• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suara Perempuan dalam Moralitas Hukum Ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Suara Perempuan dalam Moralitas Hukum Ta"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Perdebatan “Suara Perempuan” dalam Tatanan Moralitas Hukum : Tanggapan untuk Bernard L. Tanya1

Rian Adhivira2

Satjipto Rahardjo Institute

Abstract

The use of Lawrence Kohlberg’s morality stage on “Hukum Progresif” as stated by Bernard L. Tanya on his last article need to be explored further. Those moral stage and its comparison in law’s morality is questioned because according to Kohlberg, women will be difficult to enter the highest level of morality, most all women can only develop till the third according to sixth level morality. Impartial view on morality impose a risk that women’s inferior -hierarchy moral quality whose injected by masculine morality. This paper will be exploring the morallity debate and later elaborate it with the empirical needs of woman’s voice in the law enforcement domain.

Key Word : The Ethic of Justice, The Ethic of Care, Woman Voice.

Abstrak

Tahap moralitas Lawrence Kohlberg dan penggunaanya dalam Hukum Progresif sebagaimana diungkapkan oleh Bernard L. Tanya perlu untuk dieksplorasi lebih dalam. Penggunaan tahapan moral tersebut melupakan satu pertanyaan besar bahwa suara perempuan dalam tatanan moral Kohlberg akan kesulitan dalam mencapai fase ketiga, yaitu fase awal dalam tingkat kedua moral konvensional. Tatanan moralitas yang hierarkis tersebut dapat digunakan dalam tatanan moralitas hukum beresiko membuat hukum sedari awal telah bersifat hierarkis, yaitu maskulin. Rekonstruksi pola berpikir mengenai tatanan moralitas hukum yang timpang tersebut kemudian mutlak diperlukan. Paper ini mengeksplorasi lebih jauh perdebatan moralitas Kohlberg untuk kemudian mengelaborasikanya dengan kebutuhan empiris suara perempuan dalam penegakan hukum.

Kata Kunci : Etika Kepedulian, Etika Keadilan, Suara Perempuan.

Pendahuluan

Konsorsium Hukum Progresif di Semarang pada bulan November tahun lalu meski usai namun masih menyisakan remah jejak-jejak pertanyaan yang menunggu untuk diperdebatkan. Salah satu pengisi materi sekaligus pembicara utama kala itu adalah Bernard L. Tanya yang

1

Dr Bernard L. Tanya, SH., MH adalah lulusan angkatan pertama Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang sekaligus Pengajar di Fakultas Hukum Undana Kupang, Nusa Tenggara Timu., PDIH UNS Surakarta, dan berbagai tempat lain beliau adalah mahasiswa bimbingan Satjipto Rahardjo yang aktif menulis berbagai buku antara lain; Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika dan lain sebagainya.

2

(2)

berada satu panel dengan Sulistyowati Irianto, Anthon F. Susanto, Arief Hidayat, dan Rahayu Prabowo sebagai moderator, saya sendiri kala itu berada di meja depan menjadi notulen yang mencatat poin-poin penyampaian dari tiap pembicara termasuk Bernard.

Bernard menyampaikan uraian mengenai tatanan moralitas dalam hukum yang ia sebut sembari meminjam kata-kata Satjipto sebagai “conscience” –nurani- baik nurani dalam pengadilan, kejaksaan, advokat dan lain sebagainya.3 Kemudian, secara berturut-turut Bernard menyampaikan tingkatan moral dari Lawrence Kohlberg, seorang profesor Harvard dalam bidang studi mengenai moral untuk kemudian dipergunakan dalam pengandaian tingkatan moralitas manusia dalam menjalankan hukum.

Apa yang hendak dibahas disini bukanlah mengenai bagaimana tatanan moral maupun posisinya dalam hukum progresif (satu hal yang saya kira sudah jelas), melainkan meneropong arus perdebatan moral yang luput dibahas oleh Bernard dalam tulisanya yang sesungguhnya adalah poin krusial dalam perbincangan filsafati disamping minimnya penjelasan dan eksplorasi lebih jauh dari Bernard dengan tak adanya catatan kaki ataupun keterangan tambahan lain secara ketat, atau dengan kata lain, Bernard L. Tanya bersembunyi dan bermain aman dibalik kabut ambiguitas. 4 Maka atas kepentingan itu tulisan ini akan membidik langsung ke jantung ontologis dari tulisan Bernard, yaitu mengenai apakah moral itu sendiri dengan mengkaitkanya pada satu diskursus yang juga dilupakan oleh Bernard, yaitu moralitas perempuan dan dimana posisinya dalam spektrum perdebatan feminisme. Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan falsifikasi atas tulisan Bernard, melainkan melengkapi keberkurangan dari penguraianya. Pertama-tama akan saya uraikan terlebih dahulu bagaimana moral dan hukum dalam perspektif Bernard yang menjadi titik pijak untuk melakukan detour perdebatan moral antara Kohlberg dan Gilligan juga dengan beberapa perspektif lain. Dengan demikian tulisan ini juga akan berusaha membongkar, bagaimana

kesalahan Bernard dalam menggunakan “frame” analisa moral dalam hukum progresif.

Telah banyak bahasan mengenai kaitan antara hukum dan moral.5 Moralitas menjadi tema sentral terutama pada masyarakat Eropa pasca pencerahan dimana terjadi pergeseran cukup radikal mengenai hukum alam dengan demam Renessaince dimana pengetahuan menggeser dominasi gereja. Hukum dan moral yang tadinya ada pada satu bagian tak terpisah mengalami sekularisasi dalam nilai-nilai pengetahuan.6 Tulisan Bernard menyajikan satu

3

Uraian Bernard L. Tanya dipublikasikan dalam Proceeding Hukum Progresif: Bernard L. Tanya. Hukum Progresif: Perspektif Moral dan Kritis. Dalam Mahfud MD dll. Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Thafa Media & Konsorsium Hukum Progresif UNDIP. 2013. Hlm 39-47

4

Ibid hlm 39 secara sederhana saya hendak mengatakan bagaimana satu perbincangan mengenai filsafat dapat dimungkinkan apabila tidak dimulai dengan pertanyaan dan perdebatan untuk mendudukkan posisi pemikiran dalam spektrum filsafati. Tulisan Bernard disini hanya berupa poin-poin dengan tidak menyertakan catatan kaki ataupun keterangan penguat lain yang dapat dipergunakan untuk menegaskan posisi dari argumenya.

5

Penjelasan lebih jauh mengenai pembabakan hukum alam dapat pula dilihat dalam Brian Brix. Natural Law Theory. Dalam Dennis Patterson (ed). A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Wiley-Blackwell. 2010 . hlm 211-227

6

(3)

sudut pandang yang berbeda, yang ia persoalkan adalah moralitas pada para subyek hukum, yaitu manusia secara psikologis.7 menggunakan cara pandang yang sama, etika dalam tulisan ini digunakan sebagai kepentingan kritis, yaitu etika sebagai instumen rasional untuk mempertanyakan norma-norma moral.8 Penggunaan tersebut juga didasarkan pada rujukan teks primer seperti Carol Gilligan dengan apa yang disebutnya sebagai Etika Kepedulian. Gilligan menggunakan etika kepedulian dengan riset empirisnya dengan tujuan untuk mendelegitimasi tingkatan moralitas Kohlberg, sekilas dapat dikatakan bahwa Gilligan mempertanyakan tingkatan moralitas Kohlberg dengan mengajukan dengan moralitas perempuan, namun yang diajukan oleh Gilligan bukanlah moralitas jenis baru, melainkan moralitas yang mengakui adanya perbedaan. Gilligan mengatakan :

“What women then enunciate is not a new morality, but a morality disentangled from the constraint that formerly confused its perception and impeded its articulation. The willingness to express and to take responsibility for judgement stems from a reognition of the psychologial costs of indirect action, to self and to others and thus to relationships. Responsibility for care then includes both self and other, and the injunction not to hurt, freed from conventional straints, sustains the ideal of care while focusing the reality of choice”9

Bernard Tentang Hukum dan Moralitas

Untuk kepentingan menjelaskan tatanan moralitas dalam hukum, Bernard meminjam skema penelitian Kohlberg. Menurut Kohlberg, tingkatan moral terbagi dalam tiga fase besar yang masing-masing terdiri dari dua bagian, perlu diketahui, bahwa tidak semua orang dapat mencapai tingkat moralitas puncak. Pertama tahap Pre-Konvensional, dalam tahap ini tindakan seseorang didasarkan pada pertimbangan untung-rugi “apabila saya berbuat x

apakah saya mendapat hukuman atau tidak”, tahap kedua, tahap Konvensional meliputi

pertimbangan sejauh mana suatu perbuatan diterima secara sosial, dan terkahir, tahap Post-Konvensional dengan prinsip keadilan universal, Kohlberg mengikuti Piaget menitikberatkan pada kemenangan seseorang secara individu.10

focusing on human nature and society would yield knowledge about natural principles of law and morality,

e a li g a ki d to use reaso to shape so iet to a hie e aterial a d politi al progress .

7

Kajia Psikologi Huku disi i sesungguhnya pernah diungkapkan dalam beberapa kesempatan oleh Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta. 2006. Hlm 16-33 lihat juga Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. Hlm. 360 meski tulisan Bernard disini adalah kajian teoritis, dan bukan mengenai kajian empiris psikologis namun dari sini Bernard telah menggunakan perspektif psikologi dalam penggunaanya dalam dunia hukum.

8

Frans Magnis Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. Yogyakarta. 1992. Hlm 42 pengertian berbeda mengenai posisi etika dan moralitas dapat ditemukan dalam K. Bertens. Etika. Gramedia. Jakarta. 2011. Hlm 4-7 Bertens membagi studi mengenai etika dalam hubunganya dengan moralitas menjadi tiga bagian.

9

Carol Gilligan. In A Different Voice, Ps hologi al Theor a d Wo e s De elop e t. Harvard University Press. Cambridge, Massachussetts & London. 1993. Hlm 95

10

(4)

Tatanan moralitas tersebut kemudian diterjemahkan dalam posisi hukum progresif, oleh Bernard tingkat moralitas dalam Kohlberg tersebut diklasifikasikan dalam beberapa bagian melihat moralitas mana yang sesuai dengan karakter pengembangan hukum progresif, atau setidaknya bagaimana hukum progresif dimungkinkan dalam sebuah ruang sosial dalam tingkat moralitas tertentu. Bernard mengatakan, dalam perspektif hukum progresif dimana posisi manusia diletakkan sebagai subyek melalui adegium “hukum untuk manusia” memerlukan prasyarat moralitas yang tinggi, baik manusia maupun sistemnya.11 Karena hukum tak mungkin stagnan, stagnan adalah sekaligus dekadensi, kemandegan dan justru pelanggengan atas status quo, karenanya jelas dibutuhkan keberanian untuk melakukan dobrakan pada tatanan yang mandeg tersebut. Pada titik ini Bernard memberikan dua kutub batasan mengenai sejauh mana hukum progresif menjadi mungkin, yaitu pada moralitas konvensional sebagai batas minimum dan moralitas post-konvensional sebagai puncak tertinggi. Moralitas jenis pertama, pre-konvensional menurut Bernard tak mencukupi untuk menjadi ruang tumbuh hukum progresif mengingat moralitas jenis tersebut semata hanya berdasarkan pertimbangan untung-rugi, pertimbangan hukuman, dan pertimbangan kepentingan segelintir kelompok semata.12 Jadi sejauh pertimbangan moral masih disandarkan pada kepentingan seseorang secara sempit, sebagai instrumen keuntungan maupun kenikmatan, maka sejauh itu pula hukum progresif menjadi tak mungkin hadir dalam memberikan dobrakan.

Syarat minimal dari moralitas dalam tatanan hukum progresif haruslah dimulai dari moralitas yang didasarkan pada kewajiban, atau yang disebut sebagai moralitas tugas. Pada moralitas jenis ini seseorang tak lagi melakukan perbuatan karena ia disukai atau tidak, melainkan berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi tugas.13 Meski demikian, moralitas dalam artian yang seperti ini masihlah terlalu sempit, dalam penegakan hukum progresif yang membutuhkan baik integritas, keberanian dan kemampuan berpikir kreatif, maka diperlukan standar moral yang lebih tinggi. Fase lebih tinggi dari tingkat moralitas menandakan kematangan kognisi, kedewasaan moral. Fase kelima dalam tingkat ketiga moralitas Kohlberg ini dimiliki oleh mereka yang menggunakan akal kritis dengan dibarengi pertimbangan-pertimbangan logis.14 Tak adalagi kepentingan individu maupun kelompok disini, titik berat tindakan ada pada rasio dan kalkulasi yang matang. Tahap paling puncak dalam tingkat moralitas Kohlberg adalah apa yang dari awal tulisan ini saya kutip, nurani. Seseorang yang berada pada puncak tertinggi moralitas ini adalah orang dengan keyakinan mengenai kebenaran dan kebaikan, yang dengan demikian tak akan menyerahkan dirinya pada suara mayoritas maupun kepuasan pribadi, dan pada moralitas puncak ini, menurut Bernard adalah posisi moralitas paling ideal bagi penegakan hukum progresif.15 Kekuatan hati nurani melampaui pertimbangan akal sehat sebagaimana terdapat dalam fase kelima, bukan berarti akal sehat tidak diperlukan, melainkan karena nurani memiliki intuisi akan

11

Op Cit Bernard L. Tanya hlm 40

12

Ibid hlm 41 dijabarkan pada poin 8-10 dalam tulisan Bernard. Ia mengatakan de ga e ggu aka ske a peta moralitas dari Kohlberg, maka pengelolaan hukum progresif tidak cukup dengan moralitas tingkat rendah seperti pra-ko e sio al ya g erorie tasi takut dihuku , takut rugi , de i sekau .

13

Ibid hlm 43

14

Ibid hlm 44

15

(5)

kebenaran, Bernard menyebutnya sebagai Moralitas “Trans-rasional”.16 Prinsip moralitas akhir disini adalah Etika Keadilan yang akan dibahas lebih jauh dalam bagian selanjutnya.

Tidak ada yang salah dalam tinjauan teoritis yang dilakukan oleh Bernard dengan mengelaborasikan antara Tatanan Moralitas Kohlberg dan Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. Melalui tulisan tersebut Bernard memberikan sumbangsih pada landasan epistemologis hukum progresif, yaitu mengenai bagaimana hukum progresif menjadi mungkin dalam satu ruang lingkup tertentu, yaitu melalui penilaian tingkatan moral. Mesk i demikian, Bernard meski mengutip Marx dan beberapa tokoh dari Madzhab Frankurt yang tersohor dengan teori kritisnya tak cukup memberikan agenda kritik mengenai moralitas itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui, agenda kritik dalam sebuah proyek filosofis memiliki posisi yang amat penting. Agenda kritik yang ditulis Bernard dalam bagian akhir tulisanya tak memberikan satu pendasaran gagasan yang kokoh, dan kemudian hanya mengulang adegium hukum progresif, bahwa hukum progresif menolak dekadensi hukum, bahwa ia memperoleh tempat dalam perlawanan, dan –terutama- bahwa hukum adalah untuk manusia.17 Sampai disini kita akan meninggalkan argumen Bernard sebagai terminal keberangkatan untuk keluar dari bayang-bayang kabut ambiguitas dan masuk kedalam perspektif baru dari Carol Gilligan dan bagaimana implikasinya dalam hukum.

Etika Kepedulian Carol Gilligan

Uraian Bernard tersebut menimbulkan satu konsekuensi berfikir, bahwa moralitas memiliki jenjang dan tingkatan tertentu, apa yang dilupakan oleh Bernard adalah adanya perdebatan sengit perihal hasil penelitian Kohlberg. Adalah Carol Gilligan, yang berpendapat bahwa tingkatan moralitas Kohlberg dibangun dalam pondasi pemikiran yang patriarkis, alasan utama dari pendapat Gilligan adalah bahwa dalam tingkatan moralitas Kohlberg perempuan memiliki tingkat moral yang lebih rendah.18 Menurut Gilligan, perbedaan tingkat moralitas antara laki-laki dan perempuan dalam tingkatan moral Kohlberg bukan karena perempuan inferior, melainkan karena perempuan memiliki standar moral yang berbeda, yang disebutnya sebagai Etika Kepedulian [The Ethic of Care]. Posisi akan yang “berbeda” tersebut kemudian disalahpahami untuk kemudian diletakkan dalam tatanan hierarkis, dimana yang satu menjustifikasi yang lain, kesalahan yang menurut Gilligan, juga Simone adalah kesalahan yang terus berulang.

Kohlberg menurut Gilligan, mengulang kesalahan Freud dalam memandang perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai perbedaan hierarkis. Freud pada salah satu karyanya, Female Sexuality (1931) menyatakan bahwa perempuan memiliki karakter inferior karena ia

16

Loc Cit

17

Ibid hlm 46-47 Harus ditekankan disini, bahwa apa yang dikatakan Bernard L. Tanya melalui adegium hukumnya tidaklah sepenuhnya salah, hanya saja disayangkan bahwa Bernard tak memberikan argumen kritis mengenai moralitas Kohlberg itu sendiri.

18

Op Cit Carol Gilligan Hlm le ih jauh lagi Gilliga e yataka This different construction of the moral problem by women may be seen as the critical reason for their failure to develop within reponsibility as

e ide e of Kohl erg s s ete . ‘egardi g all o stru tions of responsibility as evidence of conventional moral understanding, Kohlberg defines the highest stages of moral development as deriving from a reflective understanding of human rights. That the morality of rights differs from the morality of responsibility in its

(6)

tak mengalami fase ketakutan kastrasi, karena ia sedari awal memang tidak memiliki penis sehingga tak seperti anak laki-laki, super-ego anak perempuan tidak berkembang secara penuh layaknya anak laki-laki.19 Lebih jauh lagi, dalam karyanya yang lain terlihat jelas

bagaimana perempuan adalah “obyek sengketa” pada revolusi sosial dan drama penggulingan

sang-ayah [The Primal Father].20 Argumen Freud tersebut sebelum Gilligan mendapat reaksi keras dari para feminis, salah satunya yang melakukan kritik keras terhadap Freud adalah Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis asal Perancis melalui The Second Sex menyatakan bahwa takdir biologis maupun historis tak mencukupi untuk memberikan justifikasi perempuan sebagai seks kedua, disini Simone mengajukan bahwa manusia –disini perempuan- harus ditilik melalui titik eksistensinya.21

Etika Kepedulian yang ditawarkan oleh Carol Gilligan ini berbeda dari feminis sebelumnya, sebut saja Simone de Beauvoir seorang feminis-eksistensialis sekaligus kekasih Jean Paul Sartre, dalam The Second Sex mengatakan bahwa perempuan adalah yang-lain, yaitu yang berbeda, karena dunia dimiliki oleh laki-laki.22 Secara gamblang, Simone juga mengatakan perempuan karena ia tak eksis dan keberadaanya baik dalam sejarah maupun sosial ditentukan oleh laki-laki maka ia mengalami malafide, penyakit eksistensi diri, dan dorongan –sebagaimana dikatakan Freud- narsistik, Simone mencontohkan dorongan tersebut pada perempuan yang menikah dimana untuk mengatasi kebosanan mereka berdandan, bergosip, dan lain sebagainya.23

Carol Gilligan berangkat dari titik yang sama, yaitu perempuan sebagai yang lain, ia menunjukkan tentang bagaimana pandangan androgini para tokoh psikologi menempatkan perempuan sebagai sebuah penyimpangan, terutama dalam Freud dan Kohlberg. Namun berbeda dengan Simone de Beauvoir yang mengatakan karena perempuan sebagai liyan maka

19

Sigmund Freud. Female Sexuality dalam Ivan Smith (ed). Sigmund Freud Complete Works. Tanpa Penerbit. 2010. Hlm 4590-4607 Menurut Freud, baik anak laki-laki maupun anak perempuan berawal dari kecintaan secara seksual pada orang tua mereka, yaitu pada fase pertama adalah ibu. Yang membedakan adalah, ibu bagi anak laki-laki adalah hasrat utama yang tak tergantikan meski pada akhirnya mereka menginternalisasi diri pada figur sang ayah. Pada anak perempuan, figur ibu dengan segera digantikan oleh figur sang ayah (hlm 4592) begitu anak perempuan menyadari bahwa dirinya tak memiliki penis dibandingkan dengan anak-laki-laki. Penis kemudian menjadi obsesi untuk dimiliki, dan dari sini menuju rasa cintanya pada sang-ayah setelah menyadari bahwa ibunya tak memiliki penis. Ketakutan Kastrasi menjadi kata kunci disini.

20

Sigmund Freud. Totem and Taboo. Routledge. London & New York. 2001 sesungguhnya karya Freud ini dapat dibaca dengan perspektif yang berbeda, yaitu bahwa justru melalui Totem and Taboo, Freud menjelaskan bagaimana kondisi awal mula dari institusionalisasi tatanan patriarkis paling awal terbentuk dan meresap dalam berbagai hukum dan larangan. Dalam Totem and Taboo, Freud menjelaskan asal-usul super-ego yang didalamnya termasuk bagaimana agama terbentuk, melalui larangan paling primitif yaitu dari sistem kawin eksogami yang sesungguhnya berakar dari bentuk penggulingan sang-ayah, simbol dari kepala suku yang ditakuti namun sekaligus dikagumi (hlm 160). Pembunuhan terhadap sang ayah menyisakan rasa trauma yang kemudian diasosiasikan dalam bentuk berbagai ritual seperti ritual memakan hewan totem yang bertujuan untuk membagi rasa bersalah dari pembunuhan sang ayah. Freud disini mempertahankan drama Oedipus Compleks dimana perempuan adalah benda yang diperebutkan antara sang ayah dan anak.

21

Simone de Beauvoir. The Second Sex. Jonathan Cape. London. 1956. Hlm 76

(7)

ia harus menolak posisi itu dan berusaha menjadi diri, Carol Gilligan justru menegaskan tak apa menjadi liyan karena nilai-nilai yang ada antar kedua gender memang berbeda, ia menuding tingkatan moral Kohlberg adalah terlalu androsentris, yang berangkat dari kegagalan intrepretasi peneliti dalam sejumlah wawancara pada pengalaman perempuan. Ia mengatakan :

“Different judgments of the image of man as giant imply different ideas about human development, defferent ways of imagining the human conditian, different notions of what is of value in life [...] Psychological theorists have fallen as innocently as strunk and white into the same observational bias. Implicitly adopting the male life as the norm, they have tried to fashion woman out of a masculine cloth”24

Apa arti moralitas apabila sebagian dari jumlah manusia –perempuan- lebih inferior dari yang lain, Gilligan berpikir pasti ada yang salah dengan moralitas yang memiliki ciri imparsial namun pada kenyataanya justru berat sebelah. Gilligan mempersoalkan sebuah pertanyaan

fundamental yang digunakan Kohlberg dalam penelitianya, yaitu “Heinz’s Dillema

pertanyaan yang membenturkan antara moralitas dan logika untuk memecahkan masalah. Heinz adalah seorang yang miskin dengan istri yang menderita sakit parah, dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa Heinz harus segera membeli obat dengan harga 2000 dolar. Tak memiliki uang sebanyak itu Heinz memutuskan untuk mengerahkan segala upaya untuk menebus harga dengan meminjam kepada kerabatnya, namun apa daya, ia hanya dapat mengumpulkan setengah dari harga obat tersebut, 1000 dolar. Ia masuk kedalam toko obat dan hendak membeli obat yang dimaksud, namun sang penjual tak mau menjual obat tersebut Heinz tak memiliki cukup uang. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah Heinz harus mencuri obat tersebut? Dan mengapa?

Gilligan melakukan intrepretasi ulang pada jawaban atas pertanyaan tersebut, ia menemukan adanya perbedaan kecenderungan jawaban antara anak laki-laki dan perempuan. Jawaban anak laki-laki menyatakan bahwa Heinz harus mencuri obat tersebut karena nyawa lebih penting dibandingkan dengan hukum, dan bahwa juga bisa terdapat kesalahan dalam hukum.25 Reponden perempuan menjawab secara berbeda, mereka mengatakan bahwa Heinz tak seharusnya mencuri, karena meski istrinya selamat, perbuatan mencuri tersebut dapat membuat Heinz dipenjara dan memisahkanya dengan sang istri yang tengah sakit.26 Penekanan yang berbeda mengenai hubungan tersebut membuat standar resolusi masalah yang berbeda. Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah, pada fase perkembangan anak, anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk sikap agresif, pada perempuan telah mulai mengembangkan kepekaan mengenai relasi dengan sekitar.27 Adanya dua cara berpikir yang berbeda ini, dalam skema berpikir Kohlberg menyatakan bahwa perempuan dengan kecenderungan untuk menuju aspek “kepedulian” akan sulit untuk melampaui fase ketiga.

Kesalahan persepsi itu dapat dilihat dalam enam tahapan moralitas Kohlberg yang berpuncak

pada “Rasa Keadilan”, Gilligan memaparkan bahwa wawancara yang dilakukan oleh

24

Op Cit Carol Gilligam. Hlm 5-6

25

Ibid hlm 26

26

Ibid hlm 28

27

(8)

Kohlberg justru menunjukkan perempuan memiliki bahasa moralitas yang berbeda, apabila laki-laki berpikir dalam logika matematis, maka perempuan berpikir dalam kerangka bagaimana ia dan hubungan ia dengan dunia, yang disebut oleh Gilligan sebagai Etika Kepedulian.28 Keadilan dalam puncak tahapan moralitas Kohlberg adalah nilai dari sudut pandang laki-laki yang individualistik, sementara etika kepedulian menitik beratkan pada hubungan dengan yang lain (relationship), dan rasa yang peduli dalam hubungan tersebut (connectedness). Jadi ada dua jenis etika disini, Etika Keadilan, dan Etika Kepedulian, keduanya –harus ditekankan disini- bukanlah dua hal yang secara dikotomis berbeda demikian jauh, keduanya berdampingan dan berjalan secara paradoks.29

Gilligan kemudian mengajukan tingkat moralitas yang berbeda dengan Kohlberg, melalui studinya terhadap keputusan perempuan dalam melakukan aborsi Gilligan mengatakan terdapat tiga tingkatan moralitas dalam perempuan tahap pertama adalah dimana pengambilan keputusan dalam tindakan bersifat egosentris, yaitu kepedulian terhadap diri sendiri untuk bertahan hidup.30 Tahap adalah masa transisi ketika muncul kesadaran akan adanya hubungan dengan orang lain dengan sisi tanggung jawab, pada mereka yang rentan, disini kebaikan berarti adalah kepedulian pada yang lain.31 Fase tertinggi dalam moralitas adalah ketika kepedulian menjadi prinsip hidup yang digunakan secara sadar dengan kepedulian dan respons pada keadaan partikular, juga kepedulian secara universal dalam kaitanya dengan eksploitasi dan kekerasan.32 Moralitas tertinggi baru dapat digapai apabila seseorang memahami bahwa relasi antar manusia, antar diri dan yang lain adalah interdependen. Meski dua jenis kelamin memiliki kecenderungan yang berbeda, namun kecenderungan tersebut tidaklah bersifat absolut melainkan relatif antara satu dengan yang lain.33

28

Gilligan melakukan intrepretasi ulang atas Pertanyaan Kohlberg tentang Heinz, pencurian roti untuk menyelamatkan istrinya, dalam intrepretasinya, Gilligan menemukan bahwa perbedaan tingkat moralitas perempuan bukan karena perempuan amoral, melainkan ia memiliki bahasa yang berbeda, lihat dalam ibid hlm 21

29

Gilligan mengatakan The disparate isio s i their te sio refle t the parado i al truths of hu a experience-that we know ourselves as separate only insofar as we live in connection with others, and that we

e perie e relatio ship o l i sofat as e differe tiate other fro self dalam ibid hlm 63 lihat lebih jauh dalam Lawrence A. Bum. Gilligan and Kohlberg: Implications for Moral Theory. Chicago Journals Vol 98 No:3 1988. University of Chicago Press. La re e e yataka Gilligan does not suggest that care and responsibility are to be seen either as replacing impartiality as a basis of morality or as encompassing all of morality, as if all moral concern could be translated into ones of care and responsibility. Rather, Gilligan holds that there is an appropriate place for impartiality, universal principle, and the like within morality and that a final mature morality involves a complex interaction and dialogue between the concerns of impartiality and those of personal relationship and care hl -474 Pembacaan tersebut menyatakan bahwa Gilligan tak bermaksud menegasi dari moralitas individual dengan pandangan imparsial (sama rata) melainkan bahwa dialog dan perbedaan moralitas dengan standar yang berbeda termasuk didalamnya kepedulian, relasi kebersamaan, adalah juga merupakan bagian dari moralitas.

30

Op Cit Carol Gilligan hlm 73 dalam aborsi, perempuan yang memilih untuk melakukanya yang berada dalam fase moralitas pertama berdasarkan pada pertimbangan atas kepentingan dirinya sendiri.

31

Ibid hlm 74

32

Lo it care becomes the self chosen principle of a judgement that remains psychological in its concern with relationships and response but becomes universal in its condemnation of exploitation and hurt

33

(9)

Agenda Kritik: Dari Etika Kepedulian ke Feminist Jurisprudence

Gilligan memberikan sumbangsih besar pada studi moral dan etika, karya dan perdebatanya dengan Kohlberg memberi dampak besar pada perkembangan filsafat moral dan etika, Frans

Magnis bahkan mengatakan bahwa Etika Kepedulian merupakan “Bom Carol Gilligan”

karena pengaruhnya yang demikian krusial.34 Pada lain pihak, Catherine Mackinnon mengatakan bahwa Etika Kepedulian memberikan nafas baru mengenai perbedaan antar gender.35

Namun persis dari sumbangsih terbesar Gilligan tersebut kritik juga dilancarkan. Kritik paling fundamental kepada Gilligan berpusat pada bipolaritas seks, yaitu apakah pembedaan antara maskulin dan feminin sungguh diperlukan. Menanggapi hal ini Frans Magnis mengatakan bahwa etika kepedulian sebagai corak khas dari moralitas perempuan tak perlu untuk dipermasalahkan terlalu jauh, karena kepedulian itu sendiri tak bersifat eksklusif dan karena perempuan sendiri pada kenyataanya memang memiliki tingkat kepekaan yang lebih mumpuni dibanding laki-laki.36 Kritik lain yang ditujukan pada Gilligan adalah bahwa pembedaan dikotomis antara moralitas laki-laki dan perempuan dengan nilai-nilai feminim dan maskulin akan membawa pada kenangan melankolia domestifikasi perempuan dan mengembalikan posisinya dalam ruang publik. Lagi-lagi kritik ini gagal melihat bahwa apa yang dimaksudkan oleh Gilligan dengan kedua jenis moralitas bukanlah moralitas yang terpisah secara dikotomis dan kaku, melainkan fleksibel bergantung dari satu kondisi dengan yang lain secara personal. Kritik dari etika kepedulian dalam perspektif teori hukum feminis adalah kekuranganya dalam meberikan basis asupan strategi politik perlawanan perempuan. Pada satu sisi Etika kepedulian memberikan landasan perihal keberagaman standar moralitas, dan bahwa perbedaan tersebut tak dapat diletakkan hubungan yang mensubordinasi yang lain.

Pengalaman paling riil mengenai bagaimana etika kepedulian bekerja ada pada satu ruang khusus mengenai bagaimana perempuan bekerja dalam membantu sesamanya. Perdebatan seputar Etika Kepedulian pada dasarnya mengakui sumbangsih Carol Gilligan mengenai bagaimana suara perempuan yang berbeda kerap dipandang secara bias sebagai sisi inferior dalam standar patriarki, dimana relasi antar-yang-berbeda, berbeda dengan relasi hierarkis dimana satu nilai menjadi acuan untuk menjustifikasi yang lain. Satu hal yang pasti mengenai perbedaan pengalaman antar jenis kelamin adalah bahwa pengalaman perempuan tak dapat digantikan maupun dipresentasi oleh sudut pandang laki-laki. Sejumlah pengalaman khas seperti hamil, menstruasi, dan lain sebagainya baik secara biologis maupun sosiologis jelas

thus, starting from very different points, from different ideologies of justice and care, the men and women in the study come, in the course of becoming adult, to a greater understanding of both points of view and thus to a greater convergence in judgement. Recognizing the dual context of justice and care, they realize that judgment depends on the way which the problem is framed

34

Franz Magnis Suseno. Pijar-Pijar Filsafat dari Gathloco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Kanisius. Yogyakarta. 2005. Hlm 236

35

Catherine Mackinnon. Difference and Dominance dalam Catherine Mackinnon. Feminism Unmodified, Discourse on Life and Law. Harvard University Press. Cambridge, Massachussets, and London. 1987. Hlm 38. Ia

e gataka The work of Carol Gilligan on gender differences in moral reasoning gives it a lot of dignity, more

tha it has e er had, ore, fra kl , tha I thought it e er ould ha e

36

(10)

berbeda dengan pengalaman laki-laki. Catherine Mackinnon, seorang kritikus Gilliigan, dalam satu hal sepakat bahwa suara perempuan tak dapat dihindarkan, ia mengatakan kegagalan perjuangan perempuan adalah kegagalan memandang perempuan sebagai satu kelas tertentu yang khas sehingga dari situ dapat mengangkat kesadaran perempuan mengenai apa yang harus ia perjuangkan. 37

Pertanyaan yang layak diajukan adalah, apakah perdebatan “moral” masih relevan? Bagi MacKinnon, kacamata moral dalam hukum tidaklah mencukupi. Mackinnon menganjurkan untuk bersikap waspada pada tiap kebijakan, entah dalam perspektif sameness maupun differences karena bila tak disikapi dengan hati-hati kedua corak kebijakan tersebut tak lebih dari fascade untuk melanggengkan nilai-nilai lama, dengan kata lain; tak ada emansipasi disitu. Demikian Mackinnon meletakkan hukum bukan dalam konteks moral, melainkan mendudukanya sebagai bangunan politis yang harus disikapi secara politis pula. Dengan sinis ia mengatakan :

I say, give women equal power in social life. Let what we say matter, then we will discourse on questions of morality. Take your footer, then we will hear in what tongue women speak. 38

Penutup

Setelah mengalami jalan memutar yang panjang dan melelahkan kita dapat melihat beberapa poin (1) bahwa moralitas sebagaimana dikatakan oleh Bernard dalam konteks hukum progresif tidaklah mencukupi karena diandaikan dalam perspektif patriarkis, Bernard luput memandang bahwa dibalik yang-universal dan seolah netral tersembunyi bias-bias yang samar namun berakar dalam. Agenda Kritik yang ditulis pada akhir tulisanya juga tidaklah mencukupi untuk disebut sebagai agenda kritik, atau dengan kata lain agenda kritik tanpa semangat kritis. (2) Moralitas perempuan dalam hal moralitas kepedulian sebagaimana diungkapkan Gilligan memberikan sumbangsih penting dimana perbedaan tolak ukur tak dapat dijadikan justifikasi infrerior pada yang berbeda. (3) Perbincangan mengenai moralitas dalam hukum tak dapat diterima secara an sich sebagai diskusi moralitas per se, melainkan sebagaimana dikatakan Mackinnon harus dipandang pula dalam perspektif politik, yaitu ranah strategis dari satu peraturan tertentu dan implikasinya dalam beberapa kasus.

 Rian Adhivira. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata

37

Catherine MacKinnon. Feminism, Marxism, Method and the State : Toward Feminist Jurispridence dalam Kelly Weisberg. Feminist Legal Theory Foundations. Temple University Press. Philadelphia. 1993. Hlm 449 ia

e gataka Co ious ess raisi g, ofte i groups, the i pa t of ale s do i a e is o retel u o ered

and analyzed through the olle ti e speaki g of o e s e perie e fro the perspe ti e of that e perie e Catherine Mackinnon mengatakan adanya kesamaan antara conciousness raising dengan metode marxism yaitu tumbuhnya revolusi karena adanya kesadaran kelas .Apabila kelas proletar mengalami alienasi, maka perempuan mengalami objektivikasi yaitu dinilai berdasarkan sesuatu yang diluar dirinya. Ia mempertahankan dirinya dari kritik bahwa conciousness raising akan mudah kembali pada simplifikasi identitas perempuan, MacKinnon berpendapat bahwa hanya melalui conciousness raising lah perempuan dapat tersadar akan posisinya sebagai liyan yang berada dalam dominasi laki-laki.lihat ibid hlm 440

38

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga menjadi faktor penghambat bagi advokat mendampingi klien dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Kota Pekanbaru dikarenakan SDM advokatnya bukan

Pasal 6 ayat (8) mengatur “Wajib Pajak atau Penanggung Pajak melaporkan data transaksi usahanya yang merupakan objek Pajak Daerah melalui online system. Pasal 10

Air hujan yang turun dapat mengalir ke rain garden melewati daerah hamparan, melalui sengkedan yang terbuka yang dihiasi dengan tanaman dan bebatuan atau melalui

In order to solve this problem, we propose the second FP method, named FP2, to add the contrapositives into grids as fol- lows. In the new method, all grids, say , are associated with

Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya (Ilyas, 1990 dalam Setijanto, 2005). Sungai merupakan bentuk ekosistem perairan mengalir

Pendapat pertama menyebutkan bahwa pemeriksaan urodinamik merupakan bagian dari rangkaian pemeriksaan awal diagnosis kandung kemih neurogenik karena dapat mengetahui secara dini

Regresi logistik ordinal adalah suatu analisis regresi yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel respon yang berskala ordinal.. Metode

Matlamat program Saijana Pendidikan Teknik dan Vokasional (PTV) di Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) adalah untuk melahirkan tenaga pengajar profesional dalam bidang