• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL BLENDED LEARNING UNTUK PENGEMBANGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL BLENDED LEARNING UNTUK PENGEMBANGA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Ilmu: Pendidikan Bahasa

LAPORAN

PENELITIAN MANDIRI

MODEL BLENDED LEARNING UNTUK PENGEMBANGAN

KEMAMPUAN AKADEMIS DAN KARAKTER KOLABORATIF

Tim Peneliti:

Patrisius Istiarto Djiwandono (NIP: 20080004)

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS MA CHUNG

(2)

HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN MANDIRI

Judul Penelitian : MODEL BLENDED LEARNING UNTUK

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN AKADEMIS

Lokasi Penelitian : Prodi Sastra Inggris, Universitas Ma Chung Biaya Penelitian : Rp. 1.295.000

Menyetujui, Malang, 15 Agustus 2016

Kepala Program Studi Ketua Peneliti

(Lilis Lestari Wilujeng, S.S., M.Hum) (Prof. Dr. Patrisius I. Djiwandono)

NIP. 20070032 NIP. 20080004

Mengetahui, Menyetujui,

Dekan Fakultas Bahasa Seni Kepala LPPM

(3)

Daftar Isi

2.2 Dampak BL terhadap Hasil Pembelajaran...12

2.3 Pola Sosiometri...13

(4)

5.1.4 Hasil Belajar Sesi Daring...28

5.1.5 Pendapat tentang Belajar dari Internet...30

5.2 Pembahasan...32

5.2.1 Tingkat penguasaan materi kuliah...32

5.2.2 Model...35

5.2.3 Dampak Tunda...39

BAB VI...40

SIMPULAN DAN SARAN...40

6.1 Simpulan...40

6.2 Saran...42

(5)

Daftar Tabel dan Gambar

Gambar 2.1 Peta Jalan Studi Mengenai Blended Learning .………. 12

Gambar 5.1. Model Blended Learning……….. 36

Tabel 5.1 Perbedaan antara Skor Tes Awal dg Skor Tes Pasca BL……..………. . . . .. 20

Tabel 5.2 Perbedaan antara Skor Tes Awal dengan Skor Tes Perbaikan setelah Interaksi Antar Kelompok……… ……… . . . .21

Tabel 5.3 Tipe Mahasiswa dalam Sosiometri ……….22

Tabel 5.4 Pergerakan Murid antar Kelompok ………. 23

Tabel 5.5 Perubahan Skor dari Murid yang Lemah ……… 25

Tabel 5.6 Data Statistik Deskriptif dari Skor Kelompok Lemah ……… 25

Tabel 5.7 Hasil Tes Kelompok Lemah setelah Pendampingan ……….. 26

Tabel 5.8 Hasil Tes Kelompok Lemah Dua Minggu setelah Pendampingan . . . 27

Tabel 5.9 Perubahan Skor Tes dari Kelompok Lemah . . . ……….28

Tabel 5.10 Materi yang Diperoleh dari Internet . . . ……… 29

Tabel 5.11 Pendapat tentang Belajar dari Internet ………. 30

(6)

RINGKASAN

Blended Learning (selanjutnya disebut BL) adalah pendekatan pembelajaran yang menggabungkan sesi tatap muka di kelas dengan sesi belajar secara online. Pendekatan ini banyak diklaim sebagai pendekatan modern yang meningkatkan kualitas pengalaman belajar sang siswa dan sesuai dengan gaya belajar individu yang selama ini kurang terakomodasi oleh konteks pembelajaran konvensional.

Namun demikian, belum banyak model pembelajaran BL yang berakar dari konteks pendidikan di Indonesia, khususnya yang menyoroti dampaknya terhadap aspek kolaboratif para siswa. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan jawaban terhadap ranah yang belum tergarap tersebut. Secara lebih khusus, laporan ini mengajukan sebuah penelitian yang bertujuan (1) membandingkan tingkat penguasaan materi kuliah oleh para subjek ketika menjalani sesi perkuliahan konvensional dan ketika menjalani sesi BL; (2) melihat apakah sesi BL mampu membuat para subjek berkolaborasi secara intensif dan ekspansif dengan rekan-rekan sekelasnya. Tujuan jangka panjangnya adalah menelurkan suatu model yang akan berfungsi sebagai landasan dalam pengembangan pendekatan BL di ranah pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan sebuah studi berdesain single-subject atau Time Series Design yang melibatkan 20 mahasiswa peserta mata kuliah linguistik.Pada tahap awal, dilakukan penggalian data baseline di kelas tersebut. Lalu, kepada mereka ini diperkenalkan pembelajaran berbasis BL. Pada pertengahan periode, kegiatan belajar akan dikembalikan lagi ke moda konvensional, pencapaian mereka diukur, dan dilanjutkan lagi dengan pendekatan BL sampai akhir. Pengukuran dilakukan lagi pada tahap akhir. Selanjutnya, hasil itu dibandingkan dengan data baseline dan data tengah periode untuk memastikan pola peningkatannya.

(7)

namun kurang ekspansif. Pembauran ke kelompok lain masih harus didorong oleh dosen. Sebuah model sederhana diturunkan dari hasil analisis.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia pendidikan adalah dunia yang dinamis. Setelah sekian dekade sangat lekat dengan pembelajaran konvensional yang bercirikan sangat terpusat kepada guru dan berciri one-size-fits-all (satu standar dan satu pendekatan untuk semua murid tanpa memandang keragaman gaya belajar, kemampuan, dan motivasinya), dunia pendidikan mulai menoleh pada cara-cara alternatif dalam mengelola kegiatan belajar. Semua perubahan ini disebabkan oleh ketidakpuasan dan kelemahan yang berakar dari pendekatan konvensional. Pembelajaran satu arah membuat kebosanan dan memicu penumpulan daya kreatif dan daya pikir kritis murid. Ciri one-size-fits-all membuat pendidikan menjadi diskriminatif dengan tersingkirnya murid-murid yang sebenarnya berkemampuan tapi tidak bisa mengikuti kecepatan pengajaran sehingga terkesan lambat dan akhirnya tertinggal. Ini masih ditambah dengan kurang diperhatikannya aspek non kognitif, yaitu kecakapan interpersonal yang sebenarnya menyatu dengan lekat pada setiap tindak belajar sang murid.

(8)

jaringan = online), dimana para murid mengakses materi ajar atau berinteraksi dengan guru dan teman-temannya melalui jaringan komputer/gadgetnya.

Pada saat yang sama, dunia pendidikan juga sedang memikirkan bagaimana mengupayakan pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan. Sejauh yang penulis ketahui, belum ada upaya untuk menggali potensi BL terhadap penanaman karakter, khususnya di ranah kecakapan interpersonal. Lebih khusus lagi, belum ada upaya merancang sebuah model BL yang secara simultan juga mengembangkan kemampuan kolaboratif antar sesama murid. Oleh karena itu, penulis mengusulkan suatu perancangan model BL yang bukan hanya bertujuan memaksimalkan potensi belajar siswa namun juga mengasah kemampuan mereka bekerja sama dan saling menyumbang untuk kemajuan yang lain.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuanpenelitian adalah untuk (1) membandingkan tingkat penguasaan materi kuliah oleh para subjek ketika menjalani sesi perkuliahan konvensional dan ketika menjalani sesi BL; (2) melihat apakah sesi BL mampu membuat para subjek berkolaborasi secara intensif dan ekspansif dengan rekan-rekan sekelasnya.

1.3 Asumsi

Dalam studi ini, ada beberapa asumsi yang perlu dikemukakan. Pertama, instrumen angket dan panduan wawancara diasumsikan memadai untuk digunakan menggali data dari para responden. Kedua, semua responden diasumsikan bertindak jujur ketika menjawab pertanyaan angket dan bersikap alamiah ketika tindakan belajarnya diamati dalam kelompok.

1.4. Definisi

(9)

disempitkan pada kombinasi antara teknik pembelajaran konvensional di kelas dengan pembelajaran secara online.

Kolaborasi, menurut Wissel (2008) adalah kerja sama antar lebih dari satu pemelajar untuk meningkatkan pengetahuan, meningkatkan kecakapan, atau menimbulkan suatu perubahan. Menurut Stoller-Schai (dalam Kock, 2007), kolaborasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan bersama oleh beberapa orang untuk mencapai satu tujuan tertentu, atau memecahkan satu masalah tertentu. Maka, karakter kolaboratif bisa didefinisikan sebagai sikap yang melahirkan atau memicu tindakan untuk bekerja sama dalam menuntaskan suatu masalah atau mencapai suatu tujuan.

Kolaborasi intensif diartikan sebagai keajegan seorang mahasiswa dalam bekerja sama dengan rekan-rekannya. Kolaborasi ekspansif diartikan sebagai seberapa beragam anggota kelompoknya.

Kemampuan akademis didefinisikan dalam konteks studi ini sebagai skor tes Kuis Kecil, Kuis Besar, dan Ujian Akhir Semester yang diikuti oleh mahasiswa dalam perkuliahan satu semester.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, dari segi waktu studi ini hanya berlangsung dalam satu semester, yang terdiri dari 16 kali pertemuan kelas dengan masing-masing berdurasi 100 menit. Kedua, instrumen angket dirancang sendiri oleh peneliti dan tidak mengalami uji reliabilitas dan validitas secara ketat. Hasil pengamatan juga tidak menjalani triangulasi dengan peneliti lain.

(10)
(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Blended-learning

Beberapa pakar pendidikan telah mengemukakan definisi blended-learning (selanjutnya disebut BL). Menurut Dziuban, Hartman and Moskal (2004, hal 2) BL secara sederhana dapat diartikan sebagai kombinasi antara interaksi tatap muka di kelas dengan belajar online. Mereka mengatakan bahwa letak kekuatan BL adalah pada keluwesannya dan saling melengkapinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Sesi belajar online mengatasi kelemahan yang disebabkan oleh pembatasan waktu dan ruang serta prosedur kaku yang mencirikan sesi tatap muka konvensional di kelas (Kengwee dan Kidd, 2010), sementara sesi interaksi tatap muka itu sendiri mempertahankan cita rasa terikat pada satu komunitas dan perasaan berinteraksi dengan sesama manusia. Namun tentu saja BL tidak berhenti sampai disitu; BL punya potensi untuk melebar ke arah manfaat psikososial pembelajar, dan untuk itulah studi ini diusulkan.

(12)

materi dengan tujuan mengakomodasi berbagai tujuan dalam pembelajaran. Sementara itu, Khan (1997) secara lebih khusus menyoroti belajar online dan mengartikannya sebagai tindakan menggunakan Internet untuk mendapatkan materi ajar dan untuk berinteraksi dengan teman sekelas dan guru sehingga pengetahuan murid bisa berkembang.

Pada tataran empiris, beberapa penelitian tentang BL juga telah dilakukan. Yilmaz dan Saglam (2011) menuntaskan sebuah studi tentang dampak diskusi online terhadap prestasi murid, dan menyimpulkan bahwa mereka yang aktif dalam diskusi berprestasi lebih baik daripada mereka yang tidak, baik dalam sesi online ataupun offline. Alseweed (2013) melakukan sebuah studi yang melibatkan 34 siswa pria yang diberi tiga metode Inggris. Mereka menemukan bahwa kelemahan dalam sesi online dapat dikompensasi oleh pembelajaran konvensional di kelas. Menarik untuk mengetahui bahwa mereka juga menemukan gejala scaffolding di kalangan pemelajar, yaitu sejenis dukungan yang diberikan oleh sang pintar kepada mereka yang kurang pintar. Hal tentang scaffolding inilah yang juga akan menjadi salah satu titik perhatian dalam studi yang sedang diusulkan ini.

Sementara itu, sebuah studi kecil oleh penulis (Djiwandono, 2014) menunjukkan bahwa BL menjanjikan sebuah manfaat berdimensi sosial-afektif yang belum pernah terekam dalam studi-studi sebelumnya. Sesi online di pembelajaran BL yang dilakukan dalam sebuah kelas di Universitas Ma Chung ternyata memberi peluang yang lebih besar untuk beberapa murid yang tergolong lemah dan kurang aktif di sesi tatap muka. Mereka bisa belajar lebih nyaman dengan kelompoknya sendiri, dan ternyata terbukti mampu mengikuti penyampaian materi dengan lebih baik setelah mengikuti interaksi online antara murid-murid yang lebih pandai. Skema BL memungkinkan semua interaksi antar murid dan antar murid dengan guru terekam dengan baik sehingga berfungsi sebagai materi pendukung yang membantu pemahaman mereka terhadap pelajaran. Ini merupakan bibit baik yang pantas untuk dikembangkan lebih lanjut, dan untuk alasan inilah kenapa studi ini diusulkan..

(13)

dampaknya terhadap prestasi murid, membandingkan dengan metode lain, kemudian beranjak ke menemukan manfaat lain dalam pembelajaran, misalnya scaffolding, sampai pada dukungan afektif untuk murid yang lemah dan pasif. Maka, ke depannya diperlukan sebuah model berbasis BL yang makin melengkapi peta jalan ini, yakni dengan memetakan keunggulan atau manfaat BL terhadap aspek kognitif dan aspek psikososial bagi para pesertanya. Untuk mencapai tujuan inilah proposal ini ditulis.

Gambar 2.1 Peta Jalan Studi Mengenai Blended-learning

2.2 Dampak BL terhadap Hasil Pembelajaran

Smith (2013) melakukan pembandingan antara kelas yang diajar secara konvensional dengan kelas yang diajar lewat BL selama setahun di sebuah SD. Pembandingan dilakukan untuk hasil belajar, pendapat para siswa, dan pendapat para guru. Ternyata tidak ada perbedaan antara kedua kelompok itu dalam hal prestasi belajarnya. Namun kedua kelas berbeda dalam hal persepsi para responden terhadap keterhubungan, suasana belajar yang menyenangkan, dan dukungan guru. Sebagian guru merasa kurang nyaman karena dipandang

Konseptualisasi BL

Dampak BL terhadap prestasi

Pembandingan dengan

pendekatan lain

(14)

bukan lagi figur sentral di depan kelas. Namun pada saat yang sama juga diakui adanya sumber belajar yang kaya dari pembelajaran daring. Studi saya juga meneliti topik yang sama dan ingin mengetahui apakah temuan Smith juga berlaku di kelompok mahasiswa yang menjadi responden saya. Perebdaaannya terletak pada jangka waktunya, dan tidak digalinya pendapat guru/dosen tentang BL. Namun jika ternyata ada kesamaan dalam hal penguasaan materi oleh murid dan pendapat mereka tentang BL, maka temuan dalam studi ini akan makin memperkuat salah satu ciri BL.

Kashefi dkk (2012) melakukan studi tentang dampak BL terhadap kemampuan komunikasi dan ketrampilan kerja sama tim dari sekelompok mahasiswa. Mereka mendapati bahwa sekalipun BL mampu meningkatkan kecakapan berkomunikasi, namun ketrampilan bekerja sama dalam tim tidak berubah sebelum dan sesudah penerapan BL. Studi oleh saya akan melihat apakah temuan tersebut juga berlaku untuk komunitas pemelajar yang saya teliti. Secara lebih khusus, studi saya akan melihat bagaimana dinamika kerja sama dalam kelompok mahasiswa yang menjadi responden.

Pada konteks yang lain, Korkmaz dan Karakus (2009) meneliti dampak BL terhadap sikap terhadap mata pelajaran dan kemampuan berpikir kritis. Studi mereka menggunakan desain eksperimental. Hasilnya, ditemukan bahwa BL mampu meningkatkan minat terhadap pelajaran yang sedang diajarkan dan meningkatkan pula kemampuan berpikir kritis.

Semua studi di atas telah menyoroti dampak BL terhadap berbagai aspek pemelajar, namun belum sampai pada aspek kemauan bekerja sama. Studi yang saya lakukan mencoba memasukkan aspek kolaboratif ini dalam skema Blended Learning dan memastikan apakah BL mempunyai dampak terhadap kemampuan dan kemauan mereka bekerja sama.

2.3 Pola Sosiometri

(15)

tidak disukai seorang siswa oleh teman-teman sekelasnya. Menurutnya, ada setidaknya 3 kategori siswa berdasarkan pola sosiometrinya: populer, diabaikan, dan ditolak. Mereka yang termasuk populer adalah yang disukai oleh banyak teman sekelasnya; mereka yang termasuk diabaikan adalah yang hanya disukai oleh sedikit teman, dan yang termasuk ditolak adalah mereka yang memang dijauhi karena sikapnya yang sering menimbulkan masalah.

Titkova dkk. (2013) melakukan studi tentang hubungan antara pola sosiometri dengan prestasi akademis. Mereka mendapati bahwa hubungan ini ternyata dipengaruhi oleh jenis kelamin siswa. Untuk siswa pria dalam kelas yang bermotivasi belajar rendah, ada korelasi yang negatif antara keduanya. Artinya, murid pria yang tidak populer justru lebih tinggi prestasinya. Sebaliknya, di kelas dengan motivasi belajar lebih tinggi, terjadi korelasi positif; artinya, semakin populer seorang siswa pria, umumnya semakin tinggi prestasinya.

Di kelas murid perempuan, didapati bahwa korelasi itu senantiasa positif baik di kelas yang bermotivasi belajar tinggi maupun kelas yang bermotivasi belajar rendah. Artinya, semakin popular seorang siswa, semakin tinggi pula prestasinya.

Studi oleh Titkova dkk ini disajikan disini karena dapat membantu penulis memahami pola sosiometri di kelas yang sedang diteliti. Jika didapati mahasiswa pria atau wanita dengan pola sosiometri tertentu dan prestasi tertentu pula, temuan oleh Titkova dkk tersebut bisa membantu menyusun penjelasan tentang penyebabnya. Lebih jauh, penelitian ini bisa dianggap sebagai langkah lebih lanjut dari apa yang sudah dilakukan oleh Titkova dkk karena menggali aspek sosiometri di kelas yang merupakan kombinasi sesi tatap muka dengan sesi belajar bebas di luar kelas.

2.4 Perasaan Terhubung ke Komunitas

(16)

sementara sebagian murid lain merasa tidak cocok dengan sesi belajar yang sepenuhnya daring. Mereka menginginkan pembelajaran yang bisa menggabungkan keduanya. Studi saya ingin menentukan apakah hal ini juga berlaku untuk para responden di penelitian ini.

Poon (2013) juga mendapati dalam studinya keinginan sebagian muridnya untuk mempertahankan interaksi tatap muka. Mereka mengatakan bahwa kendati BL adalah teknik yang bagus, namun kelemahan BL adalah kemungkinan berkurangnya interaksi antara murid dengan gurunya. Mereka berpendapat bahwa pembelajaran berbasis BL harus tetap mempertahankan interaksi konvensional tersebut.

2.5 Pendapat Murid tentang BL

(17)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan menelurkan cikal bakal sebuah model pembelajaran non-konvensional yang tidak hanya mencakup dimensi peningkatan aspek belajar secara kognitif namun juga aspek pemicu kemauan dan kemampuan bekerja sama. Berdasarkan model yang dibangun ini, akan ditelurkan sebuah hipotesis yang potensial bisa dikembangkan, yaitu bahwa pembelajaran berbasis BL menimbulkan dampak yang positif bagi peningkatan pemahaman materi ajar dan peningkatan kerja sama antar peserta didik.

Luaran yang juga akan dihasilkan adalah artikel laporan penelitian yang dimuat di jurnal yang sudah terindeks SCOPUS, yaitu International Journal of Education yang dikelola oleh Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

(18)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah developmental research (Ellis dan Levy, 2010). Desain ini terdiri dari empat tahap utama yang bisa bergulir dalam sebuah siklus, yakni pengembangan, tahap uji coba, evaluasi, dan penetapan model akhir. Karena sifatnya yang akan mengujicobakan sebuah desain pembelajaran ke sekelompok siswa tertentu, desain penelitian juga berupa single-subject experimental design (Kazdin, 1982). Kendati hanya pada satu kelompok, uji coba ini dilakukan secara intensif untuk menetapkan landasan yang mantap untuk model yang sedang dirancang.

Secara lebih khusus, single-subject design yang disebut di atas menggunakan desain A-B-A-B atau Time Series Design. Desain ini meliputi pengambilan data baseline (data awal), yang kemudian diikuti oleh penerapan BL sebagai perlakuan selama dua bulan, kemudian pengukuran aspek kognitif dan kemauan bekerja sama, dan pembandingan hasil pengukuran ini dengan data awal untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan aspek kognitif dan aspek kemauan bekerja sama yang sedang menjadi fokus.

Data awal sendiri berupa 2 jenis: (1) kemampuan menyerap materi ajar yang disampaikan lewat teknik konvensional; (2) pola sosiometri, yaitu jejaring teman sekelas yang dianggap dekat. Data jenis yang pertama digali lewat tes (Kuis Kecil dan Kuis Besar); sementara data jenis kedua digali lewat angket open-ended dan observasi.

4.2 Responden Penelitian

(19)

4.3 Penggalian Data

Penggalian data yang diuraikan berikut ini selaras dengan desain A-B-A-B pada rancangan single-subject design.

Tahap penggalian data meliputi beberapa langkah yang diawali dengan mengetahui kondisi awal komunitas sebelum pembelajaran karakter ini dilakukan. Penggalian baseline data ini mencakup penggunaan tes, penyebaran angket, dan observasi. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan mereka dalam memahami materi ajar, sedangkan observasi dan angket sosiometri digunakan untuk menggali jejaring teman dekat mereka dalam belajar kelompok. Ini adalah tahap A dalam rangkaian A-B-A-B.

Tahap selanjutnya, tahap B, adalah memberikan perlakuan berupa skema pembelajaran berbasis BL. Sebanyak 3 sesi BL dilakukan sampai terlihat pemantapan kebiasaan dalam melakukan kegiatan belajar BL. Sesi BL melibatkan beberapa kali kegiatan belajar daring (online), yang dipadukan dengan kegiatan tatap muka untuk melakukan konsolidasi pemahaman, klarifikasi, dan identifikasi masalah. Segera setelah itu, diambil rangkaian data kedua berupa pencapaian mereka dalam pelajaran, serta sikap psikososial berupa kemauan bekerja sama dengan teman, kemauan menolong teman/kelompok yang mengalami kesulitan, dan bertambahnya jejaring pertemanan mereka.

Tahap selanjutnya menghentikan pembelajaran berbasis BL, dan semua kegiatan belajar dikembalikan kepada cara konvensional. Seminggu setelah itu, kembali data tentang kinerja kognitif dan aspek kolaboratif tadi diukur kembali. Ini adalah tahap akhir A dalam rangkaian A-B-A-B.

Tahap berikutnya sebenarnya adalah mengembalikan skema pembelajaran berbasis BL kepada kelompok ini. Setelah 3 kali sesi BL, semua data yang telah diuraikan di atas digali lagi dengan instrumen yang sama. Ini adalah rangkaian final B pada seri A-B-A-B tadi. Namun karena keterbatasan waktu, tahap terakhir ini tidak dilakukan.

(20)

pendapatmu tentang kerja kelompok yang selama ini Anda lakukan. Mereka diminta menuliskan jawaban tanpa menulis namanya sehingga terjamin kejujuran jawaban mereka.

4.4 Analisis

Analisis data dilakukan dengan membandingkan semua data yang terkumpul dari tahapan A-B-A yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Data kualitatif berupa pendapat, hasuil pengamatan, hasil wawancara, dan angket dianalisis dengan teknik pengkodean yang berawal dari open coding, axial coding, dan thematic coding. Analisis seperti ini punya satu tujuan utama: mengidentifikasi konsep-konsep kunci dan kategori-kategorinya, mengaitkan konsep dan kategorinya menjadi beberapa jenis hubungan, kemudian mengabstraksikannya menjadi beberapa tema umum yang bisa menjalin semua keterkaitan tersebut. Sementara itu, data kuantitatif berupa skor penguasaan materi dianalisis dengan menggunakan XL STAT. Wilcoxon Signed-Rank test digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari tahap A ke tahap B, dan ke tahap A lagi. Jenis analisis ini tergolong non parametrik dan dipilih karena peneliti tidak melakukan uji kesamaan varians dan distribusi normal pada data skor.

(21)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Bagian ini menyajikan temuan yang diperoleh dari analisis data berdasarkan tujuan penelitian yang sudah dinyatakan di Bab I.

5.1.1 Peningkatan Kemampuan

Bagian ini menyajikan jawaban untuk tujuan penelitian yang pertama yakni membandingkan tingkat penguasaan materi kuliah oleh para subjek ketika menjalani sesi perkuliahan konvensional dan ketika menjalani sesi BL. Tabel berikut meringkas skor mereka pada kedua sesi tersebut:

Tabel 5.1 Perbedaan antara Skor Tes Awal dengan Skor Tes Pasca BL

Rata-rata Standar Deviasi

Tes Awal 72.28 19.9

Tes Pasca BL 87.81 15.19

(22)

Berikutnya juga dilakukan pembandingan antara skor mereka yang berkemampuan lemah pada tes awal dengan skor mereka pada tes perbaikan setelah mereka dibantu oleh teman-temannya yang lebih pintar. Tabel berikut ini meringkas statistik deskriptifnya:

Tabel 5.2 Perbedaan antara Skor Tes Awal dengan Skor Tes Perbaikan setelah Interaksi Antar Kelompok

Rata-rata Standar Deviasi

Tes Awal 1 58 12.44

Tes Awal 2 74.8 20.41

Catatan: Tes Awal 1 = tes di awal sesi BL

Tes Awal 2 = tes perbaikan, yang mereka tempuh setelah mendapat bantuan dari teman-temannya yang lebih pintar.

P = 0.0784. Karena p > 0.05, maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara skor mahasiswa lemah sebelum mendapat bantuan dengan skor mereka setelah mendapat bantuan dari teman-temannya yang lebih pintar.

5.1.2 Tipe-tipe dalam Sosiometri

(23)

kelompok. Tipe kedua adalah tipe Soliter. Tipe ini disebut oleh sebanyak-banyaknya 1 orang mahasiswa lain sebagai orang yang paling enak diajak bekerja kelompok. Tipe terakhir adalah tipe Umum, yaitu mereka yang tidak tergolong ke kedua tipe di atas.

Tabel berikut ini meringkas data tersebut:

Tabel 5.3 Tipe Mahasiswa dalam Pola Sosiometri (N=20)

Mhs

(24)

Bagian ini menjawab tujuan penelitian kedua, yakni apakah sesi BL mampu membuat para subjek berkolaborasi secara intensif dan ekspansif dengan rekan-rekan sekelasnya.

(25)

Nama

Catatan: “NA” menunjukkan bahwa mahasiswa yang bersangkutan absen dalam sesi tersebut.

Dari 20 mahasiswa, ada 11 (55%) orang yang pernah melakukan pergantian teman sekelompok (dengan cara mereka berpindah ke kelompok lain). Dari kesebelas mahasiswa tersebut, tidak ada satu pun yang berpindah kelompok lebih dari satu kali. Mereka semua hanya berpindah satu kali dan setelah itu tetap bekerja dalam kelompok tersebut. Ini menunjukkan bahwa mereka bisa mempertahankan kekompakan kelompok (intensif) namun kurang membaur bersama teman lain untuk membentuk kelompok baru (kurang ekspansif).

Satu-satunya tindakan berganti kelompok terjadi satu minggu setelah Kuis Besar 1 (8 April 2016) atas dorongan dari dosen. Minggu sebelumnya, Kuis Besar 1 diadakan dan setelah diskor, didapati bahwa 10 mahasiswa (50%) mendapat skor di bawah 80; di antara kesepuluh mahasiswa itu 5 orang (50%) mendapat skor di bawah 60. Maka pada sesi 8 April 2016 dosen menginstruksikan kepada mereka yang mendapat skor tinggi untuk membantu mereka yang skornya jauh lebih rendah untuk memahami materi tes sehingga mereka bisa mendapatkan skor lebih tinggi di Kuis Besar perbaikan. Disini terjadi interaksi antara mereka yang kuat dengan yang lemah, baik di dalam kelompok maupun antar kelompok.

(26)

Tabel 5.5 Perubahan Skor dari Murid yang Lemah

Nama

Skor Tes Awal 1

Skor Tes Awal 2

Nova 78 80

Febrianto 71 67

Agrita 70 93

Andrew 65 50

Dinal 63 100

Claudia 56 73

Yolanda 45 93

Tanti 44 97

Patrick 44 38

Adit 44 57

Data statistik dari kedua tes tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 5.6 Data Statistik Deskriptif dari Skor Kelompok Lemah

Rata-rata Standar Deviasi

Tes Awal 1 58 12.44

Tes Awal 2 74.8 20.41

Sekilas memang tampak adanya peningkatan kemampuan antara Tes Awal 1 dengan Tes Awal 2 (yang sudah mendapat bantuan dari teman-teman yang lebih pintar). Namun sebagaimana telah ditunjukkan di bagian sebelumnya, hasil analisis statistik dengan Wilcoxon Signed-Rank mengindikasikan bahwa perbedaan itu ternyata tidak signifikan (p = 0.0784).

(27)

Pada tiga sesi terakhir, kelas dikembalikan ke teknik tatap muka konvensional. Pada tahap ini, dosen memberikan tugas kelompok dan mengatur ulang pengelompokan sehingga mereka yang lebih cakap bergabung dengan mereka yang kurang cakap. Tujuannya adalah memicu interaksi antar mereka sehingga yang kurang cakap bisa meningkatkan kualitas pemahamannya.

Tugas yang diberikan adalah menganalisis kalimat berdasarkan suatu kaidah yang sudah diterangkan dalam buku teks. Mereka diminta membaca dan memahami sendiri bagian penjelasan tersebut, lalu mengerjakan tugas analisis tersebut.

Maka terjadilah interaksi antar mereka. Yang lebih cakap kebanyakan mendominasi percakapan karena mereka harus menerangkan beberapa poin penting dalam buku teks.

Segera setelah tugas tersebut selesai, diadakan tes kecil tentang materi yang sama, yaitu menganalisis kalimat. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka mampu mengerjakan tugas itu dengan nilai baik. Ringkasannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini, dengan mereka yang lemah bertanda asterisk (*).

Tabel 5.7 Hasil Tes Kelompok Lemah setelah Pendampingan oleh Kelompok Kuat

(28)

Nama bertahan untuk beberapa lama, diadakan tes dengan materi yang sama dua minggu kemudian. Tabel berikut meringkas skor dari kedua sesi tes untuk mereka yang sudah dikategorikan lemah:

Tabel 5.8 Hasil Tes Kelompok Lemah Dua Minggu setelah Pendampingan

Nama Skor tes 1 Skor tes 2

Ternyata terjadi sedikit penurunan nilai dari hasil belajar mereka yang sebelumnya, yaitu ketika masih dibimbing oleh teman-teman sekelas yang lebih pintar.

Dampak tunda dari pembelajaran ini masih diikuti sampai Ujian Akhir Semester yang diadakan sekitar 11 hari sesudah Tes 2. Pada UAS ini, diujikan materi yang sama dengan materi untuk Tes 1 dan Tes 2. Hasilnya diringkas dalam tabel berikut (skor Tes 1 dan Tes 2 ditampilkan kembali untuk perbandingan):

Tabel 5.9 Perubahan Skor Tes dari Kelompok Lemah

(29)

(20 Mei) (3 Juni) (14 Juni)

Sebagaimana terlihat, terjadi penurunan lebih drastis dari nilai-nilai mereka di Tes 2 hanya 11 hari sebelumnya.

5.1.4 Hasil Belajar Sesi Daring

Bagian ini menggambarkan ruang lingkup materi yang didapatkan oleh para mahasiswa ketika melakukan kegiatan belajar bersama kelompoknya. Kegiatan mereka adalah mendapatkan sumber-sumber dari Internet tentang suatu topik bahasan. Materi yang mereka dapatkan lalu dibandingkan dengan materi dari buku teks utama. Ternyata secara umum nampak kecenderungan mereka mendapatkan lebih banyak informasi tentang suatu topik bahasan.

Tabel 5.10 Materi yang Diperoleh dari Internet

(30)

Topik di buku teks Topik yang didapatkan dari Internet 1. Formal universal

2. Substantive universal (Kelompok 4)

1. Linguistic typology (Kelompok 5)

1. Greenberg’s linguistic typology 2. Universal grammar

Sebagaimana ditunjukkan di tabel di atas, setidaknya ada 5 kelompok yang mengumpulkan informasi sebagai tambahan untuk informasi di buku teks utama. Tentu saja masih harus diteliti apakah mereka benar-benar membaca dan menguasai apa yang mereka dapatkan dari Internet ataukah sekedar mencetak lalu mengumpulkannya ke dosen. Namun untuk kemungkinan terakhir ini dosen telah melakukan pencegahannya yaitu dengan meminta setiap kelompok menyajikan secara singkat apa yang telah mereka dapatkan dari sumber-sumber daring.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar dengan sumber daring potensial memacu mahasiswa untuk mendapatkan cakupan materi yang lebih luas daripada yang tercantum di buku teks. Ini membuka kemungkinan bagi mereka untuk mengetahui lebih banyak hal. Jika ada sesi bertukar informasi dengan teman sekelas, kegiatan ini pasti akan memperkaya wawasan mereka.

5.1.5 Pendapat tentang Belajar dari Internet

Instrumen angket open-ended memberikan sedikit gambaran tentang pendapat para peserta tentang belajar dari Internet.

Tabel 5.11 Pendapat tentang Belajar dari Internet

Kategori Pendapat responden

Sisi positif Mahasiswa menjadi lebih mandiri;

(31)

Kategori Pendapat responden

Tidak efektif untuk murid yang pasif; Beberapa sumber dari Inetrnet adalah menyatukan persepsi tentang jawaban yang benar;

(32)

Berikut ini adalah tabel yang meringkas pendapat responden tentang kerja kelompok: Tabel 5.12 Pendapat tentang Kerja Kelompok

Kategori Pendapat responden

Sisi positif Murid bisa saling membantu;

Murid bisa saling berbagi informasi; Sangat membantu pembelajaran

Sisi negatif Tidak efektif, karena rawan mengundang silang pendapat;

Tidak tahu harus berkelompok dengan siapa;

Menimbulkan kebingungan karena rekan sekelompok mengerjakan hal yang tidak selaras dengan yang sudah dikerjakan; Miskomunikasi antar anggota;

Sebagian besar anggota tidak mau berpindah kelompok;

Yang mengerjakan hanya terbatas pada satu atau dua orang saja;

Tidak efektif jika banyak anggota yang pasif

Saran Dosen sebaiknya menentukan

pengelompokan murid;

Yang perlu dilakukan Bagaimana mengatur supaya setiap anggota mengerjakan suatu bagian; Tindakan mengatasi masalah Jika sebagian besar anggota pasif,

(33)

5.2 Pembahasan

Bagian ini mengemukakan pembahasan terhadap hasil-hasil yang sudah dipaparkan di atas.

5.2.1 Tingkat penguasaan materi kuliah

Bagian ini membahas tujuan penelitian yang pertama, yakni membandingkan tingkat penguasaan materi kuliah oleh para subjek ketika menjalani sesi perkuliahan konvensional dengan ketika menjalani sesi BL.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada peningkatan skor tes setelah sesi BL. Rerata 72.78 pada sebelum sesi BL dimulai meningkat menjadi 87.81 setelah 3 minggu sesi BL. Nampaknya, peningkatan ini dipicu oleh kombinasi belajar lewat sumber-sumber online yang kemudian dibahas bersama kelompok dan penjelasan dari dosen di sesi tatap muka. Dengan kata lain, pemahaman mereka tentang materi kuliah menjadi lebih mantap karena diasah bukan hanya oleh belajar kelompok tapi juga oleh penjelasan dosen. Pembelajaran secara konvensional membantu mereka menjawab pertanyaan atau kesulitan yang mungkin timbul di pikiran mereka ketika sesi belajar kelompok. Pembelajaran secara konvensional juga menghadirkan sosok dosen sebagai orang yang tahu lebih banyak sehingga mereka yakin akan penjelasan yang mereka dapat. Jika menemui kesulitan dalam mehamami materi sepanjang sesi daring atau bekerja kelompok, mereka bisa mendapatkan penjelasan lisan atau bantuan dari dosen di sesi tatap muka. Ini senada dengan studi oleh Arancon, Barcena, dan Arus (2012) yang telah dibahas di Bab 2. Intinya, kelemahan dan kesulitan yang muncul di sesi daring dapat dikompensasi oleh sesi tatap muka.

(34)

mahasiswa lemah yang skornya tetap rendah di Tes Awal 2. Sementara rekan-rekannya yang juga lemah telah menunjukkan peningkatan skor yang cukup banyak, skor mereka tetap saja di bawah 60. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan secara agregat kelompok ini tetap rendah. Bukti lain ditunjukkan oleh standar deviasi kelompok ini yang mencapai 20.41, lebih tinggi daripada sebelumnya yang hanya 12.44. Jadi, skor mereka pada Tes Awal 2 ternyata memang lebih beragam. Keberagaman ini kemungkinan besar telah menyebabkan perbedaan yang tidak signifikan dengan skor mereka sebelumnya.

Pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan pendapat para murid tentang BL. Ada pendapat mereka yang melengkapi apa yang ditemukan oleh Poon (2013). Jika para responden dalam studinya menyoroti fleksibilitas pembelajaran dan penggunaan teknik yang beragam, sebagian responden dalam penelitian saya mengungkapkan kemandirian, tambahan wawasan, dan keberagaman fitur sumber dari Internet, terutama dalam sesi daring.

Namun bagian hasil juga menunjukkan bahwa beberapa murid memandang sesi belajar daring via Internet belum cukup. Sesi daring ini kurang tepat untuk mereka yang hanya bisa memahami materi jika diterangkan secara lisan, dan untuk mereka yang pasif. Ternyata hal ini juga selaras dengan temuan Rovai dan Jordan (2004). Kedua peneliti ini mendapati bahwa sesi daring akan menimbulkan masalah bagi mereka yang kurang mandiri, kurang bisa mengelola dirinya sendiri, dan perlu arahan langsung dari gurunya. Oleh karena itu, perlu dilakukan sesi tatap muka secara konvensional dengan guru dan teman-temannya yang lain. Sesi tatap muka tersebut sebaiknya mengakomodasi pertanyaan dari para murid yang kurang cepat dalam memahami materi, dan memberi peluang kepada mereka yang lebih pintar untuk membantu pemahaman.

(35)

konvensional dimana guru bisa memberikan bekal kepada muridnya bagaimana memilih materi yang sesuai, terpercaya, dan relevan dari Internet.

Yang mungkin menjadi masalah adalah bahwa para dosen atau gurupun belum tentu bisa memilah dengan efektif sumber-sumber daring yang jumlahnya luar biasa banyak. Kemampuan memiliah ini mungkin akan menjadi agenda tersendiri untuk program pelatihan guru atau dosen yang sedang bersiap ke era pembelajaran digital.

Glazer (2012) mengemukakan argumen yang memperkuat pendapat di atas. Menurutnya, sesi daring tanpa penguatan dari sesi tatap muka konvensional hanya akan berujung pada pemahaman yang setengah-setengah dan kurang mantap di benak pemelajar. Terlebih lagi, jika para murid bisa meraba bahwa kegiatan belajar daring hanyalah pelengkap yang tidak diperiksa, mereka akan cenderung mengabaikannya. Sesi tatap muka berfungsi untuk memeriksa hasil belajar para murid dari kegiatan belajar daring dan juga memmperkuat pemahaman mereka tentang materi yang sedang dibahas. Dalam hal ini, menurut Glazer (2012) sesi konvensional berfungsi sebagai pendukung, pemerkuat, dan sarana pengawasan kegiatan belajar.

Bahwa murid cenderung mengelompok dengan anggota kelas yang memiliki cara berpikir, gaya berkomunikasi, dan selera humor yang juga sama sudah ditengarai oleh banyak pendidik (Carroll dan Ryan, 2007). Memang sudah menjadi hal yang masuk akal bahwa bekerja sama dengan orang yang cocok pastilah memacu produktivitas dan harmoni dalam kelompok. Di satu sisi, hal seperti ini menunjukkan bahwa kohesi kelompok sangat kuat; setiap anggota dengan setia mempertahankan keutuhan kelompoknya. Di lain pihak, kekompakan kelompok seperti ini menjadi penghalang bagi mereka untuk melakukan pembauran dan penyesuaian diri dengan orang-orang yang baru.

(36)

Selain beberapa keuntungan yang sudah digambarkan dalam bagian di atas, tentunya BL juga mengandung beberapa potensi kelemahan. Setidaknya, dalam studi ini, potensi kelemahan itu bisa ditimbulkan oleh fasilitas Internet yang tidak memadai, tingkat sosial ekonomi para mahasiswa, ketidakseimbangan dalam peran anggota kelompok, dan keluasan ragam sumber belajar yang bisa tersaji di Intenet. Bagi dosen yang sudah terbiasa dengan pendekatan konvensional, BL bisa mempersyaratkan pekerjaan tambahan, yaitu antara lain memonitor kerja mahasiswanya melalui Internet, dan menyediakan panduan penjelajahan Internet.

5.2.2 Model

(37)

Gambar 5.1 Model Blended Learning

(38)

keingintahuan, atau definisi umum. Contoh-contoh yang sangat terperinci belum perlu dikemukakan disini.

Tahap berikutnya dalam sesi tatap muka ini adalah pengelompokan. Para murid diminta mengelompok sesuai dengan keinginannya. Umumnya, mereka akan berkelompok dengan teman-teman yang cocok dengannya.

Tahap berikutnya adalah memberi tugas. Tugas ini hendaknya meliputi perluasan pemahaman konsep utama, penyajian contoh-contohnya, dan sedikit latihan penerapan. Mengingat ada waktu cukup panjang untuk mengerjakannya dan yang mengerjakannya pun beberapa orang dalam satu kelompok, tugas ini memang sebaiknya cukup rumit untuk bisa dilakukan dalam kelompok. Penting untuk ditekankan kepada mereka bahwa tugas ini dikerjakan di luar kelas, sebisa mungkin melalui Internet, dan harus diusahakan sedemikian sehingga setiap anggota kelompok mendapat peran yang cukup penting.

Tujuan penugasan itu adalah meluaskan wawasan para murid tentang konsep yang sedang dibahas, dan memperkuat kemampuan kerja sama antar mereka.

Berikutnya, bilamana dirasa perlu, guru bisa memberikan model tentang bagaimana mengerjakan tugas itu sesuai instruksinya. Lalu, di akhir sesi tatap muka tersebut, guru sebaiknya memberikan panduan memilih sumber-sumber yang kredibel dari jaringan Internet. Dengan demikian, murid tidak akan memilih sumber-sumber belajarnya secara serampangan. Satu hal yang juga penting disampaikan oleh guru pada tahap ini adalah arahan tentang bekerja sama dalam kelompok. Guru bisa menekankan pentingnya pembagian tugas dan tingkat partisipasi setiap anggota untuk memastikan beban kerja tidak hanya bertumpu pada satu dua orang anggota saja. Menurut Burke (2011) ada setidaknya tiga poin yang perlu ditekankan oleh guru dalam memberikan arahan untuk kerja kelompok. Pertama adalah kemampuan mendengarkan, yang kedua adalah kemauan menerima dan memberikan kritik konstruktif, dan akhirnya yang ketiga adalah kemampuan menangani dan menyelesaikan konflik. Jika sebuah pendekatan BL mampu menanamkan elemen pendukung ini, BL tersebut bisa menjadi sarana yang baik untuk sekaligus mengasah sisi interpersonal para muridnya.

(39)

mereka berpeluang untuk menampilkan kemampuan memimpin timnya masing-masing sehingga tujuan tersebut tercapai.

Pada tahap ini pasti akan terjadi saing bertukar informasi antar mereka. Murid yang kebetulan menemukan satu sumber yang baik akan menginformasikannya kepada kelompoknya. Anggota lain mungkin juga menemukan sumber yang lain. Terjadilah pertukaran pendapat disini sampai mereka bersepakat untuk memastikan sumber mana yang akan mereka gunakan.

Hal lain yang kemungkinan besar dilakukan ketika melakukan kerja kelompok adalah saling mengoreksi. Pada beberapa kelompok dengan hubungan yang sudah erat dan tidak kaku, tindakan ini bisa sering dilakukan. Namun ada juga kelompok yang anggota-anggotanya merasa tidak nyaman kalau harus mengoreksi temannya atau merasa kehilangan muka manakala dikoreksi teman-temannya. Ini saat para guru harus benar-benar menanamkan sikap positif dalam bekerja kelompok. Kemauan untuk saling mengoreksi dengan semangat saling meningkatkan kualitas diri harus benar-benar ditumbuhkan, dilatih, dan diterapkan.

Jika interaksi antar murid pada tahap ini juga dijalankan lewat daring, besar kemungkinan terjadi tindakan saling mengoreksi yang lebih intens daripada kalau mereka berinteraksi tatap muka. Hou (2012) membuktikan melalui studinya bahwa para respondennya cenderung lebih sering melakukan kritik dan koreksi pada teman-temannya ketika berinteraksi daring daripada ketika mereka berbicara secara tatap muka.

(40)

Tahap bergulir kembali ke tahap pertama. Disini tugas guru adalah mengevaluasi secara cepat bagaimana pengelompokan yang telah terlihat di kalangan murid tidak membuat mereka terlalu intensif ke dalam kelompoknya Guru bisa membuat mereka lebih ekspansif, yaitu dengan cara menngubah pengelompokan dan mendorong para muridnya untuk bertukar kelompok. Guru juga sebaiknya cermat memperhatikan siapa murid yang lebih lambat, siapa yang cukup cepat, dan siapa yang menjadi bintang di kelasnya karena kepandaiannya. Pengelompokan ulang bisa dipaksakan oleh guru sehingga terjadi interaksi antar murid-murid yang sudah pandai dengan mereka yang masih lemah.

5.2.3 Dampak Tunda

Pada Tabel 5.7 dan 5.8 di atas disajikan hasil belajar para siswa yang lemah ketika mereka dibantu oleh teman-temannya yang lebih pintar dan hasil belajar dua minggu sesudahnya. Ternyata terjadi sedikit penurunan. Ini menunjukkan bahwa efek baik yang diperoleh dari teman-teman yang lebih pintar hanya bertahan sesaat setelah mereka bekerja sama. Dua minggu kemudian terbukti rerata skor mereka menurun, kendati secara perseorangan ada yang naik. Tentu saja hal ini juga sedikit banyak ditentukan oleh upaya masing-masing individu untuk mempertahankan tingkat penguasaannya. Jika mereka tetap belajar, pada saat tes yang kedua mereka tetap bisa memperoleh nilai tinggi.

(41)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dalam dunia pendidikan yang dinamis,pembelajaran konvensional yang terbatas pada bangku dan dinding kelas sedang digantikan oleh Blended Learning (BL), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggabungkan sesi tatap muka di kelas dengan belajar online. Upaya ini juga diarahkan untuk membentuk karakter pemelajar. Namun sejauh ini nampaknya jarang dilakukan kajian-kajian ilmiah tentang bagaimana pendekatan BL bisa terkait atau memberikan dampak pada pendidikan karakter. Studi ini mencoba menelisik keterkaitan antara BL dengan kemauan kolaboratif sebagai salah satu perwujudan karakter yang baik dalam diri murid. Secara lebih khusus, studi ini bertujuan untuk (1) membandingkan tingkat penguasaan materi kuliah oleh para subjek ketika menjalani sesi perkuliahan konvensional dan ketika menjalani sesi BL; (2) melihat apakah sesi BL mampu membuat para subjek berkolaborasi secara intensif dan ekspansif dengan rekan-rekan sekelasnya.

Kajian penelitian sebelumnya secara umum menegaskan kelebihan BL dibanding pembelajaran konvensional. Siswa maupun guru merespon BL secara positif. Sesi online bisa memperkaya sesi tatap muka, bersifat lebih luwes, dan membuka kesempatan untuk scaffolding di antara para murid. Namun, dalam hal kerja sama antar murid, setidaknya satu studi menelurkan hasil yang menunjukkan tidak ada dampak signifikan terhadap kerja sama murid.

Pola hubungan antara murid dalam sebuah kelas bisa dipetakan lewat teknik sosiometri. Teknik ini membantu peneliti memetakan jaringan kerja sama yang dilakukan oleh para responden ketika mengikuti pembelajaran.

(42)

Universitas Ma Chung. Pada tahap awal diambil data penguasaan mereka terhadap beberapa konsep linguistik dan data jejaring pertemanan mereka. Selanjutnya dilakukan sesi BL, yang disusul oleh pengambilan data pemahaman mereka terhadap materi dan dinamika pertemanan mereka dalam kerja kelompok. Setelah itu, kembali pembelajaran dilakukan secara konvensional di kelas, dan kembali data penguasaan materi dan jejaring pertemanan diambil. Pada akhir penelitian, kepada mereka ditanyakan lewat angket pendapat mereka tentang kerja kelompok dan BL yang telah mereka jalani.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam penguasaan materi antara sebelum penerapan BL dan sebulan sesudah penerapan BL. Namun, untuk para mahasiswa yang lemah, penguasaan materi mereka ternyata tidak meningkat bahkan setelah dibantu teman-temannya yang lebih kuat.

Tabulasi angket sosiometri menunjukkan bahwa ada 15% mahasiswa bertipe Bintang (dirujuk oleh sekurangnya 25% dari jumlah total murid), 45% bertipe Soliter (hanya dirujuk oleh maksimal 1 responden), dan sisanya 40% bertipe Umum.

Dalam hal dinamika jejaring pertemanan dalam kelompok, 55% pernah melakukan pergantian teman sekelompok. Namun setelah itu mereka cenderung menetap dengan anggota kelompoknya. Ini adalah indikasi bahwa mereka cenderung kompak (intensif) namun kurang membaur (kurang ekspansif) dalam pertemanannya. Pembauran terjadi atas dorongan dosen, terutama untuk mahasiswa yang kuat. Pendampingan oleh mahasiswa yang kuat untuk mereka yang lemah mampu meningkatkan skor tes pada tes perbaikan, walaupun secara agregat perbedaan ini tidak signifikan. Keika dites lagi pada akhir semester, penurunan ini makin tajam.

Analisis terhadap materi belajar yang mereka dapatkan ketika sesi online menunjukkan bahwa sebagian besar mengakses materi dengan ruang lingkup yang lebih luas daripada buku teks.

(43)

luasnya sumber, kurang cocok untuk mereka yang memerlukan penjelasan lisan dari dosen, kemungkinan sumber-sumber palsu, dan ketidakpastian apakah informasi dari Internet itu benar atau salah.

Para responden menyarankan agar sumber Internet dijadikan referensi saja, dan harus ada keseimbangan antara belajar mandiri lewat Internet dengan sesi tatap muka di kelas. Mereka juga menginginkan bahwa sesi tatap muka di kelas menyatukan persepsi tentang jawaban yang benar, dan ingin agar guru memberi arahan sumber mana yang layak dipelajari. Dalam hal jaringan pertemanan dan kerja kelompok, para responden merasa suka karena mereka bisa saling membantu, dan saling berbagi informasi dalam kelompok. Namun, mereka juga menyoroti kelemahannya, yakni miskomunikasi, pembebanan pada satu atau dua orang saja, anggota pasif yang membuat tidak efektif, dan rawan mengundang silang pendapat. Mereka menyarankan agar guru lah yang menentukan pengelompokan.

6.2 Saran

Berdasarkan temuan penelitian, dapat disarankan beberapa hal. Yang pertama, para dosen/guru sebaiknya memperhatikan jaringan pertemanan murid di dalam kelasnya, dan mendorong murid/mahasiswa untuk bekerja sama dengan teman-teman sekelas yang berbeda. Jika ada waktu untuk memetakan pola sosiometri dan prestasi mereka, yang kuat secara akademis bisa didorong untuk membantu teman-temannya yang lebih lemah.

Yang kedua, pendekatan BL akan efektif jika terdapat pembagian jenis kegiatan belajar. Sesi tatap muka di kelas sebaiknya digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep dasar dan pembentukan kelompok belajar, sementara sesi online digunakan untuk perluasan wawasan, interaksi asynchronous dengan guru dan teman sekelas, dan pendayagunaan sumber-sumber belajar yang sifatnya melatih kecakapan secara berulang-ulang. Para guru sebaiknya memberi panduan umum tentang situs-situs belajar yang bisa dimanfaatkan oleh para muridnya.

(44)

belajar dalam kelompok, dan membaurkan murid sehingga tipe Bintang bisa terlibat lebih banyak dalam membantu anggota-anggota kelas yang mengalami kesulitan dalam pemahaman.

DAFTAR PUSTAKA

Cobanoglu, A., Yordakul, B. (2014). The Effect of Blended Learning on Students' Achievement, Perceived Cognitive Flexibility Levels and Self-Regulated Learning Skills. Journal of Education and Practice, 5, (22)

Alseweed, M. A. (2013). Students’ achievement and attitudes toward using traditional learning, blended learning, and virtual classes learning in teaching and learning at the University level. Studies in Literature and Language 6, 1, pp. 65 – 73.

Arancon, P. R., Barcena, E., dan Arus, J. (2012). A novel approach for the development of communicative competence in English in a blended learning Context. Journal of Language Teaching and Research, 3, 2, pp. 256-272,

Burke, A. (2011). Group work: how to use groups effectively. The Journal of Effective Teaching, 11, 2, hal 87-95.

Carroll, J. & Ryan, J. (2007). Teaching international students: improving learning for all. Routledge.

(45)

Dziuban, C. D, Hartman, J. L. & Moskal, P. D. (2004). Blended learning. EDUCAUSE Center for Applied Research, 7. Diunduh May 20, 2014 from http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ERB0407.pdf

Ellis, T. J., dan Levy, Y. (2010). A guide for novice researchers: design and development research. Proceeding of Informing Science & IT Education Conference 2010. Diunduh 5 Februari 2013 dari

http://proceedings.informingscience.org/InSITE2010/InSITE10p107-118Ellis725.pdf

Finn, A., and Bucceri, M. (2004). A case study approach to blended learning. Los Angeles: Centra Software.

Garrison, D. R., & Vaughan, N. D. (2008). Blended learning in higher education: Framework, principles, guidelines. John Wiley & Sons.

Glazer, F. S. (2012). Blended learning: Across the disciplines, across the academy. Stylus Publishing.

Hou, H. (2012). Exploring the role of an online learning community in supporting preservice English language teachers' school placement in a Chinese Normal University. University of Manchester.

Kazdin, A. (1982) Single-case research designs. Oxford University Press.

Kashefi, H., Ismail, Z., & Yusof, M. Y. (2012). The impact of blended learning on communication skills and teamwork of engineering students in multivariable calculus. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 56, hal 341 – 347.

(46)

Khan (1997). Web based instruction: What is it and why is it? In Web based instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publications.

Korkmaz, O., & Karakus, U. (2009). The impact of Blended Learning model on student attitudes toward Geography course and their critical thinking dispositions and levels. The Turkish Online Journal of Educational Technology 8, (4), 51 – 63.

Miles, M. B. & Huberman, A . M. (1994). Qualitative data analysis. SAGE Publications.

Poon, J. (2013). Blended learning: An institutional approach for enahncing students’ learning experiences. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching, 9, 2.

Rovai, A, P., & Jordan, H. M. (2004). Blended learning and sense of community: a comparative analysis with traditional and fully online graduate courses.The International Review of Research in Open and Distributed Learning.

Singh, H., & Reed, C. (2001). A white paper: Achieving success with blended learning. Los Angeles: Centra Software.

Siegler, R. (2006). How Children Develop: Exploring Child Develop Student Media Tool Kit & Scientific American Reader to Accompany How Children Develop. New York: Worth Publishers.

Smith, N. (2013). Face-to-face vs. blended Learning: Effects on secondary students‘

perceptions and performance. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 89, 79-83. Staker, H. (2011). The rise of K-12 blended learning. Innosight Institute Inc.

(47)

Titkora, V., Ivaniushina, V., & Alexandras, D. (2013). Sociometric popularity in a school context. National Research University Higher School of Economics. Diunduh 12 Mei 2016 dari www.hse.ru/data/2013/03/02/1293260250/10EDU2013.pdf

Valiathan, P. (2002). Blended learning models. Learning Circuits. Diunduh December 12, 2014 from http://www.learningcircuits.org/2002/aug2002/valiathan.html

Wissel, P. J. (2008). Learner experiences in collaborative porjects: examination of group dynamic elements. Diseertation. Graduate School of Wayne State University, Michigan.

(48)

Lampiran 1. Catatan Harian (Log Book)

No Tgl Uraian Kegiatan

1. 4 Maret 2016 Memetakan kecenderungan berkelompok dengan cara membagikan angket open-ended.

Dokumen pendukung: angket yang telah diisi dengan nama teman dekat dan teman yang paling enak diajak bekerja kelompok.

2. 15 April 2016 Memberi tugas sesi belajar online yaitu menemukan kajian tentang Word Formation.

Dokumen pendukung: sampel ringkasan tertulis tentang Word Formation.

3. 28 Mei 2016 Menggali pendapat responden tentang cara belajar dari Internet dan kerja kelompok melalui angket open-ended.

(49)

Gambar

Gambar 2.1 Peta Jalan Studi Mengenai Blended-learning
Tabel 5.1 Perbedaan antara Skor Tes Awal dengan Skor Tes Pasca BL
Tabel 5.2 Perbedaan antara Skor Tes Awal dengan Skor Tes Perbaikan setelah Interaksi
Tabel berikut ini meringkas data tersebut:
+6

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukltan bahwa kelompok umur yang paling banyak diserang DBD adalah kelompok <I5 tahun (Depkes RI, 1992), yang

Prinsip kerja cara pengupasan sentrifugal (Tabel 11) adalah bahwa mete gelondong mendapat tekanan berupa tenaga hempasan yang bersal dari gaya sentrifugal yang diberikan

melaksanakan sistem, kedua kualifikasi karyawan yang akan mengoperasikan sistem, ketiga penerapan sistem informasi akuntansi yang mempergunakan komputer

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan hidup pertama dan utama dalam kehidupan setiap manusia. Lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan awal rasa percaya diri

Hasil penelitian menyatakan bahwa ikan jelawat pada umur panen 6-10 bulan merupakan ikan dengan kadar asam amino dan protein yang optimal.. Kata kunci: Ikan Jelawat,

Angkatan 2015 dan 2016 masih belajar dengan metode dan flow yang sama dengan angkatan 2014, maka untuk antisipasi inkompetensi produksi bahasa, ada baiknya tim dosen

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menulis pantun melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) pada siswa