Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Berbasis Peradilan Adat Laut dan Komparasinya di Indonesia1
oleh
Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum.2 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1 Darussalam – Banda Aceh
Email. ayoe_armans@unsyiah.ac.id Abstrak
Model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut, telah lama ada pada masyarakat Aceh yang dipimpin oleh lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Pemilihan penyelesaian sengketa oleh Panglima Laôt dilakukan para pihak, turun-temurun, bersumberkan hukum adat laut yang berisi rangkaian filsafat hidup berupa, ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentuk pola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut di Indonesia, terdapat juga di Maluku Tengah, disebut Hukum Sasi Laut, awig-awig di Nusa Tenggara Barat merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Penyelesaian berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih ingin dikaji dalam tulisan ini berkaitan dengan pembaharuan penormaan prinsip penyelesaian sengketa berbasis pengakuan peran dalam pluralisme hukum.
Tujuan penulisan ingin mengetahui dan menjelaskan kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia. Tipologi penelitian bersifat yuridis normatif menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier, melalui pendekatan penelitian sejarah, konseptual, perbandingan hukum. Selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.
Kata Kunci : Model Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peradilan Adat Laut di Aceh, Perbandingannya di Indonesia
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara peserta GATT-WTO dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tidak dipungkiri berkonsekuensi antara lain terhadap praktik bisnis dan model penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak. Di Provinsi Aceh, model penyelesaian sengketa bisnis berbasis peradilan adat laut
1 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Hukum Perdata IV“Mencari Model Pembaharuan Perikatan: Penormaan Prinsip dan Langkah Legislasi”, diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK), Universitas Sriwijaya, Palembang, 9-11 Oktober 2017.
telah lama ada dan dipraktikkan sebagai suatu alternatif lembaga Penyelesaian Sengketa di luar peradilan negara. Peradilan Adat laut bersumberkan hukum adat laut sebagai suatu norma. Norma tersebut merupakan rangkaian filsafat hidup berupa ukuran nilai baik atau buruk, diterima sukarela atau tanpa sengaja membentukpola penyelesaian sengketa, disusun dan dibangun dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati, diyakini kebenarannya sehingga dijadikan standar bersenyawa melekat tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakatnya. Komunitas persekutuan masyarakat hukum adat laut dipimpin oleh Panglima Laôt yang bertahan sampai dengan sekarang bahkan diatur melalui peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, model penyelesaian berbasis peradilan adat laut sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan Negara ditemukan juga di daerah Maluku Tengah, Haruku-Lease, Saparua. Model penyelesaian sengketa bernama “Hukum Sasi Laut” merupakan pranata sistem eksploitasi sumber daya wilayah laut. Lembaga yang sama ditemukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dikenal dengan awig-awig. Model-model penyelesaian alternatif sengketa (APS) berbasis peradilan adat laut menciptakan situasi sosial ekonomi berkeadilan, tidak menggunakan kekerasan dengan nilai-nilai pengakuan peran masyarakat pada proses pengambilan keputusan, demokrasi dan pluralisme. Diskursus model peradilan adat laut apakah mampu bertahan, adaptif dengan perkembangan global atau tergerus oleh proses individualisasi yang mempengaruhi pola pikir masyarakatnya sehingga berpengaruh pada model penyelesaian alternatif yang dipilih.
Berdasarkan latar belakang pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah kekuatan adaptif, kedudukan peradilan adat laut sebagai model alternatif penyelesaian sengketa bisnis berbasis pengakuan peran masyarakat dalam sistem pluralisme hukum di Aceh dan komparasinya di Indonesia?
II. Studi Literatur A. Peradilan Adat sebagai lembaga Penyelesaian Sengketa
Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat bukanlah hal baru di Indonesia. Upaya penyelesaian sengketa adat telah ada di pulau-pulau Nusantara sejak abad ke-sembilan. Prasasti Bulai dari Rakai Garung dari Kerajaan Sriwijaya, tahun 860 M telah menyebutkan tentang penyelesaian sengketa adat untuk perkara perdata.3 Hilman Hadikusuma memastikan, sebelum masuk dan dikenalnya agama kristen dan hukum gereja, praktik lembaga penyelesaian secara adat ini telah menjadi satu-satunya proses untuk menyelesaikan sengketa.4
3 Emil Kleden, “Peradilan Adat: Cermin Upaya Membangun Otonomi”, 2008, <http://www.yayasanpusaka.blogspot.com/2008/08/17/peradilan-adat-cermin-upaya-membangun.html./> [diakses 05/05/2010].