DAFTAR ISI
ABSTRACT……… i
ABSTRAK……….. ii
KATA PENGANTAR………... iii
DAFTAR ISI……….. vi
DAFTAR TABEL……….. viii
DAFTAR GAMBAR... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ….………. B.Fokus Penelitian ………. C.Unit Analisis ………
1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah ..
2. Pengawas Sekolah ……….
3. Penjaminan Mutu Sekolah ……… D.Manfaat Penelitian ………
E. Tujuan Penelitian……….
F. Paradigma Penelitian ………...
1 17 19 20 21 23 24 26 26
BAB II PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN, SUPERVISI PENDIDIKAN DAN PENGAWAS SEKOLAH
A. Penjaminan Mutu di Bidang Pendidikan ... 1. Konsep Mutu di Bidang Pendidikan ……….. 2. Penjaminan Mutu di Sekolah ……….. B.Supervisi Pendidikan ………. C.Pengawas Sekolah dan Sanggar Pengawas Sekolah ……….. D.Telaah Terhadap Penelitian Terdahulu yang Relevan ………
31 31 35 39 58 69
BAB III METODE PENELITIAN
A.Model Penelitian ………. B.Pengumpulan Data Penelitian ………
1. Teknik Penentuan Informan ……… 2. Teknik Pengumpulan Data ……….. C.Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….
72 73 73 74 77
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian …..………
1. Aktifitas dan Keberadaan Sanggar Pengawas ... 2. Program Kerja Kepengawasan dan Program Khusus Peningkatan
Kompetensi Pengawas ... 3. Visitasi ke Sekolah dan Teknik Supervisi ...
80 80
4. Peran Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah ... B.Pembahasan Hasil Penelitian ………
1. Aktifitas dan Keberadaan Sanggar Pengawas ... 2. Program Kerja Kepengawasan dan Program Khusus Peningkatan
Kompetensi Pengawas ... 3. Visitasi ke Sekolah dan Teknik Supervisi ... 4. Peran Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah ...
107 111 112
118 122 123
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan ……….
B. Rekomendasi………....
131 133
DAFTAR PUSTAKA……….. 136
LAMPIRAN ……….
1.Pedoman Wawancara
2.Matrik Satuan Kajian Penelitian 3.Transkrip Wawancara
4.Hasil Temuan Data dan Analisis Data 5.Lampiran Foto
142
DAFTAR TABEL
Tabel
[image:3.595.119.508.245.628.2]DAFTAR GAMBAR Gambar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia di suatu
negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara tersebut.
Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan standar
dalam penyelenggaraan pendidikan. Setiap penyelenggara pendidikan
berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai standar itu agar memenuhi standar
mutu minimal sebagai modal dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan perencanaan dan
proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan rancangan
tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu ditingkatkan,
dan menghasilkan output yang paling unggul di antara sekolah-sekolah yang ada.
Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan komitmen yang tinggi
dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah tersebut. Tiap langkah
dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di sekolah memerlukan disiplin,
tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, merupakan fondasi sekaligus titik awal bagi pembangungn pendidikan
nasional. Dikatakan sebagai titik awal karena peraturan perundangan ini disusun
dan ditetapkan setelah gerakan reformasi nasional. Gerakan reformasi yang
itu juga berpengaruh pada bidang pendidikan terutama pada pengambilan
kebijakanan nasional bidang pendidikan. Undang-undang ini membawa semangat
dan paradigma baru dalam hal peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan.
Produk hukum ini juga sebagai landasan untuk mempercepat tercapainya tujuan
pendidikan nasional dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk
membuat perangkat penunjang bagi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan
di masa yang akan datang.
Landasan bagi percepatan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti
yang tertuang pada pasal 1 ayat (17) yang berbunyi ” Standar nasional pendidikan
adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum
negara Kesatuan Indonesia”. Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan
di seluruh Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal
di bidang pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa
melampaui standar yang telah ditentukan. Kemudian ketentuan hukum ini juga
bermakna amanah kepada pemerintah untuk merancang peraturan lanjutan sebagai
penjabarannya. Pada pasal 35 ayat (4) UU Sisdiknas dinyatakan bahwa,
”Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah”. Inilah yang disebut amanah yang harus dilaksanakan di
masa yang akan daatang.
Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran dari UU
Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu disusun,
(1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar
pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar
pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.
Tujuan dari diberlakukannya standar nasional pendidikan ini adalah seperti
yang tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yaitu :
“standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat”. Pasal ini mempunyai makna dan semangat bahwa penerapan
standar dalam pendidikan tidak saja untuk meningkatkan kecerdesan intelektual
peserta didik tapi juga membangun karakter bangsa. Semuanya ini akan bermuara
pada kemajuan di semua sendi kehidupan masyarakat dan menempatkan bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Selain itu pasal ini juga
bermakna bahwa penerapan standar, dalam hal ini standar pelayanan minimal
pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan tahap awal dari proses panjang dan
komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu pendidikan.
Mengingat demikian pentingnya penjaminan mutu pendidikan bagi
kelangsungan dan kualitas generasi penerus bangsa, maka diamanatkan bahwa
setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan
penjaminan mutu pendidikan. Kemudian penjaminan mutu pendidikan yang
dimaksud adalah bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional
Pendidikan (PP No.19 / 2005 pasal 91 ayat (1) dan (2) ). Dengan demikian
penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan di semua jenjang pendidikan dan
pendidikan secara nasional sebenarnya dimulai dari tingkat satuan pendidikan
yaitu sekolah.
Dalam konteks manajemen mutu, PP No.19 tahun 2005 ini merupakan
bagian dari penerapan manajemen mutu yang diaplikasikan melalui
perangkat-perangkat seperti perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu
(quality control), jaminan mutu (quality assurance), dan peningkatan mutu
(quality improvement). Tanggung jawab manajemen mutu terdapat pada semua
tingkatan manajemen dan implementasinya melibatkan semua orang pada semua
unit dalam organisasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kota/kabupaten dan pada organisasi tingkat satuan pendidikan. Hal ini dipertegas
dalam pasal 91 ayat (3) bahwa penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara
bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang
memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Perencanaan mutu (quality planning) dalam konteks sekolah tentunya
adalah pemenuhan kebijakan mutu terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan.
Dengan demikian, sasaran dari program sekolah adalah pencapaian
indikator-indikator kunci pada setiap standar yang ditetapkan. Perencanaan mutu harus
disusun oleh segenap unsur-unsur sekolah dengan juga membangun komitmen
untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. Perencanaan mutu harus pula
dikemas dan disusun secara sistematis mulai dari apa yang telah dicapai dan apa
yang akan dicapai sesuai dengan target yang ditetukan secara rasional. Segala
semuanya berada dalam kerangka waktu yang jelas. Jadi ada kesesuaian antara
apa yang akan dicapai dan kapan hal itu tercapai.
Sementara itu dalam melaksanankan pengendalian mutu (quality control)
dalam PP No.19 tahun 2005 dijelaskan bahwa dalam rangka pengendalian mutu
akan dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, organisasi tingkat satuan pendidikan, Badan Standar Nasional
Pendidikan (BNSP), dan Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 juga menjelaskan tentang
penjaminan mutu pendidikan. Proses penjaminan mutu (quality assurance)
dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dan telah dicapai dan
menentukan prioritas-prioritas peningkatan mutu, memberikan bahan untuk
pengambilan keputusan berbasis data, dan membantu membangun budaya
peningkatan mutu berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib melakukan
penjaminan mutu pendidikan melalui pemenuhan 8 standar pendidikan secara
konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang
berkepentingan memperoleh kepuasan.
Penjaminan mutu atau mutu bukanlah suatu tujuan akan tetapi suatu proses
yang dinamis yang berlangsung terus menerus. Sebuah proses yang dalam dunia
manufaktur atau bisnis, harus menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi
yang ditetapkan sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu, proses produksi
yang baik diletakkan dan dilekatkan pada tanggung jawab pribadi pelaku
produksi. Proses produksi tidak begitu memerlukan kendali mutu (QC : quality
Akan tetapi sebenarnya inspeksi juga mempunyai peranan dalam proses
penjaminan mutu (Sallis, 2010:59), namun dalam konteks yang berbeda. Proses
yang panjang dan terus-menerus tentu sangat membutuhkan suatu unsur yang
berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol. Oleh karena itu maka fungsi
pengawasan sangat vital dalam kerangka pemantauan proses yang terjadi.
Dunia pendidikan juga mengenal fungsi pengawasan yaitu yang disebut
pengawas sekolah. Pengawas sekolah merupakan pegawai negeri sipil yang diberi
tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan
penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan
pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah (Kepmendikbud RI Nomor
020/U/1998 tanggal 6 Pebruari 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya). Pengawas sekolah juga
berfungsi sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator,
kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat
dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan
pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja
Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan “Pengawas
sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: mengawasi, memantau, mengolah dan
melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan pada
Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian
mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering dikesampingkan
peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak
jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi
kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar
mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah.
Keadaan di lapangan juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja
pengawas satuan pendidikan di Indonesia. Hal ini seperti yang terungkap dari
pengalaman penelitian dari Adaski (2010: 48-53) yang menyatakan bahwa saat ini
kinerja pengawas menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Berdasarkan
pengalaman Adaski sewaktu memimpin sebuah sekolah swasta di Jawa Barat,
masih ada tindakan tidak terpuji oknum pengawas dengan cara ”nangok” atau
meminta sejumlah uang kepada sekolah swasta yang baru buka. Tindakan seperti
jelas sangat disesalkan mengingat seharusnya pengawas bertugas memberikan
arahan dan binaan yang baik pada sekolah. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena
beberapa faktor, diantaranya :
1. Rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau
memperpanjang usia pensiun bagi birokrat
2. Masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu.
3. Belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas
4. Dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana
Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak
pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu
menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu
dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari
pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang
kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa
mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan
oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya
keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi
pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program
yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru.
Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan
inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan
memahaminya.
Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata
pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas
pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan tindak lanjut
perbaikan mutu belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi
untuk melakukan perbaikan mutu. Target puncak supervisi adalah berkembangnya
proses perbaikan mutu secara berkelanjutan; meningkatnya kebiasaan
melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, dan membiasakan tiap
pengaruh pelaksanaan tugas profesi pengawas terhadap hasil belajar siswa. Pada
akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya
yang selalu menjunjung target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan.
Kondisi seperti ini menggerakkan pihak, yang berkepentingan terhadap
peningkatan mutu pendidikan, untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka
meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Sebuah temuan dari survai yang
dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan
Nasional menunjukkan bahwa pengawas masih memiliki kelemahan dalam
dimensi kompetensi supervisi manajerial dan supervisi akademik serta penelitian
dan pengembangan (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008: 1). Hal ini seperti
[image:13.595.111.511.238.671.2]yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.1
Tingkat Penguasaan Kompetensi Dasar Pengawas Sekolah
No. Unsur Kompetensi TK / SD N=77 SMP N=70 SMA/K N=295 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kepribadian Sosial Supervisi Manajerial Supervisi Akademik Evaluasi Pendidikan
Penelitian dan Pengembangan
48,72 43,60 39,68 35,33 42,42 36,05 49,56 46,10 37,42 36,94 43,80 42,00 51,24 44,70 37,18 36,40 42,84 37,80
Kemudian ada banyak pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh
tetapi pelatihan dan sosialisasi yang dilaksanakan selama ini dipandang kurang
memadai untuk menjangkau keseluruhan pengawas dalam waktu yang relatif
singkat. Selama ini, pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan karena waktunya
yang singkat maka intensitas dan penguasaan materinya kurang optimal
Berdasarkan kenyataan ini maka upaya peningkatan kompetensi pengawas harus
dilakukan dengan strategi yang lain yang lebih inovatif. Salah satu strategi yang
dapat ditempuh dengan melibatkan lebih banyak pengawas, dalam waktu yang
singkat dan pada saat yang bersamaan serta sebaran wilayah yang luas, adalah
dengan memanfaatkan forum Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) dan
Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wahana belajar bersama.
Forum dan wahana belajar ini diharapkan akan lebih efisien dan efektif mengingat
para pengawas belajar dalam suasana kesejawatan yang akrab namun akademis.
Para pengawas diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman
guna bersama-sama meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka di samping
pula untuk memperkuat komitmen mereka untuk meningkatkan mutu pendidikan
di daerah masing-masing.
Pengawas sekolah pun sekarang telah menempati posisi penting dalam
dunia pendidikan dengan predikat sebagai profesi yakni profesi pengawas
sekolah. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka menjalankan profesi
pengawas adalah pembinaan sekolah secara menyeluruh dan juga pengembangan
profesi kepengawasan sendiri.
Peran penting ini akan semakin terlihat apabila disandingkan dengan data
di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Analisis Data Guru 2009 yang berbasis pada
Sistem Informasi Manajemen Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(SIM NUPTK) per Juni 2009 didapatkan bahwa Jawa Timur memilik 383.881
guru dari semua jenjang mulai dari TK sampai SMA baik yang PNS maupun
Non-PNS. Jumlah ini adalah yang tertinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia
atau sekitar 14,72% dari total guru di Indonesia yang berjumlah 2.607.311 orang
guru. Berdasarkan sumber data yang sama dapat pula diketahui jumlah siswa yang
terdapat di Jawa Timur yang berjumlah sekitar 5.866.089 siswa dari semua
jenjang mulai dari TK sampai SMA di sekolah negeri dan swasta. Ini berarti yang
tertinggi di Indonesia atau sekitar 14,08 % dari total siswa di seluruh Indonesia
yang berjumlah 41.673.552 siswa per Juni 2009. Seluruh siswa di Jawa Timur ini
teralokasikan pada sekitar 233.496 rombongan belajar atau kelas. Sementara itu,
Jawa timur juga memilik sekitar 40.132 sekolah dari semua jenjang, negeri dan
swasta. Ini juga tertinggi di Indonesia dengan sekitar 16,67% dari total sekolah di
Indonesai yang berjumlah 240.678 unit sekolah. Suatu jumlah yang yang fantastis
dan sangat perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan terutama dari pengawas
sekolah.
Data di atas adalah sebagai obyek binaan dari pengawas sekolah. Obyek
atau sasaran yang harus ditangani, dibina dan ditingkatkan mutunya. Peningkatan
mutu masih menjadi isu yang krusial walaupun Jawa Timur memiliki indeks mutu
pendidikan sebesar 4,7 yang berarti tertinggi di Indonesia (Dirjen PMPTK: 2009).
Sementara itu, di lain pihak, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh
Timur memiliki 350 orang pengawas rumpun mata pelajaran dan tersebar secara
tidak merata pada 38 kabupaten dan kota. Kemudian untuk pengawas satuan
pendidikan, terdapat 2.880 orang pengawas yang bertugas pada semua jenjang
pendidikan dan semua bentuk pendidikan, in formal, formal dan non formal.
Sungguh suatu perbandingan yang timpang apabila dikaitkan dengan jumlah
sekolah yang sekitar 40.132 seperti diatas.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar
Pengawas Sekolah/Madrasah, menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari :
1. Pengawas Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA)
2. Pengawas Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).
3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs)
4. Pengawas Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam
Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa,
Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya).
5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
(SMK/MAK) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan
TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni Budaya, Teknik dan
Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata,
Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan).
Pengawas sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas
mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas
melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan
jumlah sekolah yang di bina yang diuraikan sebagai berikut :
1. Pengawas Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina
paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah.
2. Pengawas Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling
sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan
membina paling sedikit 7 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
4. Pengawas Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina
paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan
membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
6. Pengawas Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina
paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah.
Berkaitan dengan rekrutmen dan kualifikasi standar, untuk pengawas
Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal ( TK/RA ) dan Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah ( SD/MI ) minimum S1 atau D-4 kependidikan dari perguruan tinggi
terakreditasi. Sebelumnya berpredikat sebagai guru dengan sertifikat pendidik dan
berpengalaman sedikitnya 8 tahun atau 4 tahun sebagai kepala TK atau SD dan
berpangkat minimum penata atau III/c. Sedangkan untuk pengawas SMP, SMA
dan SMK minimum berpendidikan magister atau S2 kependidikan dengan
berbasis sarjana (S1) dengan rumpun mata pelajaran yang relevan, dari perguruan
pendidik dan mempunyai pengalaman minimum 8 tahun sebagai guru dalam
rumpun mata pelajaran yang relevan di jenjang tersebut, atau 4 tahun sebagai
kepala sekolah pada jenjang tersebut.
Selanjutnya, memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan
yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan
fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; dan lulus seleksi
pengawas satuan pendidikan.
Saat ini seorang pengawas sekolah harus mempunyai 6 (enam) kompetensi
dasar sesuai dengan Permendiknas No.12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas
Sekolah/Madrasah yakni :
1. Kompetensi supervisi akademik yaitu kemampuan pengawas sekolah
dalam melaksanakan pengawasan akademik yakni menilai dan membina
guru dalam rangka mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang
dilaksanakannya, agar berdampak pada kualitas hasil belajar siswa. Oleh
karena itu sasaran supervisi akademik adalah guru dalam proses
pembelajaran, yang terdiri dari materi pokok dalam proses pembelajaran,
penyusunan silabus dan RPP, pemilihan strategi/metode/teknik
pembelajaran, penggunaan media dan teknologi informasi dalam
pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran serta penelitian
tindakan kelas.
2. Kompetensi supervisi manajerial yaitu supervisi yang berkenaan dengan
aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan
pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia
(SDM) kependidikan, dan sumberdaya lainnya.
3. Kompetensi evaluasi pendidikan yakni kemampuan untuk menyusun
kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dalam bidang
pengembangan serta menilai kinerja kepala sekolah, guru, dan staf sekolah
dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya untuk
meningkatkan mutu pembelajaran.
4. Kompetensi penelitian dan pengembangan yakni kemampuan dalam
menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam
pendidikan serta mampu menentukan masalah kepengawasan yang penting
untuk diteliti baik untuk tugas kepengawasan maupun untuk
pengembangan karirnya sebagai pengawas.
5. Kompetensi kepribadian dan sosial yakni kemampuan dalam pengenalan
diri, pengembangan diri, dan memberdayakan diri serta kemampuan dalam
menjalin komunikasi yang efektif guna menumbuhkan peran serta dan
kerjasama dengan pihak lain.
6. Kompetensi penelitian tindakan sekolah merupakan pengkhususan dan
pendalaman lebih lanjut dari kompetensi penelitian dan pengembangan.
Salah satu peran yang diharapkan dari seorang pengawas adalah menjadi
agen perubahan (agent of change). Untuk melaksanakan peran tersebut,
akan lebih efektif apabila mereka menguasai metode action research
memiliki kemampuan metodologis untuk melakukan penelitian, sekaligus
mengupayakan tindakan untuk memperbaiki sekolah binaannya.
Berbekal 6 (enam) kompetensi dasar inilah diharapkan seorang pengawas
bisa tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional. Dengan tampil
sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional maka tujuan selanjutnya
adalah dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu sekolah. Mutu
sekolah dalam hal ini adalah baik mutu proses belajar mengajar, mutu lulusan,
kinerja dan kompetensi guru, maupun manajemen pengelolaan kelas dan sekolah
yang dilaksanakan oleh guru dan kepala sekolah.
Peningkatan mutu pengawas tidak berhenti dengan penetapan standar
kompetensi pengawas saja. Standar mutu pengawas dengan penguasaan
kompetensi minimal akan sulit dicapai apabila dilaksanakan secara invidual.
Kalaupun terjadi peningkatan mutu pengawas maka yang terjadi adalah perbedaan
pencapaian standar kompetensi yang beragam diantara pengawas dan akan
memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai standar mutu yang
memadai. Oleh karena itu pemerintah membentuk semacam organisasi profesi
pengawas yang bersifat non kedinasan. Organisasi ini dibentuk untuk mewadahi
pengawas dalam rangka untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian
kepengawasan di antara rekan sejawat mereka sendiri. Organisasi itu bernama
Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) atau sering disebut dengan
sanggar pengawas sekolah. Sanggar ini juga sama dengan sanggar lainnya yang
dibentuk untuk guru mata pelajaran tertentu yang dikenal dengan Musyarawah
atau guru kelas. Di dalam organisasi atau wadah ini diharapkan terjadi interaksi
antar anggota yang seprofesi dan terjadi dalam suasana kesejawatan yang akrab
antar anggota. Interaksi yang terjadi juga berupa saling berbagi informasi, saling
berbagi pengalaman dan pengetahuan dan saling memberi solusi terhadap
permasalahan yang sedang dihadapi.
B. Fokus Penelitian
Di dalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus
(Moleong, 1989:68) atau dengan istilah yang lengkap adalah fokus penelitian
(Idrus, 2009: 48). Fokus penelitian ditetapkan karena begitu banyak fakta yang
ingin diketahui dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak
temuan lapangan yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih
jauh. Namun demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya
agar penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah
yang disebut dengan fokus penelitian. Penetapan batas area penelitian ini untuk
mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan
menganalisis data (Satori dan Komariah, 2009: 30).
Rincian mengenai maksud dari penetapan fokus penelitian adalah seperti
yang dinyatakan oleh Moleong (1989: 69) bahwa, pertama, fokus penelitian dapat
membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di luar penelitian.
Kedua, penetapan fokus penelitian berfungsi untuk memenuhi kriteria
inklusi-eksklusi atau memasukkan – mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari
lapangan. Dengan panduan dan arahan dari fokus penelitian maka peneliti dapat
karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke kumpulan data yang akan
dianalisis di tahap selanjutnya.
Kemudian, dari penetapan fokus penelitian, akan “dipecah” atau diuraikan
lagi menjadi pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian dimaksudkan untuk
lebih mengoperasionalkan fokus penelitian (Idrus. 2009: 48). Operasionalisasi
fokus penelitian nantinya akan membantu peneliti dalam mempertajam arah
penelitiannya. Pertanyaan penelitian ini juga akan membantu peneliti dalam
membuat pedoman wawancara guna mengumpulkan data dari lapangan,
menentukan aspek data dan informasi yang perlu dikumpulkan, dan membantu
melakukan koding pada saat analisis data.
Sebagai ilustrasi untuk memperjelas penetapan fokus penelitian dapat
dinyatakan disini bahwa pengawas dengan 6 (enam) kompetensi dasar diharapkan
bisa tampil sebagai pengawas sekolah yang berkompeten, profesional dan
bermartabat. Dalam rangka lebih meningkatkan standar mutu pengawas maka
pemerintah membentuk sebuah wadah sebagai sarana untuk meningkatkan
keprofesionalan kompetensi pengawas sekolah. Wadah ini berupa sanggar
pengawas yang dikenal juga dengan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Salah
satu tujuan dari pembentukan sanggar pengawas adalah untuk mendiskusikan
permasalahan yang dihadapi dan mencari pemecahannya kemudian
mengaplikasikannya kepada sekolah binaan serta sebagai sarana saling berbagi
informasi dan pengalaman dalam pembinaan sekolah (Depdikbud, 1989: 7).
Dengan demikian pengawas akan memberikan kontribusi yang besar kepada mutu
Saat ini dengan adanya Standar Nasional Pendidikan dan akreditasi
sekolah, ada penjenjangan mutu sekolah berdasarkan pencapaian 8 standar
nasional pendidikan. Ada sekolah dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM),
Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI),
dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pada sekolah dengan predikat SSN dan
RSBI terdapat pernyataan mutu dan juga program peningkatan dan penjaminan
mutu pendidikan yang tertuang dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS).
Berdasarkan hal tersebut diatas maka fokus penelitian ini akan mencoba
mengungkapkan bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas serta
peran sanggar pengawas sekolah, dalam hal ini Musyawarah Kerja Pengawas
Sekolah (MKPS) terhadap kinerja dan kompetensi pengawas sekolah. Kemudian
dari hasil interaksi dan belajar mandiri dengan sesama pengawas akan ditelaah
pula bagaimana peran pengawas sekolah tersebut dalam proses penjaminan mutu
di sekolah binaannya.
Fokus penelitian diatas apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan
penelitian maka seperti di bawah ini :
1. Bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas sekolah di
lingkungan Dinas Pendidikan Lumajang, Jawa Timur?
2. apakah sanggar pengawas tersebut mempunyai program atau kegiatan
untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah?
3. Bagaimanakah kinerja pengawas sekolah terutama berkaitan dengan
visitasi dan teknik supervisi yang digunakan dalam pembinaan pada
4. bagaimanakah peran pengawas sekolah dalam proses penjaminan mutu
pendidikan di sekolah binaannya?
C. Unit Analisis
Satuan kajian (unit of analysis) ditetapkan dalam penelitian kualitatif,
karena berkaitan dengan keputusan penentuan sampel dan strategi sampling serta
besarnya sampel yang akan diambil. Kadang kala satuan kajian itu bersifat
perorangan dan bisa pula bersifat kelompok. Apabila sudah ditetapkan maka
pengumpulan data dipusatkan di “sekitarnya”. Data yang dikumpulkan adalah apa
yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana
sikapnya, dan lainnya.
Selanjutnya dari penetapan satuan kajian dikembangkan pula domain dan
sub domainnya. Pengembangan ini disesuaikan dengan struktur yang dibangun
atas bantuan kajian literatur dan pemahaman awal peneliti terhadap fokus
penelitian. Dengan menentukan domain dan sub domain, maka akan memudahkan
peneliti dalam menentukan batas-batas yang harus dieksplorasi di lapangan dan
penelitian akan lebih terfokus.
Domain dalam unit analisis ini adalah kepengawasan dan mutu sekolah.
Selanjutnya dari domain ini dipecah dan dipersempit menjadi sub domain dan
komponensial agar lebih terfokus. Sub domain dan komponensial itu antara lain
adalah :
1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) adalah wadah bagi para
kedinasan. Pada khasanah pendidikan di daerah, karena mengacu pada tempat
atau wadah bagi orang yang berkeahlian khusus, seperti pengawas, maka biasanya
forum ini disebut juga dengan sanggar pengawas. Forum ini merupakan tempat
bagi pengawas untuk menyatukan pendapat, menyeragamkan pola kerja, dan
menampung segala permasalahan kepengawasan yang perlu dipecahkan bersama.
Berdasarkan petunjuk penyelenggaran MKPS (Depdikbud:1998), wadah
ini telah mempunyai struktur organisasi dan jaringan, serta tujuan dan fungsi yang
jelas, namun sebagai ujung tombak dari orgnisasi ini adalah MKPS yang berada di
tingkat kabupaten dan kota.
Dalam struktur organisasi pada dinas pendidikan kabupaten atau kota,
posisi sanggar pengawas hampir sama dengan sanggar-sanggar kependidikan
lainnya. Sanggar itu antara lain sanggar untuk guru mata pelajaran baik pada
sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas, sanggar untuk kepala
sekolah dan ada pula sanggar untuk guru kelas bagi sekolah dasar. Sanggar atau
forum ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi para guru dan kepala sekolah untuk
meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Peningkatan kompetensi dan kinerja
anggota sanggar bisa dilakukan dengan cara saling berbagi antara anggota yang
senior dengan anggota yang junior. Selain itu juga dengan cara berbagi
pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan, misalnya pembelajaran atau
penelitian tindakan kelas.
Oleh karena itu aspek-aspek yang akan digali adalah (i) bagaimana
struktur sanggar pengawas, (ii) bagaimana mekanisme dan interaksi yang terjadi
kompetensi pengawas melalui program yang dirancang melalui sanggar
pengawas.
2. Pengawas Sekolah
Komponen yang akan dieksplorasi pada sub domain ini adalah : (i)
bagaimana kinerja dan standar kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya, dan (ii) bagaimana impact kinerja pengawas sekolah
tersebut terhadap mutu sekolah binaanya.
Pengawas sekolah dalam hal ini adalah yang berdasarkan pada PP No.16
tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118 tahun 1996 tentang Jabatan Fungsional
Pengawas dan Angka Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0322/O/1996 dan No.36 tahun 1996, dan
Kep.Mendikbud No.020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, serta Permendiknas No. 19 tahun
2005 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas. Dalam
peraturan itu dapat disarikan bahwa pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil
yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan
melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan
administrasi.
Pengawasan dan pembinaan pendidikan dalam hal ini pada konteks yang
seluas-luasnya bukan hanya dalam hal pengajaran dan administrasi kependidikan
berarti pengawas sekolah juga harus mampu menjadi penggerak dan pemicu bagi
pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi guru dengan jalan memberi
asistensi dan fasilitasi bagi guru dalam mengembangkan dan meningkatkan
kompetensinya.
Kiprah pengawas dalam hal pembinaan pengajaran dan pengembangan
profesi guru secara tidak langsung juga berpengaruh pada pengembangan dan
peningkatan profesi pengawas itu sendiri. Pengawas sebagai profesi sebagaimana
profesi yang ada lainnya, juga memerlukan perhatian untuk dikembangkan dan
ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan PP No.38 tahun 1992 tentang Tenaga
Kependidikan pasal 61 ayat (1) yang menyatakan bahwa tenaga kependidikan
dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan
kesejahteraan tenaga kependidikan demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional
yang optimal.
3. Penjaminan Mutu Sekolah
Ada banyak pendapat tentang mutu tetapi mutu dalam dunia pendidikan,
dan dalam hal ini pada tingkat satuan pendidikan, bertumpu pada dua hal pokok
yaitu mutu pembelajaran dan mutu guru (Sallis, 2010: 86, Hadis dan Nurhayati,
2010: 4). Dua komponen inilah yang dalam dunia pendidikan disebut sebagai
pelanggan internal pendidikan. Disebut sebagai pelanggan karena pendidikan
dipandang sebagai lembaga atau unit usaha yang bergerak pada bidang layanan
secara terpisah, bagi sekolah untuk bisa dikatakan sebagai sekolah yang bermutu
atau tidak.
Berkaitan dengan sistem penjaminan mutu di sekolah maka berkaitan pula
dengan berbagai sub-sistem yang membentuk sekolah dan proses yang terjadi di
sekolah. Sub-sistem di dalam sekolah dalam hal ini adalah seperti yang termaktub
dalam 8 standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan dalam hal ini
bisa dikatakan sebagai komponen internal sekolah. Kemudian ada pula komponen
yang berada di luar sekolah yang juga memberikan kontribusi sekaligus juga
sebagai sasaran dari sekolah yaitu para stakeholder pendidikan. Para pemangku
kepentingan bidang pendidikan antara lain para orangtua siswa, dunia industri,
pendidikan lanjutan, dan masyarakat sekitarnya. Dalam konteks penjaminan mutu
pendidikan yang dilihat dari sebuah institusi sekolah adalah bagaimana sebuah
sekolah tersebut melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pencapaian target
mutu sehingga dapat memuaskan semua pihak.Semua pihak dalam hal ini adalah
semua pelanggan internal dan pelanggan eksternal sekolah.
D. Manfaat Penelitian
Sanggar pengawas sekolah dapat dianggap sebagai organisasi profesi.
Sebagai sebuah organisasi profesi, di dalamnya akan terjadi saling tukat menukar
pengetahuan dan informasi yang berkaitan dan menunjang profesinya. Prinsip
inipun sesuai dengan apa yang disebut community of practice. Konsep ini
mengacu pada sebuah perkumpulan bagi orang-orang yang mempunyai keahlian
dan ketrampilan yang spesifik dan kemudian bersepakat untuk saling berbagi
mereka di hadapan publik pengguna jasa keahlian mereka, akan semakin kokoh
dan mantap serta dapat mengikuti tuntutan pengguna (Wenger dalam
Organization 2000 7 : 225 - 245). Di dalam dunia pendidikan juga dikenal
dengan istilah Learning Organization yang menurut McGill (dalam Komariah,
2004: 58) bermakna organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan
fasilitas belajar bagi semua anggotanya sehingga akan terjadi tranformasi secara
terus dengan sendirinya sebagai cara untuk mengembangkan diri dan dalam
rangka mengembangkan efektifitas organisasi. Fiol dan Lyles (1985: 803-813)
juga menyatakan bahwa organizational learning adalah organisasi yang yang
selalu memperbaiki tindakan-tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang
lebih luas. Berdasarkan paparan diatas, beberapa hal yang dapat disumbangkan
penelitian ini antara lain adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini hendak mengungkapkan apakah aktifitas
seperti yang dikemukakan oleh McGill dan Fiol telah terjadi pada sanggar
pengawas yang dalam hal ini adalah juga sebuah organisasi profesi.
Aktifitas yang dimaksud adalah berbagi informasi, pengetahuan dan
pengalaman diantara para anggotanya.
2. Berkaitan dengan kinerja pengawas sekolah, penelitian ini hendak melihat
apakah kinerja pengawas sekolah dalam melakukan supervisi seperti apa
yang diungkapkan Burton (dalam Purwanto, 2008 : 27) dan Arikunto
(2004 :2 ) dapat terjadi di lapangan atau dalam kenyataan di masyarakat
3. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam
memberikan gambaran menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang
pendidikan yang terkait, tentang bagaimana peran dan kinerja pengawas
sekolah terhadap mutu sekolah binaanya. Selain itu juga akan dipaparkan
pula bagaimana peran sanggar pengawas, dalam hal ini Kelompok Kerja
Pengawas Sekolah, terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja
pengawas sekolah. Peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas
akan berujung pada peningkatan mutu sekolah dan pendidikan di daerah
bersangkutan.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran dan
pengaruh sebuah sanggar pengawas dalam hal meningkatkan kompetensi dan
kinerja anggotanya melalui media belajar mandiri antar anggota. Di samping itu
secara mendasar penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana
peran pengawas sekolah baik terhadap kegiatan peningkatan mutu pembelajaran
maupun pada proses penjaminan mutu di sekolah.
F. Paradigma Penelitian
Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan
kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar
kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui
model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma.
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau
proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu
distruktur (bagian dan hubungan) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi
(perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn (1962:
67, dalam
http://www.scribd.com/doc/37913447/paradigma-penelitian-kualitatif-2) mendefinisikan „paradigma ilmiah‟ sebagai contoh yang diterima tentang
praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan
instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya
muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Penelitian yang
pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama berkomitmen untuk
menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama.
Berdasarkan definisi di atas Baker (1992: 23, dalam
http://sambasalim.com/metode-penelitian-/paradigma-penelitian.html)
mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis)
yang melakukan dua hal: (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2)
bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa
mencapai tujuan ilmiah.
Dengan memakai landasan seperti diatas maka dalam penelitian ini
Gambar 1.1 : Paradigma penelitian
Berdasarkan gambar di atas dapat dipaparkan bahwa, sebagai organisasi
atau wadah bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang
spesifik, di dalam sanggar pengawas seharusnya terdapat aktifitas atau program
yang dapat menunjang bahkan meningkatkan kemampuan diri maupun kinerjanya.
Peningkatan kemampuan diri sendiri ini bisa berarti secara individual seorang
anggota organisasi ini bisa lebih baik, lebih luas wawasannya, dan menjadi pribadi
yang lebih terbuka. Di samping itu anggota, peningkatan kemampuan juga bisa
berarti peningkatan ketrampilan dalam bidangnya baik meningkat sampai pada
tingkatan teknis, taktis maupun pada level strategis. Kegiatan-kegiatan itu dapat
berupa kegiatan belajar mandiri, saling berbagi pengetahuan yang baru, saling
berbagi pengalaman, dan secara lebih luas terdapat sinkronisasi pola kerja. P R O S E S Sanggar Pengawas
Proses belajar mandiri
Sharing Knowledge
Berbagi Pengalaman
Sinkronisasi Pola Kerja
Pengawas yang berkompeten
Secara Profesional
Secara Individual
Kepala Sekolah Guru
Perencanaan Mutu
Pelak. Mutu Pencapaian
Sekolah bermutu
Di dalam sanggar pengawas sekolah seharusnya juga terdapat kegiatan
atau program seperti yang tersebut di atas. Dengan adanya kegiatan seperti itu,
tentunya akan semakin meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Peningkatan
kompetensi bisa terjadi baik pada kompetensi secara profesional maupun secara
pribadi. Di dalam dunia kepengawasan terdapat 6 (enam) kompetensi dasar
pengawas yang harus dikuasai oleh seorang pengawas. Kompetensi kepribadian
berkaitan dengan kemampuan pribadi pengawas sekolah dalam membina
hubungan yang harmonis dengan sesama maupun dengan subyek binaanya yaitu
guru dan kepala sekolah. Selain itu juga berkaitan dengan kecakapan dalam
melakukan komunikasi yang efektif serta keterbukaan dalam wawasan. Sementara
kompetensi profesional mencakup kompetensi manajerial, akademis, penelitian
dan pengembangan, evalauasi, dan penelitian tindakan sekolah.
Pengawas yang berkompeten tentunya akan mempengaruhi kinerjanya
dalam kepengawasan dan pembinaan terhadap sekolah binaanya. Hal ini seperti
yang dinyatakan oleh Desti Irja (2008: 66-72) dalam penelitiannya tentang
hubungan antara motivasi kerja dan kinerja pengawas sekolah. Dalam hal ini
motivasi kerja adalah salah satu aspek dalam dimensi kompetensi kepribadian
yang harus dimiliki seorang pengawas. Dalam penelitian tersebut disimpulkan
bahwa motivasi kerja berhubungan positif dengan kinerja pengawas atau
efektivitas kerja pengawas sekolah. Namun demikian faktor motivasi kerja saja
tidak cukup untuk meningkatkan kinerja pengawas sekolah, tapi faktor
pendidikan, ketrampilan, dan kepemimpinan organisasi perlu juga diperhatikan.
manajerial, akademis, evaluasi, dan penelitian dan pengembangan serta penelitian
tindakan sekolah.
Pengawas yang berkompeten dan berkinerja tinggi akan mempengaruhi
mutu kepala sekolah dan mutu guru yang dibinanya. Pengawas ini juga akan
terlibat dan memfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah binaanya yang
terdiri atas kegiatan perencanaan mutu sertga pelaksanaan dan pencapaian target
mutu.
Hasil dari semua proses dan keterlibatan aktif dari pengawas sekolah
terhadap sekolah binaannya adalah terwujudnya sekolah yang bermutu. Di dalam
sekolah yang bermutu terdapatn komponen siswa yang bermutu, proses
pembelajaran yang bermutu serta lulusan yang bermutu. Puncaknya adalah
naiknya kualitas pendidikan setidaknya di daerah tempat pengawas sekolah
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Model Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau ucapan,
kata-kata, dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti. Data yang terkumpul
berbentuk kata-kata atau gambar yang meliputi transkrip wawancara, catatan
lapangan, foto, rekaman audio, dokumen pribadi, memo dan catatan atau
dokumen lainnya yang mendukung penelitian. Dalam usaha memperoleh
pemahaman, maka peneliti tidak mereduksi narasi dan data lain menjadi lambang
angka dan berusaha menganalisis data yang ada dengan segala kekayaan
maknanya sedekat mungkin dengan kenyataan.
Namun demikian bukan berarti bahwa penelitian ini mendeskripsikan
keadaan atau fenomena sekedar laporan kejadian tanpa suatu intepretasi ilmiah.
Penelitian ini, seperti yang diungkapkan oleh Frankel (1998:379-402), Bogdan
and Biklen (1982:27-29), dalam Satori (2009: 27-32) memiliki karakteristik, yang
secara ringkas antara lain :
1. Penelitian kualitatif memiliki latar (setting) alamiah (natural) dengan
sumber data langsung dari informannya, dan instrumen penelitiannya
adalah peneliti sendiri. Pengumpulan data dengan penyebaran angket akan
menjurus pada reduksi data pada angka-angka dan statistik. Sementara
data tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial dan konteks pada saat
dilaksanakan pada suasana yang alami, berjalan apa adanya sehingga bisa
ditangkap konteks dan bahkan gestures secara langsung dari para sumber
informasi. Dan dengan demikian pula maka, peneliti bertindak sebagai alat
atau instrumen dalam hal memaknai segala sesuatu yang ditampilkan dan
diucapkan oleh informan.
2. Penelitian bersifat deskriptif, yang berarti narasi yang dihasilkan
menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu fenomena itu terjadi.
3. Penelitian ini menjadikan fokus penelitian sebagai batas dari pembahasan.
Fokus penelitian kemudian dipecah lagi menjadi unit analisis, kategori,
dan sub kategori yang dapat dijadikan patokan peneliti dalam mencari,
menggali dan menganalisis data.
4. Desain awal penelitian ini bersifat tentatif dan verifikatif artinya desain
bisa berubah sesuai dengan temuan data di lapangan.
5. Penelitian kualitatif ini menggunakan kriteria khusus untuk ukuran
keabsahan data.
B. Pengumpulan Data Penelitian 1. Teknik Penentuan Informan
Untuk mendapatkan data, peneliti membutuhkan data dari informan, yang
menurut Koentjaraningrat (1991 : 130) adalah orang yang diwawancarai untuk
mendapatkan keterangan tentang suatu hal yang dia kuasai atau ketahui
sepenuhnya. Oleh karena itu, untuk memilih informan yang baik, peneliti
Enkultusari penuh
Arti sebenarnya adalah informan adalah orang yang tahu benar tentang budaya setempat. Dalam konteks penelitian ini adalah orang yang mengetahui secara mendalam tentang kepecintaalaman Keterlibatan langsung
Maksudnya adalah informan dalam penelitian merupakan orang yang tinggal atau berada di lokasi penelitian dan masih menjalankan tradisi atau budaya setempat.
Waktu yang cukup
Dalam memilih calon informan maka harus pula mempertimbankan bahwa informan memiliki waktu yang cukup untuk wawancara.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif usaha yang dilakukan peneliti adalah untuk
mendapatkan gambaran yang holistik tentang suatu fakta atau fenomena. Dalam
rangka mendapatkan gambaran yang menyeluruh itu peneliti akan mengumpulkan
data dengan proses sbb :
1. Wawancara
Wawancara bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan
manusia dalam masyarakat serta pendirian-pendirian mereka. Wawancara adalah
kegiatan bertanya pada “obyek penelitan” tentang suatu pokok permasalahan yang
sangat dia pahami yang juga menjadi tema dari penelitian. Agar wawancara bisa
menghasilkan data yang sesuai dengan tema penelitian dan agar wawancara tidak
berlangsung tanpa arah yang jelas, dalam penelitian kualitatif digunakan alat
bantu yaitu pedoman wawancara. Di dalam pedoman wawancara berisi daftar
pertanyaan yang detail untuk menggali lebih luas dan mendalam tentang suatu hal
yang sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tema penelitian. Namun demikian
pedoman wawancara bukanlah sebuah harga mati yang selalu digunakan selama
berubah disesuaikan dengan kebutuhan data, karakteristik informan, dan
kenyataan di lapangan lainnya yang tidak menentu dan tidak diketahui peneliti
sebelumnya.
Teknik bertanya dalam wawancara ini adalah teknik wawancara tak
berencana (unstandardized interview) dengan mendasarkan diri pada metode
wawancara yang berstruktur (structured interview). Maksudnya adalah wawancara
yang diberikan pada informan tidak dilakukan sesuai benar dengan daftar
pertanyaan dengan urutan dan susunan kata-kata yang tetap. Daftar pertanyaan itu
dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dengan bahasa sendiri yang tidak kaku,
bisa diterima dengan baik oleh informan sedemikian rupa sehingga sang informan
tidak merasa kalau sedang diwawancarai.
Sebelum seorang peneliti melakukan wawancara, maka ada beberapa hal
mengenai persipan sebelum wawancara yakni :
i) Seleksi orang yang akan diwawancarai
ii) Pendekatan terhadap orang yang akan diwawancarai
iii) Pengembangan suasana lancar dan wajar dalam wawancara.
Dalam hal orang yang akan dipilih untuk diwawancarai, ada dua istilah penting
yaitu informan dan responden. Informan adalah orang yang mempunyai
pengertian dan pemahamam yang mendalam tentang suatu hal yang juga menjadi
pokok penelitian kita. Dari seorang informan kita akan dapatkan keterangan dan
data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi. Informan secara
umum digunakan pada penelitian kualitatif murni dan secara khusus digunakan
suatu penelitian adalah memilih orang yang mempunyai keahlian tentang pokok
wawancara. Sedangkan responden secara sederhana adalah orang yang kita tanya
tentang respon yang bersangkutan terhadap suatu pertanyaan atau masalah yang
kita sodorkan. Dari seorang responden kita akan dapatkan keterangan tentang diri
pribadi, pendirian atau pandangan, biasanya untuk kepentingan komparatif atau
bahwa keterangan yang didapat nantinya mempunyi implikasi pada skoring. Cara
pemilihan dan penentuan responden ini berdasarkan pada asas keterwakilan atau
reperesentatifitas.
2. Observasi dan pengamatan
Observasi atau pengamatan menurut Moleong (1989 : 137-138) mampu
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian,
perilaku tak sadar, kebiasaan, dsb. Pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk
melihat “dunia” sebagaimana yang dilihat oleh subyek penelitian, menangkap arti
fenomena dari segi pengertian subyek, dan menangkap kehidupan budaya
setempat dari pandangan dan anutan para subyek pada waktu itu. Dalam
pelaksanaan observasi, sudah tentu alat utama peneliti adalah indra visual beserta
pedoman observasi yang disesuaikan dengan tema penelitian, dan juga didukung
oleh kemampuan intrepretasi peneliti terhadap hasil “tangkapan” di lapangan.
Kemudian dalam rangka pembuktian secara otentik dan pertanggungjawaban
ilmiah dalam pelaporan hasil penelitian digunakan pula alat bantu dokumentasi
3. Telaah Dokumen
Telaah dokumen yang dimaksud adalah penggunaan data berupa tulisan
dan catatan resmi, arsip-arsip, statistik, dan tabel yang telah ada dan dikumpulkan
oleh pihak lain pada saat penelitan berlangsung. Sumber data ini tersedia dan
diperoleh dari dokumentasi baik dari pihak sekolah maupun dinas pendidikan
setempat. Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini terutama berkaitan
dengan data mutu sekolah dan data tentang tenaga dan aktifitas kepengawasan di
lingkungan dinas pendidikan setempat.
C. Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Analisis data adalah upaya untuk mencari benang merah atau kaitan antara
masalah penelitian dengan dasar teoritis. Dalam hal ini analisis data dilakukan
secara berkelanjutan sepanjang proses penelitian, dimulai semenjak pengumpulan
data dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan “lapangan” atau data
telah tercukupi.
Analisis data, menurut Paton (dalam Moleong:1989 :112) adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
suatu uraian dasar. Hal ini penting mengingat selama proses pengumpulan data,
peneliti mengalami “kebanjiran” data yang berupa dokumen, catatan lapangan,
hasil wawancara, dan juga rekaman audio. Pengorganisasian dan pengelolaan data
ini bertujuan menemukan “tema” dari fokus penelitian ini.
Dalam pelaksanaannya, analisis data, pertama, dimulai dengan menelaah
seluruh data yang telah terkumpul. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka
data mengacau pada kegiatan seperti pemilihan, pemilahan, permfokusan,
penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah sehingga
kemudian data yang disarikan memang sesuai dengan “jalur” yang dibatasi oleh
fokus penelitian. Selain itu, data kualitatif direduksi dengan beberapa cara khusus
antara lain dengan merangkum dan melakukan parafrase dan menjadikannya
bagian dari suatu pola yang lebih besar. Langkah ketiga, adalah melakukan
display data atau membuat suatu model bagi penarikan kesimpulan. Langkah
keempat, adalah melakukan verifikasi kesimpulan dari semua kegiatan pengolahan
data kualitatif seperti tersebut diatas (Emzir:2010 , Idrus:2009, Moleong: 1989)
Menurut Satori (2009:126) suatu penelitian harus mengandung nilai
terpercaya dan peneliti harus dapat mempertanggungjawabkan kebenaran hasil
penelitiannya secara ilmiah kepada khalayak. Oleh karena itu dalam penelitian ini
digunakan beberapa cara dalam mempertanggungjawabkan keabsahan data yakni :
1. Perpanjangan keikutsertaan, yaitu rentang waktu yang cukup ketika terjun
ke lapangan atau lokasi penelitian. Waktu yang cukup terutama berguna
untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang kemungkinan dapat
mengotori data atau bahkan mengaburkan dan membelokkan data dan fakta
yang ada di lapangan. Selain itu, rentang waktu yang cukup bertujuan untuk
membangun kepercayaan para informan terhadap peneliti dan membangun
kepercayaan diri peneliti sendiri.
2. Ketekunan pengamatan, yaitu menemukan segala sesuatu baik itu ciri-ciri,
unsur-unsur, kondisi, dan informasi yang relavan dengan fokus penelitian
dengan demikian, apabila perpanjangan keikutsertaan menyediakan
“wilayah” atau “arena” maka ketekunan pengamatan menyediakan
“kedalaman” dari wilayah yang dieksplorasi.
3. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang secara umum
memakai prinsip check and recheck. Ada beberapa macam triangulasi
dalam literatur penelitian kualitatif dan yang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi
sumber atau triangulasi subyek adalah cara meningkatkan kepercayaan data
penelitian dengan mencari data dari beragam sumber yang masih terkait
satu sama lain atau setidaknya sumber tersebut mempunyai pengetahuan di
bidang yang menjadi fokus penelitian. Sedangkan triangulasi teknik adalah
pengecekan derajat kepercayaan penemuan data penelitian dengan beberapa
teknik pengumpulan data misalnya membandingkan hasil wawancara
dengan hasil observasi. Cara lain yang ditempuh misalnya membandingkan
hasil wawancara di hadapan orang lain atau di tempat publik dengan
wawancara secara individual dan suasana informal ( Satori:2009,
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan lapangan dengan menggunakan wawancara dan
observasi serta pembahasan hasil penelitian maka berhasil dirumuskan
kesimpulan ini. Rumusan dalam kesimpulan ini juga berpegang pada panduan dari
unit analisis dan kajian literatur.
1. Sanggar pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS)
adalah organisasi profesi non kedinasan yang belum dapat menerapkan
wadahnya sebagai tempat untuk meningkatkan ketrampilan, keahlian dan
pengetahuan tentang kepengawasan dan penjaminan mutu di sekolah.
Sebuah wadah seperti sanggar pengawas sekolah seharusnya bisa menjadi
seperti yang dikemukakan Lave dan Wenger (1998: 23) sebagai
community of practice. Sebuah community of practice adalah sekelompok
orang yang bergairah dalam berbagi sesuatu yang mereka ketahui dengan
baik, dan mereka yang berinteraksi secara teratur untuk belajar melakukan
pekerjaan mereka dengan lebih baik. Kegiatan diskusi dan saling berbagi
informasi di dalam sanggar pengawas terjadi secara tidak teratur dan
terencana.
2. Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wadah bagi
pengawas untuk mengembangkan potensi dan kompetensinya tidak
mempunyai program teratur dan terencana dalam mengembangkan
803-813) dan Dixon (dalam Komariah dan Triatna, 2004: 57-58)
menyatakan bahwa dalam sebuah organisasi yang memerlukan keahlian
seharusnya terdapat tindakan untuk mengembangkan pengetahuan,
kebiasaan belajar, transformasi pengetahuan yang terur-menerus yang
bertujuan memuaskan stakeholders. Sementara kegiatan seperti itu tidak
terjadi di dalam sanggar pengawas. Pengawas dan sanggar pengawas lebih
banyak melakukan kegiatan yang bersifat normatif berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku. Kegiatan yang untuk kepentingan peningkatan
kompetensi tidak terdapat dalam agenda kegiatan pengawas maupun
sanggar pengawas.
3. Pengawas sekolah kurang melakukan pelayanan kepada sekolah binaan
maupun pada guru. Layanan seperti yang dimaksudkan oleh Sutisna
(1983:248), Arikunto (2004: 10), Sahertian (2008: 18) adalah layanan
yang teencana dan sistematis pada aspek teknis dan non teknis kepada
guru-guru dan petugas sekolah lainnya dalam memperbaiki pengajaran dan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya termasuk tujuan pendidikan,
bahan-bahan pengajaran, serta metode evaluasi. Pada akhirnya layanan ini
berujung, seperti yang dikemukakan Satori (2002: 27), pada keunggulan
kompetitif sebuah sekolah yang dapat dilihat dari kualitas pembelajaran
yang direfleksikan dalam hasil belajar peserta didik. Layanan yang tidak
bisa diberikan secara optimal oleh pengawas sekolah disebabkan
perbandingan jumlah pengawas dan sekolah binaan yang tidak seimbang.
misalnya seperti penataran atau semiloka. Kunjungan ke sekolah yang
dilakukan lebih banyak digunakan untuk berdiskusi dengan kepala sekolah
saja.
4. Pengawas sekolah kurang berperan dalam memandu, membina, dan
menfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah dan mutu proses
pembelajaran. Padahal menurut Sallis (2010: 182) mutu proses
pembelajaran atau guru yang mengembangkan proses pembelajaran adalah
dasar bangunan yang penting untuk menyampaikan mutu dalam
pendidikan. Charles Hoy (2000, dalam Safaruddin 2002: 47) juga
menyampaikan bahwa mutu adalah hal yang esensial sebagai bagian
dalam proses pendidikan. Proses pembelajaran adalah tujuan organisasi
pendidikan. Perbaikan proses pendidikan adalah level tertinggi dari
keunggulan yang akan dicapai. Pengawas kurang berperan karena kurang
mempunyai pengetahuan dann ketrampilan di bidang penjaminan mutu
pendidikan. Di samping itu program pengembangan sekolah dengan SSN
dan RSBI adalah program dari pusat sehingga ada keengganan dari
sekolah untuk difasiltasi, dimonitoring dan dievaluasi oleh pengawas dari
daerah.
B. Rekomendasi
1. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota sebagai lembaga tertinggi yang
mempunyai kewenangan dalam membuat kebijakan dan pengelolaan di
bidang pendidikan tingkat daerah harus mempunyai inisiatif dan good will
guna pengembangan kompetensi dan profesi pengawas sekolah. Revitalisa
dan pemberdayaan dengan cara memperkenalkan konsep community of
practice atau lebih menfungsikan sanggar pengawas sebagai organisasi
profesi. Organisasi profesi pengawas sekolah yang menerapkan
prinsip-prinsip organisasi pembelajar.
2. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota beserta jajaran pengawas harus
berinisiatif untuk membuat dan mengembangkan program atau kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan dan me-mutakhir-kan ketrampilan
dan pengetahuan pengawas sekolah yang di samping berguna untuk
meningkatkan kompetensi pengawas juga mengembangkan organizational
learning dan community of practice pada sanggar pengawas.
3. Pengawas sekolah, dengan peran dan kompetensinya, harus mempunyai
andil yang lebih intens dalam proses penjaminan mutu pendidikan dengan
menambah frekuensi visitasi ke sekolah binaan dan menggunakan lebih
banyak variasi teknik supervisi pendidikan terhadap guru, kepala sekolah,
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi . Jakarta : Rineka Cipta.
Barra, Ralph. (1986). Menerapkan Gugus Mutu : Strategi meningkatkan
Produktifitas dan Keuntungan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Bogdan, Robert C and Biklen, Sari Knopp. (1990). Riset Kualitatif untuk
Pendidikan : Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir.
Jakarta: Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII).
Danim, Sudarwan. (2005). Visi Baru Manajemen Sekolah, Dari Unit Birokrasi ke
Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.
Darjat, Dahman. (2009). Pembedayaan Pengawas Sekolah dalam Penjaminan
Mutu Pendidikan. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak
diterbitkan).
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 12 tahun 2007 ten