KEWAJIBAN REHABILITASI MEDIS KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(STUDI PERATURAN BERSAMA NOMOR : PERBER/01/111/2014/BNN)
ABSTRAK
Oleh
Noni Ana D, Erna Dewi, Deni Achmad (Email: Nhonie06@gmail.com)
Rehabilitasi Medis telah diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menjelaskan Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis. Berdasarkan Undang-Undang tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika diikuti dengan Peraturan Bersama nomor: PERBER/01/111/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah rehabilitasi medis terhadap korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Nomor : PERBER/01/111/2014/BNN dan faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam melaksanakan kewajiban rehabilitasi medis terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan masalah melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan data primer dan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan dan di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan: (1)Rehabilitasi Medis berupa
screening dan intake,detoksifikasi,entry unit ,primary program, re-entry, pasca rehabilitasi. (2).faktor penghambat Rehabilitasi Medis yaitu : faktor penegak hukum faktor sarana dan fasilitas,faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
ABSTRACT
MEDICAL REHABILITATION OBLIGATION DRUG ABUSESRS REGULATORY STUDIES WITH NUMBERS : PERBER/01/111/BNN/2014
by
Noni Ana Dwianti, Erna Dewi, Deni Achmad (Email: Nhonie06@gmail.com)
Rehabilitation is one of the government's efforts in overcome drug abuse. In this regard has been set forth in Article 54 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics, stipulates that addicts Narcotics and drug abuse victims are required to undergo medical rehabilitation. Under the Act, the Government issued Government Regulation No. 25 of 2011 on the implementation of compulsory reporting of drug addicts is followed by the Joint Rule number: joint regulation / 01/111/2014 / BNN on Narcotic Addict Treatment and Abuse of Narcotics Into The Rehabilitation Institute. Problems in this study were: (1) how the medical rehabilitation of the victims of drug abuse by the Joint Regulation No. joint regulation / 01/111/2014 / BNN. (2). What factors inhibiting the obligations of medical rehabilitation for victims of drug abuse research was conducted using the approach the problem through juridical normative and empirical primary data and secondary data in which each of the data obtained from the research literature and in the field. Data were analyzed by descriptive-qualitative. Based on the results of research and discussion, we conclude: (1) Medical Rehabilitation mechanisms such as screening and intake, detoxification, entry units, the primary program, re-entry, post-rehabilitation. (2). Medical Rehabilitation inhibiting factors, namely: the means and facilities factors, community factors and cultural factors.
I. PENDAHULUAN
PenyalahgunaanNarkotika
sebagaisuatu tindak pidanatelah
memunculkan korban-korban
penyalahgunaan narkotika dalam masyarakat. Korban penyalahgunaan narkotika dalam masyarakat sendiri tidak mengenal usia, jenis kelamin, suku, agama dan penggolongan-penggolongan lainnya. Korban penyalahgunaan narkotika sendiri berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibagi menjadi dua, yaitu pecandu narkotikadan korban penyalahgunaan narkotika. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis1, sedangkan Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum2.
Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu Narkotika yaitu:
1. Orang yang menggunakan narkotika dalam keadaaan ketergantungan secara fisik maupun psikis; dan
2. Orang yang menyalahgunakan narkotika dalam keadaan
1
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
2
Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
ketergantungan secara fisik maupun psikis.
Tipe yang pertama, maka dapat dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Selanjutnya untuk Pecandu Narkotika tipe kedua, maka dapat dikategorikan sebagai pecandu yang tidak mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatannya.3
Pengkategorian seperti itu didasarkan pada pengertian Penyalahguna yang dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana ada unsur esensial yang melekat yaitu unsur tanpa hak atau melawan hukum. Melanggar aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum
2
preventif, represif dan akan
rehabilitative.
Rehabilitasi sendiri merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menaggulangi penyalahgunaan narkotika.Upaya ini merupakan upaya atau tindakan alternatif, karena pelaku penyalahgunaan narkotika juga merupakan korban kecanduan narkotika yang memerlukan
pengobatan atau
perawatan.Pengobatan atau
perawatan ini dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.4
Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan pidana alternative yang dijatuhkan oleh hakim dan diperhitungkans ebagaimana menjalani hukuman dan juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Ketentuan hokum yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam Pasal54, Pasal 56, Pasal 103 dan dikaitkan dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Hal yang menarik dalamUndang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam Pasal 103 yaitu di dalam pasal tersebut memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan vonis/ sanksi bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi.
kewenangan ini, mengakui bahwa korban peyalagunaan narkotika,selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi
4Ibid.
kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime5
Sehingga dengan memberikan sanksi pidana penjara bukanlah langkahyang tepat untuk dilakukan.Berkenaan dengan hal tersebut maka Mahkamah Agung dengan tolak ukur ketentuan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dimana SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi.
Selain itu berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis. Sehingga berdasarkan Pasal tersebut
dikeluarkanlah Peraturan
Bersamatentang Penanganan Pecandu
Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia.
5
Peraturan Bersama
tentangPenanganan Pecandu
Narkotika dan Korban
PenyalahgunaanNarkotika Ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi.yang
dikeluarkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional Republikyakni
Peraturan Bersama Nomor:
PERBER/01/III/2014/BNN6Peraturan Bersama tersebut merupakan peraturan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 sehingga merupakan peraturan bersama yang masih baru dikeluarkan yang isinya mengatur bahwa penyalahguna narkotika wajib menjalankan rehabilitasi medis.
Dilakukannya kewajiban rehabilitasi medis ini juga berdasarkan pada Pasal 2 Huruf (b) bertujuan untuk menjadi pedoman teknis dalam penanganan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Selain itu tujuannya diatur dalam Pasal 2 huruf (c) yaitu terlaksananya proses rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi
dengan judul “Kewajiban Rehabilitasi Medis Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Peraturan Bersama
Nomor :
PERBER/01/111/2014/BNN)”.
Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1) Bagaimanakah mekanisme
Pelaksanaan rehabilitasi medis
6
M. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 34
terhadap korban penyalahgunaan narkotika (Studi Peraturan
Bersama Nomor :
PERBER/01/111/2014/BNN)?
2) Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam
melaksanakan kewajiban
rehabilitasi medis terhadap korban penyalahgunaan narkotika (Studi Peraturan Bersama Nomor : PERBER/01/111/2014/BNN)?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis
empiris.Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan penelitian kepustakaan yang memperoleh data sekunder yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan lain-lain.Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data primer yang meliputi hasil penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara kepada para narasumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
II. PEMBAHASAN
A.Mekanisme Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Korban Penyalahgunaan Narkotika
(Studi Peraturan
BersamaNomor:PERBER/01/11 1/2014/BNN)
Korban penyalahgunaan narkotika adalah Seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya,ditipu,dipaksa
dan/atau diancam untuk
4
dalam formulasi ketentuan ketentuan yang mengatur mengenai sanksi yang
diberikan kepada pelaku
penyalahgunaan narkotika, yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan, mengingat pelaku penyalahgunaan narkotika memiliki posisi yang sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana lainnya. Di satu sisi ia merupakan pelaku tindak pidana yang harus dihukum,namun di sisi lain merupakan korban dari tindak pidana yang dilakukannya itu sendiri, sehingga perlu dilakukan suatu tindakan berupa rehabilitasi.
Menurut Azhari7 penyalahgunaan narkotika tepat untuk dikatakan sebagai pecandu yang harus direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang harus dipidana penjara adalah dengan berdasarkan hasil keterangan laboraturium.
Menurut Nikmah Rosidah.8Peraturan Bersama
Nomor:PERBER/01/III/2014/BNNme mberikan peluang yang lebih besar bagi korban penyalahgunaan narkotika untuk divonis menjalani rehabilitasi yang diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pecandu narkotika menurut Peraturan
Bersama Nomor:
PERBER/01/III/2014/BNN
merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah dengan adanya ketentuan Pasal 2 huruf (a) yaitu mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian permasalahan narkotika dalam rangka menurunkan
7
Wawancara Dilakukan Pada Tanggal 10 Desember 2014 Pukul 14.31 WIB
8
Wawancara Dilakukan Pada Tanggal 23 Desember 2014 Pukul 11.15 WIB
jumlah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan.
Dilakukannya kewajiban rehabilitasi medis ini juga berdasarkan pada Pasal 2 Huruf (b) bertujuan untuk menjadi pedoman teknis dalam penanganan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Selain itu tujuannya diatur dalam Pasal 2 huruf (c) yaitu terlaksananya proses rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.
Menurut Nikmah
Rosidah9berdasarkan Bersama Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN Pasal 8 ayat (1).Dalam melakukan asesmen terhadap Pecandu Narkotika
dan Korban
PenyalahgunaanNarkotika sebagai tersangka dan/atau narapidana sebagai Penyalahgunaan Narkotika dibentuk Tim Asesmen Terpadu.
Tim Asesmen Terpadu yang dimaksud dalam ayat (1) diusulkan oleh masing-masing pimpinan instansi terkait di tingkat Nasional, Propinsi dan Kab/Kota dan ditetapkanoleh Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan Narkotika Nasional Kab./Kota.
1. Tim Asesmen terpadu terdiri dari : a. Tim Dokter yang meliputi
dokter dan Psikolog,
b. Tim Hukum terdiri dari unsur Polri,BNN,Kejaksaaan dan Kemnkumham.
9
c. Tim Hukum sebagaimana Pasal (3) huruf b khusus untuk penanganan tersangka anak
melibatkan Balai
Pemasyarakatan.
2. Asesmen meliputi:
a. Wawancara ( riwayat
kesehatan, latar belakang mengenal dan menggunakan narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat psikiatris,riwayat keluarga dan sosial klien.
b. Observasi meliputi observasi atas prilaku klien.
c. Pemeriksaan fifik dan psikis klien.
d. Pemeriksaan penunjang lain darah, ronsen, USG (bila perlu). e. Pemeriksaan dokumen ( administrasi) yang meyangkut identitas klien.
f. Rencana terapi meliputi rencana rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial. Rencana rehabilitasi harus disepakati oleh korban peyalahgunaan narkotika, orang tua, wali atau keluarga dan pimpinan IPWL.
Menurut Jhon Robert Edwansyah
10
Syarat dan ketentuan yang berlaku mengenai rehabilitasi korban atau pelaku penyalahgunaan narkotika di pusat rehabilitasi narkotika BNNP di Lampung telah disusun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Dan telah mengacu terhadap peraturan bersama nomor : PERBER/01/111/2014/BNN dimana pelayana rehabilitasi medis korban penyalahgunaan narkotika yang di atur dalam peraturan bersama
10
Wawancara Dilakukan Pada Tanggal 23 Desember 2014 Pukul 11.15 WIB
nomor : PERBER/01/111/2014/BNN tetap meyesuaikan peraturan yang sebelumnya yang dijelaskan juga dalam peraturan bersama yaitu ; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Peraturan Menteri Sosial Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitas Sosial Korban
Penyalahgunaan Narkotika
Psikotropika dan Zat Adiktif lainya.
Berikut dijelaskan melalui alur rehabilitasi medis korban penyalahguaan narkotika berdasarkan buku Standar Nasional Pelayanan Ketergantungan Narkoba Bagi Unit Atau Lembaga Rehabilitasi Instansi
Pemerintah Deputi Bidang
Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Tahun 2012 yang sekarang tetap digunakan berdasarkan peraturan bersama nomor : PERBER/01/111/2014/BNN
1. Screening dan Intake
Proses ini adalah proses awal yang harus ditempuh setiap calon residen sebelum memulai tahap rehabilitasi.
a. Urine test : test yang dilakukan pertama kali pada saat penerimaan calon residen.
b. Assesment : anamnesis ditambah pemeriksaan fisik
c. Informed consent oleh keluarga dan residen (pengisian berkas-berkas administrasi)
2. Detoksifikasi
Detoksifikasimerupakan suatu proses pelayanan perawatan residen penyalahgunaan narkoba yang mengalami gejalan putus zat.
6
Entry Unit merupakan suatu proses penatalaksanaan dan evaluasi klien setelah detoksifikasi. Selain itu juga merupakan tahapan orientasi program bagi klien / residen dalam menjalani tahap berikutnya
4. Primary Program
Primary Program Program utama adalah tahap dimana pasien rehabilitasi Therapeuticsendiri dapat diartikan sebagai sebuah metode yang
sifatnya mengembalikan
keseimbangan dan fungsi dari seseorang yang telah mengalami disfungsionalatau kerusakan secara fisik, mental, emosional, dan spiritual. Sedangkan komunitas sendiri dapat kita artikan sebagai sebuah unit lingkungan yang dapat mendukung kembalinya keseimbangan dan fungsi secara fisik, mental, emosional, dan spiritual, diri seseorang.Lingkungan yang dapat memberikan perhatian dan rasa cinta kasih terhadap si individu dan terhadap setiap orang yang berada di dalam lingkungan tersebut.
5. Re-entry
Tahap ini berisi tentang Therapeutic Community lanjutan, proses adaptasi dan persiapan kembali berumah sakitosialisasi dengan masyarakat luar komunitas dengan melakukan separasi , asimililasi dan mendapat informasi untuk membuat pencegahan kekambuhan (relapase)Waktu yang dibutuhkan 4 minggu dengan tahapan program ini adalah 4 minggu.
6. Pasca Rehabilitasi
Tahapan bina lanjutan aftercareyang merupakan serangkaian kegiatan positif dan produktif bagi korban penyalahgunaan narkoba dan/atau pecandu narkoba pasca menjalani
tahap pemulihan rehabilitasi medis dan social
Setelah Penulis melakukan penelitian kepada Ditreserse Narkoba Polda Lampung, Badan Narkotika Provinsi, dan Kalangan Akedmisi Jurusan Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, dapat dianalisis bahwa mekanisme rehabilitasi medis berupa
screening dan Intake, detoksifikasi,entry unit,primary program, re-entry dan pasca rehabilitasi.
B.Faktor-Faktor
yangMenjadiPenghambatdalam MelaksanakanKewajibanRehabi litasiMedisterhadapKorbanPeny alahgunaanNarkotika(Studi PeraturanBersamaNomor:PER BER/01/111/2014/BNN )
Masalah penegakan hukum
merupakan masalah yang tidak
pernah henti-hentinya
dibicarakan.Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi yang artinya menegakan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
Faktor- faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan menurut Soerjono Soekanto.11
1. Faktor hukum.
2. Faktor penegak hukum. 3. Faktor sarana dan fasilitas. 4. Faktor masyarakat.
5. Faktor kebudayaan.
Berdasarkan penelitian di lapangan yang telah dilakukan , secara garis besar faktor-faktor yang menghambat
11
yang dikemukan oleh Azhari12, yang
menjadi penghambat dalam
melakukan rehabilitasi medis terhadap korban penyalahgunaan narkotika yaitu :
1. Faktor hukum.
Penyalahgunaan narkotika diatur dalamUndang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. DalamUndang-Undang Narkotika terdapat pasal yang mengatur tentang rehabilitasi medis atau kewajiban rehabilitasi medis yaitu, Pasal 54Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Tetapi harus tetap mengacu terhadap Pasal 103.
Menurut John Robert Edwarsyah13, Undang-Undang maupun peraturan yang dibuat di Indonesia sudah sangat sesuai dengan hukum positif yang berlaku ,untuk dapat menerapkan rehabilitasi medis,maka apabila terdapat kasus penyalahgunaan narkotika sudah di jelaskan bahwa korban tersebut harus atau wajib menjalani rehabilitasi medis dan mengajajukan tuntutan untuk dilakukannya rehabilitasi medis
2. Faktor penegak hukum.
Kuantitas dari penegak hukum yang menjadi bagian terdepan dari penegakan hukum sangat menentukan hasil dari proses penegakan hukum itu sendiri. Hukum hanya merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang menegakannya. Oleh sebab itu, dibentuklah penegak
12
Wawancara Dilakukan Pada Pada Tanggal 17 Desember 2014 Pukul 14.40 WIB
13
Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Desember pukul 13:15 WIB
hukum yang bertugas untuk menerapkan hukum.
Menurut Azhari14, tidak semua aparat
penegak hukum memiliki
pengetahuan yang baik dibidang rehabilitasi medis terhadap korban penyalahgunaan narkotika. bahkan ada yang sama sekali tidak mengetahui bentuk-bentuk peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam menangangani korban penyalahgunaan narkotika.
3. Faktor sarana dan fasilitas.
Keterbatasan sarana dan fasilitas merupakan faktor penghambat, seperti keterbatasan dana (budget) operasional dalam melaksanakan rehabilitasi medis, jumlah rumah sakit penanganan rehabilitasi medis yang masih kurang,obat-obatan yang kurang, serta tempat untuk penanganan korban penyalahgunaan narkotika yang ternyata sampai saat ini masih belum tersedia secara baik.
Menurut John Robert Edwarsyah15, peralatan yang dimiliki untuk penanganan korban penyalahgunaan narkotika belumlah memadai atau belum lengkap. Padahal korban penyalahgunaan narkotika selalu
bertambah dan memerlukan
pengawasan yang ketat serta membutuhkan alat-alatsebagai teknologi dalam melakukan penyidikan.
14
Wawancara Dilakuka Pada Tanggal 10 Desember 2014 Pukul 14.31 WIB
15
8
4. Faktor masyarakat.
Keengganan masyarakat untuk memberi informasi kepada penegak hukum tindak pidana narkotika seperti kepolisian atau badan narkotika nasional adalah salah satu hal yang besar perannya, sehingga keengganan masyarakat tersebut menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum dimana masyarakat terkesan tidak peduli.
Menurut Nikmah Rosidah16, rendahnya kepedulian masyarakat terhadappersoalan yang terjadi di sekitarnyajuga menjadi faktor yang menyebabkan banyaknya korban penyalahgunaan narkotika tidak dapat menjalani rehabilitasi medis. Sebab, apabila seseorang menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan melaporkan sendiri dirinya kepada kepolisian sebelum penegak hukum itu sendiri yang menangkap, maka dapat dilakukan rehabilitasi medis.
Dijelaskan oleh Nikmah Rosidah17, kurangnya kesadaran keluarga dalam melaporkan anggota keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika kepada kepolisian atau pihak yang terkait menyebabkan tidak dapat dilakukannya rehabilitasi medis.
Menurut John Robert
Edwarsyah18,masyarakat perlu mengetahui bahwa rehabilitasi medis bagi korban penyalahgunaannarkotika merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengobati korban narkotika.
16
Wawancara Dilakukan Pada Tanggal 23 Desember 2014 Pukul 11.15 WIB
17
Wawancara Dilakukan Pada Tanggal 23 Desember 2014 Pukul 11.15 WIB
18
Wawancara Dilakukan Pada Tanggal 18 Desember 2014 Pukul 13.15 WIB
Masyarakat juga harus mengetahui bahwa rehabilitasi medis diberikan secara gratis bagi korban penyalahgunaan narkotika karena dibiayai oleh negara.
5. Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan juga turut mempengaruhi tindakan dan perilaku seorang masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menerapkan rehabilitasi medis. Budaya hukum yang masih kurang terhadap situasi-situasi yang ada pada masyarakat, tidak terbentuknya sadar hukum terhadap masyarakat karena pendidikan dan pola pikir yang rendah.pendidikan dan pola pikir yang rendah.
Menurut Nikmah Rosidah19 budaya hukum yang sangat kurang di Indonesia harus diperbaiki.Perbaikan budaya ini harus di mulai dari penegak hukum untuk membiasakan mensosialisasikan tentang rehabilitasi medis kepada para korban penyalahgunaan dan memberitahukan aturan terhadap rehabilitasi medis.
Menurut penulis dari semua Faktor penghambat yang paling dominan adalah faktor penegak hukum, dimana penegak hukum lebih memberikan upaya kepada korban penyalahgunaan narkotika agar dapat dilakukan rehabilitasi medis, dimana penegak hukum harus meningkatkan sumber daya manusia yang lebih baik dan menjalankan tugasnya dengan baik.
19
III. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis dapat ditarik simpulan bahwa:
1) Mekanisme pelaksanaan
rehabilitasi medis korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Nomor
PERBER/01/III/2014/BNN. Rehabilitasi Medis Berdasarkan Buku Standar Nasional Pelayanan Ketergantungan Narkoba Bagi Unit dan atau Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah yaitu rehabilitasi medisberupa:
screening dan
intake,detoksifikasi,entry unit
,primary program, re-entry, dan pasca rehabilitasi.
2) Faktor-faktor penghambat rehabilitasi medis korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Nomor:
PERBER/01/III/2014/BNN, yaitu: Faktor penegak hukum yaitu kurangnya kualitas dan kuantitas aparat hukum dalam peraturan bersama Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN, Faktor sarana dan fasilitas yang dimiliki masih kurang memadai seperti tidak adanya tempat rehabilitasi rawat inap untuk
korban penyalahgunaan
narkotika, Faktor masyarakat yaitu kurangnya perhatian masyarakat terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan sosial, Faktor kebudayaan yaitu budaya hukum yang masih kurang.Upaya penanggulangan
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007.Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Makarao, Taufik M. et.al.2003 .Tindak
Pidana Narkotika, Jakarta :Ghalia Indonesia.
Soekanto, Soerjono 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum. Jakarta: Bumi Aksara.
B. Perundang-Undangan Dan Sumber Lainya.
Tim Redaksi. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana(KUHAP). Jakarta: Sinar Grafika
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Peraturan BersamaKepala Badan
Narkotika Nasional
RepublikNomor :
Per-005/A/Ja/03/2014TentangPenan ganan Pecandu Narkotika Dan Korban