• Tidak ada hasil yang ditemukan

FLEKSIBILITAS KEBIJAKAN FISKAL PEMERINTA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FLEKSIBILITAS KEBIJAKAN FISKAL PEMERINTA (1)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

FLEKSIBILITAS KEBIJAKAN FISKAL PEMERINTAH

DALAM TEKANAN RIGIDITAS FISKAL

Oleh: Devri Radistya

Kelas 8D Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus, STAN, Bintaro email: devri.app@gmail.com

Abstrak –Rijiditas fiskal menjadi momok bagi pemerintah pusat dalam mengeluarkan kebijakan fiskal. Sempitnya fiscal space yang tersedia sebagai ruang bagi pemerintah dalam meluncurkan fiscal policy berdampak pada tujuan diberlakukannya kebijakan fiskal itu sendiri. Mandatory spending ditambah dengan artificial mandatory yang persentasenya cukup besar menyebabkan tingginya rijiditas fiskal. Kebijakan fiskal yang diambil pemerintah ditujukan untuk menjaga stabilitas kondisi perekonomian negara, namun dengan sempitnya ruang fiskal untuk pemerintah, fleksibilitas pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskal menjadi dipertanyakan.

Kata Kunci: pemerintah, rijiditas fiskal, fiscal space, mandatory spending, penerimaan

1. PENDAHULUAN 2.

3. 1.1 Latar Belakang Masalah

4. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan dalam hal penerimaan dan pengeluaran negara. Fungsi stabilisasi yang diusung kebijakan fiskal diartikan sebagai fungsi untuk mempengaruhi kondisi perekonomian negara. Pada dasarnya kebijakan fiskal idealnya menganut countercyclical dimana pada saat ekonomi sedang tumbuh dengan pesat maka pemerintah akan mengambil kebijakan ekspansi fiskal untuk meningkatkan savings pemerintah dan meredam risiko terjadinya kondisi ekonomi yang kepanasan (overheating) dan begitupula sebaliknya bila terjadi kondisi ekonomi mengalami resesi, maka pemerintah akan meningkatkan pengeluaran pemerintah atau dengan menurunkan penerimaan dari pajak untuk memancing perekonomian tumbuh. Defisit anggaran sebagai salah satu indikator penting ekonomi makro selayaknya mencerminkan posisi kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian yang sedang terjadi. 5. Anggaran negara terdiri dari dua sifat

yakni yang bersifat mandatory dan non-mandatory. Mandatory spending sebagai pengeluaran yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pengeluaran ini yang dalam undang-undang telah diatur berapa besarannya (biasanya dalam persentase)

dan mengurangi fiscal space dalam pengelolaan kebijakan fiskal pemerintah.

Non-Mandatory spending adalah pengeluaran yang dalam besarannya tidak ditentukan dalam undang-undang dan tidak mempengaruhi fiscal space

walaupun pada praktiknya non-mandatory spending ini dapat berubah menjadi sifatnya seperti mandatory spending. 6. Rijiditas fiskal terjadi karena adanya salah

satunya dari pengeluaran yang bersifat mandatory sehingga memperkecil fiscal space untuk pemerintah memberlakukan kebijakan fiskalnya. Rijiditas fiskal yang terlalu besar menyebabkan ruang gerak bagi pemerintah menyempit dan pada akhirnya dapat membuat kebijakan fiskal pemerintah menjadi tidak efektif dan tidak mencapai tujuan awal dari kebijakan fiskal itu sendiri, yakni agar kondisi ekonomi stabil.

7.

8. 1.2 Maksud dan Tujuan

 Untuk mengetahui bagaimana mandatory spending terjadi dan mengatasinya

 Untuk mengetahui bagaimana rijiditas fiskal terjadi dan mengatasinya

(2)

UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, serta DAU yang ditransfer ke daerah sesuai dengan amanat UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

16.

17. HASIL DAN PEMBAHASAN

18. 3.1. Kebijakan Fiskal vs Kebijakan Moneter

19. Kebijakan fiskal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengubah komposisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah memerlukan persetujuan dari lembaga legislatif sehingga dalam praktiknya kebijakan fiskal tidak dapat langsung dijalankan bila DPR sebagai lembaga legislatif tidak menyetujui rencana kebijakan fiskal yang diajukan pemerintah. Apalagi selama ini dalam penyusunan kebijakan fiskal yang diambil pemerintah berpedoman kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sehingga sulit dilakukan dalam jangka pendek namun dapat dilakukan pada jangka menengah ataupun pada jangka panjang. Bila terjadi perubahan anggaran negara terkait kebijakan fiskal ini, menteri keuangan tidak dapat mengubah defisit anggaran yang sudah ditetapkan bersama DPR tanpa adanya APBN-P yang prosesnya juga tetap harus melalui persetujuan DPR.

20. Bila dibandingkan dengan kebijakan moneter yang terkait dengan pengaturan jumlah uang yang beredar dan dilakukan oleh Bank Indonesia, maka fleksibilitas dari kebijakan moneter lebih tinggi daripada kebijakan fiskal. Hal ini dapat dilihat bahwa untuk menerapkan kebijakan moneter, BI dapat melakukannya tanpa menunggu persetujuan DPR, tidak perlu menunggu adanya proses APBN-P juga. Proses rumit yang dijalankan dalam menerapkan kebijakan fiskal tidak ditemukan dalam penerapan kebijakan moneter ini. Kebijakan moneter yang beberapa hari ini diambil oleh BI salah satunya adalah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis points (bps) sehingga BI rate naik dari 7,25% menjadi 7,50% dan keputusan ini diambil tanpa perlu ada persetujuan DPR sebagai lembaga legislatif.

21.

22. 3.2. Mandatory Spending dan Silent Theft dalam Anggaran terkait dengan fiscal space (artificial mandatory)

23. Istilah mandatory spending ini timbul karena adanya pengeluaran yang

sifatnya wajib karena diperintah undang-undang (mandat). Pengeluaran mandatory ini yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya fiscal space sebagai ruang gerak pemerintah dalam memberlakukan kebijakan fiskal. Pengeluaran mandatory ini terkait APBN 2013 dalam undang-undang diantaranya adalah anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat 4 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/ APBD, penyediaan DAU sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto sesuai UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, penyediaan alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan dana Otonomi Khusus untuk provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2 persen dari DAU Nasional. Besarnya mandatory spending

yang terdapat pada porsi pengeluaran APBN ini ditambah lagi dengan pengeluaran yang bersifat artificial mandatory seperti anggaran untuk subsidi, cicilan utang sebagai konsekuensi dari penerapan anggaran defisit, penyertaan modal pemerintah dalam lembaga internasional.

24. Besarnya anggaran yang bersifat

mandatory spending maupun artificial mandatory, menyebabkan Discretionary spending sebagai porsi anggaran yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskalnya menjadi kecil dan dapat berpengaruh pada peredam kejut apabila perekonomian mengalami turbulensi. Fungsi stabilisasi kebijakan fiskal dapat bekerja melalui dua jalur. Jalur pertama yaitu melalui diskresi fiskal, yakni kebijakan yang dibuat secara sengaja oleh pemerintah untuk mengantisipasi gejolak yang terjadi. Jalur kedua, melalui mekanisme peredaman otomatis, yakni terkait komponen anggaran yang dapat bekerja secara otomatis meredam gejolak yang terjadi.

28. Jalur pertama dijalankan dengan melakukan diskresi fiskal, namun apabila

(3)

pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskal yang dapat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia secara luas. 29.

30. 3.4. Konsep pengelolaan utang yang berpotensi dilanggar terkait dengan mandatory spending

31. Konsep pengelolaan utang menyatakan bahwa utang digunakan untuk belanja modal sedangkan pendapatan digunakan untuk membiayai belanja rutin. Namun bila hal ini dikaitkan dengan

mandatory spending seperti misalnya pada anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN yang saat ini dipakai patokannya adalah 20 persen dari anggaran belanja pemerintah, maka apabila ada penambahan utang sebesar Rp. 100 Miliar maka bila dilihat dari porsi anggaran belanja pemerintah, maka sebesar Rp. 20 miliar untuk anggaran pendidikan seperti yang diamanatkan UU, sedangkan pengelolaan penambahan anggaran belanja untuk pendidikan belum tentu digunakan dalam membangun infrastruktur, namun hanya karena amanat UU maka tambahan ini masuk pada alokasi pendidikan. Padahal utang tersebut pada awalnya memang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur namun tidak didapatkan penuh karena perlu menyisihkan porsi sesuai amanat UU.

32. 33.

34. 3.5. Peluang pemerintah dalam mengatasi rijiditas fiskal

35. Terdapat beberapa peluang yang dapat dimaksimalkan oleh pemerintah dalam mengatasi rijiditas fiskal ini sehingga dapat memaksimalkan fiskal space yang ada sehingga dapat menghindarkan dari situasi ekonomi yang berbahaya dengan menggunakan kebijakan fiskal.

1. Mengubah pendekatan atas penentuan anggaran pendidikan yang ditentukan 20% dari anggaran belanja ke pendekatan 20% dari pendapatan yang diterima pemerintah. Sehingga apabila terjadi penambahan pembiayaan dengan cara meningkatkan utang, tidak perlu mengalokasikan utang ini pada anggaran pendidikan sehingga utang dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk tujuan awal utang itu sendiri. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena pada dasarnya UUD 1945 hanya mengatur alokasi pendidikan 20% dari APBN tanpa menyebut dari penerimaan atau belanja, hanya UU pendidikan yang menegaskan 20% dari belanja

sehingga masih dapat diubah oleh pemerintah bersama DPR

2. Mengurangi subsidi listrik dan subsidi energi secara bertahap agar tidak terlalu membebani anggaran walaupun langkah ini perlu dikaji lebih lanjut seperti apa dampaknya bila subsidi ini dikurangi, sangat berbahaya bilamana pemerintah memiliki ruang fiskal yang besar namun dampak yang ditimbulkan dari pengurangan subsidi lebih besar. Subsidi yang tidak tepat sasaran juga dapat menjadi target dalam mengurangi alokasi penganggaran atas subsidi.

3. Peningkatan penerimaan baik dengan penerimaan sektor pajak ataupun dari sektor non-pajak. Sektor non-pajak ini terutama dalam pengembangan ekonomi kreatif yang saat ini sedang digalakkan pemerintah, selain usaha penambahan dari sektor pertambangan. Sekalipun hal ini tidak mengurangi prosentase discretionary spending yang dapat digunakan, namun secara jumlah dapat bertambah besar sehingga untuk menerapkan kebijakan fiskal pemerintah memiliki dana yang lebih besar daripada sebelumnya. 4. Menerapkan skema PPP (Public Private Partnership) dalam “membantu” pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur. Hal ini pada dasarnya dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengakali rijiditas fiskal yang terjadi, namun perlu dipertimbangkan sisi politis dan pertimbangan cost-benefitdari skema ini 5. Meningkatkan efisiensi belanja terkait pengeluaran yang bersifat artificial mandatory seperti pengeluaran operasional pemerintah. 6. Menjamin efektivitas atas belanja yang bersifat

mandatory spending seperti dengan menerapkan audit kepatuhan, serta menerapkan evaluasi atas kegiatan tersebut sehingga dapat berdampak pada perekonomian nasional.

7. Memperkuat kewenangan pemerintah dalam hal melakukan usulan perubahan undang-undang dalam mempersempit mandatory spending

walaupun perlu didukung oleh DPR. 36.

37. KESIMPULAN

38. Rijiditas fiskal menjadi salah satu penyebab sulitnya pemerintah melakukan kebijakan fiskal dengan maksimal.

Mandatory spending dan artificial mandatory menjadi salah satu bagian dari penyebab rijiditas fiskal yang berpengaruh cukup besar sehingga fleksibilitas pemerintah dalam untuk meluncurkan kebijakan fiskal yang dapat berdampak dan memenuhi prinsip countercyclical

dalam menjaga kondisi perekonomian Indonesia dapat dilaksanakan.

(4)

melakukan kebijakan fiskal sebenarnya terbuka luas, walaupun perlu dilakukan dengan melihat dari dampak dari kebijakan pemerintah selama ini. Pendekatan itu dapat dilakukan dengan

(5)

40.

41. DAFTAR REFERENSI

42. [1] Republik Indonesia, “Undang-Undang no. 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang no.19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013”.

43. [2] Subiyantoro, Heru dan Singgih Riphat, editor (2003). Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Jakarta: Kompas

44. [3] Ciptadi, Lukas Lantip dkk, editor (2013). Warta Fiskal Edisi 1 2013. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal RI

45. [4] Fuad, Noor, dkk (2004). Dasar-Dasar Keuangan Publik. Jakarta

46. [5] Rajasa, Hatta (2013). Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah. http://bisnis.liputan6.com/read/672922/4-paket-lengkap-kebijakan-ekonomi-pemerintah. Konferensi pers di Istana Negara 23 Agustus 2013. Jakarta. 19 November 2013

47.

Referensi

Dokumen terkait

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Oleh karena itu apabila ada perselisihan, remaja akan mencari teman sebaya mereka atau mereka bertindak nekad melakukan kejahatan untuk membuktikan kepada orang tua atau orang

Mapping , subjek dapat mencari hubungan yang identik dari karakteristik antara masalah sumber dan masalah target kemudian membangun kesimpulan untuk selanjutnya hubungan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan pasal 18 (2) huruf a Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak

• Masalah untuk penelitian bisa berkenaan dengan kondisi atau kegiatan yang berjalan pada saat ini , atau pada saat yang lampau , atau.. perkiraan pada masa yang

Hasil penelitian Paryanto (2008) yang dilakukan di bengkel jurusan pendidikan Teknik Mesin UNY prodi D3 menunjukkan bahwa; 1) hambatan yang dialami selama praktik

Hal ini dikarenakan bahwa pada proses Med-Arb, arbitrase hanya dapat dilakukan apabila para pihak yang bersengketa itu setuju untuk melanjutkannya kepada proses arbitrase,

Hubungan antara mutu pelayanan perawat dengan kepuasan pasien rawat inap pada kategori kurang dan pasien merasa tidak puas sebesar 6 responden (11 %).Hal tersebut menunjukkan