ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA BUDIDAYA
RUMPUT LAUT KOTONI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT
Financial Feasibility Analysis of Red Seaweed Cultivation Business
in the Seram Bagian Barat Regency
Robert Pensa Maryunus UPTD Balai Budidaya Laut Tual Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Jl. Taar Baru Kota Tual, Maluku, Indonesia 97611
Email: roby_pm@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB. Analisis dilakukan berdasarkan harga riil untuk skala usaha rata-rata pada setiap lokasi budidaya dan pengelompokan berdasarkan kepemilikan tali bentangan. Analisis kelayakan skala usaha maju pada setiap lokasi budidaya dilakukan tersendiri berdasarkan proyeksi income statement. Hasil yang diperoleh menunjukkkan kriteria investasi berdasarkan skala usaha rata-rata adalah: ROI : 76.46%, PP : 0.69, NPV : 5,738,824, IRR : 101.09 % dan Net B/C ratio : 1.80. Berdasarkan kepemilikan tali bentangan didapatkan nilai kriteria investasi dengan kisaran masing-masing: ROI : 65.32 – 104.64%, PP : 0.33 – 0.88, NPV : 3,663,824 – 24,193,350, IRR : 86.76 – 239.15% dan Net B/C ratio : 1.67 – 3.03 dimana terlihat bahwa semakin banyak kepemilikan tali bentangan maka nilai kriteria investasi semakin baik pula. Sedangkan berdasarkan proyeksi income statement skala usaha maju diperoleh nilai rata-rata masing-masing: ROI : 60.45%, PP : 0.72, NPV : 8,169,698, IRR : 130.74 % dan Net B/C ratio : 2.06. Analisis sensitivitas untuk skenario cost overrun biaya bibit menunjukkan nilai kriteria investasi yang masih bisa ditolerir. Secara umum usaha budidaya rumput laut ditinjau berdasarkan skala usaha rata-rata, kepemilikan tali bentangan maupun proyeksi income statement skala usaha maju, usaha dinyatakan “GO PROJECT”
Kata Kunci: analisis kelayakan finansial, kriteria investasi, rumput laut kotoni, seram bagian barat
ABSTRACT
This study aims to perform financial feasibility analysis of red seaweed cultivation business in the SBB Regency. The analysis is based on the real price for the average business scale at each cultivation location and grouping based on the long line ownership. The feasibility analysis of the bankable business scale at each cultivation location is done separately based on the projected income statement. The results obtained show investment criteria based on average business scale are: ROI: 76.46%, PP: 0.69, NPV: 5,738,824, IRR: 101.09% and Net B/C ratio: 1.80. Based on long line ownership, the investment criteria are obtained with the range of ROI: 65.32 - 104.64%, PP: 0.33 - 0.88, NPV: 3,663,824 - 24,193,350, IRR: 86.76 - 239.15% and Net B / C ratio: 1.67 - 3.03 where it is seen that the more ownership of long line shows the better criterion value of investment. While based on projected income statements bankable business scale obtained the average value of each: ROI: 60.45%, PP: 0.72, NPV: 8,169,698, IRR: 130.74% and Net B/C ratio: 2.06. Sensitivity analysis for the cost overrun scenario seed cost shows the value of investment criteria that can be still tolerated. In general, seaweed cultivation business is reviewed based on the average business scale, long line ownership as well as projected income statement of bankable business scale, the business is stated "GO PROJECT"
Keywords : financial feasibility analysis, investment criteria, red seaweed, seram bagian barat
PENDAHULUAN
Rumput laut (Seaweed) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai
ekonomis penting dan memiliki akses global yang luas serta prospek bisnis yang cerah di
karaginan) yang saat ini banyak dibudidayakan, adalah jenis Eucheuma cottonii sinonim
Kappaphycus alvarezii. Karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilizer (penstabil),
thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain. Sifat ini banyak
dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan
industri lainnya (Winarno, 1996).
Usaha budidaya rumput laut mempunyai karakteristik yang cepat menghasilkan (quick
yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar disamping itu memiliki kaitan usaha
backward dan forward linkage yang cukup luas, sehingga dapat memacu pembangunan
industri hulu maupun hilir. Pada usaha budidaya rumput laut pencapaian produksi dan
kapasitas usaha akan tercapai bila pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik
optimal dari kelayakan usaha tersebut. Kelayakan usaha sangat tergantung pada jalannya
subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegiatan di hulu (on-farm) sampai
kegiatan dihilir (off-farm), hal ini disebabkan keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan
secara efektif akan mampu meningkatkan efisiensi produksi (Cocon, 2011).
Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat dalam kebijakan pembangunannya telah
menempatkan komoditas rumput laut sebagai komoditas unggulan untuk dikembangkan
dengan pertimbangan luas wilayah potensial bagi pengembangan komoditas ini masih cukup
tersedia (Anonim, 2011). Usaha budidaya rumput laut didaerah ini merupakan usaha yang
tergolong agribisnis skala mikro yang pengelolaannya dilakukan oleh rumah tangga dan
beberapa dalam kelompok usaha budidaya.
Sebagai suatu unit usaha yang diharapkan mampu meningkatkan taraf perekonomian
pelaku usaha budidaya sekaligus meningkatkan perekonomian daerah dibutuhkan suatu
analisis finansial untuk menentukan layak tidaknya usaha ini dikembangkan. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan analisis finansial usaha budidaya rumput laut Kabupaten SBB.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis untuk menentukan kelayakan (pendapatan dan usaha)
akan disusun suatu rekomendasi kebijakan yang perlu diambil dalam rangka pengembangan
usaha rumput laut di wilayah tersebut.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan pada 2 (dua) kecamatan yang menjadi sentra budidaya
rumput laut Kabupaten Seram Bagian Barat yakni di Kecamatan Seram Barat masing-masing:
Dusun Pulau Osi, Kotania, dan Loun di Desa Eti; Wael, Airpesi dan Taman Jaya di Desa Piru
serta di Kecamatan Kairatu Barat yakni Negeri Nuruwe. Penelitian ini berlangsung dari bulan
April sampai dengan September 2011.
Jenis data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan data sekunder. Data
primer, yakni data yang diperoleh melalui kuisioner, wawancara dan observasi langsung dari
sumber pertama. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran ke lembaga terkait
yakni Bank Indonesia, Bank Komersil (Bank Maluku dan BRI) dan Badan Pusat Statistik
Provinsi Maluku. Data-data tersebut digunakan untuk menganalisa dan menghitung
permodalan, komponen dan struktur biaya, penerimaan dan keuntungan, non time value of
money dan time value of money, serta hal-lal terkait lainnya. Keseluruhan data dianalisis
secara kuantitatif dan kualitatif.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif (the descriptive survey method).
Metode deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha mendeskripsikan atau
menggambarkan serta melukiskan fenomena atau hubungan antara fenomena yang diteliti
secara sistematis, aktual dan akurat (Arikunto, 2002).
Pemilihan lokasi dusun/negeri dilakukan secara purposive (Sugiyono, 2009), dengan
pertimbangan lokasi tersebut eksis melakukan kegiatan budidaya pada saat pelaksanaan
penelitian. Pemilihan responden pembudidaya dilakukan berdasarkan teknik cluster random
sampling (Sugiyono, 2009) dengan pertimbangan: Pertama, sub populasi pembudidaya
tersebar pada lokasi-lokasi tertentu pada area yang luas dengan distribusi jumlah yang tidak
seimbang; Kedua, interval jumlah kepemilikan tali bentangan yang menjadi indikator luas
lahan pembudidaya berbeda-beda dan tidak terwakili pada semua sub populasi. Klaster
(cluster) yang terbentuk adalah lokasi budidaya dan interval kepemilikian tali bentangan yakni:
10 – 19 bal, 20 – 29 bal, 30 – 29 bal, 40 – 49 bal, 50 – 59 bal, 60 – 69 bal dan 70 – 79 bal. Jumlah pembudidaya yang eksis berdasarkan informasi dari masing-masing kepala
dusun setempat berjumlah total 322 pembudidaya. Jumlah sampelpembudidaya (unit usaha)
ditetapkan kurang lebih 15 % dari populasi total (Arikunto, 2002), dengan mempertimbangkan
jumlah dari populasi pembudidaya yang eksis pada masing-masing lokasi penelitian. Jumlah
unit usaha yang diambil sebagai sampel pada masing-masing lokasi penelitian sebanyak 53
unit usaha masing-masing: Pulau Osi 10 unit usaha, Loun 5 unit usaha, Kotania 10 unit usaha,
Wael 15 unit usaha, Taman Jaya 5 unit usaha, Airpesi 5 unit usaha dan Nuruwe Nuruwe 3
unit usaha.
Metode Analisis Data
Analisis finansial dilakukan dua tahap sebagai berikut: Pertama, analisis berdasarkan
skala usaha rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi budidaya dan jumlah kepemilikian tali
bentangan, dengan mengacu data produksi dan biaya-biaya riil yang timbul serta harga jual
rumput laut tahun 2010. Tujuannya untuk melihat kelayakan usaha berdasarkan lokasi,
Pada perhitungan ini panjang 1 bal tali bentangan diasumsikan 100 meter. Kedua, analisis
berdasarkan skala usaha maju (bankable) dari masing-masing lokasi budidaya didasarkan
pada data cross section, produksi dan harga jual, masing-masing sebanyak 1 kali pada periode
awal Musim Barat dan Musim Timur Tahun 2011, dari hasil kuisioner, wawancara dan
pengukuran di lapangan, dengan asumsi tingkat teknologi dan penggunaan faktor-faktor
produksi dalam jangka pendek adalah tetap (cateris paribus). Kriteria pemilihan unit usaha
yang dianggap maju adalah pembudidaya yang melakukan budidaya secara kontinyu
sepanjang musim dan memiliki produksi yang tinggi berdasarkan informasi lisan dari
pembudidaya setempat. Tujuannya untuk melihat proyeksi income statement pada
masing-masing unit usaha yang dianggap maju.
Untuk mengetahui kondisi aspek finansial unit usaha dilakukan beberapa perhitungan
finansial sebagai berikut :
1. Total Biaya
Perhitungan penggunaan total biaya (total cost) (Kadariah dkk., 1999), secara sistematis
dirumuskan sebagai berikut:
TC = TVC + TFC
dimana :
TC = Total biaya/ Total cost (Rp)
TVC = Total biaya variabel/ Total variable cost (Rp)
TFC = Total biaya tetap/ Total fixed cost (Rp)
Perhitungan biaya penyusutan investasi pada total biaya tetap menggunakan metode garis
lurus (straight line balance method) (Kadariah, dkk., 1999).
2. Penerimaan
Perhitungan total penerimaan (total revenue) (Kadariah dkk., 1999) secara sistematis
dirumuskan sebagai berikut :
TR = Py . Y
dimana :
TR = Total penerimaan/ Total revenue (Rp)
Py = Harga produk/ Product price (Rp)
Y = Jumlah produksi/ Production volume (Kg)
3. Keuntungan
Perhitungan keuntungan menggunakan keuntungan absolut (
π
), dengan rumus
π
= TR – TCdimana :
π
= Keuntungan absolut/ Absolute return (Rp) TR = Total pendapatan/ Total income (Rp)TC = Total biaya/ Total cost (Rp)
Untuk mengetahui total profit berada di atas atau dibawah inflation rate (%) pada tahun yang
bersangkutan dihitung tingkat keuntungan (profit rate, dalam %) (Soekartawi, 2002),
berdasarkan rumus :
�
TC
dimana :
π
= Total keuntungan/ Total Profit (Rp) TC = Total biaya/ Total Cost (Rp)4. Non Time Value of Money (Non Discount Factor)
a. Break Even Point (BEP)
Analisis BEP digunakan untuk menetapkan pada tingkat volume produksi dan harga
berapa suatu usaha pada kondisi tidak untung tetapi juga tidak rugi. BEP yang
dianalisis adalah BEP produksi dan harga. Secara sistematis BEP (Rahardi dkk.,
2005), dirumuskan sebagai berikut.
• BEP atas dasar produksi : BEP (kg) =
• BEP atas dasar harga :
BEP (Rp) =
b. Return on Invesment (ROI)
ROI digunakan untuk menghitung berapa tingkat keuntungan dari setiap modal yang
diinvestasikan. Semakin tinggi ROI maka semakin baik investasi yang dilakukan.
Secara sistematis ROI (Soekartawi, 2002), dirumuskan sebagai berikut :
Pendapatan Bersih (Net Income)
Modal (Total Asset) x 100 % Profit Rate =
ROI = x 100 %
Total Biaya (Total cost)
Total Produksi (Total production)
Total Biaya (Total cost)
dengan kriteria kelayakan usaha :
ROI > suku bunga bank, usaha dinyatakan layak/ business is feasible
ROI < suku bunga bank, usaha dinyatakan tidak layak/ business is not feasible
c. Payback Period (PP)
PP digunakan untuk menghitung waktu berapa lama pengembalian investasi. Secara
sistematis PP (Kadariah dkk., 1999), dirumuskan sebagai berikut :
PP =
Kalau periode payback ini lebih pendek dari yang diisyaratkan maka proyek dikatakan
menguntungkan, dan bila lebih lama, proyek ditolak. Pada penelitian ini umur proyek
usaha budidaya rumput laut ditetapkan/diasumsikan 1 tahun. dengan kriteria
kelayakan usaha :
PP < 1 tahun usaha dinyatakan menguntungkan/ business is benefit
PP > 1 tahun usaha dinyatakan tidak menguntungkan/ business is not benefit
5. Time Value of Money (Discount Factor)
a. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara present value dari benefit dan present
value dari biaya yang dirumuskan secara matematik (Kadariah dkk., 1999), sebagai
berikut :
dimana :
NPV = Nilai saat ini/ Net present value
Bt = Keuntungan pada tahun t/ Annual benefit
Ct = Biaya pada tahun t/ Annual cost
n = Umur ekonomis suatu proyek/ Project life
i = Tingkat suku bunga yang berlaku/ Discount rate
dengan kriteria kelayakan usaha :
NPV > 0, berarti usaha tersebut layak/ business is feasible
NPV < 0, berarti usaha tersebut tidak layak/ business is not feasible
NPV = 0, berarti usaha tersebut dalam keadaan BEP dimana TR = TC dalam bentuk
present value/ business in break even point where TR = TC in present value
b. Internal Rate of Return (IRR)
x 1 Tahun (Year)
t n
t
i
C t
Bt
NP V
)
1
(
1
Investasi (Investation)
Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskonto dimana present value dari biaya
total sama dengan present value dari penerimaan total. Secara matematis (Kadariah
dkk., 1999) dapat dirumuskan sebagai berikut :
IRR = i’+ x (i” –i’)
dimana :
i’ = nilai discount rate tertinggi yang memberi NPV positif (NPV’)/ the interest rate that produces NPV positive (NPV’)
i” = nilai discount rate terendah yang memberi NPV negatif (NPV”), sehingga diperoleh NPV sebesar nol/ the interest rate that produces NPV is zero (NPV”)’
NPV’ = nilai NPV pada discount rate pertama/ NPV when the discount rate i’ NPV” = nilai NPV pada discount rate kedua/ NPV when the discount rate i” dengan kriteria kelayakan usaha:
IRR > suku bunga (i’), usaha dianggap layak/ business is feasible
IRR < suku bunga (i’), usaha dianggap tidak layak/ business is not feasible
IRR = 0, usaha berada dalam kondisi BEP/ business is break even point
c. Net Benefit Cost Ratio
Net B/C merupakan nilai perbandingan antara jumlah present value yang positif
dengan jumlah present value yang negatif. Secara sistematis Net B/C ratio (Kadariah
dkk., 1999) dirumuskan sebagai berikut :
dimana :
Bt = Keuntungan sehubungan dengan adanya investasi tahun t/ Annual benefit
Ct = Biaya sehubungan adanya investasi investasi pada tahun t/ Annual cost
t = Umur ekonomis dari usaha/ Project life
i = Tingkat suku bunga/ Discount rate
dengan kriteria kelayakan usaha :
Jika Net B/C > 1 maka usaha dianggap layak/ business is feasible
Jika Net B/C < 1 maka usaha dianggap tidak layak/ business is not feasible
Jika Net B/C = 1 maka usaha berada dalam kondisi BEP/ business in break even point.
Perhitungan cash flow pada kriteria time value of money menggunakan metode direct
cash flow (Kadariah dkk., 1999). Nilai discount factor (DF) ditetapkan sebesar 12 %
yang merupakan nilai tengah (mean) dari skim suku bunga kredit yang biasa diakses
oleh pembudidaya. Sedangkan biaya perawatan ditetapkan sebesar 5 % dari total
investasi (Parenrengi dkk., 2011).
6. Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan dengan menskenariokan terjadinya kejadian diluar
perhitungan (Kadariah dkk., 1999). Pada penelitian ini diuji komponen input produksi yakni
bibit, dengan skenario terjadi kenaikan harga (cost overrun) bibit sebesar 33,33 %, dengan
pertimbangan bibit merupakan komponen biaya variabel yang nilai nominalnya paling besar.
Skenario disusun berdasarkan data historis variasi harga bibit rumput laut berdasarkan hasil
wawancara dengan pembudidaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah dan Usaha
Kabupaten Seram Bagian Barat atau biasa disingkat Kabupaten SBB sebagian besar
terletak di Pulau Seram, terletak antara 2o55’ – 3o30’ Lintang Selatan dan 127o29’ – 128o45’
Bujur Timur dengan luas seluruhnya 84.181 km2 yang terdiri dari laut seluas 79.005 km2 (93,83
%) dan daratan 5.176 km2 (6,15 %) (BPS Prov. Maluku, 2011).
Iklim di Kabupaten SBB adalah iklim laut tropis dan iklim musim karena letaknya dekat
daerah garis khatulistiwa dan dikelilingi oleh lautan luas. Iklim di wilayah ini sangat dipengaruhi
oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat atau Utara
dan musim Timur atau Tenggara. Ada 4 musim yang berpengaruh terhadap perairan SBB
yakni musim Barat (Desember – Pebruari), musim Pancaroba 1 (Maret – Mei), musim Timur (Juni – Agustus), dan musim Pancaroba 2 (September – Nopember). Setiap musim memiliki
karakteristik cuaca yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan suhu udara, pola angin,
curah hujan, dan faktor cuaca lainnya (Diskanlut Prov. Maluku & Lemlit Unpatti 2005). Adapun
luas potensi lahan budidaya rumput laut diperkirakan mencapai 7690 Ha (Bappeda Kab. SBB,
2011).
Metode budidaya rumput laut yang dikembangkan oleh pembudidaya di Kabupaten SBB
adalah metode rawai atau long line. Sarana berupa komponen material yang digunakan dalam
usaha budidaya terdiri dari: tali jangkar (PE ø 8, 10 atau 12 mm), tali utama (PE ø 6, 8 atau 10
mm), tali bentangan (PE ø 4 atau 5 mm), jangkar (cor beton, tiang tancap atau karang mati),
pelampung utama (styroafoam ø 25 cm) dan pelampung bantu (botol bekas air mineral).
Sedangkan sarana penunjang terdiri dari: sampan (kayu), terpal (plastik), waring (nilon),
para-para jemur (kayu atau bambu) dan beberapa pembudidaya memiliki mesin tempel perahu
motor (2,5 PK) yang oleh penduduk lokal biasa disebut ketinting. Bibit yang digunakan dalam
secara vegetatif dan hanya beberapa yang mendapatkan bibit dengan cara membeli dari
pembudidaya lainnya.
Permodalan
Berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya pada lokasi-lokasi penelitian maka
sumber permodalan usaha budidaya secara umum dibagi atas 3 yakni: modal sendiri (self
financing), modal pinjaman dari bank dan modal berupa paket bantuan sarana budidaya dari
instansi pemerintah. Perbankan yang menyiapkan fasilitas kredit yaitu Bank Maluku melalui
skim kredit PUNDI dengan nominal Rp 10 – 15 juta dengan suku bunga 10 – 14 % dan BRI
melalui skim kredit KUPEDES dengan nominal Rp 5 – 10 juta dengan suku bunga 10 – 14 %. Realisasi fasilitas kredit bagi pembudidaya rumput laut di Kabupaten SBB lebih banyak
didominasi oleh Bank Maluku dan hanya beberapa pembudidaya yang memanfaatkan kredit
dari BRI. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Pemimpin Cabang Bank
Maluku Piru diketahui bahwa dari total plafond per Juni 2011 yang dikucurkan untuk
pembudidaya rumput laut 34,78 % diantaranya masuk kedalam kategori kredit macet atau
NPL (non performing loan). Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi perbankan ada sekitar
sepertiga diantara debitur yang memiliki karakter yang kurang baik. Berdasarkan hal tersebut
dapat dikatakan bahwa dukungan sektor perbankan khususnya bagi upaya pengembangan
budidaya rumput laut di Kabupaten SBB sudah memadai, persoalannya adalah kembali
kepada karakter atau mental debitur.
Kesulitan utama dalam hal permodalan adalah modal investasi bagi pembudidaya yang
baru mau memulai usahanya adalah kesulitan modal awal. Hal ini mendorong pemerintah baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten setiap tahunnya menganggarkan
bantuan paket budidaya di Kabupaten SBB. Pada usaha budidaya yang sudah berjalan sekitar
1 tahun biasanya tidak ada lagi kesulitan modal untuk sekedar bertahan sesuai dengan skala
usaha awal, namun beberapa pembudidaya sulit untuk meningkatkan skala usahanya karena
adanya pemahaman yang keliru pada sebagian pembudidaya yang menganggap bahwa untuk
pengembangan usaha budidaya yang mereka miliki, menjadi kewajiban pemerintah untuk
selalu menyiapkan sarana produksi yang diperlukan.
Komponen dan Struktur Biaya
Secara garis besar dikenal dua macam modal dalam perhitungan kelayakan usaha
yakni: modal investasi dan modal kerja (Ibrahim, 2009). Modal investasi terdiri dari biaya
investasi dan modal kerja terdiri yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel
(variable cost). Biaya merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses produksi, sebab
apabila suatu unit usaha mampu mengendalikan biaya-biaya yang terjadi maka akan tercipta
Komponen dan struktur biaya diperoleh dari hasil kuisioner ditambah dengan
perhitungan nilai nominal bibit berdasarkan jumlah bibit yang digunakan oleh pembudidaya
serta perhitungan nilai sisa (salvage value) komponen biaya investasi. Rekapitulasi komponen
dan struktur biaya yang terbentuk disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Nilai Nominal Rata-Rata Komponen dan Struktur Biaya Usaha Budidaya Rumput Laut di Kabupaten SBB.
Table 1. Recapitulation of Average Nominal Value of Component and Cost Structure of Seaweed Cultivation in SBB Regency
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)
Berdasarkan Tabel 1 struktur biaya yang terjadi pada usaha budidaya rumput laut di
Kabupaten SBB secara garis besar terdiri atas tiga yakni: a) Biaya Investasi, b) Biaya Tetap
dan c) Biaya Variabel, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
a)
Biaya Investasi :Biaya investasi dibutuhkan untuk memulai usaha budidaya rumput laut. Biaya ini
dibutuhkan untuk pengadaan sarana seperti tali PE, sampan, pelampung, jangkar, waring,
para-para, terpal dan lain-lain. Menurut Rahardi dkk., (2005) biaya investasi adalah biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan barang-barang modal pada tahun ke – 0 dengan harapan memperoleh manfaat atau benefit pada tahun-tahun berikutnya. Hasil tabulasi menunjukkan
rentang kisaran nilai yang tidak terlalu berbeda jauh dikarenakan pada semua lokasi metode
budidaya yang diterapkan sama yakni metode long line. Nilai nominal rata-rata biaya investasi
pada setiap lokasi bervariasi, dari yang terkecil Dusun Taman Jaya sebesar Rp 5.478.800,-,
hal ini disebabkan karena pada lokasi ini sarana budidaya yang dipergunakan oleh responden
pembudidaya relatif sederhana dibandingkan lokasi lainnya, seperti tidak adanya ketinting
yang harga investasinya cukup mahal. Sedangkan nilai terbesar dijumpai pada Dusun Wael
sebesar Rp 8.397.567,-. Nilai investasi yang lebih besar pada lokasi ini terkait sarana yang
digunakan pembudidaya pada lokasi ini relatif lebih bervariasi disamping kuantitas jenis
sarana yang lebih banyak.
Pulau Osi 7,878,650 2,589,117 393,933 7,063,650 10,046,699 15,336,233 Kotania 6,950,200 2,461,767 347,510 9,114,486 11,923,763 16,412,196 Loun 6,853,500 2,371,417 342,675 7,528,572 10,517,464 14,724,747
Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael 8,397,567 2,965,811 419,878 10,995,605 14,379,295 19,811,050 Airpesi 7,436,000 2,259,250 371,800 7,711,854 10,342,704 15,519,654 Taman Jaya 5,478,800 2,201,400 273,940 7,009,479 9,484,819 12,762,219
Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat
Berdasarkan hasil tabulasi data, komponen biaya tetap yang teridentifikasi pada usaha
budidaya rumput laut di Kabupaten SBB yakni biaya penyusutan dan biaya perawatan. Kedua
jenis komponen biaya tersebut memiliki keterkaitan erat dengan biaya produksi. Komponen
biaya investasi yang teridentifikasi mempunyai nilai sisa adalah ketinting dan perahu.
Sedangkan biaya perawatan dalam usaha budidaya rumput laut meliputi antara lain: biaya
penggantian tali, pelampung, perbaikan mesin dan sebagainya.
Besarnya nilai tetap pada usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB tidak
menunjukkan adanya variasi yang menyolok diantara lokasi-lokasi budidaya yang ada.
Adapun nilai rata-rata penyusutan dan biaya perawatan terendah yakni masing-masing Rp
2.201.400,- dan Rp 273.940,- di Dusun Taman Jaya dan tertinggi masing-masing Rp
2.965.811,- dan Rp 419.878,- di Dusun Wael. Tidak terjadinya perbedaan yang menyolok
terhadap biaya tetap pada lokasi-lokasi budidaya terkait dengan nilai dan jenis komponen
biaya investasi yang juga tidak berbeda jauh.
c)
Biaya VariabelPada usaha budidaya rumput laut sebagaimana halnya di Kabupaten SBB, biaya
variabel meliputi antara lain: biaya pengadaan dan pengangkutan bibit, karung, tali rafia, upah
tenaga kerja lepas, BBM, oli dan lain-lain. Berdasarkan hasil tabulasi nilai biaya variabel
terendah didapatkan di Dusun Taman Jaya sebesar Rp 7.009.479,- dan tertinggi di Dusun
Wael sebesar Rp 10.965.605.-. Tingginya nilai biaya variabel di Dusun Wael terkait dengan
aktifitas dan produktivitas yang tinggi di lokasi tersebut.
Penerimaan dan Keuntungan
Penerimaan dan keuntungan terkait langsung dengan jumlah produksi dan harga jual
rumput laut kering dari pembudidaya. Pada perhitungan penerimaan dan keuntungan
diasumsikan umur proyek 1 tahun sehingga penerimaan murni berasal dari hasil penjualan
rumput laut kering, tidak ada yang berasal dari nilai sisa (salvage value) aktiva. Perbandingan
antara penerimaan dan keuntungan rata-rata per musim serta perkiraan penghasilan per bulan
pada setiap lokasi disajikan pada Tabel 2 yang dihitung berdasarkan produksi dan harga jual
dari pembudidaya pada Tahun 2010. Sedangkan penerimaan dan keuntungan rata-rata Tahun
2010 pada setiap lokasi ditampilkan pada Gambar 1.
Perbedaan volume produksi dan harga antara Musim Barat dan Musim Timur secara
langsung berpengaruh terhadap penerimaan ataupun keuntungan yang diperoleh
pembudidaya. Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum semua lokasi pada Musim Barat
menderita kerugian (angka warna merah). Hal ini selain disebabkan oleh produktivitas yang
rendah, juga disebabkan oleh harga jual yang rendah pada musim tersebut.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Musim Timur dimana skala produksi meningkat dan
harga jual yang relatif lebih baik mendatangkan keuntungan yang signifikan bagi pembudidaya
dengan kondisi usaha yang menderita kerugian pada Musim Barat adalah rata-rata secara
umum, tidak ada perbedaan penerimaan dan keuntungan yang signifikan antara lokasi yang
hanya berproduksi pada Musim Timur (3 periode produksi) dengan lokasi yang berproduksi
baik pada Musim Timur maupun Musim Barat ( lebih dari 3 periode produksi).
Terjadinya perbedaan penerimaan dan keuntungan yang terjadi antara Musim Barat dan
Timur disebabkan pada Musim Barat sering terjadi serangan penyakit ice-ice yang memaksa
pembudidaya memanen rumput lautnya sbelum berumur 45 hari. Selain itu pada periode
tersebut bobot rumput laut berkurang ditambah harga pembelian pedagang yang rendah.
Fakta-fakta ini mendorong pembudidaya dalam operasional budidayanya memilih
menghindari resiko (risk aversion), dengan hanya memasang sekitar setengah dari jumlah tali
bentangan yang dimilikinya.
Pada Gambar 1 terlihat bahwa secara rata-rata per lokasi penerimaan pembudidaya
rumput laut pada tahun 2010 berkisar antara Rp 18.792.301,- sampai dengan Rp 31.887.025,-
dengan rata-rata Rp 23.023.405,-. Sedangkan keuntungan berkisar antara Rp 9.362.022,-
sampai dengan Rp 17.330.621,- dengan rata-rata Rp 11.931.207,-. Hal ini bila dikaitkan
dengan pendapatan bulanan dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku tahun 2010 sebesar
Rp 840.000,- per bulan (Gajimu com, 2011) menunjukkan bahwa secara rata-rata pendapatan
pembudidaya per bulan pada lokasi: Pulau Osi, Kotania, Loun, Wael dan Nuruwe, berada
sedikit diatas UMP Maluku. Lokasi Airpesi dan Taman Jaya menunjukkan secara rata-rata
pendapatan pembudidaya masih dibawah UMP Maluku.
Meskipun demikian patut juga diakui bahwa dengan eksisnya kegiatan budidaya rumput
laut di Kabupaten SBB, beberapa pembudidaya yang menekuni usaha budidaya rumput laut
secara serius dan memiliki tali bentangan dalam jumlah yang cukup besar sebagian besar
telah berhasil memperbaiki taraf perekonomian keluarga mereka.
Tabel 2. Perbandingan Penerimaan vs Keuntungan dan Perkiraan Penghasilan Rata-Rata Pembudidaya per Bulan.
Table 2. Comparison of Revenue vs Profit and Estimated Average Income of Aquaculturists per Month.
Keuntungan/ Benefit Perkiraan Penghasilan Bersih
Lokasi/ Location
Musim Barat/ West Season
Musim Timur/ East Season
per Bulan/ Net Income Estimation per Month
(Rp) (Rp) (Rp)
Desa Eti, Kecamatan Seram Barat
Pulau Osi (46,875) 12,237,388 1,015,876
Kotania (1,197,167) 12,097,784 908,385
Loun (1,323,108) 12,401,179 923,173
Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael (623,121) 17,962,742 1,444,968
Airpesi (1,136,585) 10,734,192 799,801
Taman Jaya (706,649) 10,068,671 780,169
Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)
Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pergeseran kualitas hunian dari rumah papan ke rumah
batu, berhasil menyekolahkan putra-putrinya sampai jenjang perguruan tinggi bahkan
beberapa orang yang telah berhasil menunaikan ibadah haji dari hasil usaha rumput laut.
Sumber: Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)
Gambar 1. Perbandingan Penerimaan vs Keuntungan Rata-Rata Pembudidaya dirinci per Lokasi.
Figure 1. Comparison of Revenue vs Average Benefit Average of Aquaculturists are detailed per Location.
Berdasarkan wawancara dengan responden pembudidaya diketahui bahwa dari semua
responden yang ada tidak ada satupun yang melakukan pembukuan terhadap biaya-biaya
yang dikeluarkan maupun penerimaan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa
pembudidaya belum memperhatikan aspek menajemen usaha khususnya manajemen
keuangan, padahal hal tersebut sangat penting dilakukan untuk mengontrol sekaligus
membuat perencanaan usaha sehingga bisa berhasil dengan baik. Pada lokasi budidaya di
Wael dan Nuruwe dimana Bank Indonesia pernah melakukan pelatihan pembukuan
sederhana pada awal tahun 2011 juga tidak ditemui pembudidaya yang mempraktekkan
pembukuan usaha.
Profit Rate
Profit rate berhubungan dengan sejauh mana efektifitas penggunaan biaya operasional
(biaya tetap dan biaya variabel) dalam menghasilkan keuntungan. Menurut Prihadi (2010),
posisi inflasi dalam penilaian investasi perlu dievaluasi karena inflasi mempengaruhi tingkat
Total (5,062,659) 88,581,106 6,959,871
Rata-Rata (723,237) 12,654,444 994,267
Pulau Osi Kotania Loun Wael Airpesi Taman Jaya Nuruwe
Penerimaan 22,433,500 22,963,645 21,252,859 31,887,025 19,866,311 18,792,301 23,980,472 Keuntungan 12,190,513 10,900,617 11,078,070 17,339,621 9,597,607 9,362,022 13,062,273
5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 30,000,000 35,000,000
biaya dan harga jual produk terutama di negara-negara berkembang karena sifat
perekonomiannya yang tidak stabil.
Nilai profit rate rata-rata selama tahun 2010 pada masing-masing lokasi budidaya tersaji
pada Tabel 3.
Tabel 3. Profit Rate Rata-Rata Usaha Budidaya Rumput Laut Dirinci per Lokasi Table 3. Average Profit Rate of Seaweed Cultivation are Detailed per Location
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa nilai rata-rata profit rate berkisar antara 100,00 % -
121,85 % dengan rata-rata 109,76 %, berada jauh diatas nilai inflasi tahun 2010 berdasarkan
laporan Bank Indonesia (2011), dari yang terendah di Bulan Januari sebesar 3,72 % dan
tertinggi di Bulan Desember sebesar 6,96 %. Hal ini tidak terlepas dari kondisi makro
perekonomian Indonesia yang cenderung stabil sepanjang tahun 2010. Tingginya nilai profit
rate pada semua lokasi juga dipengaruhi oleh kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian
besar pembudidaya dalam menjalankan usahanya masih menggunakan modal sendiri (self
financing).
Nilai inflasi tahun 2010 yang berkisar antara 3,72 – 6,96 % menunjukkan nilai inflasi yang
tergolong kedalam skala moderat. Menurut Senduk (2000) berdasarkan tingkat keparahannya
ada tiga tipe inflasi yakni: (1) inflasi moderat, yaitu apabila laju inflasi hanya berada di bawah
dua digit per tahun (di bawah 10 persen), (2) inflasi ganas, yaitu apabila laju inflasi berada
pada dua digit per tahun (10 persen sampai dengan 99 persen) dan (3) inflasi hiper, yaitu
apabila laju inflasi berada pada tiga digit per tahun (100 persen atau lebih).
Break Even Point (BEP)
Break even point atau titik impas adalah suatu titik keadaan dimana jumlah pengeluaran
(total cost) dan jumlah penerimaan (total revenue) sama besar. Pada umumnya, setelah break
even point (BEP) tercapai, maka penerimaan selanjutnya merupakan keuntungan, artinya Lokasi/
Location Profit Rate Kriteria/ Criteria Justification Justifikasi Desa Eti, Kecamatan Seram Barat :
Pulau Osi 118.83% > inflasi tahun 2010 Layak Kotania 100.00% > inflasi tahun 2010 Layak Loun 112.04% > inflasi tahun 2010 Layak Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael 121.85% > inflasi tahun 2010 Layak Airpesi 101.48% > inflasi tahun 2010 Layak Taman Jaya 100.64% > inflasi tahun 2010 Layak Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat :
Negeri Nuruwe 113.48% > inflasi tahun 2010 Layak
Total 768.32%
pendapatan akan lebih besar dari biaya. Titik impas dicapai apabila keadaan usaha telah
menghasilkan pendapatan yang dapat menutup semua pengeluaran.
BEP terdiri dari 2 yakni BEP harga dan BEP produksi. Menurut Bank Indonesia (2008),
BEP bukan merupakan ukuran kelayakan usaha. Indikator ini hanya sebagai pedoman bagi
pengusaha untuk melihat batas penjualan minimum dan harga minimum yang harus dicapai
supaya memperoleh keuntungan. Analisis BEP usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB
tidak terlepas dari kondisi harga dan volume produksi yang ada. Hubungan antara harga
rata-rata dan BEP harga serta produksi rata-rata-rata-rata dan BEP produksi pada setiap musim disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Harga Rata-Rata dan BEP Harga serta Produksi Rata-Rata dan BEP Produksi Setiap Musim Dirinci per Lokasi.
Table 4. Average Price and BEP of Price and Average Production and BEP of Production Each Season are Detailed per Location
Harga/ Price BEP Harga/ BEP
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)
Berdasarkan Tabel 4 diatas diperoleh harga rata-rata pada Musim Barat sebesar Rp
6.458,- lebih rendah dari BEP harga Musim Barat sebesar Rp 7.833,- dan rata-rata produksi
Musim Barat sebesar 577 kg lebih rendah dari BEP Produksi sebesar 692 kg. Berdasarkan
harga Musim Barat dan BEP produksi Musim Barat terlihat bahwa meskipun penerimaan
rata-rata pada Musim Barat mencapai rata-rata-rata-rata Rp. 3.706.890 lebih tinggi dari biaya tetap yang
dikeluarkan yakni rata-rata Rp. 1.453.583,- namun karena rata-rata harga yang terbentuk
hanya mencapai Rp. 6.458,- berada dibawah BEP harga rata-rata yakni Rp. 7.833,- maka
secara umum usaha berada dalam kondisi rugi. Demikian pula dengan produksi rata-rata yang
mengindikasikan bahwa baik dari segi harga maupun produksi secara umum, usaha budidaya
rumput laut di Kabupaten SBB pada Musim Barat mengalami kerugian.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Musim Timur dimana harga rata-rata yang terbentuk
sebesar Rp 9.664,- lebih tinggi dari BEP harga sebesar Rp 3.510,- dan rata-rata produksi
mencapai 2.067 kg lebih tinggi dari BEP produksi rata-rata sebesar 748 kg (Tabel 4).
Penerimaan rata-rata pada Musim Timur mencapai rata-rata Rp. 19.846.071,- jauh lebih tinggi
dari biaya tetap yang dikeluarkan yakni rata-rata Rp. 1.453.583,-. Harga rata-rata yang
mencapai Rp. 9.664,- berada jauh diatas BEP harga rata-rata yakni Rp. 3.510,-. Demikian pula
dengan produksi rata-rata yang dicapai yakni 2.067 kg berada diatas BEP produksi rata-rata
sebesar 748 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa baik dari segi harga maupun produksi, usaha
budidaya rumput laut di Kabupaten SBB pada Musim Timur sangat menguntungkan sekaligus
mampu menutupi kerugian yang timbul pada Musim Barat.
Kriteria Investasi
Kriteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dari biaya yang
dikeluarkan pada suatu proyek. Hasil perhitungan kriteria investasi merupakan indikator dari
modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total benefit yang diterima dengan total
biaya yang dikeluarkan.
Analisis kriteria investasi skala usaha rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah
kepemilikian tali bentangan, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 5 dan 6. Analisis
kriteria investasi skala usaha maju berdasarkan proyeksi income statement skala usaha maju
dari masing-masing lokasi budidaya didasarkan atas produksi dan harga jual masing-masing
1 kali pada periode awal Musim Barat dan Musim Timur tahun 2011. Kriteria investasi
berdasarkan proyeksi income statement skala usaha maju pada setiap lokasi disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 5. Nilai Rata-Rata Kriteria Investasi Dirinci Per Lokasi
Table 5. Average Value of Investment Criteria are Detailed per Location
Lokasi/ Location
Kriteria Investasi/ Investment Criteria
ROI PP NPV IRR Net B/C ratio Desa Eti, Kecamatan Seram Barat
Pulau Osi 76.80% 0.75 5,317,448 87.59% 1.67
Kotania 71.25% 0.82 4,980,500 92.26% 1.72
Loun 76.67% 0.64 5,154,971 96.24% 1.75
Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael 88.53% 0.53 9,732,302 141.80% 2.16
Airpesi 65.67% 0.81 3,150,480 59.45% 1.42
Taman Jaya 75.47% 0.60 4,845,684 111.06% 1.88
Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat
Nuruwe 80.84% 0.65 6,990,385 119.21% 1.96
Total 535.24% 4.81 40,171,770 707.61% 12.57
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)
Tabel 6. Nilai Rata-Rata Kriteria Investasi Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Tali Bentangan Table 6. Average Value of Investment Criteria based on Amount of Long Line Ownership
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)
Tabel 7. Nilai Kriteria Investasi Skala Usaha Maju Berdasarkan Proyeksi Income Statement Dirinci Per Pembudidaya dan Per Lokasi
Table 7. Value Investment Criteria of Bankable Business Based on Income Statement Projection are Detailed per Aquaculturist and Per Location
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)
Berdasarkan Tabel 5, 6 dan 7 pembahasan dan jastifikasi kelayakan usaha budidaya
rumput di Kabupaten SBB adalah sebagai berikut:
a) ROI (Return on Investment)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha
rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 76, 46 % ( > 12 %) dan kisaran 65,32 – 104,64 % ( > 12 %). Hasil ini menunjukkan bahwa jika dianalogikan setiap investasi sebesar Rp. 100,00 ditinjau
berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikan tali bentangan masing-masing akan menghasilkan Kepemilikan Kriteria Investasi/ Investment Criteria
Tali Bentangan/ Long Line Ownership (Bal)
ROI PP NPV IRR Net B/C ratio
10 - 19 93.53% 0.88 3,663,635 86.76% 1.67 20 - 29 79.74% 0.68 4,246,710 90.41% 1.70 30 - 39 80.42% 0.65 6,671,698 102.54% 1.81 40 - 49 83.62% 0.54 9,354,406 133.24% 2.08 50 - 59 102.50% 0.43 14,595,631 171.84% 2.43 60 - 69 65.32% 0.55 10,054,435 135.00% 2.10 70 - 79 104.64% 0.33 24,193,350 239.15% 3.03
Lokasi/ Location
Proyeksi Kriteria Investasi/ Projection of Investment Criteria ROI PP NPV IRR Net B/C ratio Desa Eti, Kecamatan seram Barat
Pulau Osi 77.50% 0.51 10,186,500 130.21% 2.06
Kotania 58.35% 0.43 12,690,277 171.70% 2.43
Loun 61.13% 0.57 7,192,054 109.23% 1.87
Desa Piru, Kecamatan seram Barat
Wael 56.64% 0.68 7,772,243 83.53% 1.64
Airpesi 21.65% 1.40 4,329,304 187.17% 2.56
Taman Jaya 39.29% 1.06 1,048,750 27.40% 1.14
Negeri Nuruwe Kecamatan Kairatu Barat
Nuruwe 108.60% 0.38 13,968,757 205.94% 2.73
Total 423.16% 5.03 57,187,886 915.18% 14.43
keuntungan rata-rata Rp 76,46,- dan Rp 65,32 - Rp 104,64,-. Sedangkan proyeksi Tahun 2011,
hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai 60, 45 % (> 12 %) yang
jika dianalogikan berarti bahwa setiap investasi sebesar Rp 100,00 akan menghasilkan
keuntungan rata-rata Rp 60,45,-.
b) PP (Payback Period)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha
rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 0,69 (< 1 tahun) dan kisaran 0,33 – 0,88 (< 1 tahun). Hasil ini menunjukkan
bahwa modal investasi budidaya rumput laut di Kabupaten SBB berdasarkan lokasi rata-rata
akan kembali dalam jangka waktu 0,69 tahun atau 8 bulan 8 hari dan berdasarkan jumlah
kepemilikan tali bentangan akan kembali dalam waktu 0,33 – 0,88 tahun atau 3 bulan 10 hari – 10 bulan 6 hari. Sedangkan proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan berdasarkan proyeksi income statement rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai 0,72 (< 1 tahun) yang
berarti modal investasi akan dikembalikan dalam waktu 0,72 tahun atau 8 bulan 19 hari.
c) NPV (Net Present Value)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha
rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 5,738,824 (> 0) dan kisaran 3,663,635 - 24,193,350 (> 0). Sedangkan
berdasarkan proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju
menunjukkan nilai 8,169,698 (> 0). Ketiga nilai hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa
ditinjau dari lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju
menunjukkan usaha layak untuk dijalankan.
d) IRR (Internal Rate of Return)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha
rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 101,09 % (> 12%) dan kisaran 86,76 – 239,15 % (> 12%). Sedangkan proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai
130,74% (> 12%). Ketiga nilai hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa ditinjau dari
lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju menunjukkan
usaha layak untuk dijalankan.
e) Net B/C ratio (Net Benefit and Cost ratio)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha
rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai masing-masing: 1,80 (> 1) dan kisaran 1,67 – 3,03 (> 1). Sedangkan proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai 2,06 (> 1). Ketiga nilai
hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa ditinjau dari lokasi, jumlah kepemilikan tali
Nilai rata-rata secara umum yang memberikan nilai kriteria investasi yang terbaik
berdasarkan lokasi adalah Wael (Tabel 5), sedangkan bila ditinjau berdasarkan kepemilikan
tali bentangan (Tabel 6) terjadi kecenderungan bahwa semakin banyak tali bentangan yang
dimiliki pembudidaya maka nilai kriteria investasinya semakin baik. Berdasarkan nilai kriteria
investasi pada Tabel 5, 6 dan 7 dapat dikatakan bahwa usaha budidaya rumput laut di
Kabupaten SBB ditinjau dari lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala
usaha maju dianggap “GO PROJECT”.
Sensitivitas
Analisis diskenariokan dengan terjadinya kenaikan harga (cost overrun) sebesar 33,33%
yakni dari Rp 3.000,- menjadi Rp 4.000,- berdasarkan temuan fakta di lapangan terutama pada
waktu-waktu tertertu dimana pembudidaya sulit mendapatkan bibit. Hasil analisis sensitivitas
skenario cost overrun biaya bibit terhadap kriteria investasi ditinjau berdasarkan jumlah
kepemilikan tali bentangan tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Sensitivitas Skenario Cost Overrun Biaya Bibit Terhadap Kriteria Investasi Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Tali Bentangan
Table 8. Sensitivity Scenario of Cost Overrun Seed Cost to Investment Criteria based on Long Line Ownership
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)
Berdasarkan Tabel 8 terlihat kecenderungan bahwa berdasarkan uji sensitivitas semakin
banyak jumlah kepemilikan tali bentangan yang dimiliki pembudidaya kriteria investasinya
cenderung semakin membaik atau dengan kata lain tingkat kerentanan terhadap kemungkinan
terjadinya kegagalan usaha dari kacamata finansial akan semakin baik seiring dengan
pertambahan investasi tali bentangan. Khususnya pada pembudidaya dengan kepemilikan tali
antara 10 – 19 bal perlu lebih selektif dalam pemilihan komponen biaya investasi guna
memaksimalkan keuntungan (profit maximization).
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Kepemilikan Kriteria Investasi/ Investment Criteria Tali Bentangan/ Long
Line Ownership (Bal) NPV IRR Net B/C ratio
10 - 19 1,882,372 50.41% 1.34
20 - 29 2,820,154 64.07% 1.46
30 - 39 4,623,438 75.70% 1.57
40 - 49 7,307,105 106.70% 1.85
50 - 59 7,283,619 91.76% 1.71
60 - 69 5,900,216 84.18% 1.64
Sumber permodalan usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB secara umum dibagi
atas 3 yakni: modal sendiri (self financing), modal pinjaman dari bank dan modal berupa paket
bantuan sarana budidaya dari instansi pemerintah. Nilai kriteria investasi yang terbaik
berdasarkan lokasi adalah Dusun Wael. Sedangkan bila ditinjau berdasarkan kepemilikan tali
bentangan terjadi kecenderungan bahwa semakin banyak tali bentangan yang dimiliki
pembudidaya maka nilai kriteria investasinya semakin baik. Berdasarkan nilai kriteria investasi
pada dapat dikatakan bahwa usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB ditinjau dari
lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju dianggap “GO
PROJECT”.
Implikasi Kebijakan
Target pembudidaya yang akan diberi paket bantuan dari instansi pemerintah harus
lebih selektif dimana pemberian bantuan yang tidak menambah biaya operasional secara
signifikan misalnya tali bentangan harus diprioritaskan pada pembudidaya dengan
kepemilikan tali bentangan yang relatif masih kurang (10 – 39 bal). Sedangkan untuk pembudidaya yang sudah memiliki tal bentangan yang cukup diarahkan untuk pemberian
bantuan sarana penunjang seperti ketinting (motor tempel) untuk mempermudah pengontrolan
usaha budidaya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Bapak Kepala Bidang
Budidaya beserta Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Seram Bagian Barat yang
telah banyak membantu di lapangan serta menyiapkan data-data terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Bank Indonesia. 2008. Budidaya Rumput Laut (Tali Letak Dasar). Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. Jakarta
Bank Indonesia. 2011. Data Inflasi.
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Data+Inflasi/?display=print. (diakses 5 Oktober 2011)
Bappeda Kabupaten SBB. 2011. Selayang Pandang Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat. Piru
BPS Provinsi Maluku. 2010. Seram Bagian Barat dalam Angka 2009. Biro Pusat Statistik Provinsi Maluku. Ambon
Dinas Perikanan dan Kelautan & Lemlit UNPATTI. 2005. Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat. Naskah Akademik. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku bekerjsama dengan Lembaga Penelitian UNPATTI. Ambon
Gajimu.com. 2011. Upah Minimum Propinsi. http://www.gajimu.com/main/gaji/Gaji-Minimum/ump/2010. (diakses 7 Oktober 2011)
Ibrahim, Y. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Kadariah., L. Karlina, dan C. Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Parenrengi, A., Rachmansyah dan E. Suryati. 2011. Budidaya Rumput Laut Penghasil Karaginan (Karaginofit). Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Prihadi, T. 2010. Analisis Investasi. Penerbit PPM. Jakarta
Rahardi, F., Nazaruddin dan R. Kristiawati. 2005. Agribisnis Perikanan. PT Penebar Swadaya. Jakarta
Senduk, S. 2000. Emas Sebagai Penangkal Inflasi.
http://perencanakeuangan.com/files/Emas.html. (diakses 5 Oktober 2011)
Soekartawi. 2002. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV Alfabeta. Bandung