – 2012
U R A I A N APBD 2009 (Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) PENDAPATAN DAERAH PENDAPATAN ASLI DAERAH
Pajak Daerah 56,027,944,313.00 66,504,761,353.00 122,900,000,000.0 0
141,667,564,000
Retribusi Daerah 36,491,852,284.00 34,681,146,445.00 34,670,595,911.00 32,288,903,970
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
11,773,311,932.00 15,137,968,088.00 13,359,865,000.00 14,860,668,944
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
11,628,552,298.00 11,164,213,945.00 11,022,574,582.00 11,466,574,582
JUMLAH PENDAPATAN ASLI DAERAH 115,921,660,827. 00 127,488,089,831. 00 181,953,035,4 93 200,283,711,496 DANA PERIMBANGAN
Bagi Hasil Pajak / Bagi Hasil Bukan Pajak
130,310,453,989.00 148,687,621,387.00 97,847,944,30 6
106,147,132,399
Dana Alokasi Umum 439,246,348,000.00 426,093,607,000.00 473,156,910,00 0
472,888,338,000
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya
69,820,845,541.00 74,603,608,447.00 80,008,704,00 0
80,008,704,000
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
11,460,525,000.00 49,448,383,700.00 120,366,021,20 0
120,366,021,200
Tunj. tambahan
penghasilan sertifikasi dan non sertifikasi guru PNSD
36,073,002,840
Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT)
1,037,455,468
Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya
40,245,955,600.00 53,121,470,000.00 41,486,445,000
JUMLAH LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
121,527,326,141. 00
180,173,427,1 47
200,374,725,2 00
283,971,628,508
JUMLAH PENDAPATAN DAERAH
828,024,788,957. 00
892,199,445,3 65
964,699,214,999 1,074,657,410,40 3
Dari berbagai komponen pendapatan daerah, sumber utama
penerimaan daerah yang berpotensi besar adalah pajak restoran,
menunjukkan peningkatan. Namun disisi lain terdapat penerimaan yang
tetap atau terjadi penurunan salah satunya yaitu pada pajak reklame dan
retribusi IMB, penurunan penerimaan dari pajak reklame akibat
dilarangnya pemasangan reklame rokok sedangkan untuk retribusi IMB
akibat adanya pembatasan ruang untuk komersil sehubungan dengan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang
mengharuskan RTH 30 %. Hal ini dapat digunakan sebagai tanda bahwa
perlu dilakukan segera upaya-upaya terobosan untuk mencari
sumber-sumber alternative pendapatan lainnya yang memiliki potensi besar
untuk dikembangkan menjadi sumber penerimaan daerah, sehingga
mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan dari pajak daerah
yang bersifat “limitative”. Untuk itu Pemerintah Kota Bogor menggali potensi pendapatan dari pajak hiburan.
Dari tahun ke tahun penerimaan dari pajak daerah menunjukkan
tren meningkat. Hal ini, antara lain disebabkan adanya potensi
komponen dana bagi hasil pajak bersumber dari Bea Perolehan Hak atas
tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota
dan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga terjadi pelimpahan
kewenangan pemungutan pajak dari Provinsi ke Kabupaten / Kota, yaitu
dimana setiap pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah dikenakan
pajak sebesar 20% dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimana dikenakan pajak
sebesar 5%. Sedangkan komponen Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) masih memperlihatkan tren yang stabil.
Untuk tahun 2012, diproyeksikan pendapatan daerah mencapai
Rp. 1.074.657.410.403.00, dibandingkan target tahun 2011 sebesar
Rp. 964.699.214.999, maka terdapat peningkatan pendapatan daerah
sebesar Rp. 109.958.195.404,00 Proyeksi pendapatan daerah Tahun
2012 ini telah mempertimbangkan peningkatan penerimaan dari sektor
pajak yang mengalami kenaikan tarif sesuai dengan Undang-Undang 28
Tahun 2009 dan pajak dari BPHTB yang telah dialih-kelolakan kepada
Kabupaten/Kota.
3.2.2 Arah Kebijakan Pendapatan Daerah
Kebijakan Keuangan Daerah tahun anggaran 2012 yang merupakan
potensi daerah dan sebagai penerimaan Kota Bogor sesuai urusannya
diarahkan melalui upaya peningkatan pendapatan daerah dari sektor
pajak daerah, retribusi daerah dan dana perimbangan. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor untuk meningkatkan
pendapatan daerah adalah:
1. Memantapkan Sistem Operasional Pemungutan Pendapatan Daerah;
2. Meningkatkan Pendapatan Daerah dengan intensifikasi;
3. Meningkatkan koordinasi secara sinergis di bidang Pendapatan Daerah dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan SKPD Penghasil;
4. Meningkatkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah dalam upaya
peningkatkan kontribusi secara signifikan terhadap Pendapatan
Daerah;
6. Meningkatkan peran SKPD Penghasil dalam peningkatan pelayanan dan pendapatan.
7. Meningkatkan pengelolaan asset dan keuangan daerah.
Adapun kebijakan pendapatan untuk meningkatkan Dana
Perimbangan sebagai upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah adalah
sebagai berikut :
1. Mengoptimalkan upaya intensifikasi pemungutan PBB, Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri (PPh OPDN), PPh Pasal 21;
2. Meningkatkan akurasi data Sumber Daya sebagai dasar perhitungan
pembagian dalam Dana Perimbangan;
3. Meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dalam
pelaksanaan Dana Perimbangan.
3.2.3. Arah Kebijakan Belanja Daerah
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kota yang
terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya
dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama, termasuk
penanganan 4 program prioritas Kota Bogor yaitu: Transportasi,
Kebersihan, Pedagang Kaki Lima dan Kemiskinan.
Belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Pada dasarnya terdapat dua jenis belanja menurut Permendagri Nomor
13 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan Permendagri Nomor 21
Tahun 2011, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki
keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan
yang meliputi belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.
Belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan
secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja
Dalam menentukan besaran belanja yang dianggarkan senantiasa
akan berlandaskan pada prinsip disiplin anggaran, yaitu prinsip
kemandirian yang selalu mengupayakan peningkatan sumber-sumber
pendapatan sesuai dengan potensi daerah, prinsip prioritas yang
diartikan bahwa pelaksanaan anggaran selalu mengacu pada prioritas
utama pembangunan daerah, prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran
yang mengarahkan bahwa penyediaan anggaran dan penghematan
sesuai dengan skala prioritas.
Belanja penyelenggaraan diprioritaskan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi
kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang
layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan
publik, pemanfaatan alokasi belanja diupayakan agar bisa efisien,
efektif, dan proporsional.
Berpedoman pada prinsip-prinsip penganggaran, belanja daerah
tahun 2012 disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yang
berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan dengan
memperhatikan prestasi kerja setiap Satuang Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dalam pelaksanaan tugas, pokok dan fungsinya. Ini bertujuan
untuk meningkatkan akuntabilitas perencanan anggaran serta menjamin
efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dalam belanja
program/kegiatan. Kebijakan belanja daerah tahun 2012 tetap diarahkan
untuk mendukung pencapaian target IPM 80,73 pada tahun 2014,
diperlukan perencanaan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pencapaian
IPM 80,73. Dengan perencanaan anggaran yang konsisten dan fokus,
diproyeksikan pencapaian 80,73 diarahkan untuk memperkuat bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, dan suprastruktur.
Kebijakan belanja daerah tahun 2012 diupayakan dengan
pengaturan pola pembelanjaan yang proporsional, efisien dan efektif,
1. Esensi utama penggunaan dana APBD adalah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat oleh karena itu akan
terus dilakukan peningkatan program-program yang berorientasi
pada masyarakat.
2. Meningkatkan kualitas anggaran belanja daerah melalui pola penganggaran yang berbasis kinerja dengan pendekatan program
pembangunan yang disertai system pelaporan yang makin akuntabel.
3. Mengalokasikan anggaran untuk 4 (empat) prioritas Pembangunan:
Kemiskinan, Transportasi, PKL, Kebersihan;
4. Mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari total belanja daerah tahun 2012 tidak termasuk alokasi anggaran untuk
kegiatan yang belum selesai tahun sebelumnya (multi years), dalam rangka peningkatan indeks pendidikan meliputi Angka Melek Huruf
dan Rata-rata Lama Sekolah (AMH dan RLS), sesuai Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5. Meningkatkan alokasi anggaran untuk kesehatan, menuju 10% sesuai
UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan guna peningkatan
kualitas dan aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan dalam rangka
peningkatan indeks kesehatan masyarakat, terutama untuk keluarga
miskin serta kesehatan ibu dan anak.
6. Sesuai dengan Inpres Nomor 3 Tahun 2010, tentang pembangunan
yang berkeadilan, yang bertujuan untuk percepatan penanggulangan
kemiskinan dan pencapaian target MDGs.
7. Mengalokasikan kebutuhan belanja fixed cost, regular cost, dan
variable cost secara terukur dan terarah.
8. Dalam upaya meningkatkan kinerja BUMD Kota Bogor, maka dialokasikan dana penyertaan modal kepada BUMD dalam anggaran
RAPBD 2012 sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan dana.
9. Peningkatan efektivitas penggunaan dana PPMK dan PNPM P2KP
oleh masyarakat dalam mendukung kualitas pelayanan publik dan
sinkronisasi implementasi antara rencana pembangunan Kota Bogor
Berdasarkan hasil analisis dan perkiraan sumber-sumber
pendapatan daerah dan realisasi serta proyeksi pendapatan daerah
3(tiga) tahun terakhir, arah kebijakan belanja daerah, dituangkan dalam
table 3.7 sebagai berikut:
Tabel 3.7
Realisasi dan Proyeksi Belanja Daerah
NO U R A I A N APBD 2009
(Rp)
APBD 2010 (Rp)
APBD 2011 (Rp)
TARGET 2012 (Rp)
II. BELANJA DAERAH 2.1. BELANJA TIDAK
LANGSUNG 2.1.1
.
Belanja Pegawai 357,368,859,024 467,833,382,206. 521,744,732,314.00 550,204,933,535
belanja Bunga - - 1,244,494,845.00 1,244,494,847
Belanja Hibah 18,971,000,000 15,825,365,924. 27,885,445,000.00 29,090,105,000
Belanja Subsidi 1,437,035,600.00 1,437,035,600
2.1.5 Belanja Bantuan Sosial 59,802,094,705 88,100,168,167 58,152,948,380.00 71,884,768,380
2.1.6 Belanja bagi Hasil kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes
-
2.1.7 Belanja Bantuan Keuangan kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes
13,232,500,000 12,132,500,000. 935,731,977.00 935,731,977
2.1.8 Belanja Tidak Terduga 1,788,637,300 2782968160 4,500,000,000.00 4,500,000,000
JUMLAH BELANJA TIDAK LANGSUNG
451,163,091,029 586,674,384,457 615,900,388,116.00 659,297,069,3 39
2.2. BELANJA LANGSUNG 2.2.1
.
Belanja Pegawai 43,515,147,268. 45,943,819,584 2.2.2
.
Belanja Barang dan Jasa 173,749,148,757 158,124,717,210 2.2.3
.
Belanja Modal 108,449,608,948 165,939,883,691 JUMLAH BELANJA
LANGSUNG
325,713,904,973 370,008,420,485 4 20,921,900,086 482,024,750,504
JUMLAH BELANJA DAERAH
776,876,996,002 956,682,804,942 1,036,822,288,202 1,141,321,819,843
3.2.4 Arah Kebijakan Pembiayaan Daerah 3.2.4.1 Kebijakan Penerimaan Pembiayaan Daerah
Pembiayaan merupakan transaksi keuangan yang bertujuan
menutupi selisih antara Pendapatan dan Belanja Daerah. Pembiayaan.
Daerah. Jika Pendapatan Daerah lebih besar dari Belanja Daerah, maka
terjadi transaksi keuangan yang surplus dan harus digunakan untuk
Pengeluaran Daerah. Oleh sebab itu, Pembiayaan Daerah terdiri
Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah.
Pembiayaan daerah dalam kurun waktu 2010-2011,
memperlihatkan bahwa penerimaan pembiayaan selama ini hanya
bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya
(SiLPA). Besaran SiLPA yang relative besar ini, terutama disebabkan over
target pendapatan dan efisiensi penggunaan anggaran. Besaran SiLPA
menunjukkan tren menurun, yang dapat diartikan bahwa, disparitas
antara perencanaan pendapatan dan belanja daerah dengan
pelaksanaannya yang semakin mengecil menunjukkan bahwa proses
perencanaan dilaksanakan dengan lebih cermat sehingga akan lebih baik
pada tingkat pelaksanaannya.
Kebijakan pembiayaan dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa
kebutuhan pembangunan daerah yang semakin meningkat akan
berimplikasi pada kemungkinan terjadinya defisit anggaran. Untuk itu
perlu dilakukan antisipasi dan dapat ditempuh melalui:
a. Sisa Lebih Anggaran tahun sebelumnya (SiLPA) dipergunakan sebagai sumber penerimaan pada APBD tahun berikutnya dan
rata-rata SilPA akan diupayakan semakin menurun sebagai akibat dari
optimalnya penganggaran dan pelaksanaan kegiatan. Rata-rata SiLPA
diupayakan maksimum 5 % dari APBD tahun sebelumnya.
b. Penerimaan Pinjaman Daerah dari dalam maupun luar negeri melalui penerbitan obligasi daerah ataupun bentuk pinjaman lainnya
untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik terutama
pelayanan air minum.
c. Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang
bersumber dari pencairan dana cadangan, peruntukkan waktu
penggunaan dan besarnya disesuaikan dengan peraturan daerah
tentang pembentukan dana cadangan, sedangkan penerimaan hasil
bunga/deviden dana cadangan dianggarkan pada lain-lain
Adapun realisasi dan proyeksi Penerimaan pembiayaan daerah
tahun anggaran 2009- 2012 sebagaimana tabel 3.8 dibawah ini :
Tabel 3.8
Realisasi dan Proyeksi Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2009-2012
NO U R A I A N APBD 2009
(Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) 3.1. PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH 3.1.1 .
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya
132,416,563,328 154,938,553,017 96,500,774,205 97,655,357,44 0
Penerimaan Pencairan Dana Cadangan
- 32,000,000,000 - 3.1.4
.
Penerimaan Pinjaman Daerah
- 49,262,400,000 49,262,400,00 0
JUMLAH PENERIMAAN PEMBIAYAAN DAERAH
132,416,563,328 186,938,553,017 145,763,174,205 146,917,757,4 40
SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN TAHUN BERKENAAN
154,938,553,017 97,655,357,440
2.00
3.2.4.2Kebijakan Pengeluaran Pembiayaan Daerah
Realisasi dan proyeksi pengeluaran pembiayaan Daerah seperti
pada tabel 3.9 berikut:
Tabel 3.9
Realisasi dan Proyeksi Pengeluaran Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2009-2012
NO U R A I A N APBD 2009
(Rp) APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) TARGET 2012 (Rp) 3.2. PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH - - 3.2.1 .
Pembentukan Dana Cadangan (pemilu) 15,000,000,00 0 - - 30.000.000.00 0 3.2.2 .
Penyertaan Modal (Investasi) Pemerintah Daerah
13,625,803,266 24,799,836,000 24,377,701,000 26,377,701,00 0
3.2.4 .
Pemberian Pinjaman Daerah 49,262,400,000 49,762,400,00 0
JUMLAH PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH