• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geografi Sosial Sikap Mental Bangsa da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Geografi Sosial Sikap Mental Bangsa da"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

SIKAP MENTAL BANGSA DALAM PEMBANGUNAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Geografi Sosial Dosen pengampu : Suparmini, M.Si

Oleh :

Tarik Aziz (11405241001)

Janu Muhammad (11405241002) Eka Ari Purnami (11405241014) Anggoro Buana P.M (11405241028) Iqbal Raditya Fajr (11405241037) Agnes Kunti Nuritasari (11405241039)

Arief Laksono (11405241040)

Mei Nikhy Lestari (11405241044) Rizky Putri Hayuningtyas (11405241046)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sikap

Mental Bangsa dalam Pembangunan”.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Geografi Sosial, Jurusan

Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNY. Selanjutnya kami akan ucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Suparmini, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah geografi sosial.

2. Orang tua kami yang selalu memberikan doa dan dukungannya

3. Serta teman-teman kelas A jurusan Pendidikan Geografi UNY 2011 yang

selalu memberikan dukungannya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik

dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan karya selanjutnya. Semoga

makalah ini bermanfaat.

Yogyakarta, 19 November 2012

Hormat Kami,

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang istimewa, tatanan, sejarah pembentukan, ditambah

dengan variable jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan sumber daya alam, kebinekaan

agama, etnis dan kultur. Komponen-komponen ini dapat menjadikan Indonesia sebagai

negara yang besar. Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar memiliki

keunikan budaya tersendiri, terlebih lagi jika dikaitkan dengan letaknya di peta dunia.

Indonesia merupakan teks alami yang tidak ada habis-habisnya untuk dikaji, dipelajari,

dan dimanfaatkan sumber dayanya. Proses vulkanisnya menyuburkan tanah,

lereng-lerengnya memeperluas lahan pertaniana. Pendek kata, Indonesia merupakan laboratorium

alami, baik bagi ilmu-ilmu kebumian, kelautan, atmosfer, dan ilmu-ilmu kehidupan.

Indonesia telah sejak lama mengusahakan pembangunan di berbagai sektor.

Mulai dari pembangunan masyarakat di pedesaan atau kaum petani sampai kalangan

penduduk kota atau kaum pegawai. Pembangunan itu sudah sejak masa kolonial

direncannakan, sampai akhirnya terealisasi pada masa orde baru, masa revolusi, dan

pascar revolusi saat ini. Pembangunan negeri ini turut menyisakan dampak mental yang

saat ini masih dirasakan oleh banyak diantara warga negaranya.

Orientasi dan sikap mental bangsa Indonesia yang belum sejatinya mencerminkan

harapan dari pendiri negeri ini. Indonesia masih sangat tergantung kepada negara lain,

baik dari segi perekonomian, ketahanan, maupun segi lainnya. Padahal, negeri ini kaya

akan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Kita masih berbangga dengan

mengimpor produk dari negara tetangga, padahal kita sebenarnya mampu untuk

membuatnya sendiri. Kita masih malu untuk percaya dan menunjukkan pada dunia bahwa

Indonesia bisa setara dengan negara super power maupun negara dengan keunggulan

teknologinya. Namun, pekerjaan rumah kita adalah sudah siapkah mental Indonesia untuk

bangkit dari keterpurukan dan berjuang melawan krisis mental ini ?

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :

1. Apakah mentalitas pembangunan itu ?

2. Apa saja kelemahan mentalitas kita untuk pembangunan ?

(4)

4. Bagaimana hubungan orientasi vertikal dengan pembangunan ?

5. Bagaimana upaya membangun jati diri bangsa melalui pembangunan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui makna mentalitas pembangunan.

2. Mengetahui kelemahan mentalitas kita untuk pembangunan.

3. Mengetahui kelemahan mentalitas pasca revolusi.

4. Mengetahui hubungan orientasi vertikal dengan pembangunan.

5. Mengetahui upaya membangun jati diri bangsa melalui pembangunan.

D. Manfaat Penulisan

Makalah ini akan bermanfaat, diantaranya :

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan.

2. Meningkatkan pemahaman mahasiswa dan seluruh warga negara akan pentingnya

mentalitas pembangunan.

3. Mendidik kita untuk membangun mentalitas pembangunan sejak dini.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Makna Mentalitas Pembangunan

Secara logis terlebih dahulu memerlukan suatu bayangan ke depan mengenai

bentuk masyarakat seperti apa yang ingin kita capai dengan pembangunan kita. Hal ini

masih belum di konsepsikan oleh bangsa kita. Berbagai suku bangsa, berbagai aliran, dan

berbagai golongan dalam negara kita yang demikian banyaknya itu mungkin sudah

mempunyai konsepsinya masing-masing yang belainan satu sama lain, tetapi suatu

konsepsi konkrit untuk dituju bersama belum ada. Jelaslah bahwa model dari

masyarakat-masyarakat yang sekarang sudah maju tidak mungkin dapat dicontoh begitu saja karena

memang sukar untuk mengajar suatu hal yang sudah terlampau jauh di depan. Bahkan,

model masyarakar Jepang pun tidak dapat kita tiru karena lingkungan alam, komposisi

penduduk negara, struktur masyarakat, aneka warna kebudayaan, sisten nilai-budaya, dan

agama-agama di negara kita memang berbeda dengan di Jepang.

Menurut Koentjaraningrat (1992) dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitas dan

Pembangunan”, untuk dapat mencapai suatu keadaan yang agak lebih makmur dari

sekarang, sudah tentu perlu suatu intensitas usaha di segala lapangan yang jauh lebih

besar daripada apa yang biasa kita gerakkan sampai kini. Sebagai contoh, coba kita

perhatikan keterangan para ahli ekonomi sebagai berikut : penduduk Indonesia bertambah

2,8% tiap tahun. Agar kita dapat merasakan akibat dari kenaikan produksi, maka laju

pertumbuhan ekonomi harus lebih besar dari 2,8%. Katakanlah 4% dari GNP tiap tahun,

tetapi kita juga harus memperhitungkan faktor kebutuhan yang terus meningkat. Hal itu

berarti laju pertumbuhan ekonomi harus beberapa kali lipat di atas laju pertambahan

penduduk.

Dengan memperhatikan contoh di atas, untuk menjadi sedikit lebih makmur kita

harus dapat berusaha bekerja, menghemat, dan sebagainya. Untuk itu, kita harus

mengubah beberapa sifat dari mentalitas kita untuk meningkatkan tekanan intensitas

usaha. Salah satu mentalitas yang sangat penting yaitu nilai budaya yang berorientasi ke

masa depan. Selain itu, nilai budaya lain yang dibutuhkan yaitu nilai budaya yang

berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam. Nilai

semacam itu akan menambah kemunkinan inovasi, terutama inovasi dalam teknologi.

Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak

(6)

yang beranggapan bahwa kita tidak perlu mengembangkan suatu mentalitas yang menilai

tinggi inovasi, karena kita tak perlu lagi mengembangkan teknologi.

Disamping itu, kita juga harus menumbuhkan sikap yang dapat mengapresiasi

tinggi usaha seseorang yang dengan jerih payah sendiri dapat mencapai tujuan dan hasil.

Suatu nilai itu jika diekstrimkan tentu akan berpotensi menuju arah individualisme, dan

parahnya dapat menjadi isolisme. Nah, kita harus mencegah perkembangan pola pikir

secara ekstrim tersebut karena nilai itu akan menghilangkan dasar dari rasa keamanan

hidup kita.

Di Indonesia sendiri nilai budaya kita sangat kontras dengan individualisme, yaitu

nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan. Nilai yang terlalu berorientasi

vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yanng ingin berdiri sendiri dan menyebabkan

timbulnya krisis kepercayaan pada diri sendiri. Nilai itu juga akan menghambat

tumbuhnya rasa disiplin pribadi karena dia hanya taat ketika dibawah pengawasan dari

yang berwenang. Akhirnya, hal itu akan akan mematikan rasa tanggungjawab terhadap diri

sendiri.

Dengan singkat, suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk

pembangunan harus berusaha untuk lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan dan

bersifat hemat untuk lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai

tinggi hasrat eksplorasi, dapat menghargai karya dari orang lain dan akhirnya menilai

tinggi mentalitas berusaha dengan kemampuan sendiri, percaya pada diri sendiri,

berdisiplin murni dan berani bertanggungjawab atas semua yang dikerjakan.

B. Kelemahan Mentalitas Kita untuk Pembangunan

Orang desa biasanya bekerja dalam sektor pertanian dan mentalitas mereka

adalah suatu mentalitas yang khas, yang kita sebut dengan mentalitas petani. Sebaliknya,

orang kota bekerja sebagai buruh, pedagang, usahawan, atau pegawai. Baik kelas buruh

maupun kelas pedagang dan usahawan masih lemah, sehingga kehidupan kota dikuasai

oleh kelas pegawai yang amat bergengsi, dan mentalitas penduduk kota didominasi oleh

mentalitas pegawai ( di kota-kota Jawa Tengan atau Timur oleh mentalitas priyayi ).

Orang ABRI yang berkuasa di kota-kota dapat disamakan dengan pegawai, baik dalam

sifat pekerjaan mereka, maupun dalam gaya hidup dan mentalitas mereka.

Dalam hal membicaraka kelemahan-kelemahan mentalitas kita untuk

pembangunan, perlu dibedakan antara dua hal, yaitu (1) konsepsi-konsepsi,

(7)

alam pikiran kita karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya kita sejak

beberapa generasi yang lalu; dan (2) konsepsi-konsepsi, pandangan-pandngan, dan sikap

mental terhadap lingkungan kita yang baru timbul sejak zaman revolusi dan yang

sebenarnya tidak bersumber pada sisten nilai budaya kita. Tulisan ini akan berfokus pada

yang disebutkan pertama dengan kerangka Kluckhohn mengenai masalah-masalah dalam

hidup yang menjadi orientasi dari sistem nilai budaya nmanusia ialah kerangka

MH-MK-MW-MA-MM.

1. MH-MK (Nilai budaya mengenai hakikat dari hidup dan karya manusia)

Mentalitas petani tidak biasa berspekulasi tentang hakikat dari hidup, dari karya

dan hasil karya manusia, dan papabila kita mengajukan pertanyaan mengenai itu maka

mereka secara langsung menjawab bahwa hidup itu bekerja keras untuk dapat makan.

Berbeda dengan mentalitas priyayi Jawa yang mengubungkan karya dengan konsep

amal. Konsep amal dalam priyayi Jawa tidak dikaitkan dengan wujud hidup kelak,

konsep amal dibayangkan sebagai karya yang mewujudkan kebahagiaan dalam hidup

ini. Suatu hal yang tidak cocok dengan jiwa pembangunan dalam hal ini adalah bahwa

konsep tersebut tidak bersumber pada suatu nilai budaya yang berorientasi pada hasil

karya manusia itu sendiri (tidak achievement oriented) tetapi hanya terhadap amal dari

karya, ibarat orang sekolah yang tidak mengejar keterampilan yang diajarkan, tetapi

hanya ijazah saja.

2. MW (Nilai budaya mengenai persepsi mengenai waktu)

Mentalitas petani mempunyai persepsi waktu yang terbatas. Irama waktu

ditentukan oleh cara-cara adat untuk memperhitungkan tahap-tahap aktivitas pertanian

dalam lingkaran waktu. Sebagian besar dari keputusan-keputusan penting dan arah

orientasi hidup petani ditentukan oleh keadaan masa kini. Sebaliknya, mentalitas

priyayi Jawa mempunyai persepsi waktu yang banyak ditentukan oleh masa lampau.

Rutinitas mereka masih saja juga diisi dengan perhatian terhadap mitologi, silsilah, dan

karya-karya pujangga kuno serta diselingi dengan upacara-upacara rumit untuk

memelihara benda-benda pusaka. Hal itu semua tentu bukan hal yang melemahkan

mentalitas mereka, hanya saja suatu orientasi yang terlampau hanya terarah ke masa

lampau dan melemahkan mentalitas orang untuk melihat masa depan. Hal ini

sebaliknya melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat. Unsur mentalitas

terakhir inilah yang kurang cocok dengan keperluan pembangunan.

(8)

Konsep mengenai pengaruh nasib yang amat kuat dalam mentalitas petani di

Indonesia pada umumnya bersumber pada suatu nilai budaya yang tidak aktif terhadap

alam di sekelilingnya. Namun petani Indonesia itu biasanya tidak merasa tunduk

terhadap alam, sebaliknya mereka juga tidak merasa mampu untuk menguasainya.

Konsepsi bahwa petani harus hidup berdampingan dengan alam adalah suatu konsepsi

mentalitas petani di Indonesia. Adapun priyayi di kota-kota Jawa Tengan dan Timur

yang hidupnya dalam kantor tentu tidak banyak sangkut pautnya dengan alam. Selain

itu, terutama dalam pandangan hidup priyayi ada suatu konsep yang penting yaitu

mereka menganggap manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini tetapi dikelilingi oleh

masyarakat dan alam semesta dan di dalam sistem mikrokosmos itu dirinya adalah

sebuah benda kecil yang ikut terbawa oleh proses peredaran semesta yang maha besar

itu. Teutama dalam mentalitas priyayi inilah telah berkembang mentalitas yang

terlampau banyak menggantungkan diri kepada nasib. Suatu mentalitas yang tidak

begitu sesuai dengan jiwa pembangunan.

4. MM (Nilai budaya mengenai hubungan manusia dengan sesamanya)

Mentalitas petani di Indonesia menilai tinggi konsep sama rata sama rata.

Dalam konsep penting ini, di dunia manusia itu hakikatnya tidak berdiri sendiri, ia bisa

mendapatkan bantuan dari sesamanya. Tetapi ada sisi negatif yang timbul yaitu ketika

orang tidak mau lebih menonjol dari orang lain agar ia yang harus membantu orang

lain. Sikap konformisme inilah yang bertentangan dengan jiwa pembangunan yang

justru memerlukan usaha jerih payah dengan sengaja dari pihak individu ntuk maju dan

menonjol di atas yang lain. Di sisi lain konsep yang dilakukan oleh priyayi adalah

orientasi ke arah atasan. Orang hanya akan bergerak dan bekerja jika mendapat perintah

dari atasan. Mentalitas menunggu restu dari atasan jelas tidak cocok dengan jiwa

pembangunan. Kelemahan mentalitas yang lain, yang timbul setelah zaman revolusi

akan dijelaskan secara umum berikut ini.

C. Kelemahan Mentalitas Pasca Revolusi

Revolusi kita serupa dengan semua revolusi yang pernah terjadi dalam sejarah

manusia, telah membawa akibat post-revolusi berupa kerusakan-kerusakan fisik dan

mental, dalam masyarakat bangsa kita. Suatu revolusi pertama-tama mematahkan

kontinuitas kehidupan masyarakat dengan konsekuensi timbulnya improvisasi dari

(9)

suatu kehidupan tanpa pedoman. Konsekuensi lain adalah terabaikannya

prasarana-prasarana ekonomi dan kehidupan ekonomi yang menjadi kacau.

Masa sesudah revolusi, kemerdekaan sudah tercapai, timbul banyak masalah lain,

dan biasanya dengan segera mulai suatu proses yang oleh para ahli disebut proses

dekolonisasi. Dalam proses itu norma-norma serta peraturan-peraturan lama yang

dianggap feodal atau kolonial dijebol dengan maksud untuk diganti dengan norma dan

peraturan yang baru. Masalah post-revolusi dan dekolonisasi telah mengakibatkan usaha

untuk merehabilitasi prasarana ekonomi diabaikan, jalan-jalan, jembatan, peralatan kereta

api, pelabuhan menjadi makin rusak.

Sifat-sifat kelemahan mentalitas bangsa yang bersumber pada kehidupan tanpa

pedoman dan orientasi yang tegas, adalah:

1. Sifat mentalitas yang meremehkan mutu

2. Sifat yang suka menerabas

3. Sifat tak percaya pada diri sendiri

4. Sifat tak berdisiplin murni

5. Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh

Mentalitas yang meremehkan mutu

Kebutuhan akan kualitas dari hasil karya kita, dan rasa peka kita terhadap mutu,

sudah hampir hilang. Hal itu akibat otomatis dari kemiskinan menghebat yang melanda

bangsa. Kita sampai tak sempat memikirkan mengenai mutu dari pekerjaan yang

dihasilkan dan mutu dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Orientasi kita memang

terlampau mementingkan konsep ketergantungan kepada atasan atau kepada sesama

manusia dalam komunitas.

Masalah mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas itu dalam masyarakat kita

juga jelas disebabkan karena proses penyebaran, pengluasan, pemerataan dan

ekstensifikasi dari sistem pendidikan yang tidak disertai dengan perlengkapan sewajarnya

dari prasarana-prasarana pendidikan.

Mentalitas yang suka menerabas

Merupakan mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuannya secepat-cepatnya

tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara langkah demi selangkah, dan

merupakan akibat dari mentalitas yang meremehkan mutu. Mentalitas menerabas pada

hakikatnya suatu sikap yang boleh dikata universal, dan ada pada hampir semua manusia

(10)

D. Orientasi Vertikal dengan Pembangunan

Beikut ini merupakan sifat-sifat yang berorientasi vertikal terhadap pembangunan :

1. Sifat tidak percaya terhadap diri sendiri

Sifatnini timbul karena mentalitas Indonesia yang lemah sejak masa kolonial Belanda.

Kita terkesan menerima nasib negeri ini dan terhadap kemampuan bangsa ini untuk

maju. Bagi kalangan petani masih berorientasi pada pertanian yang tradisional saja

dan belum sepenuhnya mau maju menjadi petani modern. Begitu juga dengan para

priyayi. Namun demikian, kini Indonesia mulai tumbuh dengan percaya diri, dengan

mengoptimalkan pembangunan yang berorientasi pada kekayaan nasional negeri ini.

2. Sifat tidak berdisiplin Murni

Sifat tak berdisiplin murni juga merupakan suatu sifat yang justru dalam zaman

setelah revolusi tampak makin memburuk dan yang merupakan salah satu pangkal

dari banyak masalah sosial budaya yang sekarang ini kita hadapi. Walaupun

demikian, sifat itu dapat dikembalikan kepada nilai-nilai dalam mentalitas pegawai

dan priyayi yang terlampau banyak berorientasi vertikal tadi. Banyak orang di

Indonesia yang berdisiplin hanya karena takut akan atasan. Pada saat pengawasan itu

kendor, hilanglah jiwa dan hasrat untuk menaati aturan.

3. Sifat tidak bertanggung jawab

Dlam zaman stetlah revolusi, sifat ini tampak memburuk dalam kalangan pegawai dan

priyayi di kota. Sifat tak bertanggung jawab pada mata pencaharian hidup sehari-hari

mudah dapat kita mengerti sebagai sebabnya. Demikian sikap tidak tanggung jawab

ini sebenarnya merupakan suatau keadaan yang tak mampu dari orang yang hidup

dalam keadaan serba kurang. Misalnya kurangnya pendidikan dan kematangan

watak/karakter.

E. Membangun Jati Diri Bangsa Melalui Pembangunan

Sebenarnya harus diingat kembali bahwa mentalitas pembanguna itu mewajibkan

sebagai syarat nilai budaya yang berorientasi pada masa depan, suatu sifat hemat, suatu

hasrat untuk bereksplorasi dan berinovasi, suatu pandangan hidup yang menilai tinggi

achievement dari karya, suatu nilai budaya yang berorientasi kurang vertikal, suatu sikap

lebih percaya pada kemampuan sendiri, berdisiplin murni, dan berani bertanggung jawab.

Menurut Koentjaraningrat, ada empat jalan untuk meraih mentalitas

(11)

perangsang-perangsang yang cocok, dengan persuasi dan penerangan, dan dengan pembinaan dan

pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam

kalangan keluarga. Selain itu, partisipasi rakyat merupakan sisi penting dalam

mewujudkan pembangunan negeri ini. Menurut Sultan Hamengku Buwono X (2007)

dalam bukunya Merajut Kembali keIndonesiaan Kita, ada beberapa cara yaitu :

1. Bhineka tunggal Ika : Faktor Integrasi

Indonesia merupakan Negara yang secara alami sangat majemuk, ditengah arus

reformasi dewasa ini, idiom yang seharusnya dijadikan basis strategi integrasi nasional

mestinya adalah Bhineka Tunggal Ika. Artinya, sekalipun satu, tidak boleh dilupkan

bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Pengalaman

mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan(tunggal-ika) yang paling potensial

untuk bias melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan

adanya pluralitas (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa

Indonesia. Inilah yang lebih menjamin persatuan dan kesatuan serta integrasi nasional

dalam rentang waktu jangka panjang yang kukuh dan lestari.

2. Warisan Kultur Orde Baru

Orde baru yang mencapai lebih dari tiga dasawarsa menurunkan kultur yang

cenderung merugikan bagi bangsa Indonesia. Selama Orde BAru terlihat dengan jelas

bahwa kekuasaan cenderung digunakan untuk menumpuk kekayaan melalui

Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN). Menurut M.T. Zen (1998), ada tiga gejala yang sangat

merugikan, yakni:

1. Budaya permisif, lambat laun, sikap permisif ini terutama terhadap kkn sudah

dianggap biasa dan bahkan sesuau yang memang seharusnya demikian.

2. Gejala semua dapat diatur, secara langsung hal ini mengaburkan peraturan, seperti

perizinan, penerimaan pegawai, dsb.

3. Gejala Submisif yang berkaitan dengan toleransi tanpa batas, membiarkan diri diinjak

dan dihina oleh penguasa. Bagaimanapun keadaannya tetap saja patuh, malahan

menjilat terus keatas.

Keriga gejala tersebut lambat laun tapi pasti mengikis prinsip-prinsip etika dan

menggerogoti nilai-nilai moralyang menggoyahkan jati diri bangsa. Lambat laun, orang

tidak lagi membedakan antara yang benar dan salah, antara baik dan buruk.

3. Rethinking-Reshaping

Jangkauan kekuasaan Orde Baru mencapai tiga dasawarsa lebih. Lalu reformasi

(12)

iklim yangkondusif abgi terciptanaya birokrasi yang bersih dari KKN ? mungkin ada

manfaatnya untuk mengangkat kembali rangkaian dialog budaya pada masa pra

kemerdekaan yang actor-aktornya adalah para pendiri negeri ini. Sejarah member

pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran piiran

itulah sesungguhnya yang mengantar kita ke gerbang kemerdekaan.

Membangun Optimisme masyarakat Indonesia saat ini tidaklah mudah.

Dikarenakan masih kentalnya kultur kekerasan, konflik etnis, dan konflik politik sebagai

dampak dari warisan kultur Orde Baru. Oleh karena itu, usaha menciptakan optimism

memang harus dibangun bersamaan dengan keharusan kita untuk berusaha menyelesaikan

persoalan rumit yang sedang dihadapi.

Kesadaran akan kemungkinan kebesaran kita sebagai bangsa di hari depan di

tengah-tengah bangsa-negara yang lain, juga merupakan factor penopang dari usaha

penciptaan keberanian untuk optimis dan melnjutkan hidup bersama kita. Ada kesadaran

yang menggejala secara umum, bahwa hanya dengan hidup bersama dalam Negara yang

bernama Indonesia, dengan jati diri kita sendiri, kita dapat membangun kehidupan yang

terhormat, di tengah-tengah bangsa-negara lain.

Indonesia adalah Negara dengan segunung potensi, maka yang perlu dipikirkan

adalah bagaimana caranya kita mengubah potential forces menjadi actual forces.

Kekuatan nyata yang mampu menjawab tantangan globalisasi. Dibutuhkan sebuah

Konsensus untuk menunjukkan kearah mana Indonesia akan dibawa oleh pemimpin

bangsa ini. Consensus tersebut akan menjadi factor penentu keberhasilan dalam

membangun jati diri bangsa yang maju, beradap, demokratis dan berkeadilan serta

menghormati hak-hak asasi manusia dalam kancah dunia internasional serta arus

(13)

BAB III PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan akhir dari makalah ini yaitu :

1. Untuk dapat mencapai suatu keadaan yang agak lebih makmur dari sekarang,

sudah tentu perlu suatu intensitas usaha di segala lapangan yang jauh lebih besar

daripada apa yang biasa kita gerakkan sampai kini.

2. Sifat-sifat kelemahan mentalitas bangsa yang bersumber pada kehidupan tanpa

pedoman dan orientasi yang tegas, adalah: sifat mentalitas yang meremehkan

mutu, sifat yang suka menerabas, sifat tak percaya pada diri sendiri, sifat tak

berdisiplin murni, sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang

kokoh.

3. Menurut Koentjaraningrat, ada empat jalan untuk meraih mentalitas pembangunan

: dengan memberi contoh yang baik, dengan memberi perangsang-perangsang

yang cocok, dengan persuasi dan penerangan, dan dengan pembinaan dan

pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil

dalam kalangan keluarga.

B. Saran

Dalam perwujudan mentalitas pembangunan, sangat diperlukan harmonisasi antara

pemerintah dan rakyat agar terjalin kekuatan bersama demi mencapai tujuan

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat.1992. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Sultan Hamengku Buwono X. 2007. Merajut Kembali keIndonesiaan Kita. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: PT Tiara

Referensi

Dokumen terkait

Penyediaan Layanan Rujukan Lanjutan bagi Perempuan Korban Kekerasan yang Memerlukan Koordinasi Kewenangan Kabupaten/Kota Pengelolaan Data Fakir Miskin Cakupan.

Sampel dalam penelitian ini sejumlah 20 responden di mana 10 responden dilakukan pijat oksitosin dan 10 responden tidak dilakukan pijat oksitosin, pada penelitian

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun petai cina (Leucaena glauca (L.) Benth.) memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas dengan

Adanya nilai Creatine Kinase-Myocardial Band (CK-MB) yang normal pada pasien penyakit jantung koroner di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung disebabkan pasien selalu

Perilaku hidup bersih dan sehat diberikan dengan tujuan agar pasien dan keluarga ataupun warga sekitar menggunakan air bersih dalam melakukan segala kegiatan,

Pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Jika diperhatikan maka Pasal 37

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Identifikasi unsur dalam cuplikan lapisan tipis yang terdeposit pada permukaan substrat kaca dilakukan dengan menggunakan metode analisis aktivasi neutron cepat menunjukkan bahwa