You are here:
Home
/
Seni dan Budaya
/ Alat Musik Karo
Alat Musik Karo
12 APRIL 2012 BY CHERY LEAVE A COMMENT
Beberapa
alat
musik
karo
tradisional
karo
:
a.Kulcapi
b.
Sarune.
1. Anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah
tua dan kering. Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada
embulu-embulu,
dengan
posisi
kedua
sudut
daun
tersebut,
2.Tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sama dengan jarak antara
satu
lobang
nada
dengan
nada
yang
lain
pada
lobang
sarune,
3. ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampung bibir pada saat meniup sarune.
Bentuknya melingkar dnegan diameter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak,
4. batang sarune, bagian ini adalah tempat lobang nada sarune, bentuknya konis baik bagian dalam maupun luar. Sarune mempunyai delapan buah
lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang 1 ke lobang adalah 4,6 cm dan jarak lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak
antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang ke lempengan 5,6 cm.
5. gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sama dengan batang sarune. Bentuk bagian
dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya konis. ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang batang sarune yaitu 5/9.
c.
Gendang
Alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasi ke dalam kelompok membranofon konis ganda yang dipukul
dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindung (induk).
Gendang singanaki di tambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi
estetis
akustiknya
1.tutup gendang, yaitu bagian ujung konis atas. Tutup gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir
penampang
endang.
Bingkainya
terbuat
dari
bambu.
2.Tali gendang lazim disebut dengan tarik gendang terbuat dari kayu nangka(Artocarpus integra sp). Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian
atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan keseluruhan 44 cm. ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak,
diameter bagian atas 4 cm, diameter bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruhan 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu
3.jeruk purut. Alat pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penampang dan penampung relatif 2 cm.
Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu
jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampangnya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri.
Panjang
keduanya
sama
14
cm.
(Sumber: dari berbagai sumber)
Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Wilayah Pengaruh Suku Karo[sunting]
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:
Tanah Karo terletak di kaki Gunung Sinabung (foto diambil sekitar tahun 1917).
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut terites. Terites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/ kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.
Kota Medan
[sunting]
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Kota Binjai
[sunting]
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Dairi
[sunting]
Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:
Kecamatan Taneh Pinem
Kecamatan Tiga Lingga
Kecamatan Gunung Sitember
Kabupaten Aceh Tenggara
[sunting]
Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
Kecamatan Simpang Simadam
Marga[sunting]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Marga Karo
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan
untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:
1. Karo-karo : Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu dll (Jumlah = 18) 2. Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero dll (Jumlah = 13)
3. Ginting: Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata, Manik, dll (Jumlah = 16)
4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dll (Jumlah = 15)
5. Perangin-angin: Bangun, Sukatendel ,Kacinambun, Perbesi,Sebayang, Pinem, Sinurat dll (Jumlah = 18) Total semua submerga adalah = 84
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah di antara mereka.
Rakut Sitelu[sunting]
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelutersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
1. kalimbubu
2. anak beru
3. senina
Tutur Siwaluh[sunting]
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
1. puang kalimbubu
Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari
keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah
kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut
kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi
seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
3. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak
beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat
dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin
keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka
tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah
anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Aksara[sunting]
Aksara Karo
Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Kebudayaan tradisional[sunting]
Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, di antaranyatari tradisional:
Piso Surit
Lima Serangkai
Tari Terang Bulan
Tari Roti Manis
Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan kata Gundala.
Kegiatan Budaya[sunting]
Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.
Ndilo Udan - memanggil hujan.
Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".
Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
Erpangir Ku Lau - penyucian diri (untuk membuang sial).
Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
Gereja yang dinominasi suku Karo
S
ecara garis besar suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, dan beberapa tempat lain seperti Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi,Kabupaten Simalungun, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten disalah satu wilayah
yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.
Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang
digambarkan oleh
J.H. Neuman
dalam buku lentera kehidupan orang Karo dalam berbudaya
(Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:
“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang
memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai
Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), disebelah Barat dibatasi
oleh gunung Sinabung dan disebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran rendah Deli
dan Serdang.”
Dari gambaran luas daerahnya diatas, domisili masyarakat Karo ini memang tidak dapat
dibantah, bahwa ada beberapa kelompok yang berdomisili di daerah pantai dan hidup
berdampingan dengan penduduk Melayu, dan secara bertahap kedua suku tersebut saling
berbaur dan berakulturasi antara sesamanya.
Dengan demikian, orang-orang Karo yang tersebar dan berakulturasi dengan suku-suku lain
tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan julukan atas dasar wilayah komusitasnya seperti :
Karo Kenjulu, Karo Teluh Dereng, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur
dan Karo Dusun.
Karo Kenjulu
adalah sebahagian besar wilayah Kabupaten Karo, yakni kecamatan Kabanjahe,
Berastagi, Tiga Panah, Barusjahe, Simpang Empat, Payung.
Yang termasuk dalam
Karo Teruh Deleng
adalah kecamatan Kuta Buloh, Kec. Payung, kec.
Lau Baleng dan kec. Mardinding.
Sementara
Karo Singalor Lau
meliputi kecamatan Tiga Binanga, kecamatan Juhar, dan
kecamatan Munte.
Yang termasuk Karo Baluren adalah kecamatan Tanah Pinem dan kecamatan Tigalingga.
Kecamatan Tanah Pinem sudah merupakan bagian dari kabupaten Dairi.
Yang termasuk
Karo Langkat
adalah masyarakat Karo yang tinggal di kabupaten Langkat dan
Yang termasuk
Karo Timur
adalah yang tinggal di wilayah kecamatan Lubuk Pakam,
kecamatan Bangun Purba, kecamatan Galang, kecamatan Gunung Meriah, kecamatan Dolok
Silau dan kecamatan Silimakuta. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah kabupaten Deli
Serdang dan kabupaten Simalungun.
Yang termasuk dalam wilayah
Karo Dusun
adalah kecamatan Sibolangit, Kecamatan
Pancurbatu, Kecamatan Namorambe, Kecamatan Sunggal, kecamatan Kutalimbaru,
kecamatan STM-Hilir, Kecamatan STM-Hulu, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan
Tanjung Morawa dan Kecamatan Biru-biru. (ibid : 37).
Selain wilayah-wilayah tempat tinggal yang telah dijelaskan di atas, masih ada wilayah yang
cukup penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo, yaitu wilayah kota Medan
(ibukota propinsi Sumatera Utara). Di sepanjang jalan dari Kabanjahe/Kabupaten Karo menuju
kota Medan juga terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) yang juga menjadi domisili
orang Karo seperti: kota Berastagi, desa Bandarbaru, desa Sibolangit, desa Sembahe, dan
Pancurbatu (kecuali Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah kabupaten
Deliserdang).
Memasuki wilayah kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: desa Lau Cih,
Kelurahan Simpang Selayang, Simpang Kuala dan Padang Bulan yang sebagian besar
penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah tersebut, walaupun telah lama
tinggal secara menetap, namun secara kekerabatan masih mempunyai hubungan dengan
masyarakat Karo yang tinggal di wilayah kabupaten Karo.
ADAT BATAK KARO “MESUR – MESURI” / NUJUH BULAN
Posted on June 11, 2013 by admin1001
Salah satu adat istiadat Batak Karo yang dilakukan adalah Adat Mesur – Mesuri atau
terjemahan lansungnya adalah “Kenyang-Kenyangan” yang dalam bahasa Indonesia
disebut Upacara Nujuh Bulan / Tujuh Bulanan/ Nujuh Bulan yang setiap daerah
hampir dilakukan oleh semua suku termasuk suku Batak Karo.
dilakukan di gedung pertemuan atau paling tidak ada penambahan tenda di luar
rumah.
Adapun acara Mesur-mesuri ini dilakukan agar janin yang dikandung sehat jasmani
dan rohani termasuk si ibu pun telah siap mental dan phisik dalam menjalani
persalinan sehingga semuanya berjalan dengan baik sehingga sicalon bayi lahir
dengan selamat dan kondisi siibu pun tetap sehat tidak kurang suatu apapun.
Dalam acara tersebut diberikan berbagai macam makanan dan buah yang “disukai”
oleh pihak calon ibu maupun ayah, dan itu semua disiapkan oleh pihak keluarga ibu
dari istri yang menjalani acara mesur-mesuri atau dalam adat Karo disebut “Singalo
Bere-bere” dan “Singalo Perkempun”, yang biasanya makanan khas Karo utamanya 1
(satu) ekor ayam utuh digulai dengan gulai khas Karo dan kue khas Karo seperti
cimpa unung-unung dan tuang, buah kelapa muda utuh dan sebagainya (lihat foto)
Sebelum keluarga lainnya makan, maka didahului dengan doa menurut agama dan
kepercayaannya baru diberi kesempatan kepada pihak calon ibu dan calon ayah
makan bersama beralaskan tikar putih bersih diruang tersendiri/ kamar dan kemudian
disusul pihak keluarga lainnya.
Selesai acara makan, maka dilakukan acara untuk memberi petuah-petuah dan juga
pengalaman-pengalaman para ibu waktu melahirkan dari semua keluarga yang hadir
sesuai dengan possi adatnya (Tutur Siwaluh) dalam keluarga tersebut, yang dipandu
oleh “Anak Beru”.
Acara Mesur-Mesuri (Nujuh Bulan) arti terjemahan langsung adalah acara
“Kenyang-Kenyangan”, oleh sebab itu sebelum acara dimulai Pihak Anak Beru bertanya kepada
calon Ibu apakah masih ada makanan atau minuman yang belum terpenuhi selama
tujuh bulan ia mengandung janinnya. Apabila masih ada makanan dan minuman yang
belum terpenuhi dalam acara tersebut, maka Pihak Anak Beru pada detik itu juga
harus menyediakannya atau bila perlu membelinya ke pasar dan sebagainya sehingga
semua keinginannya terpenuhi dengan baik pada acara tersebut agar nantinya anak
yang dilahirkan tidak selalu “ngences” dalam masa pertumbuhannya dikemudian
hari..
Pada acara tersebut di lakukan tak ubahnya seperti acara adat pesta perkawinan Adat
Batak Karo, yang setiap posisi adatnya (Tutur Siwaluh) di keluarga ini memberikan
nasiha-nasihat agar sang ibu telah siap mental dan phisik dalam menghadapi
persalinan termasuk kepada suaminya agar lebih memperhatikan istrinya yang
kemungkinan bisa saja lahir diluar dari perkiraan semula.
Selesai acara tersebut sebelum keluarga pulang ke rumah masing-masing, khusus
untuk keluarga dari pihak calon ibu baik itu “Singalo Bebere” dan “Singalo
dalam acara tersebut menjadi tanggung jawab dari keluarga calon ayah. Hal ini
dilakukan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas berkat dan lindunganNya,
anaknya dalam waktu dekat akan menjadi seorang Ibu yang akan melahirkan cucu
yang mereka idamkan dan inginkan selama ini. (rophian sembiring gurukinayan).
Mengupas Budaya “Batak Karo”
Posted by Hiskia Alvaro Ginting Minggu, 17 Februari 2013 0 comments
Pada postingan kali ini, saya akan mengupas sedikit tentang asal usul budaya & suku saya. Suku ini telah melahirkan banyak orang penting di Indonesia bahkan di Dunia. Anda ingin tau lebih jelasnya ?
Silahkan baca selengkapnya artikel ini…
Karo adalah salah Suku Bangsa asli yang mendiami Pesisir Timur (Ooskust) Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan Sumatera Timur, Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara. Nama suku ini juga dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Suku Karo juga sering disebut suku Batak Karo. Hal ini dikarenakan banyaknya marga, kekerabatan, kepercayaan, dan geografs domisilinya yang dikelilingi etnis-etnis yang dikatakan Batak. Orang Karo menyebut dirinya kalak Karo, orang diluar Karo dan tidak mengenal Karo-lah yang kemudian memanggil mereka Batak Karo.
Benar tidaknya Karo ini dikatakan Batak, tergantung pada persepsi Batak yang ditawarkan. Sebab, jika konsep Batak yang ditawarkan adalah Batak yang didasarkan pada hubungan vertikan(geneologi/keturunan darah) seperti yang berlaku di Toba-Batak, bahwa Si Raja Batak adalah nenek moyang bangsa Batak, maka Karo bukanlah Batak! Hal ini dikarenakan eksistensi Karo yang teridentifkasi lebih awal dibandingkan kemunculan Si Raja Batak ini( Karo jauh sudah ada sebelum kemunculan Si Raja Batak diabad ke-13 Masehi) yang didasarkan pada fakta sejarah, logika, dan tradisi di Karo dan suku-suku lainnya yang dikatakan Batak. Namun, jika batak yang didasarkan pada kekerabatan horizontal (solidaritas, teritorial, dan geografs) maka Karo adalah bagian dari Batak.
Masa Kerajaan Karo
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Wilayah Suku Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:
Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografs, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut terites. Terites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.
Kota Medan
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.(lahir di Aji Jahe, hidup sekitar akhir abad 16 dan awal abad ke-17) Medan diambil dari Kata Madan,
Sebelum Guru Patimpus Sembiring Pelawi memeluk Agama Islam, dia adalah seorang yang mempunyai kepercayaan Pemena. Guru Patimpus Sembiring Pelawi menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan dan mempunyai dua anak lelaki, masing-masing bernama Kolok dan Kecik.
KAIN ADAT SUKU KARO ( UIS ADAT KARO)
Posted on September 22, 2012 by admin1001