• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 makalah PENDIDIKAN IDIOLOGIS DAN KEBER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2 makalah PENDIDIKAN IDIOLOGIS DAN KEBER"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN IDIOLOGI DALAM KEBERAGAMAN BUDAYA Zamroni

Pasca Sarjana-Universitas Negeri Yogyakarta zamronihardjowirono@yahoo.com

ABSTRACT

Indonesian education doesn’t have a clear education ideology. Meanwhile, educational ideology has an important role on shaping the future of the nation.This paper explored international educational ideologies, mainly neo-liberal, human rights and welfare state educational ideology. It points out that Indonesian national education should find its own educational idiology. As a multicultural country, Indonesia must find the educational idiology that will be accepted by all of many different groups in th e country. Educational idiology of Pancasila, is the only one will be accepted. Then, the educational idiology must be instructed to all students employing redeemable by reasons rationalism.

KEY WORDS: Idiology, multicultural, Pancasila, reasons rationalism. ABSTRAK

Pendidikan Indonesia tidak memiliki ideology pendidikan. Sementara itu, idiologi pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk masa depan bangsa. Makalah ini telah mengkaji idiologi pendidikan internasional, sebutlah idiologi pendidikan neo-liberal, human rights dan ideologi pendidikan negara kesejahteraan. Disimpulkan, pendidikan nasional Indonesia mesti memiliki ideologi pendidikan sendiri. Sebagai suatu bangsa yang multikultural, Indonesia harus menemukan ideologi pendidikan yang dapat diterima oleh semua kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ada. Ideologi pendidikan Pancasila merupakan satu-satunya ideology pendidikan yang akan diterima. Kemudian, ideologi pendidikan itu mesti diajarkan kepada seluruh siswa dengan menggunakan pendekatanredeemable by reasons rationalism.

KEY WORDS: Idiologi, multikultural, Pancasila, reasons rationalism.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia memerlukan manusia dengan karakter baru, Pancasilais sejati.

Sudah barang tentu untuk malahirkan manusia Pancasilais sejati tidak mungkin diharapkan pada pendidikan dewasa ini. Sebab, pendidikan dewasa ini, beridiologi pendidikan Neo-Liberal yang merupakan turunan dari idiologi politik Neo-Liberal, yang memiliki tujuan membentuk peserta didik dengan tekanan bahwa: motivasi tindakan adalah bersifat material, memegang teguh kapitalisme, individualisme dan konsumerisme dalam sepanjang kehidupannya. Judul makalah ini merupakan suatu kegelisahan sekaligus kerinduan untuk menemukan pendidikan dengan semangat baru itu. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia Indonesia dengan karakter baru, manusia pancasilais sejati. Dengan kata lain, dalam pendidikan perlu berproses pendididikan idiologi. Sudah barang tentu idiologi yang akan ditanamkan kepada setiap diri siswa adalah idiologi pendidikan itu sendiri.

(2)

kapitalisme dengan demokrasinya merupakan suatu sistem kehidupan yang paling baik, dan dengan membawa obor demokrasi kekuatan kapitalis akan menguasai dunia. Untuk mewujudkan cita-cita proklamasiidiologi pendidikan Indonesia mesti diubah, dengan mengkokohkan idiologi politik yang dipandang mampu membawa bangsa ketepian cita cita proklamasi. Perlu ada transformasi dalam pendidikan yang didominasi dengan nafas kapitalis ke arah sistem pendidikan yang kepribadian Indonesia.Kemudian idiologi pendidikan itulah yang perlu ditanamkan pada sitiap diri siswa.Apa idiologi pendidikan Indonesia itu? Itulah yang mesti dirumuskan, apabila kita tidak ingin seterusnya dibawah kakipendidikan idiologi Neo-Liberal.

IDIOLOGI PENDIDIKAN.

Kekuatan idiologi memegang peran penting dalam pendidikan. Kekuatan idiologi ini, kata Anthony Giddens & Michael Mann, sebagaimana dikutip oleh Laursen (2006)amat sering diremehkan, dan pedagog cenderung melihat faktor kekuatan sosial ekonomi yang lebih berpengaruh terhadap pendidikan. Idiologi pendidikan bukan bersifat indoktrinatif melainkan sebagai suatu proses yang membawa siswa ke tingkat posisi seseorang yang “dapat depercaya”. Dalam arti siswa telah menguasai pengetahuan, ketrampilan dan karakter yang dikembangkan dalam proses pendidikan di sekolah.

Sebelum pembahasan dilakukan perlu kesefahaman apakah yang dimaksud dengan idiologi? Menurut Meighan, R. & Harber, C. (2007, 212), idiologi bisa didefinisikan sebagai “a broad interlocked set of ideas and beliefs about the world held by a group of people that they demonstrate in both behaviour and conversation to various audiences. These systems of belief are usually seen as ‘the way things really are’ by the groups holding them, and they become the taken-for-granted ways of making sense of the world.’Tidak jauh berbeda, Siegel (1988) menjelaskan bahwa idiologi merupakan kerangka umum yang membangun kesadaran individu dan menjadi pedoman yang diakui secara legal dalam berkeyakinan dan berperilaku serta menafsirkan berbagai pengalaman yang dijalani. Mendasarkan pada definisi diatas, maka setiap idiologi mesti memiliki separangkat nilai-nilai dan keyakinan yang dipegang teguh bersama oleh para pengikutnya, yang terefleksikan dalam perilaku dan sikap serta cara pandang bagaimana kehidupan dunia itu seharusnya. Idiologi tersebut pada awalnya bersumberkan pada ajaran agama, yang kemudian berhibridasi sehingga melahirkan idiologi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti idiologi politik, ekonomi, sosial dan idiologi pendidikan.

(3)

Idiologi pendidikanhuman rights menekankan pada mengembangkan warga negara global. Idiologi ini berakar pada gagasan bahwa human rights merupakan nilai dasar kehidupan yang menjadi tanggung jawab bersama untuk menyediakan dan memastikan setiap warga bangsa memperoleh hak-hak dasarnya, seperti pendidikan.Sedangkan, idiologi ketiga, Environmentalism merupakan idiologi pendidikan yang paling radikal, sebab idiologi ini menolak paradigm industri dan konsumerisme yang terlalu didominasi oleh pemikiran ekonomi, baik kapitalis maupun sosialis.

Ahli lain, Seigel (1988) mengidentifikasi dua idiologi pendidikan yang merupakan turunan idiologi politik yang ada. Yakni idiologi pendidikan Neo-Liberal, turunan dari idiologi politik Neo Liberal dan Idiologi pendidikan Negara Kesejahteraan sebagai turunan idiologi politik Welfare State (Negera Kesejahteraan).Dibandingkan dengan pendapat Joel Spring diatas, maka pendapatSegel lebih detail, idiologi pendikan Neo-Liberal dalam realitas dapat diketemukanciri-cirimya, yakni:

1. Pemerintah mengendalikan pendidikan secara ketat, antara lain dalam bentuk kurikulum nasional dan berbagai implikasinya.

2. Uang yang dibelanjakan untuk dunia pendidikanmesti meningkatkan efektifitas dan efisiensi kehidupan sehingga mampu meningkatkan daya saing bangsa dalam pasar global, kalau tidak anggaran pendidikan merupakan pemboroson. 3. Pendidikan menekankan pada persaingan dengan indikator Indeks Prestasi,

Skore TIMMS, PISA, Standard Internasional, sepertik ISO, sehingga menyebabkan pembelajaran terlalu menekankan untuk lulus ujian atau tes-tes. 4. Berlaku metafora pasar, yakni orang tua adalah konsumen, pendidikan dengan

model bisines, dan kompetisi diyakini akan menjamin peningkatan mutu baik individu maupun lembaga sekolah.

5. Pendidikan didasarkan pada pembelajaran yang dilihat bagaimana kinerja, manajemen dan teknologi yang terkandung dalam pembelajaran.

Kalau dikaji lebih mendalam, maka dapat diungkap nilai-nilai yang mendasari idiologi pendidikan Neo-Loberal, yakni:

1. Harkat-martabat manusia dan kebebasan individu merupakan nilai-nilai pokok pada masyarakat yang berkeadaban.

2.Manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki semangat kompetisi, sehingga dunia kerja harus sesuai dengan semangat manusia ini.

3. Manusia bersifat rasional guna memaksimalkan keuntungan.

4. Rasional ekonomi akan menggerakan kompetisi yang akan membawa kemakmuran kepada siapa saja.

5. Pemerintah harus bersifat lembek dan tidak melakukan intervensi pasar.

6. Oleh karena itu apapun yang bersifat pribadi adalah baik dan yang bersifat “komando pemerintah” mesti dihindari.

7. Semangat pasar bebas mesti digunakan untuk menangani pendidikan.

(4)

Sebagai lawan idiologi pendidikan Neo-Liberal muncul idiologipendidikan Welfare State memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menekankan pentingnya kerjasama dan tanggng jawab untuk kesejahteraan, khususnyabagi mereka yang tidak atau kurang beruntung. Negara memegang peran utama untuk melayani dengan baik mensejahterakan seluruh siswa.

2. Pendidikan memiliki peran penting sebagai layanan jasa yang diberikan oleh pemerintah lewat para ahli atau professional kepada masyarakat, pendidikan bukan sesuatu yang diperjualbelikan.

3. Pendidikian dipandang memiliki peran penting untuk mengkaji diri dan masyarakatnya. Khususnya berkaitandengan ketidakadilan, baik skop lokal, nasioanl maupun global.

Dampak idiologi pendidikan Welfare State dalam dunia pendidikan, lebih khusus dalam pembelajaran adalah mengembangkan pendidikan yang berpusat pada diri siswa (child centered). Implikasi dari pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah penekanan pada pengembangan karakter pada diri siswa sehingga siswa selaku individu memiliki, antara lain, a)rasa percaya diri disertai senantiasa memiliki rasa gembira, b)memiliki perilaku yang baik, c)menguasai materi pembelajaran dengan kritis, d)rajin dengan tingkat persentase kehadiran yang tinggi, e)meningkatkan capaian prestasi untuk semua mata pelajaran, f)memiliki etos sekolah, dan, g)memiliki kebanggan sebagai siswa, dimana semuanya memberikan dukungan untuk kesuksesan belajar setiap warga sekolah.

(5)

Pergeseran diatas muncul dalam bentuk diaplikasikannya pendekatan pasar bebas dalam reformasi pendidikan, sehingga lahirlah gagasan dan praktik sekolah, seperti school choice, charters school, dan vouchers.Sudah barang tentu kritik bermunculan atas pendekatan pasar bebas diaplikasikan di dunia pendidikan. Salah satu kritik adalah aplikasi pendekatan pasar bebas didunia pendidikan menunjukan ketidakfahaman akan fungsi pendidikan dan merusak etos demokrasi sendiri. Sekolah hanya berfungsi sebagai instrumen untuk mempersiapkan siswa mampu memasuki sistem kompetisi pasar bebas yang bersifat global, mempersiapkan siswa untuk memahami dan mematuhi etika global; mengembangkan kesefahaman bagaimana melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dengan pola produksi dan konsumsi sebagaimana yang sekarang ini; menggunakan pendekatan ekonomi dlaam pengembangan kebijakan pendidikan. Gagasan-gagasan patriotisme dan cinta pada tanah air tidak lagi mendapatkann tempat. Dan, sebagaimana nafas yang dibawa idiologi pendidikan human rights bahwa materi merupakan sumber penggerak semua perilaku manusia. Hakekat pendidikan memiliki tujuan, antara lain a)mengembangkan pengetahuan; b)menjamin reproduksi norma-norma sosial pada generasi baru; c)mempersiapakan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja; d)religiusitas, memahami dan mematuhi ajaran agamanya; f)berkepribadian mandiri dan kuat; dan, f)globalist, memiliki pemahaman kehidupan yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Idiologi pendidikan Neo Liberal tidak lagi mengakui tujuan pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan beridiologi Neo-Liberal tidak lain hanya mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki daya saing global dan memiliki karakter ekonomi liberal global, sehingga mampu memasuki pasar tenaga kerja global. Pendidikan yang mengembangkan pada setiap diri cinta cinta pada tanah air digeser ke cinta pada tatanan global.

Idiologi Neo-Liberal menentang gagasan pendidkan yang berkemajuan yang dibawa idiologi welfare State, karena kekuatan negara-negara Neo Liberal sedemikian kuat, akibatnya idiologi pendidikan welfare State terpinggirkan, sehingga mulai tahun 1980-an, idiologi pendidikan Neo-Liberal mendominasi pendidikan negara-negara di dunia in. Dengan kata lain, pendidikan dikuasai oleh gagasan barat, meski beberapa hal gagasan idiologi negara kesejahteraan ada yang diambil untuk diaplikasikan, seperti child centered. Westernisasi pendidikan di hampir semua negara tidak dapat dihindari.

Sebagian besar sekolah sekolah dewasa ini, termasuk sekolah di Indonesia memiliki idiologi pendidikan Neo-Leberal. Sudah barang tentu praktik pendidikan yang beridiologi Neo-Liberal tidak akan melahirkan generasi baru yang berjiwa Pancasila dan mencintai negerinya sendiri sepenuh hati, yang direfleksikan dengan semangat untuk merealisir cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.

(6)

BANGSA DENGAN KERAGAMAN BUDAYA.

Dewasa ini nyaris sulit diketemukan suatu bangsa dengan mono budaya, budaya tunggal. Keanekaragaman budaya, termasuk ethnis, suku bangsa, tradisi dan bahasa merupakankeniscayaan, sunatullah.Keragaman tersebut menjamah keragaman dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku.

Sudah barang tentu keanekaragaman budaya ini memiliki dua sisi: rahmat dan petaka. Apabila keanekaragaman budaya ini difahami, disadari dan dikelola dengan baik akan merupakan rahmatbagi bangsa Indonesia. Karena disinilah letak kekuatan bangsa. Sebaliknya, kalau keragaman budaya dinafikan dengan segala alasan apapun juga, tidak difahami apalagi disadari, maka keragaman budaya akan menimbuhkan petaka. Pada dasarnya sifat manusia adalah cenderung mencurigai terhadap budaya lain. Kecenderungan ini dikarenakan mereka tidak mengetahuai dan memahami budaya lain tersebut. Apabila mereka memahami budaya lain maka akan menjadi pemecah hambatan perbedaan budaya yang ada. Kehidupan dengan anekaragaman budaya, manakala memiliki kebijakan mengembangkan pemahaman antar budaya (intercultural understanding) dikalangan warga, akan mendorong sifat toleransi di kalangan warga yang akan memperkaya kehidupan masyarakat

Memang sudah menjadi hukum kehidupan sosial terdapat aspek negatif dariadanya keanekragaman budaya, yang bisa memecah kehidupan masyarakat. Antara lain berupa, steriotaip, prejudais, rasialis dan diskriminasi. Terutama hal itu terjadi di kalangan mayoritas penduduk terhadap kaum minoritas. Merupakan realitas bahwa masing-masing kelompok agama, memandang agamanya adalah lebih benar dibandingkan dengan agama lain. Bahkan berkeyakinan agama lain adalah salah, dan para pengikutnya kelak memiliki tempat di neraka. Disamping itu, kelompok mayoritas senantiasa akan mengembangkan sikap rasist, dalam bentuk menjadikan kaum minoritas sebagai kambing hitam dari permasalahan bangsa. Tidak jarang, hal diatas menimbulkan gejolak sosial yang membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Rasisme memang tidak jarang merupakan satu problem pada masyarkat dengan aneka ragam budaya yang sulit untuk dihilangkan.

Kehidupan masyarakat dengan keragaman budaya yang dicita-citakan merupakan suatu masyarakat yang memiliki anekaragam suku bangsa, budaya dan tradisi yang hidup berdampingan dengan saling menghormati atas satu dengan yang lain. Warga masyarakat dengan anekaragam budaya ini bisa hidup berdampingan dan berkerjasama dengan segala perbedaan yang ada.

Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya. Bahkan, tidak jarang perbedaan budaya itu memiliki ”makna” yang bertolak belakang, sehingga sering menimbulkan konflik yang menjurus kepada kekerasan fisik. Disamping itu perbedaan budaya yang ada tidak jarang terkait dengan konsep mayoritas dan minoritas. Karena luas area geografis di satu sisi dan di sisin lain mobilitas penduduk yang tinggi mengakibatkan terdapat suku mayoritas secara nasional tetapi menjadi minoritas dalam skop lokal.

(7)

meski tidak jarang dalam konotasi yang baik. Seperti, kalau menemui orang yang berperilaku halus, orang akan mengatakan: “Wah halus bener perilakunya, kayak orang Jawa”. Ini berati muncul steriotaip bahwa kalau orang jawa itu halus. Benarkan semua orang jawa halus? Tentu saja tidak. Demikian pula sikap prejudais pada sementara kelompok masyarakat, yang tidak mengizinkan anak perempuannya berpacaran dengan dengan lelaki kelompok ethnis lain tertentu. Patut dicatat juga masih sangat sering terjadi kalau di bus kota seseorang memegang katong uangnya kencang-kencang karena didekati oleh orang yang memiliki wajah dari suku tertentu. Masih ditemui juga sementara orang senantiasa menyalahkan kelompok tertentu sebagai penyebab keadaan kehidupan yang tidak menyenangkan. Bahkan, terdapat kasus seseorang batal membeli rumah karena ternyata sebelah rumah yang akan dibeli ditempati oleh seseorang ethnis tertentu.

Kondisi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari tersebut, menunjukan bahwa dalam masyarakat Indonesia belum bisa hidup sebaga bangsayang memiliki simbol Bhineka Tunggal Eka. Masih ada saja sementara orang yang tidak bisa hidup dengan toleransi, kejujuran dan memecahkan permasalahan dengan cara-cara damai. Konflik-konflik yang sampai mengundang kekerasan fisik pada hakekatnya menunjukan bahwa sebagaian warga masyarakat Indonesia belum memahami dan menyadari penting kejujuran, toleransi dan anti kekerasan. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebagaian warga bangsa belum memiliki kompetensi kultural. Yakni, suatu kondisi dimana individu memiliki empat aspek dalam kehidupannya: a)kesadaran kultural, b)pemahaman kultural, c)praktik dan, d)sikap menghadapi kultur lain.

Keaneragaman bangsa Indonesia juga mencakup keragaman idiologi yang utamanya bersumberkan pada agama tertentu. Keyakinan, nilai-nilai, norma-norma dan sikap hidup serta cara pandang atas kehidupan sangat erat berkaitan dengan agama yang dipeluk. Warga masyarakat yang memiliki agama berbeda akan memiliki cara hidup yang berbeda. Kondisi ini akan semakin mempersulit idiologi apa yang mesti dijadikan idiologi pendidikan Indonesia. Idiologi yang mesti ditanamkan lewat pendidikan dan proses pembelajaran?

IDIOLOGI PENDIDIKAN INDONESIA

Idiologi pendidikan Indonesia mesti bertumpu pada idiologi yang memiliki karakteristik antara lain: a)bisa menampung semua idiologi yang ada di kalangan bangsa; b)bersumber dari khasanah kehidupan bangsa Indonesia sendiri; c)diterima semua komponen bangsa; dan, d)menjanjikan terealisirnya cita-cita proklamasi.Bangsa Indonesia telah memiliki common values, beliefs, attitudes dan norms yang telah digagas dan diwariskan oleh para founding fathers, yakni Pancasila. Idiologi yang memenuhi kriteria itu tiada lain adalah Pancasila. Nafas dan dinamika pendidikan mesti didasari oleh values, beliefs, norms dan attitudes yang ditumbuh kembangkan dari Pancasila. Semuanya itu akan terefleksikan pada visi, misi, nilai-nilai, orientasi dan strategi serta kebijakan pendidikan nasional yang menjadi pedoman bagi praktik pendidikan di tanah air.Untuk itu proses peneguhan Pancasila sebagai Idologi pendidikan Indonesia merupakan suatu keharusan.

(8)

memiliki makna bahwa pendidika bersifat Theo-centris, bukannya Anthropo-centris. Dengan pendidikan bersifat Theo-centris kegiatan dalam pendidikan merupakan rangkaian ibadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Zamroni, 2013). Ibadah mengandung makna, ibadah langsung sebagai ritual ke agamaan kepadaNYA dan ibadah kemanusian, berbuat baik kepada sesamanya. Dengan demikian tujuan pendidikan bukanlah sekedar mempersiapkan pesertadidik dengan seperangkat pengetahuan dan ketrampilan agar bisa bekerja memenuhi kebutuhan dunia ekonomi, melainkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan sehingga bermanfaat bagi diri dan orang lain, sesama dan masyarakatnya. Pengetahuan dan ketrampilan saja tidak cukup, tetapi setiap pesertadidik memerlukan spiritual, moral dan karakter untuk bisa hidup bersama dan bekerjasama. Spiritual harus menjadi landasan pendidikan. Pendidikan spiritual menamkan pengertian dan kesadaran untuk apa sekolah? Harus bagaimana sekolah itu? Apa yang mau dicapai dengan sekolah?. Fondasi ini akan mewarnai seluruh aktivitas pesertadidik dalam menjalani proses pendidikan. Pertama, segala kegiatan dan tindakan yang dilakukan adalah digerakan oleh dorongan spiritualitas, bukan dorongan material. Kedua, Aktivitas yang tumbuh dari dorongan kesadaran diri sendiri “intrisic motivation”, bukannya dipaksa oleh kekuatan luar. Pendidikan spiritual ini tidak terkandung dalam pendidikan nasional kita dewasa ini, karena pada hakekatnya pendidikan nasional Indonesia “ber ruh” sekuler.

Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab memilki makna bahwa pendidikan mestibersifat humanist. Pendidikan yang memperlakukan pesertadidik sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, dengan segala martabat dan kasih sayang. Seperti disampaikan oleh KH Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Edi Swasono (2012), bahwa pendidikan yang bersifat mengancam dan menakut-nakuti dengan hukuman semata, tidak baik bagi kehidupan dan perkembangan pesertadidik, tidak baik bagi kemanusiaan. Sila, kedua dari Pancasila ini memiliki arti bahwa tidak saja hukuman yang bersifat “fisik” atau “kekerasan” yang dilarang, tetapi juga hukuman non fisik tetapi bisa diterima sebagai suaru “teror” mental bagi para siswa juga mesti dihilangkan dari dunia persekolahan Indonesia

Ketiga, Persatuan Indonesia, dalam pendidikan memiliki arti mengembangkan kebersamaan untuk bersama-sama maju. Kerjasama dalam pendidikan perlu dikembangkan dan ditekankan kepada seluruh guru maupun pesertadidik. Prinsip pemberian tugas kepada para pesertadidik, mendorong setiap pesertadidik kerja keras, semua kerja keras dengan ciri “sama-sama bekerja keras”, perlu diubah dengan tugas kepada para pesertadidik yang memiliki ciri “bekerja sama”. Bekerjasama, kebersamaan dan gotong royong mesti ditumbuhkembangkan di dunia pendidikan untuk mewujudkan ekselensi bagi semua pesertadidik.

(9)

hak-hak yang setara.Keberadaan sekolah yang demokratis merupakan kondisi multak yang dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis. Sekolah yang demokratis ini akan melahirkan interaksi antar individu sebagaimana interaksi dalam keluarga besar. Interaksi yang berlandaskan saling memahami, saling menghormati dan saling menyayangi.

Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, di dunia pendidikan memiliki makna bahwa sekolah harus mewujudkan prestasi ekselensi. Prestasi ekselens tersebut tidak hanya untuk atau dimiliki oleh segelintir pesertadidik, melainkan untuk seluruh pesertadidik, apapun latar belakangnya. Keadilan sosial dalam pendidikan menekankan terujudnya pendidikan yang ekselens, berkeadilan dan berkesetaraan.

Sebagaimana dapat dilihat gambar 1, sejak awal para “founding fathers” telah merumuskan tujuan perjuangan bangsa Indonesia adalah mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Tujuan itu sampai sekarang menjadi cita-cita idiologis seluruh warga bangsa Indonesia.Semua upaya dan usaha bangsa, khususnya yang dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional mesti menuju sasaran itu. Tujuan tersebut hanya akan terujud manakala bangsa Indonesia memiliki warga bangsa dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi yang ekselens, disertai dengan semangat untuk membantu sesamanya, dasar-dasar moral yang kokoh kuat, kepribadian yang anggun, kemampuan social yang luwes lagi merakyat. Untuk mewujudkan manusia Indonesia dengan kemampuan tersebut merupakan tugas pendidikan.

Sebagaimana telah disinggung diatas, pendidikan Indonesia mesti beridiologi Pancasila.Berkaitan dengan Pancasila, pada masa kejayaan pemerintahannya, Presiden Indonesia pertama, Bung Karno penggali Pancasila suatu ketika pernah menyatakan bahwa Pancasila manakala diperas tuntas bisa berujud Eka Sila, yakni Gotong Royong. Politik bangsa dan negara waktu itu tengah berada pada situasi dan kondisi konfrontasi antara kekuatan komunis atheist dengan kekuatan agamis. Dari kalangan agamis keberatan dengan gagasan Bung Karno tersebut, karena memeras Ke Tuhanan Yang Maha Esa dimasukan menjadi bagian bagian gotong royong, karena dianggap sebagai langkah menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara, sebagaimana dituntut oleh kaum komunis.

Namun kalau dikaji dan direnungkan secara secara jernih lagi mendalam, gagasan Bung Karno tidaklah salah. Bukankah gotong royong, bekerjasama untuk kebaikan merupakan perintah semua agama ?Bukankah untuk bisa gotong royong yang hakiki memerlukan kemanusian yang adil dan beradab, dimana kehormatan dan martabat manusia mendapatkan penghargaan dan tempat yang tinggi? Bukankah gotong royang yang hakiki akan terlaksana manakala setiap warga memiliki kebebasan? Bukankah gotong royong yang hakiki hanya akan terlaksana manakala warga memiliki semangat dan kemauan untuk bersatu padu? Bukankah gotong royong yang hakiki hanya akan berlangsung manakala terdapat keadilan?

(10)

menghasilkan lulusan yang menguasai iptek dan memiliki semangat untu mengabdikan ilmunya pagi sesamanya, guna mencapai jangka panjang mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.

PANCASILA

TH

EO

-C

EN

TR

IS

G

O

TO

N

G

RO

YO

N

G

NEGARA INDONESIA YANG

MERDEKA, BERDAULAT, BERSATU, ADIL DAN MAKMUR

PRESTASI & BERGUNA BAGI

SESAMANYA

GAMBAR 1: PENDIDIKAN BERIDIOLOGI PANCASILA

(11)

pendidikan akan diabdikan untuk melaksanakan perintah-perintahanya. Orang yang paling mulia adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Artinya, pendidikan tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga harus diabdikan untuk kepentingan orang lain dan pendidikan, bahkan segala perilaku dna aktivitas kehidupan adalah karena dorongan bersifat non material. Semua apa yang dilaksanakan dalam dunia pendidikan, harus dapat dikembalikan kepada Pancasila, sebagai idiologi pendidikian pendidikan Indonesia. Pilar Gotongroyong memiliki arti bahwa kehidupan pendidikan dalam mencapai tujuan harus dijiwai dan didasari bekerjasama-kebersamaan, untuk kemajuan bersama. Kebersamaan dan bekerjasama hanya akan dapat diujudkan manakala terdapat keadilan dan persatuan. Watak kompetisi dan persaingan tidak dilarang sepanjang searah dengan pengembangan watak dan perilaku bekerjasama dan kebersamaan tersebut.

(12)

PANCASILA

CORE NVALUES:

Theo Centris, Gotong Royong, Keadilan dan Kesetaraan

VISI & STRATEGI:

Kualitas Yang DiperuntukanBagi Semuanya PRAKTIK PENDIDIKAN:

Pembelajaran Berbasis Kepengasuhan

GAMBAR 2: STRUKTUR PENDIDIKAN BERIDIOLOGI

PANCASILA

TUJUAN PENDIDIKAN: Ekselensi dan berguna bagi sesaamanya

(13)

berorientasi pada individu. Kebutuhan, minat dan bakat siswa mendapatkan perhatian, sejalan dengan latar belakang yang dimiliki.

Praktik pendidikan pada pendidikan yang beridiologi Pancasila adalah memiliki suasana kepengasuhan. Yakni, orang yang lebih dewasa khususnya dalam hal ini guru, merupakan seseorang yang melaksanakan peran ganda. Disatu sisi berperan sebagai seorang profesional, yang segala tindakannya berdasarkan pengetahuan yang telah dipelajari dalam tempo yang lama untuk melaksanakan proses pembelajaran. Disisi yang lain sebagai orang tua, yang senantiasa mencintai anaknya dan berusaha keras disertai kerelaan berkorban guna keberhasilan anak-anaknya.

Watak kepengasuhan yang dimiliki oleh guru, akan menjadikan guru memiliki sifat selalu mencerahkan siswa, kapan dan dimanapun. Setiap saat siswa habis ketemu guru, maka siswa merasa lebih bahagia, lebih semangat belajar, dan lebih yakin bahwa masa depan aka dapat diujudkan dengan baik. Bukan malah sebaliknya,

PENDIDIKAN Barang-jasa konsumsiindividu Pelayanan jasa utkkemajuan masyarakat

UTAMA Orang tua-Individu Masyarakat Orang tua danmasyarakat PENGENDALI

UTAMA Internal sekolah- apayang diminta orang tua Eksternal- apa tujuanpemerintah Kemauan diri untukmenjadi orang yang

menfaat bagi

sesamanya MEKANISME Tidak puas- pindah

sekolah Tidak puas-gantipemerintah sesuai dng konstitusi

(14)

Tujuan pendidikan yang akan diujudkan lewat proses pembelajaran tdak lain adalah setiap diri siswa menguasai pengetahuan dan teknologi sesuai dengan standard yang telah ditentukan dan seiring dengan minat bakat siswa sendiri. Disamping itu, hasil pendidikan adalah berhasil menanamkan pada setiap diri siswa memiliki semangat untuk bisa bermanfaat bagi sesamanya. Jadi tujuan pendidikan yang akan diujudkan bukan sekedar untuk diri sendiri, melainkan harus dirasakan bagi lingkungannya.

Perbandingan diantara ketiga idiologi pendidikan diatas, Neo-Liberal, Negara Kesejahteraan dan idiologi pendidikan Pancasila, dapat ditampilkan sebagaiamana pada tabel 1. Perbedaan idiologi pendidikan akan terefleksikan dalam kebijakan dan praktik pendidikan. Secara ringkas perbedaan idiologi pendidikan dalam kebijakan dan praktik pendidikan akan muncul sebagai berikut.

(15)

TABEL 2: IDIOLOGI PENDIDIKAN DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN

DIMENSI PRAKTIK PENDIDIKAN

NEO LOIBERAL WELFARE STATE PANCASILA

Kurikulum Nasional sentralistis Global Nasonal, berwajah

lokal KTSP

Pembelajaran Metode utama

ceramah dan

pemecahan masalah

Metode utama

Inkuairi MetodeCooperative utama teaching & learning

Manajemen Sentralistis Lokal Desentralisasi

Pendanaan Masyarakat ditopang

pemerintah Pemerintah Pemerintahditopang

masyarakat

Patriotisme Nasionalisme Globalisme Nationalisme, Cinta

Tanah Air

PROSES IDIOLOGISASI DALAM PENDIDIKAN

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan idiologi, nilai-nilai yang terkandung dalam idiologi pendidikan mesti ditanamkan pada semua pesertadidik, yakni siswa untuk persekolahan. Tujuan pendidikan idiologi yang mesti diujudkan adalah mengembangkan pada setiap diri siswa kecintaan kepada tanah air dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang diujudkan dengan semangat untuk belajar keras sehingga memiliki kemampuan yang bisa berguna bagi sesamanya.

(16)

Kedua, akulturasi yang merupakan suatu proses untuk mengenalkan dan menanamkan budaya kepada generasi baru bangsa. Generasi baru dibiasakan dengan nilai-nilai dan keyakinan keyakinan yang terkandung dalam budaya bangsa yang diharapkan. Dalam proses akulturasi orang dewasa atau guru berperan sebagai model yang mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan yang dimaksud.

Ketiga, individualisasi sebagai suatu proses untuk menanamkan dan mengembangkan otonomi dan keotentikan pada diri setiap siswa atau anak. Hal penting karena masing-masing siswa memiliki karakteristik, minat dan bakat tidak mesti sama, sehingga setiap siswa memiliki kepribadian yang unik yang tidak bisa diseragamkam. Dalam proses individualisasi, seorang dewasa atau guru bertindak selaku fasilitator dan terapist, dimana dalam melaksanakan kegiatan bersifat permisif dan arahan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak atau siswa. Materi-materi yang disampaikan adalah yang dibutuhkan masing-masingsiswa atau anak. Pembelajaran dilakukan sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan maisng-masing anak atau siswa. Tujuan dari individualisasi adalah memberikan kesempatan masing-masing anak atau siswa berkembang secara optimal.

Tiga bentuk pendidikan idiologi sebagaimana dikemukakan diatas penting. Karena memang diantara ketiga konsep tersebut, idiologi, indoktrinasi dan pendidikan memiliki singgungan yang sulit untuk dinafikan, sekalipun di negara yang mengaku dan merasa dirinya kampiun demokrasi. Saat ini, di sementara negara bagian di Amerika Serikat, membahas teori Evolusi Charles Darwin yang menjelaskan bahwa manusia merupakan bentuk akhir yang berasal dari kera di dalam kelas bisa berujung ke pengadilan. Demikian pula, di beberapa negara di Eropa seperti di Perancis dan Jerman, seseorang mengemukakan pendapat bahwa peristiwa Holacust tidak ada, bisa langsung masuk penjara. Haram membawa persoalan itu ke ruang-ruang kelas. Kalau dipandang dari sisi berlawanan, berarti terjadi proses indoktrinasi pada siswa tidak boleh berpikir tentang tidak adanya peristiwa holacust.

Apa itu indoktrinasi? Menurut Merry (2005) suatu proses menanamkan suatu keyakinan dogmatis kepada para siswa dengan menafikan siswa selaku seeorang yang memiliki otonomi dan membungkam kemampuan daya nalar (critical thinking). Dalam realitas indoktrinasi banyak diaplikasikan untuk menanamkan pada diri siswa keyakinan-keyakinan atau prinsip prinsip yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kehidupan bangsa. Sebagai contoh, pada pendidikan di Amerika Serikat, buku-buku pelajaran senantiasa menyajikan bahwa sistem kapitalisme adalah sistem yang terbaik nyaris tanpa cela. Sebaliknya, sistem sosialis dan komunis adalah jelek, jahat dan membahayakan kehidupan umat manusia. Sementara itu, negara-negara sedang berkembang adalah negara yang masih sangat miskin terbelakang, sehingga penduduknya terjerat kemiskinan, penyakit dan pengangguran tanpa jaminan bisa makandan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Meskipun demikian, tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan argumentasi dan mencoba untuk membahas misalnya kelemahan-kelemahan sistem kapitalis. Patut juga dicatat, indoktrinasi sering dikaitkan dengan proses pendidikan moral.

(17)

yang diterima tanpa ada kajian kritis. Apa yang disampaikan langsung saja diterima dan diyakini kebenarananya. Mungkinkan itu bisa dilaksanakan? Kennedy (1948) dalam suatu pidato politik menyatakan: “No matter how big the lie; repeat it often enough and the masses will regard it as truth”. Jadi meskipun sesuatu hal itu salah atau tidak ada, kalau secara terus menerus disampaikan dalam tempo yang panjang, akhirnya sesuatu yang salah atau tidak ada, akhirnya akan diterima menjadi sesuatu yang benar atau sesuatu yangmemangada.

Indoktrinasi adalah suatu proses yang membungkam daya nalar kritis (critical thinking) siswa. Akibatnya siswa tidak akan bisa menyimpan dengan baik dogma yang ditanamkan dan siswa tidak akan menyadari pentingnya aplikasi daya nalar kritis. Jadi, manakala indoktrinasi tidak dapat dihindarkan, maka daya nalar kritis terpinggirkan. Muncul pertanyaan bisakah indoktrinasi ditinggalkan. Nampaknya sulit bagi pendidikan untuk meninggalkan indoktrinasi secara penuh. Sebab, tidak jarang keterbatasan perkembangan “nalar” tidak memungkinkan meninggalkan indoktrinasi.

Idiologisasi atau pendidikan idiologi mesti menjauhi indoktrinasi. Mengikuti pendapat Seigel (1998: 85) pendidikan perlu menanamkan idiologi dengan apa yang disebut “redeemable by reasons.” Artinya, sesuatu yang bersifat dogmatis, tetapi bisa dikaji secara rasional. Sebagai idiologi terbuka, maka semua gagasan yang terkandung dalam Pancasila, yang merupakan materi pokok dalam pendidikan idiologi, baik masing-masing sila, maupun nilai-nilai yang dikembangkan idiologi pendidikan seperti, theo-centris, gotong royong, keadilan-kesetaraan dan dorongan spiritual,bersifat terbuka untuk dikaji secara rasional dan didalami dengan nalar kritis. Jadi idiologisasi atau pendidikan idiologi memanfaatkan kapasitas daya nalar kritis bukan lewat indoktrinasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Dewey (1971, 9) bahwa pendidikan, intinya adalah proses berpikir, yang merupakan: “Active, persistent, and careful consideration of any belief or supposed form of knowledge inthe light of grounds that support it and the further conclusions to which it tends constitutes reflectivethought”.

Idiologisasi dengan “nalar kritis” (Dogmatic rationalism) amat diperlukan ketika siswa menghadapi realitas keanekaragaman budaya masyarakat. Dengan daya nalar siswa akan dapat meningkatkan penghargaan pada fihak lain, percaya diri dan secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya, serta bertindak demokratis. Oleh karena itu, berpikir kritis bukan tujuan dari suatu proses pendidikan melainkan sarana atau alat untu mewujudkan tujuan hakiki pendidikan.Dogmatic rationalism berbeda denganpragmatic rationalism. Yang pertama, cara pandang yang dapat dinilai sebagai sesuatu yang rasional, sedangkan yang kedua sesuatu sebagai dasar untuk menilai rasionalitas. Pada dogmatic rasionalism perbedaan antara indoktrinasi dan pendidikan dapat diketemukan, sedangkan pada pragmatic rasionalism antara pendidikan dan indoktrinasi tidak dapat dipisahkan.

PENUTUP

(18)

memayungi mereka semua. Maka, tidak lain hanya Pancasila yang bisa menjadi idiologi negara, termasuk menjadi sumber dari idiologi pendidikan Indonesia. Sementara ini disebut idiologi pendidikasn Panacasila.

Ke lima sila dalam idiologi pendidikan Pancasila, yang terujud dalam bentuk nilai-nilai moraldan etika kehidupan, mestidiajarkan di sekolah-sekolah baik melalui kurikulum diaplikasikan di ruang-ruang kelas maupun sebagai hiddencurriculum lewat perilaku tindak tanduk guru. Namun, proses penanamanidiologi pada diri setiap siswa mesti dengan pengembangan daya krtitis siswa sendiri, apabila tidak maka penanamanidiologi akan menjadi menjadi indoktrinasi dogmatik.

Tugas dan tanggung jawab utama seorang guru bukanlah mengindoktrinasi melainkan mendidik membantu siswa mengembangkan penguasaan pengetahuan, ketrampilan, cara berpikir dan karakter yang bisa membuka horison dan cara pandang yang luas guna membuka bagaimana memahami dunia dan kehidupan ini. Bangsa Indonesia, sudah tidak perlu tambahan orang-orang yang berpikiir sempit dan fanatik membabibuta. Melainkan kita perlu lebih banyak lagi orang-orang yang memiliki moral dan berpikir rasional serta memiliki komitmen untuk bisa memahami dan menilai moralitas orang lain berdasarkan perspektif fihak lain. Dari sinilah akan muncul toleransi yang merupakan kerangka kehidupan masa depan yang penuh perdamaian. Bagaimana melaksanakan itu semua? Bagaimana kita bisa mengembangkan nlai-nilai moralitas dan etika siswa tanpa melakukan indoktrinasi? Jawabnya jelas, bawa masuk daya nalar kritis critical thinkingdalam kurikulum dan pembelajaran secara mendasar baik bagi guru maupun bagi siswa. Membawa etika dan moral ke ruang-ruang kelas secara edukatif dapat dibenarkan dan sah. Guru dan staf administrasi mesti berpikir keras dan sungguh-sungguh apa yang mesti mendapat tekanan untuk dibawa masuk ke sekolah dan apa saja yang mesti dihindarkan. Sensibiilitas moral dan kemampuan deskriminatif pikir amat diperlukan untuk merancang kurikulum dan implementasi di ruang-ruang kelas.

Dalam dunia pendidikan, segala sesuatu mesti melewati pengambilam keputusan yang dilakukan secara kritis mengkaji fakta dengan berbagai konteksnya. Sekalipun misalnya, menyangkut doktrin agama mesti melewati proses berpikir kritis. Oleh karena itu pengembangan berpikir kritis merupakan keniscayaan. Dengan demikian para siswa akan mampu untuk mengambil keputusan secara rasional, sekalipun yang berkaitan dengan masalah idiologi. Sudah barang tentu bekaitan dengan pengembangan kemampuan untuk memngambl keputusan berkaitan dengan masalahidiologi merupakan sesuatu yang tidak mudah karena setiap diri siswa tidak lepas dari perspektif berbeda yang interest dan minat yang berbeda dengan moralitas tersebut. Tetapi bagaimanapun sulitnya, pendidikan idiologi dengan mengedepankan daya nalar kritis bisa dan mesti dilaksanakan.

(19)

KEPUSTAKAAN

Dewey, John (1971) How We Think (1933; repr.) Chicago: Henry Regnery).

Edi Swasono, Sri (2012) “Budaya Pancasila: Doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan dalam perspektif ekonomi dan kesejahteraan social”, dalam Kebudayaan

mendesain masa depan, diedit oleh Sri-Edi Swasono dan Sudartomo Macaryus. Yogyakarta: UST-Press.

Kennedy, John F.(1948) "Democratic Party"speech”. Undated. Laursen, Per F. (2006) Ideological Power in Education.

European Educational Research Journal, v5 n3-4 p276-284

Meighan, R. & Harber, C. (2007) A Sociology of educating. Boston, MA: Continuum. Merry, Michael S. (2005) indoctrination, moral instruction, and

Nonrational beliefs: a place for autonomy?

Educational Theory, volume 55, number 4: 399-420.

Park, James (2003)The emotional literacy handbook : promoting whole-school strategies. London, England: David Fulton Publishers in association with

Antidote.

Seigel, harvey (1988) Educating reason. Rasionality, critical thinkingh and education. Nw York, NY: Routledge Inc.

--- (1999). What (good) are thinking dispositions? Educational Theory 49, 2: 207-21.

Spring, Joel (2004) Intergovernmental organizations, NGOs, and the decline of

the nation-state. New York, NY: Routledge.

Gambar

GAMBAR 1: PENDIDIKAN BERIDIOLOGI PANCASILA
GAMBAR 2:  STRUKTUR PENDIDIKAN BERIDIOLOGI
TABEL 1: PERBANDINGAN IDIOLOGI PENDIDIKAN
TABEL 2: IDIOLOGI PENDIDIKAN DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN

Referensi

Dokumen terkait

siswa kelas III semester II SD N 3 Tukadmungga tahun pelajaran 2015/2016 ini tidak terlepas dari kendala dalam penerapannya. Namun secara umum, kendala yang dialami

Puji syukur kepada Allah SWT,atas segala Rahmat dan Karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis perilaku menyimpang

1) Interview bebas yaitu, suatu wawancara yang dilakukan secara bebas namun tetap memperhatikan relevansinya dengan masalah yang diteliti. 2) Interview terpimpin

Pemberian parit pada areal tidak meningkatkan berat biji per hektar dibandingkan tanpa parit namun pemberian bahan organik di dalam parit meningkatkan berat biji per

Dengan tujuan menghasilkan potensi gas Landfill yang dihasilkan dari penguraian limbah organik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Kabupaten Bekasi sebagai

Baglog Jamur tiram Miselium sudah penuh... Makanan olahan

Penelitian ini hanya sebatas analisis untuk menentukan political personality Ridwan Kamil melalui foto dan caption yang diunggah pada akun instagram @ridwankamil..

The objective of this study is to investigate the use of high resolution photogrammetric point clouds together with two novel hyperspectral cameras in VNIR and