• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SANGGAR PENGAWAS DAN PENGAWAS SEKOLAH DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH: Suatu Studi Deskriptif Kualitatif pada Pengawas SMP di Lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN SANGGAR PENGAWAS DAN PENGAWAS SEKOLAH DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH: Suatu Studi Deskriptif Kualitatif pada Pengawas SMP di Lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRACT……… i

ABSTRAK……….. ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR TABEL……….. viii

DAFTAR GAMBAR... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ….………. B.Fokus Penelitian ………. C.Unit Analisis ………

1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah ..

2. Pengawas Sekolah ……….

3. Penjaminan Mutu Sekolah ……… D.Manfaat Penelitian ………

E. Tujuan Penelitian……….

F. Paradigma Penelitian ………...

1 17 19 20 21 23 24 26 26

BAB II PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN, SUPERVISI PENDIDIKAN DAN PENGAWAS SEKOLAH

A. Penjaminan Mutu di Bidang Pendidikan ... 1. Konsep Mutu di Bidang Pendidikan ……….. 2. Penjaminan Mutu di Sekolah ……….. B.Supervisi Pendidikan ………. C.Pengawas Sekolah dan Sanggar Pengawas Sekolah ……….. D.Telaah Terhadap Penelitian Terdahulu yang Relevan ………

31 31 35 39 58 69

BAB III METODE PENELITIAN

A.Model Penelitian ………. B.Pengumpulan Data Penelitian ………

1. Teknik Penentuan Informan ……… 2. Teknik Pengumpulan Data ……….. C.Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….

72 73 73 74 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian …..………

1. Aktifitas dan Keberadaan Sanggar Pengawas ... 2. Program Kerja Kepengawasan dan Program Khusus Peningkatan

Kompetensi Pengawas ... 3. Visitasi ke Sekolah dan Teknik Supervisi ...

80 80

(2)

4. Peran Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah ... B.Pembahasan Hasil Penelitian ………

1. Aktifitas dan Keberadaan Sanggar Pengawas ... 2. Program Kerja Kepengawasan dan Program Khusus Peningkatan

Kompetensi Pengawas ... 3. Visitasi ke Sekolah dan Teknik Supervisi ... 4. Peran Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah ...

107 111 112

118 122 123

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ……….

B. Rekomendasi………....

131 133

DAFTAR PUSTAKA……….. 136

LAMPIRAN ……….

1.Pedoman Wawancara

2.Matrik Satuan Kajian Penelitian 3.Transkrip Wawancara

4.Hasil Temuan Data dan Analisis Data 5.Lampiran Foto

142

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel

[image:3.595.119.508.245.628.2]
(4)
[image:4.595.117.508.243.629.2]

DAFTAR GAMBAR Gambar

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia di suatu

negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara tersebut.

Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan standar

dalam penyelenggaraan pendidikan. Setiap penyelenggara pendidikan

berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai standar itu agar memenuhi standar

mutu minimal sebagai modal dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan perencanaan dan

proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan rancangan

tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu ditingkatkan,

dan menghasilkan output yang paling unggul di antara sekolah-sekolah yang ada.

Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan komitmen yang tinggi

dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah tersebut. Tiap langkah

dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di sekolah memerlukan disiplin,

tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, merupakan fondasi sekaligus titik awal bagi pembangungn pendidikan

nasional. Dikatakan sebagai titik awal karena peraturan perundangan ini disusun

dan ditetapkan setelah gerakan reformasi nasional. Gerakan reformasi yang

(6)

itu juga berpengaruh pada bidang pendidikan terutama pada pengambilan

kebijakanan nasional bidang pendidikan. Undang-undang ini membawa semangat

dan paradigma baru dalam hal peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan.

Produk hukum ini juga sebagai landasan untuk mempercepat tercapainya tujuan

pendidikan nasional dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk

membuat perangkat penunjang bagi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan

di masa yang akan datang.

Landasan bagi percepatan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti

yang tertuang pada pasal 1 ayat (17) yang berbunyi ” Standar nasional pendidikan

adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum

negara Kesatuan Indonesia”. Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan

di seluruh Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal

di bidang pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa

melampaui standar yang telah ditentukan. Kemudian ketentuan hukum ini juga

bermakna amanah kepada pemerintah untuk merancang peraturan lanjutan sebagai

penjabarannya. Pada pasal 35 ayat (4) UU Sisdiknas dinyatakan bahwa,

”Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah”. Inilah yang disebut amanah yang harus dilaksanakan di

masa yang akan daatang.

Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran dari UU

Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu disusun,

(7)

(1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar

pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar

pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.

Tujuan dari diberlakukannya standar nasional pendidikan ini adalah seperti

yang tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yaitu :

“standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat”. Pasal ini mempunyai makna dan semangat bahwa penerapan

standar dalam pendidikan tidak saja untuk meningkatkan kecerdesan intelektual

peserta didik tapi juga membangun karakter bangsa. Semuanya ini akan bermuara

pada kemajuan di semua sendi kehidupan masyarakat dan menempatkan bangsa

Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Selain itu pasal ini juga

bermakna bahwa penerapan standar, dalam hal ini standar pelayanan minimal

pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan tahap awal dari proses panjang dan

komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu pendidikan.

Mengingat demikian pentingnya penjaminan mutu pendidikan bagi

kelangsungan dan kualitas generasi penerus bangsa, maka diamanatkan bahwa

setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan

penjaminan mutu pendidikan. Kemudian penjaminan mutu pendidikan yang

dimaksud adalah bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional

Pendidikan (PP No.19 / 2005 pasal 91 ayat (1) dan (2) ). Dengan demikian

penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan di semua jenjang pendidikan dan

(8)

pendidikan secara nasional sebenarnya dimulai dari tingkat satuan pendidikan

yaitu sekolah.

Dalam konteks manajemen mutu, PP No.19 tahun 2005 ini merupakan

bagian dari penerapan manajemen mutu yang diaplikasikan melalui

perangkat-perangkat seperti perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu

(quality control), jaminan mutu (quality assurance), dan peningkatan mutu

(quality improvement). Tanggung jawab manajemen mutu terdapat pada semua

tingkatan manajemen dan implementasinya melibatkan semua orang pada semua

unit dalam organisasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah

kota/kabupaten dan pada organisasi tingkat satuan pendidikan. Hal ini dipertegas

dalam pasal 91 ayat (3) bahwa penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara

bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang

memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.

Perencanaan mutu (quality planning) dalam konteks sekolah tentunya

adalah pemenuhan kebijakan mutu terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan.

Dengan demikian, sasaran dari program sekolah adalah pencapaian

indikator-indikator kunci pada setiap standar yang ditetapkan. Perencanaan mutu harus

disusun oleh segenap unsur-unsur sekolah dengan juga membangun komitmen

untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. Perencanaan mutu harus pula

dikemas dan disusun secara sistematis mulai dari apa yang telah dicapai dan apa

yang akan dicapai sesuai dengan target yang ditetukan secara rasional. Segala

(9)

semuanya berada dalam kerangka waktu yang jelas. Jadi ada kesesuaian antara

apa yang akan dicapai dan kapan hal itu tercapai.

Sementara itu dalam melaksanankan pengendalian mutu (quality control)

dalam PP No.19 tahun 2005 dijelaskan bahwa dalam rangka pengendalian mutu

akan dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/kota, organisasi tingkat satuan pendidikan, Badan Standar Nasional

Pendidikan (BNSP), dan Badan Akreditasi Nasional (BAN).

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 juga menjelaskan tentang

penjaminan mutu pendidikan. Proses penjaminan mutu (quality assurance)

dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dan telah dicapai dan

menentukan prioritas-prioritas peningkatan mutu, memberikan bahan untuk

pengambilan keputusan berbasis data, dan membantu membangun budaya

peningkatan mutu berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib melakukan

penjaminan mutu pendidikan melalui pemenuhan 8 standar pendidikan secara

konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang

berkepentingan memperoleh kepuasan.

Penjaminan mutu atau mutu bukanlah suatu tujuan akan tetapi suatu proses

yang dinamis yang berlangsung terus menerus. Sebuah proses yang dalam dunia

manufaktur atau bisnis, harus menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi

yang ditetapkan sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu, proses produksi

yang baik diletakkan dan dilekatkan pada tanggung jawab pribadi pelaku

produksi. Proses produksi tidak begitu memerlukan kendali mutu (QC : quality

(10)

Akan tetapi sebenarnya inspeksi juga mempunyai peranan dalam proses

penjaminan mutu (Sallis, 2010:59), namun dalam konteks yang berbeda. Proses

yang panjang dan terus-menerus tentu sangat membutuhkan suatu unsur yang

berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol. Oleh karena itu maka fungsi

pengawasan sangat vital dalam kerangka pemantauan proses yang terjadi.

Dunia pendidikan juga mengenal fungsi pengawasan yaitu yang disebut

pengawas sekolah. Pengawas sekolah merupakan pegawai negeri sipil yang diberi

tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang

untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan

penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan

pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah (Kepmendikbud RI Nomor

020/U/1998 tanggal 6 Pebruari 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan

Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya). Pengawas sekolah juga

berfungsi sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator,

kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat

dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan

pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja

Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan “Pengawas

sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: mengawasi, memantau, mengolah dan

melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan pada

(11)

Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian

mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering dikesampingkan

peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak

jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi

kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar

mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah.

Keadaan di lapangan juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja

pengawas satuan pendidikan di Indonesia. Hal ini seperti yang terungkap dari

pengalaman penelitian dari Adaski (2010: 48-53) yang menyatakan bahwa saat ini

kinerja pengawas menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Berdasarkan

pengalaman Adaski sewaktu memimpin sebuah sekolah swasta di Jawa Barat,

masih ada tindakan tidak terpuji oknum pengawas dengan cara ”nangok” atau

meminta sejumlah uang kepada sekolah swasta yang baru buka. Tindakan seperti

jelas sangat disesalkan mengingat seharusnya pengawas bertugas memberikan

arahan dan binaan yang baik pada sekolah. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena

beberapa faktor, diantaranya :

1. Rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau

memperpanjang usia pensiun bagi birokrat

2. Masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu.

3. Belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas

4. Dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana

(12)

Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak

pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu

menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu

dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari

pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang

kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa

mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan

oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya

keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi

pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat

dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program

yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru.

Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan

inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan

memahaminya.

Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata

pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas

pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan tindak lanjut

perbaikan mutu belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi

untuk melakukan perbaikan mutu. Target puncak supervisi adalah berkembangnya

proses perbaikan mutu secara berkelanjutan; meningkatnya kebiasaan

melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, dan membiasakan tiap

(13)

pengaruh pelaksanaan tugas profesi pengawas terhadap hasil belajar siswa. Pada

akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya

yang selalu menjunjung target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan.

Kondisi seperti ini menggerakkan pihak, yang berkepentingan terhadap

peningkatan mutu pendidikan, untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka

meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Sebuah temuan dari survai yang

dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan

Nasional menunjukkan bahwa pengawas masih memiliki kelemahan dalam

dimensi kompetensi supervisi manajerial dan supervisi akademik serta penelitian

dan pengembangan (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008: 1). Hal ini seperti

[image:13.595.111.511.238.671.2]

yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1

Tingkat Penguasaan Kompetensi Dasar Pengawas Sekolah

No. Unsur Kompetensi TK / SD N=77 SMP N=70 SMA/K N=295 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kepribadian Sosial Supervisi Manajerial Supervisi Akademik Evaluasi Pendidikan

Penelitian dan Pengembangan

48,72 43,60 39,68 35,33 42,42 36,05 49,56 46,10 37,42 36,94 43,80 42,00 51,24 44,70 37,18 36,40 42,84 37,80

Kemudian ada banyak pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh

(14)

tetapi pelatihan dan sosialisasi yang dilaksanakan selama ini dipandang kurang

memadai untuk menjangkau keseluruhan pengawas dalam waktu yang relatif

singkat. Selama ini, pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan karena waktunya

yang singkat maka intensitas dan penguasaan materinya kurang optimal

Berdasarkan kenyataan ini maka upaya peningkatan kompetensi pengawas harus

dilakukan dengan strategi yang lain yang lebih inovatif. Salah satu strategi yang

dapat ditempuh dengan melibatkan lebih banyak pengawas, dalam waktu yang

singkat dan pada saat yang bersamaan serta sebaran wilayah yang luas, adalah

dengan memanfaatkan forum Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) dan

Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wahana belajar bersama.

Forum dan wahana belajar ini diharapkan akan lebih efisien dan efektif mengingat

para pengawas belajar dalam suasana kesejawatan yang akrab namun akademis.

Para pengawas diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman

guna bersama-sama meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka di samping

pula untuk memperkuat komitmen mereka untuk meningkatkan mutu pendidikan

di daerah masing-masing.

Pengawas sekolah pun sekarang telah menempati posisi penting dalam

dunia pendidikan dengan predikat sebagai profesi yakni profesi pengawas

sekolah. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka menjalankan profesi

pengawas adalah pembinaan sekolah secara menyeluruh dan juga pengembangan

profesi kepengawasan sendiri.

Peran penting ini akan semakin terlihat apabila disandingkan dengan data

(15)

di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Analisis Data Guru 2009 yang berbasis pada

Sistem Informasi Manajemen Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan

(SIM NUPTK) per Juni 2009 didapatkan bahwa Jawa Timur memilik 383.881

guru dari semua jenjang mulai dari TK sampai SMA baik yang PNS maupun

Non-PNS. Jumlah ini adalah yang tertinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia

atau sekitar 14,72% dari total guru di Indonesia yang berjumlah 2.607.311 orang

guru. Berdasarkan sumber data yang sama dapat pula diketahui jumlah siswa yang

terdapat di Jawa Timur yang berjumlah sekitar 5.866.089 siswa dari semua

jenjang mulai dari TK sampai SMA di sekolah negeri dan swasta. Ini berarti yang

tertinggi di Indonesia atau sekitar 14,08 % dari total siswa di seluruh Indonesia

yang berjumlah 41.673.552 siswa per Juni 2009. Seluruh siswa di Jawa Timur ini

teralokasikan pada sekitar 233.496 rombongan belajar atau kelas. Sementara itu,

Jawa timur juga memilik sekitar 40.132 sekolah dari semua jenjang, negeri dan

swasta. Ini juga tertinggi di Indonesia dengan sekitar 16,67% dari total sekolah di

Indonesai yang berjumlah 240.678 unit sekolah. Suatu jumlah yang yang fantastis

dan sangat perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan terutama dari pengawas

sekolah.

Data di atas adalah sebagai obyek binaan dari pengawas sekolah. Obyek

atau sasaran yang harus ditangani, dibina dan ditingkatkan mutunya. Peningkatan

mutu masih menjadi isu yang krusial walaupun Jawa Timur memiliki indeks mutu

pendidikan sebesar 4,7 yang berarti tertinggi di Indonesia (Dirjen PMPTK: 2009).

Sementara itu, di lain pihak, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh

(16)

Timur memiliki 350 orang pengawas rumpun mata pelajaran dan tersebar secara

tidak merata pada 38 kabupaten dan kota. Kemudian untuk pengawas satuan

pendidikan, terdapat 2.880 orang pengawas yang bertugas pada semua jenjang

pendidikan dan semua bentuk pendidikan, in formal, formal dan non formal.

Sungguh suatu perbandingan yang timpang apabila dikaitkan dengan jumlah

sekolah yang sekitar 40.132 seperti diatas.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar

Pengawas Sekolah/Madrasah, menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari :

1. Pengawas Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA)

2. Pengawas Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).

3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs)

4. Pengawas Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam

Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa,

Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya).

5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan

(SMK/MAK) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan

TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni Budaya, Teknik dan

Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata,

Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan).

Pengawas sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas

mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas

(17)

melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan

jumlah sekolah yang di bina yang diuraikan sebagai berikut :

1. Pengawas Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina

paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah.

2. Pengawas Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling

sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,

3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan

membina paling sedikit 7 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,

4. Pengawas Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina

paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,

5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan

membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,

6. Pengawas Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina

paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah.

Berkaitan dengan rekrutmen dan kualifikasi standar, untuk pengawas

Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal ( TK/RA ) dan Sekolah Dasar/Madrasah

Ibtidaiyah ( SD/MI ) minimum S1 atau D-4 kependidikan dari perguruan tinggi

terakreditasi. Sebelumnya berpredikat sebagai guru dengan sertifikat pendidik dan

berpengalaman sedikitnya 8 tahun atau 4 tahun sebagai kepala TK atau SD dan

berpangkat minimum penata atau III/c. Sedangkan untuk pengawas SMP, SMA

dan SMK minimum berpendidikan magister atau S2 kependidikan dengan

berbasis sarjana (S1) dengan rumpun mata pelajaran yang relevan, dari perguruan

(18)

pendidik dan mempunyai pengalaman minimum 8 tahun sebagai guru dalam

rumpun mata pelajaran yang relevan di jenjang tersebut, atau 4 tahun sebagai

kepala sekolah pada jenjang tersebut.

Selanjutnya, memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan

yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan

fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; dan lulus seleksi

pengawas satuan pendidikan.

Saat ini seorang pengawas sekolah harus mempunyai 6 (enam) kompetensi

dasar sesuai dengan Permendiknas No.12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas

Sekolah/Madrasah yakni :

1. Kompetensi supervisi akademik yaitu kemampuan pengawas sekolah

dalam melaksanakan pengawasan akademik yakni menilai dan membina

guru dalam rangka mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang

dilaksanakannya, agar berdampak pada kualitas hasil belajar siswa. Oleh

karena itu sasaran supervisi akademik adalah guru dalam proses

pembelajaran, yang terdiri dari materi pokok dalam proses pembelajaran,

penyusunan silabus dan RPP, pemilihan strategi/metode/teknik

pembelajaran, penggunaan media dan teknologi informasi dalam

pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran serta penelitian

tindakan kelas.

2. Kompetensi supervisi manajerial yaitu supervisi yang berkenaan dengan

aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan

(19)

pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia

(SDM) kependidikan, dan sumberdaya lainnya.

3. Kompetensi evaluasi pendidikan yakni kemampuan untuk menyusun

kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dalam bidang

pengembangan serta menilai kinerja kepala sekolah, guru, dan staf sekolah

dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya untuk

meningkatkan mutu pembelajaran.

4. Kompetensi penelitian dan pengembangan yakni kemampuan dalam

menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam

pendidikan serta mampu menentukan masalah kepengawasan yang penting

untuk diteliti baik untuk tugas kepengawasan maupun untuk

pengembangan karirnya sebagai pengawas.

5. Kompetensi kepribadian dan sosial yakni kemampuan dalam pengenalan

diri, pengembangan diri, dan memberdayakan diri serta kemampuan dalam

menjalin komunikasi yang efektif guna menumbuhkan peran serta dan

kerjasama dengan pihak lain.

6. Kompetensi penelitian tindakan sekolah merupakan pengkhususan dan

pendalaman lebih lanjut dari kompetensi penelitian dan pengembangan.

Salah satu peran yang diharapkan dari seorang pengawas adalah menjadi

agen perubahan (agent of change). Untuk melaksanakan peran tersebut,

akan lebih efektif apabila mereka menguasai metode action research

(20)

memiliki kemampuan metodologis untuk melakukan penelitian, sekaligus

mengupayakan tindakan untuk memperbaiki sekolah binaannya.

Berbekal 6 (enam) kompetensi dasar inilah diharapkan seorang pengawas

bisa tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional. Dengan tampil

sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional maka tujuan selanjutnya

adalah dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu sekolah. Mutu

sekolah dalam hal ini adalah baik mutu proses belajar mengajar, mutu lulusan,

kinerja dan kompetensi guru, maupun manajemen pengelolaan kelas dan sekolah

yang dilaksanakan oleh guru dan kepala sekolah.

Peningkatan mutu pengawas tidak berhenti dengan penetapan standar

kompetensi pengawas saja. Standar mutu pengawas dengan penguasaan

kompetensi minimal akan sulit dicapai apabila dilaksanakan secara invidual.

Kalaupun terjadi peningkatan mutu pengawas maka yang terjadi adalah perbedaan

pencapaian standar kompetensi yang beragam diantara pengawas dan akan

memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai standar mutu yang

memadai. Oleh karena itu pemerintah membentuk semacam organisasi profesi

pengawas yang bersifat non kedinasan. Organisasi ini dibentuk untuk mewadahi

pengawas dalam rangka untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian

kepengawasan di antara rekan sejawat mereka sendiri. Organisasi itu bernama

Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) atau sering disebut dengan

sanggar pengawas sekolah. Sanggar ini juga sama dengan sanggar lainnya yang

dibentuk untuk guru mata pelajaran tertentu yang dikenal dengan Musyarawah

(21)

atau guru kelas. Di dalam organisasi atau wadah ini diharapkan terjadi interaksi

antar anggota yang seprofesi dan terjadi dalam suasana kesejawatan yang akrab

antar anggota. Interaksi yang terjadi juga berupa saling berbagi informasi, saling

berbagi pengalaman dan pengetahuan dan saling memberi solusi terhadap

permasalahan yang sedang dihadapi.

B. Fokus Penelitian

Di dalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus

(Moleong, 1989:68) atau dengan istilah yang lengkap adalah fokus penelitian

(Idrus, 2009: 48). Fokus penelitian ditetapkan karena begitu banyak fakta yang

ingin diketahui dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak

temuan lapangan yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih

jauh. Namun demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya

agar penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah

yang disebut dengan fokus penelitian. Penetapan batas area penelitian ini untuk

mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan

menganalisis data (Satori dan Komariah, 2009: 30).

Rincian mengenai maksud dari penetapan fokus penelitian adalah seperti

yang dinyatakan oleh Moleong (1989: 69) bahwa, pertama, fokus penelitian dapat

membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di luar penelitian.

Kedua, penetapan fokus penelitian berfungsi untuk memenuhi kriteria

inklusi-eksklusi atau memasukkan – mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari

lapangan. Dengan panduan dan arahan dari fokus penelitian maka peneliti dapat

(22)

karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke kumpulan data yang akan

dianalisis di tahap selanjutnya.

Kemudian, dari penetapan fokus penelitian, akan “dipecah” atau diuraikan

lagi menjadi pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian dimaksudkan untuk

lebih mengoperasionalkan fokus penelitian (Idrus. 2009: 48). Operasionalisasi

fokus penelitian nantinya akan membantu peneliti dalam mempertajam arah

penelitiannya. Pertanyaan penelitian ini juga akan membantu peneliti dalam

membuat pedoman wawancara guna mengumpulkan data dari lapangan,

menentukan aspek data dan informasi yang perlu dikumpulkan, dan membantu

melakukan koding pada saat analisis data.

Sebagai ilustrasi untuk memperjelas penetapan fokus penelitian dapat

dinyatakan disini bahwa pengawas dengan 6 (enam) kompetensi dasar diharapkan

bisa tampil sebagai pengawas sekolah yang berkompeten, profesional dan

bermartabat. Dalam rangka lebih meningkatkan standar mutu pengawas maka

pemerintah membentuk sebuah wadah sebagai sarana untuk meningkatkan

keprofesionalan kompetensi pengawas sekolah. Wadah ini berupa sanggar

pengawas yang dikenal juga dengan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Salah

satu tujuan dari pembentukan sanggar pengawas adalah untuk mendiskusikan

permasalahan yang dihadapi dan mencari pemecahannya kemudian

mengaplikasikannya kepada sekolah binaan serta sebagai sarana saling berbagi

informasi dan pengalaman dalam pembinaan sekolah (Depdikbud, 1989: 7).

Dengan demikian pengawas akan memberikan kontribusi yang besar kepada mutu

(23)

Saat ini dengan adanya Standar Nasional Pendidikan dan akreditasi

sekolah, ada penjenjangan mutu sekolah berdasarkan pencapaian 8 standar

nasional pendidikan. Ada sekolah dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM),

Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI),

dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pada sekolah dengan predikat SSN dan

RSBI terdapat pernyataan mutu dan juga program peningkatan dan penjaminan

mutu pendidikan yang tertuang dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS).

Berdasarkan hal tersebut diatas maka fokus penelitian ini akan mencoba

mengungkapkan bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas serta

peran sanggar pengawas sekolah, dalam hal ini Musyawarah Kerja Pengawas

Sekolah (MKPS) terhadap kinerja dan kompetensi pengawas sekolah. Kemudian

dari hasil interaksi dan belajar mandiri dengan sesama pengawas akan ditelaah

pula bagaimana peran pengawas sekolah tersebut dalam proses penjaminan mutu

di sekolah binaannya.

Fokus penelitian diatas apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan

penelitian maka seperti di bawah ini :

1. Bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas sekolah di

lingkungan Dinas Pendidikan Lumajang, Jawa Timur?

2. apakah sanggar pengawas tersebut mempunyai program atau kegiatan

untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah?

3. Bagaimanakah kinerja pengawas sekolah terutama berkaitan dengan

visitasi dan teknik supervisi yang digunakan dalam pembinaan pada

(24)

4. bagaimanakah peran pengawas sekolah dalam proses penjaminan mutu

pendidikan di sekolah binaannya?

C. Unit Analisis

Satuan kajian (unit of analysis) ditetapkan dalam penelitian kualitatif,

karena berkaitan dengan keputusan penentuan sampel dan strategi sampling serta

besarnya sampel yang akan diambil. Kadang kala satuan kajian itu bersifat

perorangan dan bisa pula bersifat kelompok. Apabila sudah ditetapkan maka

pengumpulan data dipusatkan di “sekitarnya”. Data yang dikumpulkan adalah apa

yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana

sikapnya, dan lainnya.

Selanjutnya dari penetapan satuan kajian dikembangkan pula domain dan

sub domainnya. Pengembangan ini disesuaikan dengan struktur yang dibangun

atas bantuan kajian literatur dan pemahaman awal peneliti terhadap fokus

penelitian. Dengan menentukan domain dan sub domain, maka akan memudahkan

peneliti dalam menentukan batas-batas yang harus dieksplorasi di lapangan dan

penelitian akan lebih terfokus.

Domain dalam unit analisis ini adalah kepengawasan dan mutu sekolah.

Selanjutnya dari domain ini dipecah dan dipersempit menjadi sub domain dan

komponensial agar lebih terfokus. Sub domain dan komponensial itu antara lain

adalah :

1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) adalah wadah bagi para

(25)

kedinasan. Pada khasanah pendidikan di daerah, karena mengacu pada tempat

atau wadah bagi orang yang berkeahlian khusus, seperti pengawas, maka biasanya

forum ini disebut juga dengan sanggar pengawas. Forum ini merupakan tempat

bagi pengawas untuk menyatukan pendapat, menyeragamkan pola kerja, dan

menampung segala permasalahan kepengawasan yang perlu dipecahkan bersama.

Berdasarkan petunjuk penyelenggaran MKPS (Depdikbud:1998), wadah

ini telah mempunyai struktur organisasi dan jaringan, serta tujuan dan fungsi yang

jelas, namun sebagai ujung tombak dari orgnisasi ini adalah MKPS yang berada di

tingkat kabupaten dan kota.

Dalam struktur organisasi pada dinas pendidikan kabupaten atau kota,

posisi sanggar pengawas hampir sama dengan sanggar-sanggar kependidikan

lainnya. Sanggar itu antara lain sanggar untuk guru mata pelajaran baik pada

sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas, sanggar untuk kepala

sekolah dan ada pula sanggar untuk guru kelas bagi sekolah dasar. Sanggar atau

forum ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi para guru dan kepala sekolah untuk

meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Peningkatan kompetensi dan kinerja

anggota sanggar bisa dilakukan dengan cara saling berbagi antara anggota yang

senior dengan anggota yang junior. Selain itu juga dengan cara berbagi

pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan, misalnya pembelajaran atau

penelitian tindakan kelas.

Oleh karena itu aspek-aspek yang akan digali adalah (i) bagaimana

struktur sanggar pengawas, (ii) bagaimana mekanisme dan interaksi yang terjadi

(26)

kompetensi pengawas melalui program yang dirancang melalui sanggar

pengawas.

2. Pengawas Sekolah

Komponen yang akan dieksplorasi pada sub domain ini adalah : (i)

bagaimana kinerja dan standar kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan

tugas pokok dan fungsinya, dan (ii) bagaimana impact kinerja pengawas sekolah

tersebut terhadap mutu sekolah binaanya.

Pengawas sekolah dalam hal ini adalah yang berdasarkan pada PP No.16

tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118 tahun 1996 tentang Jabatan Fungsional

Pengawas dan Angka Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0322/O/1996 dan No.36 tahun 1996, dan

Kep.Mendikbud No.020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan

Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, serta Permendiknas No. 19 tahun

2005 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas. Dalam

peraturan itu dapat disarikan bahwa pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil

yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang

berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan

melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan

administrasi.

Pengawasan dan pembinaan pendidikan dalam hal ini pada konteks yang

seluas-luasnya bukan hanya dalam hal pengajaran dan administrasi kependidikan

(27)

berarti pengawas sekolah juga harus mampu menjadi penggerak dan pemicu bagi

pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi guru dengan jalan memberi

asistensi dan fasilitasi bagi guru dalam mengembangkan dan meningkatkan

kompetensinya.

Kiprah pengawas dalam hal pembinaan pengajaran dan pengembangan

profesi guru secara tidak langsung juga berpengaruh pada pengembangan dan

peningkatan profesi pengawas itu sendiri. Pengawas sebagai profesi sebagaimana

profesi yang ada lainnya, juga memerlukan perhatian untuk dikembangkan dan

ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan PP No.38 tahun 1992 tentang Tenaga

Kependidikan pasal 61 ayat (1) yang menyatakan bahwa tenaga kependidikan

dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau

mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan

kesejahteraan tenaga kependidikan demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional

yang optimal.

3. Penjaminan Mutu Sekolah

Ada banyak pendapat tentang mutu tetapi mutu dalam dunia pendidikan,

dan dalam hal ini pada tingkat satuan pendidikan, bertumpu pada dua hal pokok

yaitu mutu pembelajaran dan mutu guru (Sallis, 2010: 86, Hadis dan Nurhayati,

2010: 4). Dua komponen inilah yang dalam dunia pendidikan disebut sebagai

pelanggan internal pendidikan. Disebut sebagai pelanggan karena pendidikan

dipandang sebagai lembaga atau unit usaha yang bergerak pada bidang layanan

(28)

secara terpisah, bagi sekolah untuk bisa dikatakan sebagai sekolah yang bermutu

atau tidak.

Berkaitan dengan sistem penjaminan mutu di sekolah maka berkaitan pula

dengan berbagai sub-sistem yang membentuk sekolah dan proses yang terjadi di

sekolah. Sub-sistem di dalam sekolah dalam hal ini adalah seperti yang termaktub

dalam 8 standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan dalam hal ini

bisa dikatakan sebagai komponen internal sekolah. Kemudian ada pula komponen

yang berada di luar sekolah yang juga memberikan kontribusi sekaligus juga

sebagai sasaran dari sekolah yaitu para stakeholder pendidikan. Para pemangku

kepentingan bidang pendidikan antara lain para orangtua siswa, dunia industri,

pendidikan lanjutan, dan masyarakat sekitarnya. Dalam konteks penjaminan mutu

pendidikan yang dilihat dari sebuah institusi sekolah adalah bagaimana sebuah

sekolah tersebut melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pencapaian target

mutu sehingga dapat memuaskan semua pihak.Semua pihak dalam hal ini adalah

semua pelanggan internal dan pelanggan eksternal sekolah.

D. Manfaat Penelitian

Sanggar pengawas sekolah dapat dianggap sebagai organisasi profesi.

Sebagai sebuah organisasi profesi, di dalamnya akan terjadi saling tukat menukar

pengetahuan dan informasi yang berkaitan dan menunjang profesinya. Prinsip

inipun sesuai dengan apa yang disebut community of practice. Konsep ini

mengacu pada sebuah perkumpulan bagi orang-orang yang mempunyai keahlian

dan ketrampilan yang spesifik dan kemudian bersepakat untuk saling berbagi

(29)

mereka di hadapan publik pengguna jasa keahlian mereka, akan semakin kokoh

dan mantap serta dapat mengikuti tuntutan pengguna (Wenger dalam

Organization 2000 7 : 225 - 245). Di dalam dunia pendidikan juga dikenal

dengan istilah Learning Organization yang menurut McGill (dalam Komariah,

2004: 58) bermakna organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan

fasilitas belajar bagi semua anggotanya sehingga akan terjadi tranformasi secara

terus dengan sendirinya sebagai cara untuk mengembangkan diri dan dalam

rangka mengembangkan efektifitas organisasi. Fiol dan Lyles (1985: 803-813)

juga menyatakan bahwa organizational learning adalah organisasi yang yang

selalu memperbaiki tindakan-tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang

lebih luas. Berdasarkan paparan diatas, beberapa hal yang dapat disumbangkan

penelitian ini antara lain adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini hendak mengungkapkan apakah aktifitas

seperti yang dikemukakan oleh McGill dan Fiol telah terjadi pada sanggar

pengawas yang dalam hal ini adalah juga sebuah organisasi profesi.

Aktifitas yang dimaksud adalah berbagi informasi, pengetahuan dan

pengalaman diantara para anggotanya.

2. Berkaitan dengan kinerja pengawas sekolah, penelitian ini hendak melihat

apakah kinerja pengawas sekolah dalam melakukan supervisi seperti apa

yang diungkapkan Burton (dalam Purwanto, 2008 : 27) dan Arikunto

(2004 :2 ) dapat terjadi di lapangan atau dalam kenyataan di masyarakat

(30)

3. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam

memberikan gambaran menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang

pendidikan yang terkait, tentang bagaimana peran dan kinerja pengawas

sekolah terhadap mutu sekolah binaanya. Selain itu juga akan dipaparkan

pula bagaimana peran sanggar pengawas, dalam hal ini Kelompok Kerja

Pengawas Sekolah, terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja

pengawas sekolah. Peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas

akan berujung pada peningkatan mutu sekolah dan pendidikan di daerah

bersangkutan.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran dan

pengaruh sebuah sanggar pengawas dalam hal meningkatkan kompetensi dan

kinerja anggotanya melalui media belajar mandiri antar anggota. Di samping itu

secara mendasar penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana

peran pengawas sekolah baik terhadap kegiatan peningkatan mutu pembelajaran

maupun pada proses penjaminan mutu di sekolah.

F. Paradigma Penelitian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan

kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar

kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui

model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma.

(31)

kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau

proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu

distruktur (bagian dan hubungan) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi

(perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn (1962:

67, dalam

http://www.scribd.com/doc/37913447/paradigma-penelitian-kualitatif-2) mendefinisikan „paradigma ilmiah‟ sebagai contoh yang diterima tentang

praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan

instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya

muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Penelitian yang

pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama berkomitmen untuk

menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama.

Berdasarkan definisi di atas Baker (1992: 23, dalam

http://sambasalim.com/metode-penelitian-/paradigma-penelitian.html)

mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis)

yang melakukan dua hal: (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2)

bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa

mencapai tujuan ilmiah.

Dengan memakai landasan seperti diatas maka dalam penelitian ini

(32)
[image:32.595.75.563.96.622.2]

Gambar 1.1 : Paradigma penelitian

Berdasarkan gambar di atas dapat dipaparkan bahwa, sebagai organisasi

atau wadah bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang

spesifik, di dalam sanggar pengawas seharusnya terdapat aktifitas atau program

yang dapat menunjang bahkan meningkatkan kemampuan diri maupun kinerjanya.

Peningkatan kemampuan diri sendiri ini bisa berarti secara individual seorang

anggota organisasi ini bisa lebih baik, lebih luas wawasannya, dan menjadi pribadi

yang lebih terbuka. Di samping itu anggota, peningkatan kemampuan juga bisa

berarti peningkatan ketrampilan dalam bidangnya baik meningkat sampai pada

tingkatan teknis, taktis maupun pada level strategis. Kegiatan-kegiatan itu dapat

berupa kegiatan belajar mandiri, saling berbagi pengetahuan yang baru, saling

berbagi pengalaman, dan secara lebih luas terdapat sinkronisasi pola kerja. P R O S E S Sanggar Pengawas

 Proses belajar mandiri

 Sharing Knowledge

 Berbagi Pengalaman

 Sinkronisasi Pola Kerja

Pengawas yang berkompeten

 Secara Profesional

 Secara Individual

 Kepala Sekolah  Guru

 Perencanaan Mutu

 Pelak. Mutu  Pencapaian

 Sekolah bermutu

(33)

Di dalam sanggar pengawas sekolah seharusnya juga terdapat kegiatan

atau program seperti yang tersebut di atas. Dengan adanya kegiatan seperti itu,

tentunya akan semakin meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Peningkatan

kompetensi bisa terjadi baik pada kompetensi secara profesional maupun secara

pribadi. Di dalam dunia kepengawasan terdapat 6 (enam) kompetensi dasar

pengawas yang harus dikuasai oleh seorang pengawas. Kompetensi kepribadian

berkaitan dengan kemampuan pribadi pengawas sekolah dalam membina

hubungan yang harmonis dengan sesama maupun dengan subyek binaanya yaitu

guru dan kepala sekolah. Selain itu juga berkaitan dengan kecakapan dalam

melakukan komunikasi yang efektif serta keterbukaan dalam wawasan. Sementara

kompetensi profesional mencakup kompetensi manajerial, akademis, penelitian

dan pengembangan, evalauasi, dan penelitian tindakan sekolah.

Pengawas yang berkompeten tentunya akan mempengaruhi kinerjanya

dalam kepengawasan dan pembinaan terhadap sekolah binaanya. Hal ini seperti

yang dinyatakan oleh Desti Irja (2008: 66-72) dalam penelitiannya tentang

hubungan antara motivasi kerja dan kinerja pengawas sekolah. Dalam hal ini

motivasi kerja adalah salah satu aspek dalam dimensi kompetensi kepribadian

yang harus dimiliki seorang pengawas. Dalam penelitian tersebut disimpulkan

bahwa motivasi kerja berhubungan positif dengan kinerja pengawas atau

efektivitas kerja pengawas sekolah. Namun demikian faktor motivasi kerja saja

tidak cukup untuk meningkatkan kinerja pengawas sekolah, tapi faktor

pendidikan, ketrampilan, dan kepemimpinan organisasi perlu juga diperhatikan.

(34)

manajerial, akademis, evaluasi, dan penelitian dan pengembangan serta penelitian

tindakan sekolah.

Pengawas yang berkompeten dan berkinerja tinggi akan mempengaruhi

mutu kepala sekolah dan mutu guru yang dibinanya. Pengawas ini juga akan

terlibat dan memfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah binaanya yang

terdiri atas kegiatan perencanaan mutu sertga pelaksanaan dan pencapaian target

mutu.

Hasil dari semua proses dan keterlibatan aktif dari pengawas sekolah

terhadap sekolah binaannya adalah terwujudnya sekolah yang bermutu. Di dalam

sekolah yang bermutu terdapatn komponen siswa yang bermutu, proses

pembelajaran yang bermutu serta lulusan yang bermutu. Puncaknya adalah

naiknya kualitas pendidikan setidaknya di daerah tempat pengawas sekolah

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Model Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau ucapan,

kata-kata, dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti. Data yang terkumpul

berbentuk kata-kata atau gambar yang meliputi transkrip wawancara, catatan

lapangan, foto, rekaman audio, dokumen pribadi, memo dan catatan atau

dokumen lainnya yang mendukung penelitian. Dalam usaha memperoleh

pemahaman, maka peneliti tidak mereduksi narasi dan data lain menjadi lambang

angka dan berusaha menganalisis data yang ada dengan segala kekayaan

maknanya sedekat mungkin dengan kenyataan.

Namun demikian bukan berarti bahwa penelitian ini mendeskripsikan

keadaan atau fenomena sekedar laporan kejadian tanpa suatu intepretasi ilmiah.

Penelitian ini, seperti yang diungkapkan oleh Frankel (1998:379-402), Bogdan

and Biklen (1982:27-29), dalam Satori (2009: 27-32) memiliki karakteristik, yang

secara ringkas antara lain :

1. Penelitian kualitatif memiliki latar (setting) alamiah (natural) dengan

sumber data langsung dari informannya, dan instrumen penelitiannya

adalah peneliti sendiri. Pengumpulan data dengan penyebaran angket akan

menjurus pada reduksi data pada angka-angka dan statistik. Sementara

data tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial dan konteks pada saat

(36)

dilaksanakan pada suasana yang alami, berjalan apa adanya sehingga bisa

ditangkap konteks dan bahkan gestures secara langsung dari para sumber

informasi. Dan dengan demikian pula maka, peneliti bertindak sebagai alat

atau instrumen dalam hal memaknai segala sesuatu yang ditampilkan dan

diucapkan oleh informan.

2. Penelitian bersifat deskriptif, yang berarti narasi yang dihasilkan

menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu fenomena itu terjadi.

3. Penelitian ini menjadikan fokus penelitian sebagai batas dari pembahasan.

Fokus penelitian kemudian dipecah lagi menjadi unit analisis, kategori,

dan sub kategori yang dapat dijadikan patokan peneliti dalam mencari,

menggali dan menganalisis data.

4. Desain awal penelitian ini bersifat tentatif dan verifikatif artinya desain

bisa berubah sesuai dengan temuan data di lapangan.

5. Penelitian kualitatif ini menggunakan kriteria khusus untuk ukuran

keabsahan data.

B. Pengumpulan Data Penelitian 1. Teknik Penentuan Informan

Untuk mendapatkan data, peneliti membutuhkan data dari informan, yang

menurut Koentjaraningrat (1991 : 130) adalah orang yang diwawancarai untuk

mendapatkan keterangan tentang suatu hal yang dia kuasai atau ketahui

sepenuhnya. Oleh karena itu, untuk memilih informan yang baik, peneliti

(37)

 Enkultusari penuh

Arti sebenarnya adalah informan adalah orang yang tahu benar tentang budaya setempat. Dalam konteks penelitian ini adalah orang yang mengetahui secara mendalam tentang kepecintaalaman  Keterlibatan langsung

Maksudnya adalah informan dalam penelitian merupakan orang yang tinggal atau berada di lokasi penelitian dan masih menjalankan tradisi atau budaya setempat.

 Waktu yang cukup

Dalam memilih calon informan maka harus pula mempertimbankan bahwa informan memiliki waktu yang cukup untuk wawancara.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif usaha yang dilakukan peneliti adalah untuk

mendapatkan gambaran yang holistik tentang suatu fakta atau fenomena. Dalam

rangka mendapatkan gambaran yang menyeluruh itu peneliti akan mengumpulkan

data dengan proses sbb :

1. Wawancara

Wawancara bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan

manusia dalam masyarakat serta pendirian-pendirian mereka. Wawancara adalah

kegiatan bertanya pada “obyek penelitan” tentang suatu pokok permasalahan yang

sangat dia pahami yang juga menjadi tema dari penelitian. Agar wawancara bisa

menghasilkan data yang sesuai dengan tema penelitian dan agar wawancara tidak

berlangsung tanpa arah yang jelas, dalam penelitian kualitatif digunakan alat

bantu yaitu pedoman wawancara. Di dalam pedoman wawancara berisi daftar

pertanyaan yang detail untuk menggali lebih luas dan mendalam tentang suatu hal

yang sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tema penelitian. Namun demikian

pedoman wawancara bukanlah sebuah harga mati yang selalu digunakan selama

(38)

berubah disesuaikan dengan kebutuhan data, karakteristik informan, dan

kenyataan di lapangan lainnya yang tidak menentu dan tidak diketahui peneliti

sebelumnya.

Teknik bertanya dalam wawancara ini adalah teknik wawancara tak

berencana (unstandardized interview) dengan mendasarkan diri pada metode

wawancara yang berstruktur (structured interview). Maksudnya adalah wawancara

yang diberikan pada informan tidak dilakukan sesuai benar dengan daftar

pertanyaan dengan urutan dan susunan kata-kata yang tetap. Daftar pertanyaan itu

dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dengan bahasa sendiri yang tidak kaku,

bisa diterima dengan baik oleh informan sedemikian rupa sehingga sang informan

tidak merasa kalau sedang diwawancarai.

Sebelum seorang peneliti melakukan wawancara, maka ada beberapa hal

mengenai persipan sebelum wawancara yakni :

i) Seleksi orang yang akan diwawancarai

ii) Pendekatan terhadap orang yang akan diwawancarai

iii) Pengembangan suasana lancar dan wajar dalam wawancara.

Dalam hal orang yang akan dipilih untuk diwawancarai, ada dua istilah penting

yaitu informan dan responden. Informan adalah orang yang mempunyai

pengertian dan pemahamam yang mendalam tentang suatu hal yang juga menjadi

pokok penelitian kita. Dari seorang informan kita akan dapatkan keterangan dan

data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi. Informan secara

umum digunakan pada penelitian kualitatif murni dan secara khusus digunakan

(39)

suatu penelitian adalah memilih orang yang mempunyai keahlian tentang pokok

wawancara. Sedangkan responden secara sederhana adalah orang yang kita tanya

tentang respon yang bersangkutan terhadap suatu pertanyaan atau masalah yang

kita sodorkan. Dari seorang responden kita akan dapatkan keterangan tentang diri

pribadi, pendirian atau pandangan, biasanya untuk kepentingan komparatif atau

bahwa keterangan yang didapat nantinya mempunyi implikasi pada skoring. Cara

pemilihan dan penentuan responden ini berdasarkan pada asas keterwakilan atau

reperesentatifitas.

2. Observasi dan pengamatan

Observasi atau pengamatan menurut Moleong (1989 : 137-138) mampu

mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian,

perilaku tak sadar, kebiasaan, dsb. Pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk

melihat “dunia” sebagaimana yang dilihat oleh subyek penelitian, menangkap arti

fenomena dari segi pengertian subyek, dan menangkap kehidupan budaya

setempat dari pandangan dan anutan para subyek pada waktu itu. Dalam

pelaksanaan observasi, sudah tentu alat utama peneliti adalah indra visual beserta

pedoman observasi yang disesuaikan dengan tema penelitian, dan juga didukung

oleh kemampuan intrepretasi peneliti terhadap hasil “tangkapan” di lapangan.

Kemudian dalam rangka pembuktian secara otentik dan pertanggungjawaban

ilmiah dalam pelaporan hasil penelitian digunakan pula alat bantu dokumentasi

(40)

3. Telaah Dokumen

Telaah dokumen yang dimaksud adalah penggunaan data berupa tulisan

dan catatan resmi, arsip-arsip, statistik, dan tabel yang telah ada dan dikumpulkan

oleh pihak lain pada saat penelitan berlangsung. Sumber data ini tersedia dan

diperoleh dari dokumentasi baik dari pihak sekolah maupun dinas pendidikan

setempat. Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini terutama berkaitan

dengan data mutu sekolah dan data tentang tenaga dan aktifitas kepengawasan di

lingkungan dinas pendidikan setempat.

C. Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Analisis data adalah upaya untuk mencari benang merah atau kaitan antara

masalah penelitian dengan dasar teoritis. Dalam hal ini analisis data dilakukan

secara berkelanjutan sepanjang proses penelitian, dimulai semenjak pengumpulan

data dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan “lapangan” atau data

telah tercukupi.

Analisis data, menurut Paton (dalam Moleong:1989 :112) adalah proses

mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan

suatu uraian dasar. Hal ini penting mengingat selama proses pengumpulan data,

peneliti mengalami “kebanjiran” data yang berupa dokumen, catatan lapangan,

hasil wawancara, dan juga rekaman audio. Pengorganisasian dan pengelolaan data

ini bertujuan menemukan “tema” dari fokus penelitian ini.

Dalam pelaksanaannya, analisis data, pertama, dimulai dengan menelaah

seluruh data yang telah terkumpul. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka

(41)

data mengacau pada kegiatan seperti pemilihan, pemilahan, permfokusan,

penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah sehingga

kemudian data yang disarikan memang sesuai dengan “jalur” yang dibatasi oleh

fokus penelitian. Selain itu, data kualitatif direduksi dengan beberapa cara khusus

antara lain dengan merangkum dan melakukan parafrase dan menjadikannya

bagian dari suatu pola yang lebih besar. Langkah ketiga, adalah melakukan

display data atau membuat suatu model bagi penarikan kesimpulan. Langkah

keempat, adalah melakukan verifikasi kesimpulan dari semua kegiatan pengolahan

data kualitatif seperti tersebut diatas (Emzir:2010 , Idrus:2009, Moleong: 1989)

Menurut Satori (2009:126) suatu penelitian harus mengandung nilai

terpercaya dan peneliti harus dapat mempertanggungjawabkan kebenaran hasil

penelitiannya secara ilmiah kepada khalayak. Oleh karena itu dalam penelitian ini

digunakan beberapa cara dalam mempertanggungjawabkan keabsahan data yakni :

1. Perpanjangan keikutsertaan, yaitu rentang waktu yang cukup ketika terjun

ke lapangan atau lokasi penelitian. Waktu yang cukup terutama berguna

untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang kemungkinan dapat

mengotori data atau bahkan mengaburkan dan membelokkan data dan fakta

yang ada di lapangan. Selain itu, rentang waktu yang cukup bertujuan untuk

membangun kepercayaan para informan terhadap peneliti dan membangun

kepercayaan diri peneliti sendiri.

2. Ketekunan pengamatan, yaitu menemukan segala sesuatu baik itu ciri-ciri,

unsur-unsur, kondisi, dan informasi yang relavan dengan fokus penelitian

(42)

dengan demikian, apabila perpanjangan keikutsertaan menyediakan

“wilayah” atau “arena” maka ketekunan pengamatan menyediakan

“kedalaman” dari wilayah yang dieksplorasi.

3. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang secara umum

memakai prinsip check and recheck. Ada beberapa macam triangulasi

dalam literatur penelitian kualitatif dan yang yang digunakan dalam

penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi

sumber atau triangulasi subyek adalah cara meningkatkan kepercayaan data

penelitian dengan mencari data dari beragam sumber yang masih terkait

satu sama lain atau setidaknya sumber tersebut mempunyai pengetahuan di

bidang yang menjadi fokus penelitian. Sedangkan triangulasi teknik adalah

pengecekan derajat kepercayaan penemuan data penelitian dengan beberapa

teknik pengumpulan data misalnya membandingkan hasil wawancara

dengan hasil observasi. Cara lain yang ditempuh misalnya membandingkan

hasil wawancara di hadapan orang lain atau di tempat publik dengan

wawancara secara individual dan suasana informal ( Satori:2009,

(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan lapangan dengan menggunakan wawancara dan

observasi serta pembahasan hasil penelitian maka berhasil dirumuskan

kesimpulan ini. Rumusan dalam kesimpulan ini juga berpegang pada panduan dari

unit analisis dan kajian literatur.

1. Sanggar pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS)

adalah organisasi profesi non kedinasan yang belum dapat menerapkan

wadahnya sebagai tempat untuk meningkatkan ketrampilan, keahlian dan

pengetahuan tentang kepengawasan dan penjaminan mutu di sekolah.

Sebuah wadah seperti sanggar pengawas sekolah seharusnya bisa menjadi

seperti yang dikemukakan Lave dan Wenger (1998: 23) sebagai

community of practice. Sebuah community of practice adalah sekelompok

orang yang bergairah dalam berbagi sesuatu yang mereka ketahui dengan

baik, dan mereka yang berinteraksi secara teratur untuk belajar melakukan

pekerjaan mereka dengan lebih baik. Kegiatan diskusi dan saling berbagi

informasi di dalam sanggar pengawas terjadi secara tidak teratur dan

terencana.

2. Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wadah bagi

pengawas untuk mengembangkan potensi dan kompetensinya tidak

mempunyai program teratur dan terencana dalam mengembangkan

(44)

803-813) dan Dixon (dalam Komariah dan Triatna, 2004: 57-58)

menyatakan bahwa dalam sebuah organisasi yang memerlukan keahlian

seharusnya terdapat tindakan untuk mengembangkan pengetahuan,

kebiasaan belajar, transformasi pengetahuan yang terur-menerus yang

bertujuan memuaskan stakeholders. Sementara kegiatan seperti itu tidak

terjadi di dalam sanggar pengawas. Pengawas dan sanggar pengawas lebih

banyak melakukan kegiatan yang bersifat normatif berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku. Kegiatan yang untuk kepentingan peningkatan

kompetensi tidak terdapat dalam agenda kegiatan pengawas maupun

sanggar pengawas.

3. Pengawas sekolah kurang melakukan pelayanan kepada sekolah binaan

maupun pada guru. Layanan seperti yang dimaksudkan oleh Sutisna

(1983:248), Arikunto (2004: 10), Sahertian (2008: 18) adalah layanan

yang teencana dan sistematis pada aspek teknis dan non teknis kepada

guru-guru dan petugas sekolah lainnya dalam memperbaiki pengajaran dan

segala sesuatu yang berkaitan dengannya termasuk tujuan pendidikan,

bahan-bahan pengajaran, serta metode evaluasi. Pada akhirnya layanan ini

berujung, seperti yang dikemukakan Satori (2002: 27), pada keunggulan

kompetitif sebuah sekolah yang dapat dilihat dari kualitas pembelajaran

yang direfleksikan dalam hasil belajar peserta didik. Layanan yang tidak

bisa diberikan secara optimal oleh pengawas sekolah disebabkan

perbandingan jumlah pengawas dan sekolah binaan yang tidak seimbang.

(45)

misalnya seperti penataran atau semiloka. Kunjungan ke sekolah yang

dilakukan lebih banyak digunakan untuk berdiskusi dengan kepala sekolah

saja.

4. Pengawas sekolah kurang berperan dalam memandu, membina, dan

menfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah dan mutu proses

pembelajaran. Padahal menurut Sallis (2010: 182) mutu proses

pembelajaran atau guru yang mengembangkan proses pembelajaran adalah

dasar bangunan yang penting untuk menyampaikan mutu dalam

pendidikan. Charles Hoy (2000, dalam Safaruddin 2002: 47) juga

menyampaikan bahwa mutu adalah hal yang esensial sebagai bagian

dalam proses pendidikan. Proses pembelajaran adalah tujuan organisasi

pendidikan. Perbaikan proses pendidikan adalah level tertinggi dari

keunggulan yang akan dicapai. Pengawas kurang berperan karena kurang

mempunyai pengetahuan dann ketrampilan di bidang penjaminan mutu

pendidikan. Di samping itu program pengembangan sekolah dengan SSN

dan RSBI adalah program dari pusat sehingga ada keengganan dari

sekolah untuk difasiltasi, dimonitoring dan dievaluasi oleh pengawas dari

daerah.

B. Rekomendasi

1. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota sebagai lembaga tertinggi yang

mempunyai kewenangan dalam membuat kebijakan dan pengelolaan di

bidang pendidikan tingkat daerah harus mempunyai inisiatif dan good will

(46)

guna pengembangan kompetensi dan profesi pengawas sekolah. Revitalisa

dan pemberdayaan dengan cara memperkenalkan konsep community of

practice atau lebih menfungsikan sanggar pengawas sebagai organisasi

profesi. Organisasi profesi pengawas sekolah yang menerapkan

prinsip-prinsip organisasi pembelajar.

2. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota beserta jajaran pengawas harus

berinisiatif untuk membuat dan mengembangkan program atau kegiatan

yang bertujuan untuk meningkatkan dan me-mutakhir-kan ketrampilan

dan pengetahuan pengawas sekolah yang di samping berguna untuk

meningkatkan kompetensi pengawas juga mengembangkan organizational

learning dan community of practice pada sanggar pengawas.

3. Pengawas sekolah, dengan peran dan kompetensinya, harus mempunyai

andil yang lebih intens dalam proses penjaminan mutu pendidikan dengan

menambah frekuensi visitasi ke sekolah binaan dan menggunakan lebih

banyak variasi teknik supervisi pendidikan terhadap guru, kepala sekolah,

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi . Jakarta : Rineka Cipta.

Barra, Ralph. (1986). Menerapkan Gugus Mutu : Strategi meningkatkan

Produktifitas dan Keuntungan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Bogdan, Robert C and Biklen, Sari Knopp. (1990). Riset Kualitatif untuk

Pendidikan : Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir.

Jakarta: Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII).

Danim, Sudarwan. (2005). Visi Baru Manajemen Sekolah, Dari Unit Birokrasi ke

Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Darjat, Dahman. (2009). Pembedayaan Pengawas Sekolah dalam Penjaminan

Mutu Pendidikan. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak

diterbitkan).

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 12 tahun 2007 ten

Gambar

Tabel  1.1. Tingkat penguasaan kompetensi dasar pengawas
Gambar 1.1. Paradigma Penelitian
Tabel 1.1 Tingkat Penguasaan Kompetensi Dasar Pengawas Sekolah
Gambar 1.1 : Paradigma penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kepada peneliti berikutnya yang melakukan penelitian sejenis, berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tentang proses kreatif siswa, disarankan untuk

Dari uraian latar belakang dapat didentifikasi masalah antara lain pemberian cuti yang terlalu singkat juga mempengaruhi pemberian ASI yang diharapkan eksklusif selama

Dalam penulisan skripsi ini, unit variabel dependen (variabel yang dipengaruhi) yaitu: “Dengan disepakatinya Merida Initiative antara Amerika Serikat - Meksiko.”

Artinya modeling partisipan juga dapat dipergunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau

oryctes sangat lambat di pengaruhi dengan jumlah partikel- partikel yang sedikit terlarut dan hanya masuk melalui mulut lalu akan menyebar ke dalam tubuh

Sedangkan dalam sistem pemilihan umum proporsional (multi party system), diselenggarakan oleh negara yang menganut sistem kepartaian banyak partai, yang dalam prinsipnya

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : Untuk menganalisis pengaruh Strategi Resource-Based dan Orientasi Kewirausahaan terhadap Keunggulan Bersaing pada UMKM di

Hal inilah yang menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan analisis biaya penggunaan antibiotik pasien infeksi saluran kemih di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Roemani