• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Etika dalam Penelitian Anali (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelanggaran Etika dalam Penelitian Anali (2)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Ujian Akhir Semester Pengantar Pengolahan Data Kualitatif Nama : Ayuni Yustika Sari

NPM : 1606823973

Prodi : Ilmu Hubungan Internasional

Kelas : PPDK G

Dosen : Drs. R. Sulastiawan, M.A.

Pelanggaran Etika dalam Penelitian Sosial: Analisis Kasus Stanford Prison Experiment

Etika dimaknai sebagai prinsip moral yang paling mendasar dalam penelitian pada umumnya. Kode etik merupakan suatu pedoman yang tidak boleh dilanggar oleh peneliti dalam melakukan penelitian sosial. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran etika yang terjadi dalam Stanford Prison Experiment, eksperimen untuk sebuah penelitian psikologi di tahun 1971. Esai ini akan terbagi menjadi empat babak. Pertama, akan dipaparkan kedudukan pelanggaran etika dalam suatu penelitian sosial. Kedua, akan diuraikan latar belakang dan kronologi dari Stanford Prison Experiment. Ketiga, akan ditulis analisis penulis terkait pelanggaran etika dalam penelitian tersebut. Keempat, tulisan ini akan ditutup oleh sebuah kesimpulan.

Konseptualisasi pelanggaran etika dalam penelitian sosial

Kode etik merupakan suatu pedoman dalam melakukan penelitian pada umumnya. Tiap-tiap disiplin ilmu memang menafsirkan pendekatan yang digunakan dengan cara yang berbeda, namun setiap pendekatan tentu akan menghargai dimensi etika dan moral. Dibalik konsep kode etik, maka terdapat kemungkinan akan timbulnya pokok persoalan dalam suatu penelitian terkait dimensi etika. Beberapa di antaranya adalah keprihatinan, dilema, serta perselisihan yang muncul dalam pelaksanaan penelitian. Oleh karenanya, diperlukan bagi seorang peneliti untuk menyeimbangkan dua aspek dalam sebuah penelitian: pencarian temuan ilmiah (the pursuit of scientific knowledge) dan hak yang dimiliki oleh partisipan maupun masyarakat yang terlibat dalam riset.1

Secara konkret, etika dalam penelitian sosial dikatakan dilanggar jika memunculkan kerugian di sisi partisipan riset. Suatu penelitian sosial dapat merugikan partisipan dalam wujud kekerasan fisik (physical harm); penyiksaan terhadap segi psikologis yang kemudian dapat menimbulkan stres dan hilangnya rasa percaya diri; kerugian secara ekonomi; bahkan

(2)

menjerumuskan partisipan untuk melakukan pelanggaran di bidang hukum (legal harm).2 Oleh

karenanya, seorang peneliti diimbau untuk lebih peka; dapat mencegah berbagai kemungkinan dalam penelitian yang dapat menimbulkan kerugian pada peserta; serta menimbang potensi kerugian dengan manfaat terhadap penelitian, namun tidak lupa untuk bertanggungjawab.3

Prinsip etika yang mendasar dalam penelitian sosial adalah adanya prinsip persetujuan yang sukarela (principle of voluntary consent) atau tidak adanya paksaan dari peneliti terhadap partisipan yang terlibat. Pada hakikatnya, partisipan sebaiknya menegaskan persetujuannya secara gamblang untuk turut serta; serta memiliki hak untuk menolak untuk terlibat dalam suatu penelitian. Guna menyelesaikan penelitiannya, seorang peneliti terkadang menggunakan teknik muslihat (deception) pada partisipan yang ikut serta. Untuk mencapai persetujuan dan menghindari penipuan, maka partisipan perlu diberitahukan mengenai apa yang akan mereka ikuti dan hadapi dalam penelitian tersebut. Kadang kala, terdapat penandatanganan persetujuan dari peserta sebagai perwujudan dari informed consent.4

Pada dekade 1960-an, sejumlah persoalan etika mulai bermunculan di dalam disiplin ilmu psikologi, hingga dibentuklah Ethical Conduct for Research Involving Humans yang diresmikan oleh Kanada guna mengawasi para psikolog dalam menjalani eksperimen.5 Kode etik

yang diresmikan tersebut berlaku pada semua eksperimen psikologi yang melibatkan subjek manusia. Karena psikologi tidak dapat berkembang tanpa kehadiran eksperimen yang serta-merta dapat menghindari kesulitan dalam penelitian, maka kode etik tersebut digunakan sebagai perangkat yang menekankan hak asasi manusia dalam suatu eksperimen psikologi.6 Salah satu

pelaksanaan eksperimen yang menyalahi kode etik psikologi adalah Stanford Prison Experiment. Di satu sisi, penelitian tersebut dihadapi dengan sejumlah kecaman. Di sisi lain, pelanggaran etika dalam penelitian tersebut berpengaruh besar terhadap haluan etika dalam kajian psikologi.7

Kehadiran pelanggaran etika dalam disiplin ilmu psikologi memunculkan tatanan kode etik yang dipegang erat oleh peneliti psikologi di penjuru dunia, yakni Universal Declaration of Ethical Principles for Psychologists yang dipersembahkan oleh Kongres Internasional Psikologi pada Juli 2008.8

Latar belakang dan kronologi Stanford Prison Experiment 2Ibid., hlm. 147–149.

3Ibid., hlm. 150. 4Ibid., hlm. 151.

5 John G. Adair, “Ethics of Psychological Research: New Policies; Continuing Issues; New Concerns,” Canadian Psychology 42, no. 1 (Februari 2001): hlm. 25.

6Ibid., hlm. 26

7 Carole Sinclair, “Ethics in Psychology: Recalling the Past, Acknowledging the Present, and Looking to the Future,” Canadian Psychology 58, no. 1 (Februari 2017): hlm. 25.

(3)

Di tahun 1971, Dr. Philip Zimbardo dari Universitas Stanford beserta dua koleganya, Craig Hanney dan Curtis Banks, setuju untuk melakukan sebuah eksperimen psikologi mengenai hubungan antara tawanan (prison) dan sipir (warden) dalam kehidupan penjara. Eksperimen ini kemudian dikenal sebagai Stanford Prison Experiment. Dalam konteks ini, Zimbardo membuat sebuah penjara tiruan dengan sebuah kamera yang siap memantau gerak-gerik tawanan dan sipir.9 Zimbardo memiliki dua variabel dalam penelitian ini, yakni dispositional variable dan situational variable. Penelitian terhadap perilaku sipir yang diduga relatif sadis merupakan

dispositional variable, sedangkan lingkungan penjara yang menekan berlaku sebagai situational variable.10

Langkah pertama Zimbardo adalah mencari subjek penelitian dengan memasang iklan di suatu koran yang berisi “dicari: sukarelawan laki-laki yang untuk berpartisipasi dalam penelitian psikologi terkait kehidupan dalam penjara dengan bayaran 15 dollar per hari untuk satu hingga dua minggu.” Hasilnya, dari 75 responden yang mendaftar, terdapat 22 partisipan yang terpilih. Partisipan tersebut dianggap memenuhi prasyarat Zimbardo, yakni: tidak pernah melakukan tindak kriminal; tidak pernah memiliki gangguan psikologis; serta tidak memiliki masalah kesehatan yang besar. 22 partisipan ini kemudian dipilihkan peran oleh Zimbardo dalam eksperimen ini sebagai tawanan atau sebagai sipir. Sejak awal, Zimbardo telah menempatkan perannya dalam eksperimen ini, yakni selaku pemimpin tertinggi penjara (superintendent) yang memegang kekuasaan tertinggi.11

Langkah selanjutnya adalah pembuatan penjara tiruan di suatu koridor ruang bawah tanah gedung Departemen Psikologi Universitas Stanford. Penjara tiruan tersebut memiliki satu pintu masuk serta memuat tiga ruang tahanan seluas 1,8 × 2,7 meter. Di dalam ruang tahanan, terdapat satu kasur untuk setiap tawanan yang mengisi. Di seberang tiga ruang tahanan, terdapat sebuah ruangan isolasi bagi tawanan yang melanggar peraturan penjara. Ruangan tersebut merupakan ruangan tanpa lampu yang berukuran 0,6 × 0,6× 2,1 meter. Sisa dari ruangan tersebut diberikan untuk ruang makan dan kamar tidur para sipir. Di ujung ruangan, terdapat perlengkapan video untuk merekam dan memantau eksperimen tersebut.12

Sebelum memulai penelitian, Zimbardo membuat persetujuan dengan tanda tangan para partisipan terkait kemiripan penelitiannya dengan kehidupan dalam penjara, layaknya tanggungan makanan yang minim dan seragam penjara. Dalam kontrak tersebut, terdapat pernyataan secara tersurat bahwa tahanan akan selalu ada di bawah pengawasan tanpa adanya

9 Philip Zimbardo, Craig Haney, dan Curtis Banks, “A Study of Prisoners and Guards in a Simulated Prison,” Naval Research Reviews, September 1973, hlm. 4.

10 Saul McLeod, “Zimbardo: Stanford Prison Experiment,” Simply Psychology, 2017, diakses 15 Desember 2017 melalui https://www.simplypsychology.org/zimbardo.html.

(4)

privasi; serta dapat menerima pelanggaran hak-hak sipil yang mendasar. Di luar persetujuan tersebut, Zimbardo tidak mencantumkan petunjuk konkret akan perilaku sipir yang sesuai (appropriate). Partisipan yang mengemban peran sebagai tahanan akan tinggal di penjara tiruan sepanjang 24 jam setiap harinya hingga waktu penelitian selesai. Sedangkan, partisipan yang berperan sebagai sipir dijadwalkan untuk menjaga tahanan delapan jam per tiga orang sipir.13

Sebagai bagian dari internalisasi peran, Zimbardo menentukan penyeragaman konstum bagi sipir dan tawanan. Sipir mengenakan seragam standar sipir, membawa sebuah peluit, tongkat kayu polisi, serta memakai kacamata hitam yang kemudian tidak memungkinkan bagi tawanan untuk menatap mata sipir secara langsung. Tawanan hadir dengan baju penjara yang terbuat dari kain kasa dengan nomor tawanan di dada dan punggung, tidak memakai pakaian dalam, mengenakan stocking di atas kepala, serta dikuncikan sebuah rantai di salah satu kaki. Barang pribadi tidak diperbolehkan untuk dibawa oleh para tawanan.14 Dikotomi seragam antara

dua kelompok ini secara tidak langsung melucuti sense of self yang ada dalam diri partisipan, seolah-oleh partisipan benar-benar berada dalam sebuah penjara sebagai seorang tawanan.

Setiap harinya, tawanan—yang dipanggil bukan dengan nama, melainkan dengan nomor tawanan mereka—selalu melakukan hal-hal yang diperintah oleh sipir.15 Para tawanan

dihadapkan dengan hinaan, suruhan yang picik, serta tugas-tugas tanpa arti. Jika tawanan tidak dapat memenuhi perintah sipir, maka akan dihukum dengan push-up, namun terkadang dipersulit dengan menyuruh satu atau dua untuk duduk di atas punggung tawanan yang sedang dihukum. Hari pertama berjalan dengan semestinya. Di hari kedua, tawanan mulai melakukan perlawanan seperti melepaskan stocking di atas kepala, hingga merobek nomor tawanan yang terjahit pada seragam tawanan. Seluruh sipir yang bertugas lantas marah besar dan menyita segala fasilitas yang ada di dalam ruang tahanan.16 Sejumlah tawanan dikabarkan mengalami gangguan

emosional dan tekanan psikologis, sehingga Zimbardo harus mengakhiri eksperimen ini pada hari ke-enam, di mana seharusnya berlangsung hingga dua minggu.17

Analisis pelanggaran etika dalam Stanford Prison Experiment

Pertama, penyelewengan kode etik utama dalam eksperimen Zimbardo datang dari aspek fisik yang ditunjukkan pada kontrak yang ditandatangani oleh partisipan sebelum melakukan penelitian. Dalam kontrak tersebut, terdapat persetujuan (consent) bahwa pihak yang berperan sebagai tawanan tidak akan mendapat kekerasan fisik. Dari hari ke hari, para sipir lebih merasa memegang kekuasaan (power) di dalam penjara tersebut dan mulai memukul para tawanan yang

13Ibid., hlm. 6–7. 14Ibid., hlm. 8. 15Ibid., hlm. 9.

16 McLeod, “Zimbardo.”

(5)

tidak tunduk pada perintah sipir. Hal ini membuktikan bahwa terdapat deception dalam penelitian ini, serta adanya consent dari partisipan yang dilanggar. Jika berkaca dengan kode etik, maka seharusnya eksperimen Zimbardo berhenti pada saat itu juga.

Kedua, para partisipan yang berperan sebagai sipir dirasa kurang terlatih, alih-alih menyelewengkan kekuasaan yang telah diberikan kepada mereka (abuse of power). Hal ini lantas menciptakan pelanggaran kode etik yang tidak hanya berdampak fisik bagi para pesertanya, namun juga dari aspek psikologis. Beberapa partisipan yang berperan sebagai tawanan dikabarkan mengalami trauma dalam jangka panjang. Penyiksaan berat yang dilakukan oleh para sipir ini berdampak pada emosi para tawanan yang kemudian tidak terkendalikan. Hal ini menunjukkan bahwa para partisipan tidak siap jika dihadapi dengan sesuatu yang menantang mental layaknya penelitian ini.

Ketiga, pelanggaran etika terjadi ketika partisipan meminta untuk mundur dari penelitian ini, Zimbardo menolaknya.18 Zimbardo kemudian berargumen ia tidak menyangka bahwa

eksperimen ini akan meleraikan efek yang dramatis bagi para partisipan yang turut serta. Sebagai dampaknya, Zimbardo dihadapi dengan dilema etika (ethical dilemma). Eksperimen ini dapat berbuah hasil yang terkemuka jika dilanjutkan, namun di sisi lain akan sangat merugikan partisipan jika tidak dihentikan secepatnya. Penelitian Zimbardo ini lantas banyak dikritisi oleh para ilmuwan sosial.19 Dua tahun setelah penelitian tersebut dilaksanakan dan tidak lama setelah

Zimbardo mempublikasikan jurnal resmi mengenai penelitain tersebut, tidak hanya di kalangan akademisi, Zimbardo mendapat respons dari masyarakat luas.20

Jenis Jumlah

Telepon terkait detail informasi eksperimen 215

Korespondensi dari tahanan penjara 202

Korespondensi dari karyawan penjara 70

Korespondensi dari berbagai organisasi 30

Korespondensi dari para politisi 25

Korespondensi dari ilmuwan sosial 210

Korespondensi dari mahasiswa 90

Korespondensi dari masyarakat luas 230

Total 1072

18 Scott Drury et al., “Zimbardo on His Career and the Stanford Prison Experiment’s 40th Anniversary,” History of Psychology 15 (2012): hlm. 162.

19 Christina Maslach, “The Stanford Prison Experiment: Still Powerful After All These Years,” Stanford News, 12 Agustus 1996, diases 15 Desember 2017 melalui https://news.stanford.edu/pr/97/970108prisonexp.html.

(6)

Keempat, jika dilihat dari tinjauan kajian psikologi, penelitian ini telah melanggar tujuh pasal dari code-of-conduct yang dicanangkan oleh American Psychological Association.21 Pasal

2.01.B terkait penyelenggaraan eksperimen yang tertata dilanggar karena eksperimen yang dilakukan Zimbardo dirasa tidak dapat diprediksi dan disiapkan dengan tidak layak. Pasal 2.06.B terkait pengambilan keputusan telah dilanggar karena Zimbardo terlalu berkecimpung dalam eksperimen tersebut, lantas tidak dapat membuat keputusan. Pasal 3.03 mengenai kekerasan dalam penelitian dilanggar karena para sipir teralih dalam perannya untuk sadar bahwa mereka melukai para tawanan. Pasal 3.04 mengenai pencegahan kekerasan dilanggar oleh Zimbardo karena ia tidak mengambil langkah untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik di antara para partisipan. Pasal 3.06 mengenai konflik kepentingan dilanggar oleh Zimbardo yang tidak secepatnya turun tangan guna menyelesaikan eksperimen. Pasal 3.10.B mengenai informed consent dilanggar karena tidak adanya penjelasan akan kemungkinan kekerasan fisik serta penyelewengan prosedur. Terakhir, pasal 4.05.B.3 mengenai perlindungan partisipan dari bahaya telah dilanggar karena para peneliti yang terlibat tidak melindungi partisipan—terutama para tawanan—dari bahaya yang datang.

Kesimpulan

Setelah ditinjau, penulis mempertimbangkan bahwa Zimbardo tidak memikirkan kemungkinan konsekuensi secara keseluruhan terkait apa yang dapat terjadi dalam penelitian ini. Pelanggaran etika dalam kasus Zimbardo ini terjadi karena kurangnya materi informatif, tidak adanya pelatihan bagi para tawanan, serta peranan Zimbardo yang terlalu terinternalisasi pada eksperimen ini. Kepentingan konflik Zimbardo lantas menciptakan efek domino bagi penelitian secara keseluruhan. Kendati demikian, eksperimen ini kemudian menjadi sorotan dalam kajian penelitian psikologi sebagai tolok ukur pelanggaran etika yang menyebabkan penderitaan psikologis (psychological distress) bagi para partisipannya. Dengan ini, penting bagi seorang peneliti untuk menempatkan etika sebagai prioritas ketika melakukan sebuah penelitian.

(7)

Daftar Pustaka

Adair, John G. “Ethics of Psychological Research: New Policies; Continuing Issues; New Concerns.” Canadian Psychology 42, no. 1 (Februari 2001): halaman 25–37.

American Psychological Association. “Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct.” American Psychological Association, 2017. Diakses 15 Desember 2017 melalui http://www.apa.org/ethics/code/.

Drury, Scott, Scott A. Hutchens, Duane E. Shuttlesworth, dan Carole E. White. “Zimbardo on His Career and the Stanford Prison Experiment’s 40th Anniversary.” History of Psychology 15 (2012): halaman 161–170.

Gauthier, Janel. “The Universal Declaration of Ethical Principles for Psychologists Presented at the United Nations DPI/NGO Conference in Paris.” American Psychological Association, Oktober 2008. Diakses 15 Desember 2017 melalui http://www.apa.org/international/ pi/2008/10/gauthier.aspx.

Maslach, Christina. “The Stanford Prison Experiment: Still Powerful After All These Years.”

Stanford News, 12 Agustus 1996. Diakses 15 Desember 2017 melalui https://news.stanford.edu/pr/97/970108prisonexp.html.

McLeod, Saul. “Zimbardo: Stanford Prison Experiment.” Simply Psychology, 2017. Diakses 15 Desember 2017 melalui https://www.simplypsychology.org/zimbardo.html.

Neuman, W. Laurence. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Edisi ke-7. Harlow: Pearson, 2014.

Sinclair, Carole. “Ethics in Psychology: Recalling the Past, Acknowledging the Present, and Looking to the Future.” Canadian Psychology 58, no. 1 (Februari 2017): halaman 20–29. Zimbardo, Philip. “On the Ethics of Intervention in Human Psychological Research: With

Special Reference to the Stanford Prison Experiment.” Cognition 2, no. 2 (Februari 1973): halaman 243–256.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penggunaan Metode Struktural Analitik Sintetik (Sas) dalam Meningkatkan Kemampuan Menulis Braille pada Peserta Didik Tunanetra.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Penggunaan Metode Struktural Analitik Sintetik (Sas) dalam Meningkatkan Kemampuan Menulis Braille pada Peserta Didik Tunanetra. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial lainnya karena memiliki ciri paling mendasar dan umum berkaitan dengan

1 | Jejak1000Pena, Soal dan Solusi Fungsi Kuadrat Ujian Saringan Masuk Perguruan Tinggi Negeri, 2015.. UJIAN SARINGAN MASUK PERGURUAN

1 | Jejak1000Pena, Soal dan Solusi Limit Ujian Saringan Masuk Perguruan Tinggi Negeri, 2015.. UJIAN SARINGAN MASUK PERGURUAN

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan. © Dewi Hafitri Wulansari Koesmeilani 2016

Bagi sekolah yang pada tahun sebelumnya masih terdapat peserta didik kurang dari 15 dalam 1 (satu) kelas atau rombongan belajar dan mempunyai lebih dari 72 rombongan belajar,