• Tidak ada hasil yang ditemukan

REINTERPRETASI PERINTAH PERANG DALAM AL (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REINTERPRETASI PERINTAH PERANG DALAM AL (1)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

REINTERPRETASI PERINTAH PERANG DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI TINDAKAN

PREVENTIF KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA

Ahmadi Hasanuddin Dardiri

1

dan Muhammad Miqdam Musawwa

2

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

1

[email protected]

2

[email protected]

ABSTRACT

Violence on behalf religion is a serious issue. Now, it’s happened in Indonesia which

has some religions protected by constitution. The Subject of it is usually identified as

Moslem. Research conducted by the training and development agency of the religious

ministry , in 2010, concluded one of the factors of that is the lack of religion understanding in

our society, so the writer needs to know the mistakes of understanding about religion that

made violence on behalf religion happened in Indonesia.

Al-Quran as the holy book of Moslem is usually made as a basic of doing that

violence and it command Moslem to fight against. But the interpretation of this command is

not by the violence like being happened nowadays. Qur’an has a good concept in order to

fight against. It can be read when we are collecting all of verses “qootilu”, as the word of the

basic command to fight against.

When the writer collected and interpreted this word, writer found a concept of the

order of fight against that classified to the three parts: The based, the time and the object of

fight against. Beside it, writer found that the order fight against has limitations like do not

exceed the limit, do not make breakdown, until doing the obligation, and the last, special

limitation of Moslem, until back to the way of Allah.

By those limitations written down in Al-Qur’an, Moslem cannot judge the violence in

the name of religion as the direction of al-Qur’an because Islam is a religion of peace. So, all

of the violence can’t be judged the way of Islam, if Moslems do correctly all of the directions

in Al-Quran that based on peace and harmony.

(2)

PENDAHULUAN

Pada hakikatnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan tindak

kekerasan terhadap sesama manusia, sekalipun memiliki perbedaan dalam keyakin

beragama. Agama merupakan jalan hidup yang diyakini oleh para pengikutnya untuk

mencapai titik kebahagiaan dan perdamaian, akan tetapi terkadang para pemeluk agama

meyakini bahwa meraih kebahagiaan dan kedamaian itu dapat dilakukan dengan cara yang

diajarkan oleh agamanya meskipun itu melalui jalur kekerasan.

Konflik kekerasan berlatarbelakang agama yang terjadi sebenarnya bukanlah

merupakan hal baru, menurut Anis Baswedan, Perbedaan masa lalu dan sekarang adalah

bahwa pada saat ini sekecil apapun masalah yang lahir karena ketegangan beragama

menjadi masalah semua orang di belahan dunia manapun (Palupi Auliani: 2012). Konflik

antar agama biasanya dilakukan oleh para kaum extremis dalam sebuah agama tertentu.

Islam sebagai agama pada dasarnya juga mengajarkan tentang kedamaian, akan

tetapi dalam agama ini juga muncul kelompok-kelompok extremis atau fundamentalis yang

menyebabkan islam dianggap mengajarkan kekerasan. Menurut Bernand Lewis, Muslim

Fundamentalis adalah sekumpulan orang islam yang yang merasa bahwa masalah-masalah

di negara islam adalah akibat dari modernitas yang berlebihan yang dipandang sebagai

bentuk penyimpangan dari Islam yang otentik. Selain itu, kelompok ini juga mendasarkan

tindakan kekerasannya terhadap teks-teks Al- qur’an sebagai pedoman perbuatannya

(Bernand Lewis: 2003).

Kelompok Fundamentalis ini mulai terlihat aksinya di Indonesia dengan. Tragedi bom

Bali I pada 12 Oktober 2002, yang kemudian diikuti dengan sejumlah aksi teror dan

pengeboman laiinya seperti dalam kasus bom Bali kedua, kasus bom hotel JW Marriot, Rizt

Carlton. Kekerasan berlatar belakang agama ini tidak hanya di implementasikan terhadap

tindakan pengeboman saja tetapi juga penghancuran tempat-tempat hiburan, ancaman, serta

penangkapan dan penyiksaan terhadap kelompok tertentu yang dianngap menyimpang dari

agama islam.

(3)

pemahaman Agama yang kurang tetapi memiliki motivasi tinggi untuk menjalankan agama

(Dr. Zirmansyah dkk: 2010).

Pengetahuan agama yang kurang ternyata menjadi salah satu faktor dalam tindakan

kekerasan atas nama agama. Pengetahuan agama yang dimaksudkan disini tentunya

merupakan pengetahuan agama dalam memahami al-qur’an karena dalam prakteknya

pelaku kekerasan atas nama agama ini mendasarkan pada perintah yang tercantu dalam

al-qur’an. Pakar Islam Ashgar A Enginer menjelaskan bahwa konsep jihad dalam islam

bukanlah merupakan bentuk yang mengandung kekerasan karena Al-qur’an tidak

menggunakan kata jihad dalam semua peperangan (Junaidi Abdillah (2011).

Didalam Al-qur’an selain kata jihad yang digunakan sebagai tidakan untuk

melakukan kekerasan atas nama agama, terdapat satu kata lagi yang dapat menimbulkan

perintah yang sama yaitu kata Qotala. Kata Qotala dalam bahasa arab berarti perang. Kata

ini menjadi kata yang sering digunakan oleh para pelaku kekerasaan karena dianggap

memiliki sinonim dengan kata jihad.

Kata perintah perang yang terdapat di dalam al-qur’an dibagi menjadi dua bagian.

Yang pertma adalah kata uqtul (لتقأ) yang berasal dari kata Qotala-Yaqtulu (

لتقي لتق). dan

-yang kedua adalah kata Qootil (لتاق) -yang berasal dari kata Qootala- Yuqootilu (لتاقي). dua

kata ini tentunya memiliki perbedaan dalam pelaksanaanya. Di dalam penulisan ini, penulis

hanya akan menjelaskan kembali secara kesuluruhan arti kata Qootil (لتاق) yang terdapat

didalam al-Qur’an beserta pembatasan-pembatasan dan penyebab diperintahkannya

sebagai bentuk preventif dari maraknya tindakan kekerasan atas nama agama yang

dilandaskan kepada ayat-ayat didalam Al-qur’an agar dapat mengurangi kekerasan atas

nama agama yang disebkan oleh faktor pemahaman agama yang kurang di masyarkat.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Definisi dan Arti Qatala

(4)

Sedangkan kata

qaatala

-

yuqaatilu

-

muqaatalatan

-

qitaalan

yang mendapat tambahan

alif di belakang

fa’ fi’il,

merupakan bentuk

tsulatsi mazid

dari

qatala

.

Tsulatsi mazid

adalah

fi’il

tsulatsi mujarrad

yang mengandung satu atau lebih huruf tambahan. Secara bahasa kata

qaatala

dan derivasinya mempunyai arti memerangi, memusuhi dan berkelahi. Kata

qitaal

yaitu bentuk mashdarnya diartikan sebagai peperangan dan pertempuran (A.W. Munawir:

1984).

Jadi secara bahasa, qaatala dan qatala berlainan makna, baik secara derivasi

maupun semantiknya (Yusuf al Qardhawi, 2011). Perbedaan arti kedua kata tersebut secara

semantik disebabkan adanya tambahan berupa alif dalam kata qaatala. Tambahan berupa

alif yang berposisi setelah fa’ fi’il mempunyai fungsionalitas makna

lil-musyarakah baina

itsnaini

yaitu suatu perbuatan yang melibatkan dua pihak atau lebih, sehingga

masing-masing pihak dapat berada pada posisi subjek beserta objek sekaligus (M. Ma’shum bin

Ali: 1965).

Sebagai perumpamaan, dalam sebuah peperangan atau pertempuran, pihak

pertama menjadi orang yang memerangi sekaligus yang diperangi oleh pihak kedua.

Demikian juga pihak kedua yang berposisi sebagai orang yang memerangi sekaligus yang

diperangi bagi pihak pertama. Hal ini berbeda dengan kata qatala (membunuh) yang hanya

melibatkan subjek dan objek dalam satu posisi saja.

B.

Perbedaan antara Qaatala dan Qatala dalam Al-Qur’an

Sudah dijelaskan di muka bahwa perbedaan wazan di antara dua kata di atas

menyebabkan adanya perbedaan makna. Dua kata tersebut digunakan dalam beberapa ayat

Al-qur’an yang mengindikasikan pembunuhan dan peperangan. Namun dalam banyak ayat

perintah untuk perang, kata Qaatala lebih banyak digunakan. Hal ini karena kata qaatala

mempunyai pemaknaan yang lebih tepat jika digunakan dalam konteks peperangan.

Banyak ulama’ membahas tentang perbedaan penggunaan kata Qaatala dan Qatala.

Para ulama’ memberikan penafsiran berbeda antara Qaatala dengan Qatala. Penafsiran ini

tentu berdasarkan pengamatan secara kontekstual para ulama terhadap pemakaian

kalimat-katatersebut.

(5)

mempunyai makna

lil musyarakah,

sementara qatala tidak demikian. Sehingga dalam

konteks peperangan, wazan Qaatala lebih banyak digunakan karena dalam peperangan

terdapat dua belah pihak atau lebih yang terlibat.

Dalam fikih, kata Qaatala beserta derivasinya sering dimaknai sebagai perbuatan

perang-memerangi. Misalnya dalam kitab Al-Mughni yang menjelaskan bahwa pemberontak

harus diperangi dengan meredaksikan kata perang dengan yuqaatilu (fi’il mudhori’ dari

qaatala). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan bahwa dalam perintah untuk

memerangi orang-orang kafir digunakan kata qitaal. Dalam konteks fikih jihad, kata Qaatala

dengan arti perang-memerangi lebih sering digunakan dibandingkan kata Qatala yang

mempunyai arti membunuh.

Qaatala digunakan dengan maksud dan tujuan tertentu, yaitu untuk menegakkan

agama Allah. Umat Islam diperintahkan memerangi orang-orang kafir, pemberontak dan lain

sebagainya demi tegaknya agama Islam. Perintah perang tersebut menggunakan kata Qital.

Sedangkan kata Qatala dalam konteks fikih lebih banyak digunakan dalam arti pembunuhan

secara umum, seperti dalam konteks fikih jinayat, yaitu

qatlul ‘amdy

,

qatlul sibhil ‘amdy

dan

sebagainya.

Dalam kitab Fathul Bari, dijelaskan bahwa Imam Syafi’i menggunakan kata qital dan

qatal dalam pengertian berbeda. Qatal tidak bisa menggeneralisir qital. Sehingga menurut

Imam Syafi’i, memerangi seseorang (qital) hukumnya boleh, tetapi membunuhnya (qatal)

tidak diperbolehkan.

C.

Inti Pokok Ajaran Islam

Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad

melalui wahyu Al-Qur’an. Di dalam salah satu ayatnya, Al-Qur’an Surat Al-imron ayat 29

menyatakan bahwa “

Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah adalah Islam”

. Secara

semantik, Islam merupakan kata dalam bahasa arab yang mempunyai arti keselamatan,

kedamaian atau penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Sehingga, bila kata Islam

diartikan dengan perdamaian,

maka terjemahan dari ayat tersebut menjadi

“Sesungguhnya

agama yang diridhoi di sisi Allah adalah agama perdamaian”.

Dengan demikian, perilaku

keseharian orang Islam seharusnya adalah membawa kedamaian, selaras dengan firman

Allah dalam ayat di atas.

(6)

Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya menganut (agama)

“Islam”

atau agama perdamaian.

Dalam menyebarkan ajaran agama, para nabi menyebarkannya secara damai.

Inti ajaran Islam tentang kedamaian juga dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 208

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan

janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata

bagimu.”

Kedamaian yang disampaikan dalam ayat tersebut berasal dari kata

silm

atau

salam

yang berarti damai.

Kata

silm

dalam ayat di atas ditafsirkan damai sebagaimana ditunjukkan secara

tekstual. Ayat tersebut merupakan seruan bagi kaum mukmin agar masuk dalam kedamaian

secara keseluruhan. Kata

silm

mempunyai akar kata yang sama dengan kata Islam, yaitu

terdiri atas huruf

sin

,

lam

dan

mim

. Kata tersebut berarti berserah diri, tunduk dan tidak

bertikai. Berdasarkan akar kata ini, kata

silm

bisa digunakan untuk dua makna secara

bersamaan.

Pertama

, berdamai dan tidak perang.

Kedua

, tunduk kepada Allah, kepada

agama dan syari’atnya. Kedua makna tersebut diriwayatkan dari salaf dan kata ini mencakup

seluruh maknanya (Yusuf al Qardhawi: 2011).

Sekalipun agama Islam menekankan kedamaian, tetapi dalam sejarah dakwahnya,

peperangan tidak bisa terelakkan. Peperangan dalam Islam baru dilakukan jika keadaan

benar-benar memaksa, bukan tanpa alasan. Misalnya peperangan dilakukan untuk

menyelamatkan orang-orang lemah atau untuk menghadapi sikap ofensif orang kafir

terhadap orang Islam, sehingga orang Islam harus melakukan perlawanan. Sekalipun

demikian, jika terjadi perlawanan dengan orang-orang kafir, maka itu pun harus dihadapi

dengan kasih sayang. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam

dalam menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir menggunakan cara Islam, yakni

dengan kasih sayang, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 191 dan An-Nisa’ ayat 89 dan

91(Dr. Zirmansyah dkk: 2010).

lebih daripada itu, Islam merupakan agama yang cinta perdamaian. Islam mendorong

dan menyerukan kepada umatnya untuk mewujudkan perdamaian serta menilai kedamaian

sebagai tujuan mengakar bagi dakwah Islam seperti terlihat dalam ajaran, hukum dan etika

Islam. Islam sebenarnya tidak menyukai perang dan mendorong agar dihindari sebisa

mungkin. Jika pun itu terjadi, Islam berusaha untuk mempersempit lingkup perang (Yusuf al

Qardhawi: 2011).

(7)

Penulis menggunakan metode content analisis data yang terdapat didalam al-Quran

sebagai dasar segala perbuatan di dalam ajaran agama islam yang selanjutnya

dikolaborasikan dengan metode tafsir tematik yaitu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat

Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu ,dalam hal ini perintah berperang dalam Al-Qur’an yang

menggunakan wazan Qootala, agar ditemukan sebuah konsep yang bersifat holistik dan

komprehensif dalam menentukan segala hal yang berkaitan dengan perintah perang di

dalam islam dan untuk diambil kesimpulan dari keseluruhan perintah perang yang terdapat di

dalam Al-qur’an.

HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN

A. Ayat Perintah perang (Qootilu) di dalam Al-Qur’an

Kekerasan atas nama agama dalam islam seringkali disebut oleh khalayak umum

dengan istilah jihad. Istilah ini sebenarnya tidak begitu tepat. Menurut Yusuf Qordhowi,

makna jihad tidak bisa dipersamakan dengan makna Qital, meskipun pada dasarnya Qital

merupakan bentuk penyempitan makna dari jihad (Yusuf al Qardhawi, 2011). Perintah untuk

jihad bukanlah perintah untuk perang, sementara perintah perang merupakan bagian dari

perintah jihad yang umum.

Quraisy shihab membagi jihad menjadi dua bagian, yaitu secara non fisik dan fisik.

Jihad non fisik berarti berperang melawan hawa nafsu dan setan hal ini sebagaimana hadist

nabi Muhammad SAW ketika kembali dari medan pertempuran beliau mengatakan

“Kita

kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu”

. Sejarah

turunnya ayat-ayat A1 Quran membuktikan bahwa Rasulullah Saw telah diperintahkan

berjihad sejak beliau di Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk

membela diri dan agama (M Quraish Shihab: 2000). Sementara diizinkanya untuk

berperang ini turun setelah nabi hijrah ke Madinah.

(8)

Dua ayat diatas merupakan perintah perang yang terdapat dalam Al-Qur’an. Perintah

perang ini kemudian dilanjutkan dengan ayat-ayat serupa yang berakar kata terhadap kata

Qotala-Yaqtulu, yang kemudian oleh penulis diambil bentuk Fi’il Amr nya yaitu lafadz Uqtulu

dan Qootilu, dan dipersempit kembali hanya pada lafadz Qootilu dikarenakan lafadz ini

digunakan untuk “membunuh” dengan atas nama Allah.

Lafadz Qootilu didalam Al-Qur’an berjumlah 13 kata, Lafadz tersebut terdapat

didalam 6 surat, yaitu surat Al-baqoroh berjumlah 3 ayat, surat At-taubah berjumlah 5 ayat,

dan pada surat An-nisa, Al-imron, Al-anfaal dan Al-hujuraat yang masing-masing terdapat

satu ayat. Pada pembahasan dibawah ini, penulis akan membahas mengenai seluruh lafadz

Qootala diatas untuk kemudian dikonsepkan perintah perang yang diatur didalam Al-Qur’an

B. Konsep Perang yang di rumuskan oleh Al Qur’an

Konsep perang sebagaimana terdapat dalam ayat Al-qur’an diklasifikasikan menjadi

tiga bagian, yaitu Dasar melakukan peperangan, waktu perang, dan Obyek yang harus

diperangi. Pertama, dasar melakukan perintah perang diatur dengan surat al baqoroh ayat:

244 yang berbunyi “

dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah

Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”

. Pada ayat ini perintah perang

diatur secara umum dan tidak diikuti dalam pembahasan apapun didalamnya sementara

akhir ayat yang menyatakan bahwa allah maha mendengar dan mengetahui adalah

penegasan bahwa perintah perang ini tidak boleh didasari dengan selain tujuan di Jalan

allah.

Dasar bahwa perintah perang harus dilaksanakan untuk menegakkan di jalan Allah

disebutkan tiga kali. Selain dalam surat Al-baqoroh :244, pada ayat 190 surat Al-baqoroh dan

surat Al-imron:166 juga menyebutkan demikian. Dari sini jelaslah bahwa tindakan perintah

perang hanya boleh dilakukan jika berdasar pada penegakkan agama dijalan allah dan

Perang yang dilakukan dengan niat selain untuk menegakkan agama allah tersebut tidak

dapat dibenarkan.

(9)

yang mempersiapkan rencana dan mengambil langkah-langkah memerangi kaum muslim

atau benar-benar telah melakukan agresi (M Quraish Shihab: 2007).

Sementara terkait dengan waktu berakhirnya peperangan, Al-Quran menyatakannya

dalam surat Al-baqoroh ayat 192 yang berbunyi

“ kemudian jika mereka berhenti (dari

memerangi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

dari

dua ayat diatas, jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah), sepakat bahwa

perintah perang dalam Islam bersifat defensive yaitu orang Islam tidak boleh memulai

perang, jika tidak diperangi, sementara umat islam diperbolehkan untuk membela diri hingga

terjadi peperangan sampai mereka yang memerangi berhenti (M. Saleh Mathar: 2009).

Ketiga, terkait dengan obyek yang harus diperangi, setidaknya terdapat 6 ayat

menyatakan bahwa ada 9 kategori yang harus diperangi. Obyek yang harus diperangi atas

nama allah sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an yaitu:

1. Surat Annisa ayat 76 (Auliaa As syaithon)

Kata Syaithon diambil dari akar kata

Syathana

dan

syathin

mempunyai makna yang buruk (A.W. Munawir: 1984). Dan syaithan adalah

suatu wujud pembangkang dan penentang, baik dari golongan manusia dan

jin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-an’am ayat 112 yang

berbunyi

“dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu

syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin”

. Selain itu Syaithon

juga mempunyai makna lain yaitu ruh jahat yang jauh dari hak dan

kebenaran (Atabik Ali danZuhdi Muhdlor: 1998).

Dari Makana kata diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

harus diperangi dalam islam secara umum adalah keburukan. Segala

sesuatu tentang keburukan yang menjauhkan kita dari kebenaran yang

tentunya diperangi dengan cara yang tidak mengandung keburukan.

2. Surat At-taubah ayat 12 (Aimmata Al-Kufr)

Ada beberapa pendapat yang menyatakan makna dari aimmata

al-kufr, dijelaskan dalam tafsir al-misbah bahwa ada yang memahaminya

sebagai tokoh tokoh kekufuran, karena jika mereka yang ditindak, maka

pengikut daripada tokoh kekufuran tersebut akan terkalahkan pula, ada juga

yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah semua kaum msuyrikin

baik pengikut maupun pemimpinnya (M Quraish Shihab: 2007).

(10)

menepati perjanjian dan mencerca agama islam dengan melampaui batas

sebagaimana dinyatakan pada ayat 10, 11 dan 12 pada surat at-taubah.

“10. mereka tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap

orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan

mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.

11. jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat,

Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami

menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.

12. jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji,

dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah

pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu

adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar

supaya mereka berhenti”.

3. Surat At-taubah: 123 (Al-Kuffar)

Kata Al-Kuffar dalam Al-qur’an mengandung makna dua macam golongan

yaitu ahlul kitab dan al musyrikun sebagaimana dalam surat al-bayyinah ayat

1. Akan tetapi Al-kuffar yang dimaksudkan disini adalah Al-kuffar yang

terdapat disekitar madinah dan Makkah. Perintah perang terhadap Al-kuffar

ini dulunya dimaknai sebagai penjagaan dan pertahanan daerah perbatasan

karena banyaknya peperangan dengan al kuffar saat itu.

Quraisy shihab berpendapat bahwa makna ini haruslah dikontekskan

dengan kondisi saat ini bahwa peperangan yang dilakukan bukan lagi hanya

terbatas pada tindakan “mengangkat senjata”, akan tetapi harus bisa

dimaknai dengan lebih luas yaitu dengan pena, lidah dan aneka usaha yang

lain (M Quraish Shihab: 2007).

4. AT-taubah ayat 36 (Musyrikin)

Musyrik menurut Al-Azhari As-syafi’I beliau menyatakan bahwa definisi

musyrik yaitu menjadikan berbagai bentuk sekutu dan tandingan kepada

Allah dalam hal tauhid

rububiyyah

(Muhammad ibn Abdurrahman

Al-Khumayyis: 2005). Perilaku Syirik sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun,

termasuk orang islam itu sendiri, meskipun musyrik menurut al-Qur’an

merupakan bagian dari kafir.

(11)

36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas

bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan

bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama

yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri. kamu dalam

bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya

sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah

bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

5. Al-Hujuraat ayat 9 (Mukmin)

Pada ayat ini ayat al-qur’an memerintahkan untuk memerangi salah

satu dari kaum mukmin yang bertikai dengan kaum mukmin lainnya, dan

criteria yang diperangi adalah salah satu golongan yang melakukan tindakan

baghat

yang dimaknai dengan berkehendak dengan melampaui batas.

Quraisy shihab menyatakan bahwa tindakan “perangi” yang

diperintahkan oleh Al-Qur’an harus diterjemahkan dengan kata “tindak”. Hal

ini menurutnya terlalu berlebihan jika dimaknai dengan kata perangi,

pasalnya kata syaratnya yaitu

iqtatalu

yang tidak harus diartikan dengan

berperang atau saling membunuh, sehingga dapat diartikan dengan

berkelahi, bertengkar atau saling memaki (M Quraish Shihab: 2007).

Penulis tidak begitu sepakat dengan pendapat diatas, karena jika

tindakan yang diberikan terhadap mukmin atas apa yang dilakukan tersebut

bisa dianggap hal yang berlebihan, maka akan terdapat diskriminasi

Akhir, tidak mengharamkan apa yang diharankan Allah, dan tidak memeluk

agama dengan benar).

Pada ayat ini sebenarnya bidikan utama dari obyeknya adalah Ahl

kitab, meskipun dalam hal ini memang banyak selisih pendapat

sebagaimana dituliskan Quraish shihab dalam tafsirnya, akan tetapi titik

muaranya adalah ajaran ahl kitab yang tidak lagi sesuai dengan ajaran

asalnya. Hal ini bisa dilihat dari lanjutan ayatnya yang kemudian membahas

kesalahan teologi yang dilakukan oleh yahudi dan nasrani (M Quraish

Shihab: 2007).

(12)

romawi untuk menyerang islam dan barisan depan telah sampai ke wilayah

balqa (sekarang yordania). Sehingga memerangi ahl kitab harus dilakukan

dengan memperhatikan ketentuan waktu perang sebagaimana dijelaskan di

atas.

Penjelasan diatas sangat jelas sekali bahwa penggolongan kelompok dituliskan

dalam al-Qur’an. Dari orang kafir, Musyrik, ahl kitab bahkan orang mukmin sendiri, namun

pada intinya, perintah perang ini secara keseluruhan menyatakan bahwa perintah ini harus

dilakukan ketika golongan atau obyek yang diperangi terlebih dahulu memerangi islam,

sehingga konsep umum dari peperangan dalam islam adalah dengan bentuk defensif bukan

ofensif.

Konsep perang dalam islam yang bersifat defensif diatas membuktikan bahwa

adanya peperangan dalam islam didasarkan pada kebutuhan yang harus dilakukan, dan

kaum muslim seharusnya membenci peperangan sebagaimana dalam surat al-baqoroh ayat

216 yang berbunyi

“diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu

yang kamu benci”.

Sehingga sangat jelaslah sebagaimana tujuan ajaran islam bahwa ajaran

islam merupakan ajaran yang bersumber pada kedamaian dan keharmonisan.

C. Pembatasan perintah kata Qootilu

Perintah perang dalam Al-Quran selain memuat konsep berperang, terdapat juga

pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ayat-ayat al Qur’an dalam perintah perang.

Dari keseluruhan ayat yang dikumpulkan oleh penulis, setidaknya terdapat empat

pembatasan.

1. Surat Al-baqoroh 190 (Jangan sampai melampaui batas).

Penjelasan mengenai larangan untuk tidak melampaui batas dalam

peperangan ini terdapat pada surat albaqoroh ayat 194 yang menyatakan

bahwa

“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu

”.

(13)

2. Al baqoroh 193 dan Al anfal 39 (Jangan sampai ada fitnah).

Fitnah sebagaimana tercantum dalam dua ayat ini dijadikan batasan

didalam menjalankan perintah perang yang terdapat didalam al-Qur’an. Kata

fitnah secara bahasa diartikan dengan kegaduhan, kerusakan dan huru-hara

(Al ashri hal: 1376).

Secara makna, menurut prof Yunahar ilyas, Kata fitnah ini tidak

dapat diartikan sebagaimana pengetahuan umum orang Indonesia yang

menyatakan bahwa fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain atas perilaku

yang tidak dilakukannya, akan tetapi makna fitnah disini berarti hambatan

dalam menjalankan agama, yang berarti perintah perang tersebut jangan

sampai menghambat kaum yang diperangi untuk melaksanakan agama

(Prof. Yunahar Ilyas: 2009).

Hal ini sedikit berbeda dengan yang dituliskan Quraish shihab dalam

tafsirnya, beliau mengatakan bahwa fitnah tersebut ialah penganiayaan

jasmani, perampasan harta, pemisahan sanak keluarga, pengusiran dari

tanah air mereka bahkan hingga menyangkut agama dan keyakinan mereka

sebagaimana yang dilakukan oleh ummat kafir sebelumnya (M Quraish

Shihab: 2007).

3. Surat At-taubah ayat 29 (Sampai membayar jizyah)

Pembatasan ini sebenarnya diperuntukkan terhadap orang-orang ahl

kitab yang sebagai pajak yang diperlukan sebagai imbalan atas kemudahan

dan biaya fasilitas yang diberikan oleh Negara. Kata jizyah berasal dari kata

jazaa

yang bermakna membalas.

Quraish shihab dalam tafsirnya mengungkapkan pendapat dari

Thahir ibnu Asyur bahwa kata jizyah berasal dari bahasa Persia Kizyat yang

berarti pajak. Jizyah ini bukanlah dalam bentuk sebuah keadaan, melainkan

suatu pungutan yang bersifat material atau harta benda (M Quraish Shihab:

2007).

Meski pembatasan ini diberikan ketika kaum muslim menjalankan

perintah perang dalam memerangi ahl kitab, namun pembatasan untuk

membayar kewajiban yang bersifat harta ini pernah dilakukan oelh khalifah

abu bakar dalam memerang kaum muslim yang menolak untuk membayar

zakat hingga kaum muslim tersebut membayar zakatnya, meskipun zakat

tidak dapat dipersamakan dengan pajak.

4. Surat AL-Hujuraat ayat 9 (Sampai kembali ke jalan allah)

(14)

kelompok yang melakukan

bagho

. Hal ini dikarenakan kaum mukmin sudah

pasti memeluk jalan allah, maka perintah perang yang dilaksanakan harus

mencapai pada titik dimana kaum muslim yang diperangi kembali kepada

jalan allah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka batasan perintah perang dapat dikelompokkan

menjadi dua yaitu pembatasan yang bersifat umum dan khusus. Poin pertama, kedua dan

ketiga merupakan poin umum dikarenakan dalam ayatnya sama sekali tidak disebutkan

siapa obyek yang ditujukan untuk diperangi, meskipun pada poin ketiga sebenarnya

disebutkan ahl-kitab, hal ini dikarenakan syarat yang diharuskan tersebut juga masih terdapat

perbedaan pendapat bahwa termasuk juga al-kuffar, Karena terdapat criteria tidak beriman

kepada allah.

Sementara terkait dengan poin terakhir merupakan pembatasan khusus yang

diberikan kepada peperangan yang terjadi terhadap dua kelompok mukmin yang berselisih.

Dan tidak bisa berlaku secara umum terhadap obyek yang harus diperangi selain kaum

mukmin yang berselisih.

KESIMPULAN

Dari berbagai pembahasan yang dikemukakan oleh penulis diatas, maka penulis

menyimpulkan bahwa dalam perintah perang yang diatur didalam Al-qur’an dengan lafadz

Qootilu, bentuk fi’l amr dari Qootala, yang bermakna perintah perang untuk menegakkan

kalimat allah terdapat sebuah konsep dan pembatasan dalam perintah perang tersebut.

Konsep peperangan yang diatur dalam al-qur’an ini meliputi dasar berperang yang

wajib atas nama Allah, kemudian waktu dimulainya perang, yaitu saat kaum muslim sedang

atau akan diserang sekaligus waktu berakhirnya peperangan yaitu ketika orang yang

memerangi kaum muslim tersebut berhenti, serta obyek yang harus diperangi yang telah

ditentukan didalam al-qur’an yaitu Auliaa as syaithon, Aimmata al-kufr, Kuffar, Musyrikin,

Mukmin dan Ahl- kitab yang semuanya memiliki kriteria pelanggaran masing-masing.

(15)

Konsep dan pembatasan yang diambil dari keseluruhan ayat ini membuktikan bahwa

konsep peperangan dalam islam tidak bisa dilakukan dengan semena-mena sebagaimana

yang terjadi di Indonesia saat ini, apabila kita sedang diperangi dangan cara teknologi, maka

kita juga harus memerangi dengan teknologi sebagaimana perintah dalam al-qur’an tidak

boleh melampaui batas. Sehingga kekerasan atas nama agama tidak dapat dibenarkan

kecuali kaum muslim mendapatkan serangan dengan bentuk kekerasan atas agama pula.

SARAN

Reinterpretasi perintah perang secara holistik dengan mengumpulkan seluruh ayat

al-Qur’an yang terdapat dala al-qur’an ini diharapkan mampu menambah pengetahuan

pembaca, khususnya kaum muslim saat ini yang banyak melakukan tindakan kekerasan atas

nama agama.

Selain itu, penulis menyarankan agar pembaca dalam melaksanakan perintah

perang yang terdapat didalam al-qur’an memang tepat dan sesuai dengan yang

diperintahkan oleh al-qur’an agar tidak terjadi konflik-konflik baru yang lebih besar dalam

pelaksanaan syariat islam di dunia, terutama di Indonesia. Karena pada dasarnya islam

adalah jalan hidup bagi manusia untuk menemukan sebuah kedamaian yang tidak hanya di

dunia saja, melainkan di kehidupan nanti juga,

Wallahu a’lam

.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

As-Syarbini A.K. Mughnil Muhtaj,

Abdillah.J (2011).

Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan

. Junal Analisis IAIN

Lampung. Volume XI, Nomor 1. Hal:77-78.

Ali. A & Muhdlor.Z (1998).

Kamus Kontemporer Arab-Indonesia Al-‘Ashry

.

Yogyakarta: Multi Grafika.

Al-Khumayyis. M. A (2005).

Pandangan Ulama’ Bermadzhab Syafi’i Tentang Syirik

.

Dar Khalid Ibn Walid. Riyadh. 2005.

Al Qardhawi. Y (2011).

Fikih Jihad

. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ilyas. Y (2009). Tafsir Surat Al baqoroh 189-195.Materi Kajian Rutin Bulanan di

Universitas Muhammadiyyah Purworejo.Sabtu, 24 Rabiul Awwal1430 H/21 Maret

2009 M.

Lewis.B (2003). Krisis Islam Antara Jihad Dan Teror Yang Keji. Jakarta: PT Ina

Publikatama.

Ma'shum (1965).

Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah

. Surabaya: Maktabah wa Mathba'ah

Salim Nabhan.

(16)

Shihab. M. Q (2007).

Tafsir al misbah

. Volume 3. Jakarta: Lentera Hati. cetakan IX

Shihab. M. Q (2007).

Tafsir al misbah.

Volume 5. Jakarta: Lentera Hati. cetakan IX

Shihab. M. Q (2007).

Tafsir Al Misbah

. Volume I. Jakarta: Lentera Hati. cetakan IX

Taimiyyah.I (1995). Majmu al fatawa. Madinah Saudi Arabia: Majma'ul Malik Fahd li

Thibaatil Mushaf As Syarif.

Zirmansyah dkk (2010).

Pandangan Masyarakat Terhadap Tindak Kekerasan Atas

Nama Agama (Studi hubungan antara Pemahaman Keagamaan Dengan Tindakan

Kekerasan Atas Nama Agama)

. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian

Agama 2010.

INTERNET

Abdul Akhir Hamid Al-ghanimi (2012).

Hal hunaaka farqun baina al-qotl wa al qitaal

.

http://www.tawhed.ws/r1?i=5452&x=hyzvkf5t

di Akses pada

tanggal 15 november 2012.

Palupi Auliani (2012). Anies Baswedan: Konflik antar umat

beragama

bukan

hal

baru

Referensi

Dokumen terkait

(b) Pengaruh parameter peregangan terhadap profil kecepatan dibagi dua yaitu ketika kecepatan pada permukaan plat lebih besar daripada keceptan dari luar maka

Hasil dan pembahasan dari artikel ini adalah menjabarkan pemahaman hadis ‘membunuh manusia sampai ia mengucapkan syahadat’ secara tekstual tidak dapat mencerminkan Islam

Disisi lain, dukungan sosial orang tua, juga memberikan manfaat terhadap penyesuaian diri siswa dalam belajar, sehingga bagi siswa yang memiliki tingkat dukungan sosial dari orang

yang dilakukan oleh wirausahawan wanita m e rni­ liki tingkat risiko gaga) bayar yang Iebih rendah dari pada wirausahawan pria (Armendiz & Morduch,2005)... P erbe

Berdasarkan nilai manfaat yang diperoleh pada perhitungan diatas, menunjukkan bahwa pemberian hak konsesi terhadap IUPHHK-HA yang menerapkan sistem silvikultur

Ada pula pendapat dari Northwest Center for Public Health Practice (2012) menyebutkan ada beberapa hal yang dilakukan dalam pendidikan orang dewasa diantaranya

Dengan ketebalan kurang dari 3 mm, Dengan ketebalan kurang dari 2 mm, Mengandung karbon 0.6%atau lebih menurut beratnya Tidak dengan pola relief, dalam gulungan,

4 Keenam hal tersebut adalah: Pertama, melindungi kepentingan ekonomi Indonesia dalam kerangka liberalisasi pasar global; Kedua, agen ekonomi yang ada di Indonesia ialah