• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implik (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implik (2)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Al Syahrin, M. Najeri. 2015. Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implikasinya Terhadap Program Pengembangan Senjata Nuklir. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Alasan pemilihan judul

Tesis ini akan menjelaskan tentang kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur dan implikasinya terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur di uraikan dengan menjelaskan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Amerika Serikat, Jepang dan Amerika Serikat, Cina dengan Jepang serta pola aksi reaksi atas berbagai kebijakan dari negara-negara tersebut. Setelah menguraikan berbagai kompleksitas keamanan tersebut, penulis akan memberikan analisis tentang implikasi ia terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara.

Kondisi internasional yang tidak stabil pasca Perang Dingin memberikan pengaruh terhadap kawasan Asia Timur. Negara-negara di Asia Timur mulai mengarahkan perhatian kepada perkembangan keadaan sekitar yang dianggap dapat menjadi sumber ancaman dan mencari cara untuk mengatasinya. Jepang memilih untuk tetap menjadi mitra keamanan Amerika Serikat, konfrontasi antara Korea Utara dan Korea Selatan terus terjadi, dan peningkatan kekuatan militer Cina dianggap semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur.1

Sejarah Perang Dingin masih membekas dan memberikan suatu kondisi di mana rivalitas antarnegara dalam kawasan tertentu masih berlangsung. Di Asia Timur, dinamika keamanan kawasan umumnya berkisar pada tiga isu utama: masalah Jepang dengan negara-negara tetangganya, ketegangan hubungan antara Cina dan Jepang, dan perang yang tidak kunjung selesai antara dua negara di Semenanjung Korea. Potensi konflik kawasan dirasakan oleh negara-negara Asia Timur sebagai ancaman yang besar.Oleh karena itu, negara-negara di Asia Timur berusaha untuk terus memajukan pertahanan

1A. Agung & Y. Mochammad,Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Remaja Rosdakarya, Bandung,

(2)

nasional masing-masing dengan meningkatkan kekuatan militer, khususnya dalam senjata nuklir.2

Senjata nuklir ditujukan sebagai strategi untuk mengimbangi lawan-lawan yang dinilai memiliki kemampuan militer yang lebih baik. Strategi nuklir tidak hanya berimbas pada perimbangan kekuatan; ia juga dapat diimplementasikan sebagai kemampuan penangkalan yang memutus logika klasik mengenai perang.3 Ronald Smith menulis

bahwa dampak utama dari usaha suatu negara meningkatkan anggaran militernya adalah munculnya konflik bersenjata dan aliansi-aliansi yang terbangun antarnegara.4

Peningkatan anggaran militer Cina,misalnya, dan polaritas kekuatan antara Jepang dan Amerika Serikat dapat dipengaruhi oleh faktor keamanan baik di ruang lingkup global maupun regional. Pengaruh dari kondisi eksternal, dalam hal ini stabilitas keamanan wilayah, sangat dipengaruhi oleh negara-negara yang berada di dalam wilayah tersebut. Masalah stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur berada dalam kondisi potensial untuk konflik yang sangat mungkin terjadi.

Beberapa aspek di atas menjadi sangat menarik untuk diteliti. Penelitian dengan tema senjata nuklir Korea Utara sangat beragam dan bervariasi, khususnya dalam analisis tentang dampak pengembangan senjata nuklir tersebut terhadap kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Pada umumnya, penelitian yang sudah ada berfokus pada fakta bahwa pengembangan senjata nuklir Korea Utara memberikan implikasi terhadap kompleksitas keamanan Asia Timur. Artinya, senjata nuklir Korea Utara yang memberikan pengaruh signifikan terhadap eskalasi konflik senjata di kawasan Asia Timur. Namun, penelitian ini mencoba menguraikan analisis yang berbeda, yaitu bahwa dalam kondisi tertentu kompleksitas keamanan Asia Timur-lah yang menyebabkan perkembangan senjata nuklir Korea Utara terus meningkat. Ini didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan kekuatan militer sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk kompleksitas keamanan kawasan.

Selain itu, konstelasi politik global dewasa ini juga menciptakan suatu kondisi di mana keamanan kawasan sangat mempengaruhi perilaku politik luar negeri

negara-2B. Buzan & O. Waever,Regions and Powers: The Structure of International Security, Cambridge

University Press, New York, 2003, p. 152.

3R. Powell,Nuclear Deterrence Theory: the Search for Credibility,Cambridge University Press, New

York, 1990, p. 20.

(3)

negara dalam kawasan tersebut, khususnya dalam aspek kebijakan militer. Ini menjadi semacam pola dan skema interaksi antarnegara yang berada dalam suatu kawasan tertentu, yang sangat menarik untuk diidentifikasi dan diteliti sebagai sebuah kajian dalam studi hubungan internasional.

1.2 Latar belakang masalah

Sistem internasional pasca Perang Dingin mengalami transformasi dari bipolaritas (Amerika Serikat dan Uni Sovyet sebagai kutub-kutubnya) menjadi multipolaritas (kekuatan yang sama di antara negara-negara dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai payung universal) atau unipolaritas (Amerika Serikat sebagai adidaya yang masih menentukan berbagai keputusan dalam tataran internasional).5Berakhirnya Perang Dingin

memunculkan kondisi ketidakstabilan sistem internasionalyang diwarnai oleh kejahatan internasional seperti terorisme, penyeludupan manusia, senjata, kejahatan lingkungan, kejahatan hak asasi manusia, proliferasi senjata pemusnah massal dan sebagainya, dan berkembangnya isu keamanan internasional.6

Asia Timur juga terpengaruh oleh ketidakstabilan sistem internasional. Keadaan kawasan Asia Timur sampai saat ini masih tidak kondusif, konfrontasi di Semenanjung Korea, dan Jepang yang memilih untuk tetap menjadi mitra keamanan Amerika Serikat semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Cina juga lebih bebas melakukan kegiatan politik keamanannya. Semua hal ini mendorong negara-negara di kawasan Asia Timur untuk lebih memikirkan urusan keamanan kawasan.7

Potensi konflik kawasan, khususnya menyangkut senjata nuklir, dinilai oleh negara-negara Asia Timur sebagai ancaman yang besar. Kepemilikan senjata nuklir menjadi permasalahan sendiri bagi keamanan dunia ketika senjata nuklir ditujukan sebagai strategi untuk mengimbangi lawan-lawan yang dinilai memiliki kemampuan militer yang lebih baik. Secara komprehensif, revolusi nuklir ini memutus pemahaman bahwa usaha untuk mencapai kepentingan tidaklah harus dengan penggunaan atau ancaman militer sebagai sebuah usaha, namun dapat dititikberatkan pada bentuk defense nuklir.8 Faktor yang

5S. Nuraeni, dkk.,Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010,

p. 22.

(4)

paling fundamental dalam konteks ini adalah bahwa negara merupakan organisasi politis yang berdasarkan wilayah tertentu. Lokasi negara mempengaruhi perilakunya terhadap negara lain dan batas-batasnya menetapkan wilayah yang biasanya diakui sebagai bagian yang ia kontrol. Hubungan-hubungan hukum di antara negara-negara merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi cara negara berurusan satu sama lain.9 Isu-isu yang

mengancam kelangsungan hidup suatu unit kolektif tertentu akan dipandang sebagi ancaman yang eksistensial. Untuk itu, diperlukan tindakan untuk memprioritaskan dan menggunakan sarana-sarana yang ada untuk menangani masalah isu tersebut sesegera mungkin, termasuk meningkatkan kekuatan militer.10

Konflik bersenjata mempunyai efek langsung dan nyata dalam peningkatan anggaran serta pengeluaran belanja militer suatu negara. Konflik bersenjata tidak harus selalu diartikan sebagai pertempuran antarnegara secara terbuka, tetapi juga dapat dimaknai sebagai perlombaan senjata, konflik wilayah, ancaman kekuatan militer suatu negara yang kemudian dapat disebut sebagai non-combat conflict.11Peningkatan anggaran

militer suatu negara, termasuk Cina, dapat dipengaruhi oleh faktor keamanan baik di ruang lingkup global maupun regional. Pada tahun 2015, anggaran belanja pertahanan Cina sudah mencapai angka sekitar $141 milyar, meningkat 10,1 % dari tahun 2014 yang berjumlah sekitar $130 milyar. Peningkatan ini dilakukan Cina untuk merespon ketegangan di kawasan Asia Timur dan konflik Laut Cina Selatan.12 Kebijakan

pemerintah Cina untuk menaikkan anggaran pertahanan telah menarik perhatian dunia internasional dan menimbulkan kecemasan sejumlah negara. Negara-negara di kawasan Asia Timur sangat serius dalam melihat perkembangan militer Cina. Mereka terus menekan program pengembangan militer Cina dengan kritik bahwa jumlah anggaran

9B. Russett,International Region and the International System: A Study in Political Ecology, 1967,

sebagaimana dikutip dari W.D. Coplin,Introduction to International Politics: A Theorical Overview,Syracuse University Press, New York,1992, p. 226.

10B. Buzan,People, States and Fear: An Agenda For International Security Studies in The Post Cold War Era, Harvester Wheatsheaf, Hempstead, 1991, pp. 2-3.

11Smith, p. 346.

12J. Ruwitch,‘China to raise defense budget 10.1 percent this year in high-tech drive,’Reuters(daring), 5

(5)

militer Cina yang besar dapat memicu instabilitas kawasan serta menyulut kemarahan negara-negara di Asia Timur yang dapat mengakibatkan terjadinya perang.13

Menurut konsepbalance of power, kemunculan kekuatan yang dominan potensial di kawasan cenderung akan membuat tatanan sistem menjadi tidak stabil. Hal ini kemudian menyebabkan tindakan penyeimbangan kekuatan oleh negara-negara lain dalam sistem. Terdapat dua kemungkinan utama yang muncul atas kondisi ini, yaitu negara-negara di kawasan akan bergabung dengan kekuatan dominan (bandwagoning) atau membentuk aliansi baru untuk mengimbangi kekuatan yang ada (balancing).14 Dalam kasus kawasan

Asia Timur, terlihat potensi Cina sebagai kekuatan global baru di kawasan. Cina diprediksi akan menunjukkan kebijakan-kebijakan luar negeri asertif dengan dukungan kapabilitas kekuatan militer dan ekonomi. Ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah negara di Asia Timur yang segera merasa perlu menjaga stabilitas keamanan domestic mereka.

Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur, khususnya antara Cina dengan Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan, menjadi sangat menarik. Keempat negara ini memegang peranan kunci dalam stabilitas kawasan dilihat dari kapabilitas militer yang mereka miliki dan daya tawar politik masing-masing. Kondisi ini menyebabkan terjadinya security dilemma, yaitu kondisi di mana keinginan suatu negara untuk memperkuat militer dianggap sebagai ancaman sehingga menimbulkan respon negara lain juga dengan memperkuat militer yang dimiliki. Akhirnya terjadi perlombaan senjata yang berasal dari saling curiga antarnegara di kawasan.15

Dalam kasus Korea Utara, peningkatan senjata nuklir negara ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang keamanan kawasan Asia Timur dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Perilaku satu negara dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu sejarah, geopolitik, ekonomi, dan politik domestik. Setiap permasalahan, khususnya dalam bidang keamanan, merupakan hasil dari faktor-faktor yang saling berhubungan ini, tetapi faktor geopolitik dan politik domestik umumnya lebih penting daripada faktor-faktor lain. Keputusan Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk menduduki Semenanjung Korea pada akhir Perang

13A.J. Purwanto, ‘Peningkatan Anggaran Militer Cina dan Implikasinya terhadap Keamanan di Asia

Timur,’SPEKTRUM – Jurnal Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, vol. 7, no. 1, Juni 2010, p. 3.

14S.M. Walt, ‘Alliance Formations and The Balance of Power,’International Security,vol. 9, no. 4, Spring

1985, p. 4.

(6)

Dunia II, misalnya, menghasilkan konfrontasi antara kedua negara besar tersebut. Setelah Amerika Serikat memerangi Cina dalam Perang Korea, hubungan bipolar antara Cina-Soviet dan aliansi Amerika Serikat-Jepang merupakan hal yang menentukan secara mendasar masalah keamanan di Asia Timur.16

Ketergantungan Korea Utara terhadap Uni Soviet dan Cina juga termasuk hal-hal yang menentukan perkembangan senjata nuklir negara tersebut. Korea Utara menyakini senjata nuklir akan dapat menangkal serangan Amerika Serikat dan membuat ia lebih kuat dari Korea Selatan. Senjata nuklir juga dianggap memberikan jaminan keamanan bagi Korea Utara yang selama ini tidak ditawarkan oleh negara manapun atau komunitas internasional. Singkatnya, dengan melihat kondisi keamanan yang kompleks di kawasan Asia Timur, Korea Utara berharap bahwa pengembangan senjata nuklir menjadi sumber keamanan yang efektif.17

1.3 Pertanyaan penelitian

Bagaimana kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur berimplikasi terhadap peningkatan kekuatan senjata nuklir Korea Utara ?

1.4 Tinjauan pustaka

Secara umum bisa dikatakan bahwa penelitian dengan topik senjata nuklir Korea Utara sangat banyak dan bervariasi, khususnya analisis dampak pengembangan senjata nuklir Korea Utara terhadap kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Di antara penelitian itu adalah Crisis on the Korean Peninsula, How to Deal With A Nuclear North Korea yang ditulis oleh Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki. Dalam buku ini ditulis bahwa Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat menghadapi situasi dilematis dalam upaya mengambil kebijakan untuk menyelesaikan krisis yang terjadi di Asia Timur, khususnya konflik Semenanjung Korea. Penjelasan dalam buku ini secara komprehensif mengurai kompleksitas yang terjadi di kawasan Asia Timur, di mana sikap rezim Korea

16B.J. Ahn, ‘Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur,’Masalah Keamanan Asia, CSIS, Jakarta,

1990, p. 59.

17J. Kuhn,Global Security Issues in North Korea: Multilateralism in Northeast Asia, Task Forces,

(7)

Utara yang terus meningkatkan kemampuan senjata nuklir dinilai sangat berbahaya bagi keamanan kawasan Asia Timur.18

O’Hanlon dan Mochizuki menganjurkan agar negara-negara dan organisasi internasional menggunakan pendekatan non-militer dalam menghadapi rezim Korea Utara. Kebijakan memberikan hukuman dinilai sangat berisiko tinggi dan tidak tepat, berdasarkan perhitungan bahwa kebijakan militer yang keras akan memicu Korea Utara bertindak secara tidak rasional dan dikhawatirkan menggunakan kemampuan senjata nuklirnya. Pilihan yang mungkin dapat ditempuh adalah menerapkan kebijakan yang lebih bersahabat dengan cara membangun dialog antara Amerika Serikat, Cina, Jepang, Korea Selatan dan Korea Utara. Kompleksitas inilah yang kemudian menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut dalam konteks situasi keamanan di kawasan Asia Timur.19

Dalam artikel yang berjudulNorth Korea’s Nuclear Strategy and Interface between International and Domestic Politics,Samuel Kim berpendapat bahwa pasca Perang Dingin, nuklir menjadi sebuah kekuatan dan strategi dalam kebijakan nasional.Ini terlihat dari kemampuan Amerika Serikat sebagai sebuah kekuatan adidaya yang memiliki anggaran militer sangat tinggi dan menjadikan nuklir sebagai alat untuk menekan negara lain, termasuk Korea Utara. Selain itu, ketakutan Korea Utara akan kekuatan nuklir dan kemampuan militer Amerika Serikat juga tampak ketika Amerika Serikat menjalin aliansi militer dengan Korea Selatan dan Jepang.20

Dalam artikel ini, Kim menggunakan pendekatan sejarah dan geopolitik untuk mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana Korea Utara berupaya mengembangkan senjata nuklir, yang secara tidak langsung akhirnya mempengaruhi interdepedensi dan interaksi negara itu dengan Amerika Serikat. Kim meyakini bahwa sekalipun pengimbangan senjata nuklir dapat dianggap sebagai kebijakan politik domestik, peningkatan senjata nuklir Korea Utara memberikan implikasi terhadap kondisi internasional. Menurut Kim, pola keamanan dalam senjata nuklir berada pada dua level yang berbeda, yaitu level domestik dan level internasional. Secara singkat, Kim menjelaskan bahwa kondisi konflik

18M. O’Hanlon & M. Mochizuki,Crisis on the Korean Peninsula, How to Deal With A Nuclear North Korea, Mc-Graw Hill, New York, 2003, pp. 2-4.

19O’Hanlon & Mochizuki, pp. 2-4.

(8)

antarnegara yang berada dalam suatu kawasan dan kepentingan tertentu, khususnya yang berada pada level krisis, tidak terlepas dari kondisi domestik negara-negara tersebut.

Hubungan antara Korea Utara dan Amerika Serikat menjadi sangat relevan untuk dijadikan contoh analisis bahwa konflik tidak terlepas dari keyakinan bahwa kebijakan politik domestik suatu negara, khususnya dalam antisipasi pergerakan musuh, akan menimbulkan berbagai persepsi ancaman, seperti yang terjadi di kawasan Asia Timur. Penelitian Kim menjelaskan peranan kebijakan politik domestik yang berpengaruh pada kebijakan keamanan negara dalam level internasional. Meski demikian, bagaimana formulasi kebijakan sistem pemerintahan domestik bekerja dan bagaimana proses internal pemerintahan domestik kurang dianalisis dalam artikel ini.

Pendapat Kim hanya bersifat satu arah dan mengabaikan aspek implikasi balik dari sebuah kebijakan domestik negara, khususnya yang terjadi pada kasus pengembangan nuklir Korea Utara. Inilah yang menurut penulis merupakan sebuah ketimpangan analisis ketika dihadapkan dengan fakta yang terjadi di kawasan Asia Timur. Menurut penulis, sistem pemerintahan Korea Utara berperan penting dalam segala kebijakan yang berkaitan dengan senjata nuklir. Selain itu, kompleksitas yang terjadi sebenarnya lebih rumit daripada hanya sekedar pengaruh kebijakan pada level domestik negara terhadap situasi di level internasional. Penulis beranggapan bahwa kebijakan dalam level domestik tidak hanya mempengaruhi level internasional saja, tetapi juga memberikan implikasi balik terhadap kebijakan domestik negara tersebut.

1.5 Landasan teoritik

Penulis akan menggunakan teori kompleksitas keamanan kawasan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Keamanan kawasan adalah suatu kondisi yang terbentuk dari pola hubungan amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan) yang merupakan efek perseteruan di masa lalu (faktor sejarah), geopolitik, dan interaksi antarnegara dalam suatu ruang lingkup atau area yang terbatas. Barry Buzan dan Ole Waever mendefinisikan kompleksitas keamanan kawasan sebagai sebuah kelompok negara dalam suatu kawasan tertentu, di mana fokus utama dari aspek keamanan berhubungan erat dan terikat antara satu negara dengan yang lainnya.21Buzan dan Waever menulis:

(9)

The central idea in Regional Security Complexs is that, since most threats travel more easily over short distances than long ones, security interdependence is normally into regionally based clusters: security complexes … Process of securitization and thus the degree of security interdependence are more intense between actors inside such complexes than they are between actors inside the complex and outside of it.22

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa dalam situasi tertentu ancaman akan selalu ada, baik dalam skala jarak dekat maupun jarak jauh. Interdependesi keamanan dalam suatu kawasan akan selalu terjadi sehingga keamanan menjadi semakin kompleks. Ini menyebabkan meningkatnya intensitas hubungan keamanan negara-negara yang terlibat, baik secara langsung di dalam maupun di luar kompleksitas keamanan yang ada.

Dalam mendefinisikan region dalam pengertian teori kompleksitas keamanan kawasan, Buzan dan Waever lebih melihat bahwa definisi region didasarkan pada jangkauan pengaruhnya terhadap sebuah isu keamanan.23 Secara tidak langsung, region

dalam konsep Buzan dan Waever bukanlah region yang berarti teritori saja, tetapi juga merupakan konsep kawasan atau sekumpulan unit yang memiliki proses sekuritisasi, desekuritisasi dan interaksi antara keduanya yang saling terhubung. Konsep ini pada akhirnya menyakini bahwa masalah keamanan negara-negara dalam kawasan tertentu tidak dapat dianalisis secara terpisah.24

Secara singkat, teori kompleksitas keamanan kawasan berfokus pada unsur-unsur penting dalam pembentukan kompleksitas keamanan dalam kawasan tertentu. Buzan dan Waever berpendapat bahwa saling ketergantungan dan hubungan keamanan antarnegara dalam kawasan tertentu terjadi karena beberapa faktor seperti geografis, etnisitas, dan budaya masyarakat di suatu wilayah yang kemudian akan menimbulkan kompleksitas keamanan kawasan. Secara khusus, ini akan mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sistem politik yang akhirnya akan menimbulkan saling ketergantungan antarnegara dan akan bermuara pada munculnya sistem pertahanan keamanan kawasan.25

Terbentuknya pola ketergantungan antarnegara dalam kompleks keamanan kawasan tidak secara langsung menghilangkan hubungan yang selalu diwarnai persaingan dan

22Buzan &Waever, pp. 3-4. 23Buzan, p. 90.

24D.A. Lake & P.M. Morgan,Regional Organs: Building Security in a New World,Pennsylvannia State

University Press, Pennsylvannia, 1997, p. 20.

25B. Buzan & K.M. Lemaitre,The European Security Order Recast: Scenarios for the Post Cold War Era,

(10)

kecurigaan, perimbangan kekuatan, aliansi kekuatan, dan masuknya kekuatan eksternal.26

Terdapat empat hal yang menjadi pembentuk struktur dasar dari kompleksitas keamanan kawasan, yaitu kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan, dan konstruksi sosial berupaamitydanenmity(lihat Gambar 1).

Gambar 1. Kompleksitas keamanan kawasan27

ko

Gambar di atas menjelaskan tentang aspek-aspek yang terbentuk dalam kompleksitas keamanan kawasan yang saling berhubungan dan memberikan aksi reaksi dan timbal balik. Kedekatan geografis merupakan tempat di mana hubungan keamanan di antara negara terbentuk dan saling memiliki keterikatan. Ancaman akan terasa semakin besar karena faktor kedekatan jarak. Di kawasan Asia Timur, letak geografis Cina, Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang sangat dekat. Posisi perbatasan ini menjadi tempat yang sangat potensial untuk terjadinya konflik bersenjata. Anarkisme kawasan mengakibatkan minimnya dialog dan proses komunikasi dalam bentuk kerja sama atau perjanjian bilateral maupun multilateral sehingga mengakibatkan tingginya kecurigaan. Anarkisme kawasan juga ditunjukkan dengan tidak adanya otoritas yang berwenang dalam proses penyelesaian secara damai apabila terjadi konflik di antara negara-negara kawasan Asia Timur.

Polaritas kekuatan menunjukkan distribusi kekuatan yang tidak merata di antara negara-negara di kawasan. Polaritas di Asia Timur terlihat jelas ketika dukungan Amerika

(11)

Serikat terhadap Korea Selatan dan Jepang menjadikan Korea Utara dan Cina berupaya mengandalkan dan meningkatkan kekuatan untuk bisa mengimbangi mereka. Polaritas yang tidak seimbang ini akan berimplikasi pada pembentukan poros negara militer lemah dan negara militer kuat, di mana negara militer lemah pada akhirnya cenderung sangat rentan akan ancaman dari negara militer kuat.

Konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan mendasari terbentuknya keamanan kawasan karena akan berujung kepada formulasi kedekatan negara dalam suatu kawasan. Kondisi keamanan di kawasan menjadi kompleks karena faktor kedekatan geografis dan keamanan nasional suatu negara yang dihasilkan atas dasar persepsi terhadap keamanan nasional negara lain.28 Pola persahabatan terlihat

antara Korea Utara dengan Cina, di mana kerja sama ekonomi dan infrastruktur di berbagai bidang mulai dilakukan secara bertahap sejak tahun 2000. Cina juga secara rutin memberikan bantuan ekonomi, pangan dan kemanusiaan kepada Korea Utara. Cina adalah investor asing terbesar di Korea Utara. Dalam bidang transportasi sebagai sarana infrastuktur industri, misalnya, Cina telah mengeluarkan biaya sekitar $23,7 juta.29

Pola persahabatan dan permusuhan ini memicu keterlibatan pihak eksternal, yakni Amerika Serikat, dalam aliansi pertahanan dengan Jepang dan Korea Selatan di kawasan Asia Timur. Hubungan antarnegara dalam kompleksitas keamanan selalu diwarnai oleh persaingan dalam perimbangan kekuatan, aliansi keamanan, serta masuknya kekuatan eksternal. Keterlibatan pihak eksternal bisa mengambil bentuk masuknya negara luar ke dalam wilayah regional ketika terjadi konflik ataupun dibangunnya suatu kerja sama atau aliansi antara negara luar dengan satu atau beberapa negara dalam kawasan.30

Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang terdiri dari empat aspek utama berupa kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan dan konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan menyebabkan terjadinya security dilemma ketika satu atau sekelompok negara meningkatkan kapabilitas dan kemampuan militer demi tujuan keamanannya dengan mengurangi tingkat keamanan negara lainnya di sekitarnya.31Keadaan dilematis tersebut ditandai dengan adanya aliansi

28Buzan & Waever, p. 190.

29C. Nam,Beijing and the 1961 PRC-DPRK Security treaty,Naval Postgraduate School, California, 2010,

p. 64.

30Buzan & Waever, p. 47.

(12)

militer dan peningkatan anggaran militer negara yang pada akhirnya menciptakan kompleksitas keamanan. Ketika suatu negara mengalami perasaan takut dan terancam, secara tidak langsung negara tersebut akan berupaya guna melindungi kepentingan nasional akibat adanya ancaman dari aliansi militer dan peningkatan kekuatan militer negara lain. Bentuk aksi reaksi yang bisa dilakukan ketika terjadi security dilemmaadalah melakukan kerja sama atau aliansi keamanan apabila suatu negara tidak mampu meningkatkan kapabilitas militernya sendiri.32 Korea Utara menganggap keamanan

kawasan yang kompleks akan membahayakan keamanannya sehingga ia berupaya mengembangkan senjata nuklir untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan serta mengimbangi keunggulan militer negara-negara lain di kawasan Asia Timur.

Munculnya rasa saling memusuhi juga dipengaruhi oleh faktor sejarah yang kental. Faktor ini bisa membawa sentimen negatif ke arah permusuhan. Kompleksitas keamanan merupakan sebuah fenomena empirik yang didasarkan kepada faktor sejarah, kedekatan kondisi geografis dan perwujudan dari hasil interaksi antarnegara. Unsur-unsur ini memiliki posisi yang sejajar dan saling melengkapi; mereka dapat diposisikan sebagai unit penjelas bagi hubungan yang terjadi di suatu kawasan tertentu.

Selain itu, dalam teori kompleksitas keamanan kawasan terdapat dua variabel yang saling mempengaruhi, yaitu variabel internal dan variabel eksternal. Variabel internal diukur dengan menggunakan indikator letak geografis, interaksi antarnegara, serta kesamaan sistem budaya, ekonomi, sosial dan politik negara-negara dalam kawasan.33

Dengan indikator-indikator ini kemudian akan terlihat implikasi selanjutnya, yaitu apakah pengembangan sejata nuklir Korea Utara akan mengarah pada terbentuknya kerja sama pengaturan keamanan, khususnya dalam hal persenjataan militer. Sementara itu, variabel eksternal di sini berupa lingkungan internasional di sekitar negara-negara yang berada dalam kompleks keamanan kawasan. Selain kondisi keamanan di kawasan Asia Timur, yang perlu diperhatikan juga adalah isu-isu yang sedang berkembang. Korea Utara menyakini bahwa aliansi pertahanan AS dengan Jepang dan kedekatan Amerika Serikat dengan Korea Selatan merupakan ancaman terhadap keberadaan Korea Utara. Selain itu, menurut Korea Utara, Cina juga memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan ekonomi dan militer yang dominan di kawasan Asia Timur. Pengembangan senjata nuklir Korea Utara

(13)

merupakan sebuah aksi-reaksi yang dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional negeri tersebut.

1.6 Argumen utama

Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang terdiri dari aspek-aspek utama berupa kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan dan konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan), berimplikasi pada terjadinya security dilemma di kawasan Asia Timur. Keadaan dilematis ini ditandai dengan adanya aliansi militer dan peningkatan anggaran militer negara-negara serta anarkisme kawasan yang pada akhirnya menciptakan kompleksitas keamanan. Dalam kompleksitas keamanan ini, bila suatu negara takut dan terancam, ia akan berupaya meningkatkan kapabilitas militernya untuk melindungi kepentingan nasional akibat adanya ancaman dari kekuatan militer negara lain. Korea Utara menganggap keamanan kawasan yang kompleks membahayakan keamanannya, sehingga ia berupaya mengembangkan kebijakan senjata nuklir untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan serta mengimbangi keunggulan militer negara-negara lain di kawasan Asia Timur.

1.7 Sistematika penulisan

Tesis ini akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan memberikan gambaran mengenai kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Di sini akan diperlihatkan keadaan persenjataan militer Cina, Korea Utara, Korea Selatan dan Jepang, aliansi militer di kawasan Asia Timur, anarkisme kawasan dan respon Amerika Serikat terhadap kompleksitas keamanan kawasan di Asia Timur.

(14)
(15)

Al Syahrin, M. Najeri. 2015. Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implikasinya Terhadap Program Pengembangan Senjata Nuklir. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

BAB II

KOMPLEKSITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TIMUR

Bab ini akan membahas tentang kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Asia Timur merupakan kawasan yang terdiri dari Republik Rakyat Cina, Taiwan, Mongolia, Jepang, Korea Utara, dan Korea Selatan. Penelitian ini hanya difokuskan kepada empat negara saja, yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Alasan utamanya adalah karena keempat negara ini memiliki pengaruh kuat di kawasan tidak hanya dalam bidang perekonomian, tetapi juga dari kekuatan dan peran militernya. Selain itu, empat negara ini juga memiliki kebijakan keamanan yang saling berkaitan satu sama lain, utamanya dalam perundingan dan perjanjian mengenai permasalahan program pengembangan nuklir Korea Utara.

Pembahasan tentang kompleksitas keamanan kawasan tersebut dilakukan dengan memberikan deskripsi tentang hubungan antarnegara di kawasan Asia Timur. Tetapi, akan diuraikan terlebih dahulu permasalahan di Semenanjung Korea, interaksi antarkawasan, dan peranan kekuatan global di kawasan Asia Timur. Berikutnya, akan dibahas mengenai aliansi militer antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan serta analisis tentang peningkatan anggaran militer Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Uraian mengenai anarkisme kawasan dan hambatan dalam pembentukan kerja sama dan institusi kawasan Asia Timur akan menjadi penutup bab ini.

2.1 Hubungan keamanan antarnegara di kawasan Asia Timur

(16)

keamanan global saling berkaitan dan mempengaruhi.34 Untuk memahami bahwa

keamanan nasional di kawasan Asia Timur tidak bisa terlepas dari keamanan global, Perang Dingin telah membuktikan bahwa perseteruan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memberikan pengaruh signifikan terhadap ketegangan di Semenanjung Korea antara Korea Selatan dan Korea Utara.

Menurut Barry Buzan, terdapat beberapa aspek yang berpengaruh dalam pembentukan kompleksitas keamanan kawasan, yaitu kondisi keamanan yang tidak stabil dalam tingkat domestik, hubungan antarnegara dalam satu kawasan, interaksi antarkawasan, dan peran kekuatan global. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, dapat dipahami bahwa sekuritisasi maupun desekuritasasi merupakan proses interaksi terhadap keamanan negara lain. Dengan demikian, untuk memahami kompleksitas keamanan kawasan, tidak cukup hanya dengan memahami keamanan satu negara saja, tetapi juga harus memahami keamanan negara lain. Selain itu, perlu dipahami juga bagaimana interaksi antarkawasan dan peran kekuatan global agar bisa mencerminkan kompleksitas keamanan kawasan secara utuh dan komprehensif.35

Semenanjung Korea berada dalam tahap peralihan dari sistem Perang Dingin menuju sistem peredaan peperangan dalam konstelasi politik internasional yang tengah berubah. Serangkaian peristiwa politik yang berkembang di Semenanjung Korea bukanlah sekedar permasalahan domestik bangsa Korea, tetapi juga menjadi permasalahan eksternal yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan implikasi terhadap keamanan masing-masing negara di kawasan Asia Timur. Pertentangan antarnegara besar yang termanifestasi dalam Perang Dingin berpengaruh terhadap situasi keamanan di Semenanjung Korea. Berakhirnya Perang Dingin secara tidak langsung juga membawa konsekuensi yang berpengaruh pada hubungan dua Korea.36

Pembagian Semenanjung Korea oleh Sekutu pada tahun 1945 dan perkembangan kedua negara Korea menjadi bukti adanya persaingan ideologi pada masa Perang Dingin. Dengan pembagian itu, kedua negara Korea dikuasai oleh dua negara adidaya, yang kemudian berkembang menjadi negara pemimpin pada masa Perang Dingin. Keadaan

34Buzan, p. 43. 35Buzan p. 43.

(17)

tersebut berlangsung lama dan secara khusus memberikan pengaruh terhadap politik luar negeri Korea Selatan dan Korea Utara.37Pemisahan dua Korea pada tahun 1945 semakin

memperlebar sifat ketidaksamaan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki masing-masing negara. Pembedan itu tidak hanya mencakup ideologi politik, tetapi juga prinsip ekonomi, nilai masyarakat, cara kehidupan, seni budaya, dan teknologi. Pembedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan semakin mempertajam hubungan pertentangan dan konfliktual antara keduanya. Sekalipun terdapat persetujuan gencatan senjata yang ditandatangani secara resmi pada 27 Juli 1953, konflik dan pertentangan kekuatan militer sering terjadi sehingga hubungan antara keduanya masih tidak harmonis.38

Proses perdamaian Semenanjung Korea selalu diupayakan, salah satunya dengan program reunifikasi nasional antara dua Korea. Pernyataan bersama antara kedua Korea pada 4 Juli 1972 merupakan kemajuan besar yang menuntun pada penyatuan kembali Semenanjung Korea. Dalam pernyataan bersama tersebut, kedua pihak menyatakan pentingnya usaha untuk memulihkan kembali hegemonitas bangsa, terlepas dari sistem politik dan ideologi yang berbeda. Berbagai upaya dilakukan untuk menunjang kebijakan tersebut, antara lain melalui kebijakan penyambungan saluran telepon dan penyelenggaraan pertemuan komite kerja antarKorea secara bergantian. Selain itu, juga diupayakan adanya dialog langsung antara dua negara, reuni keluarga yang terpisah, dan pertukaran rombongan kebudayaan antarKorea pada tahun 1985.39

Dalam melakukan upaya reunifikasi, Korea Utara cenderung menggunakan cara penaklukan langsung melalui kebijakan militer. Ini cenderung berbeda dengan yang ditempuh oleh Korea Selatan, yang menggunakan cara-cara yang lebih halus dengan dialog dan pendekatan diplomatik. Perhatian terhadap masalah reunifikasi Korea menjadi isu penting bagi peneliti dan akademisi di Korea Selatan. Segala cara dan upaya dilakukan untuk mencapai proses reunifikasi, utamanya dilakukan dengan pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil

37Yoon & Mas’oed, p. 91.

38Y.S.Yoon & M. Mas’oed, ‘Hubungan Antara Dua Korea Sebelum Kegagalan Sunshine Policy,’ dalam M.

Syamsuddin, dkk. (eds.),Politik dan Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta, 2010, p. 165.

39Y.S. Yoon & N.A. Setiani,Sejarah Korea Sejak Masa Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, Gadjah

(18)

maksimal, karena rezim otoriter Korea Utara sangat keras dan sulit untuk berdialog.40

Upaya Korea Utara untuk menyatukan Semenanjung Korea melalui serangan militer dinilai oleh Robert Myers adalah untuk mencapai kepentingan lain, yaitu kepentingan ekonomi. Taktik ini dipakai oleh Korea Utara dalam menghadapi Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Dengan keadaan ekonomi Korea Selatan yang stabil, Korea Utara secara tidak langsung melakukan pemerasaan dengan dalih melakukan serangan militer.41

Permasalahan domestik berkenaan dengan perbedaan sistem politik dan ekonomi serta isu reunifikasi antara dua Korea inilah yang dinilai sebagai salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur.

Setelah berakhirnya Perang Dingin, wilayah Asia Timur menjadi pusat perhatian internasional. Posisi strategis kawasan ini semakin bertambah penting karena terjadi persaingan antara Amerika Serikat, Jepang, dan Cina untuk mengusahakan kepentingan nasional masing-masing.42 Berbeda dengan masa Perang Dingin, lingkungan politik

internasional di wilayah Asia Timur jauh berkembang ke dalam berbagai macam bentuk sebagai akibat dari hubungan multilateral antara negara-negara berkepentingan tersebut yang mencoba melepaskan diri dari hubungan permusuhan dan konfliktual. Walaupun demikian, unsur-unsur konflik dan ancaman keamanan masih berlangsung di Semenanjung Korea seperti di masa Perang Dingin. Dalam hal ini, Semenanjung Korea merupakan faktor penting dalam upaya mendorong perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur. Korea Selatan dan Korea Utara merupakan dua negara yang memiliki posisi strategis di kawasan Asia Timur, yang sangat penting sebagai penghubung antarnegara, terutama dengan Jepang, Cina, dan Rusia. Posisi geografis Semenanjung Korea yang strategis tersebut menyebabkan kedua Korea dalam sepanjang sejarah masing-masing sangat penting dari sudut strategi.43

Selain itu, terdapat banyak isu utama yang menjadi faktor penting dalam kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Misalnya, perundingan normalisasi hubungan diplomatik antara Korea Utara dan Korea Selatan, Korea Utara dan Amerika

40R.J. Myers,Korea in the Cross Currents: A Century of Struggle and the Crisis of Reunification, Palgrave,

New York, 2001, p. 136.

41Myers, p. 141.

42Yoon & Mas’oed,Politik Luar Negeri Korea, p. 103.

(19)

Serikat, Korea Utara dan Jepang, serta penyelesaian isu proliferasi senjata nuklir yang dianggap menimbulkan situasi darurat dan mempersulit jaminan keamanan dan perdamaian di Asia Timur.44 Keamanan Semenanjung Korea tergantung pada

keseimbangan global dan kawasan, karena kepentingan-kepentingan geopolitis Cina, Jepang, dan Amerika Serikat saling bertemu di kawasan Asia Timur. Korea Utara terletak pada poros keamanan Asia Timur. Secara geografis negara ini memiliki posisi yang strategis di tengah kawasan Asia Timur di mana Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea Selatan berinteraksi dalam mencapai kepentingan masing-masing.45

Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan menilai bahwa Korea Utara tetap menjadi ancaman yang paling mengkhawatirkan bagi keamanan kawasan. Peluang terciptanya perang nuklir masih menjadi kendala utama dalam upaya stabilisasi keamanan kawasan Asia Timur. Rezim Korea Utara dinilai selalu melakukan provokasi yang menghawatirkan bagi negara-negara di kawasan. Pada tahun 2010, Korea Utara melakukan serangan ke pulau Yeonpyeong sebagai reaksi atas latihan gabungan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Kebijakan luar negeri Korea Utara dinilai semakin provokatif dan menimbulkan kecemasan bagi negara-negara di kawasan.46

Selain itu, kerumitan hubungan antara Cina dan Korea Selatan, Jepang dan Korea Utara juga semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur. Cina dan Korea Selatan mencurigai upaya Jepang yang ingin merevisi sejarah pendudukannya di Semenanjung Korea dan sebagian wilayah Cina pada awal abad ke-20. Cina dan Korea Selatan juga terlibat dalam sengketa wilayah dengan Jepang soal sejumlah pulau di Laut Cina Timur serta perairan antara Jepang dan Korea Selatan. Sementara itu, hubungan Cina dan Korea Selatan juga tidak sepenuhnya mulus. Cina telah menyampaikan keberatannya atas rencana penempatan sistem antirudal canggih Korea Selatan yang

44Y.S.Yoon & M. Mas’oed, ‘Politik Internasional Korea dalam Masyarakat Internasional yang Cepat

Berubah,’ dalam M. Syamsuddin, dkk. (eds.),Politik dan Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta, 2010, p. 102.

45S. Kim,The International Relations of Northeast Asia,Rowman & Littlefield, Maryland, 2004, p. 283. 46P.J. Saunders,Extended Deterrence and Security in East Asia: A U.S.-Japan-South Korea Dialogue,

(20)

dipasang untuk mewaspadai ancaman nuklir Korea Utara. Hal tersebut dinilai Cina sebagai mencerminkan keinginan Amerika Serikat untuk mengawasi Cina.47

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, Menteri Luar Negeri Cina, Jepang, dan Korea Selatan menggelar pertemuan trilateral yang diharapkan bisa menjadi bentuk kerja sama baru bagi ketiga negara pasca Perang Dunia II. Para menteri bersepakat untuk mengkoordinasikan kebijakan mereka dalam berbagai aspek. Pada masa pemerintahan Xi Jinping, Cina memprioritaskan hubungan dengan Korea Selatan sambil juga tetap menjaga hubungan dengan Korea Utara. Para analis mengatakan bahwa Korea Selatan sedang mencari cara untuk menyeimbangkan kekuatan dengan hubungan yang semakin dekat dengan Cina.48

Cina dianggap menjadi ancaman baru bagi Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Permasalahan ini dikarenakan kekuatan ekonomi dan perkembangan militer Cina yang semakin meningkat di kawasan. Amerika Serikat dan Jepang selalu khawatir akan perkembangan kekuatan militer Cina. Atas respon terhadap permasalahan tersebut, Amerika Serikat sangat aktif membentuk aliansi militer di kawasan Asia Timur untuk membendung kekuatan dan pengaruh Cina. Selain menjalin aliansi militer dengan Jepang, Amerika Serikat juga menjalin aliansi militer dengan Korea Selatan. Bagi Korea Selatan, Cina tidak selalu menjadi sebuah ancaman yang paling mengkhawatirkan bagi keamanan nasionalnya. Ancaman yang nyata bagi Korea Selatan bukanlah Cina, tetapi Korea Utara. Dalam aliansinya dengan Amerika Serikat, Korea Selatan tidak selalu merespon aktif segala kebijakan yang berkaitan dengan Cina. Bahkan Korea Selatan dan Cina sama-sama memiliki sifat sentimen terhadap Jepang. Di sisi yang lain, Jepang telah memberikan respon yang aktif terkait dengan permasalahan Cina. Bagi Jepang, peningkatan kekuatan militer Cina memberikan ancaman yang serius terhadap keamanan nasionalnya di kawasan Asia Timur.49

47J.Y. Kwaak, ‘Menlu Negara Asia Timur Ingin Kurangi Ketegangan,’The Wall Street Journal Indonesia

(daring), 23 Maret 2015, < http://indo.wsj.com/posts/2015/03/23/menlu-negara-asia-timur-ingin-kurangi-tegangan/>, diakses pada 28 Maret 2015.

48J. Makinen & S. Borowiec, ‘Will meeting of China, Japan and South Korea yield goodwill or more

grumbling?,’Los Angeles Times(daring), 20 March 2015, <http://www.latimes.com /world/asia/la-fg-japan-china-korea-diplomats-20150320-story.html#page=1>, diakses pada 28 Maret 2015.

49Y.W. Goo & S.H. Lee, ‘Military Alliances and Reality of Regional Integration: Japan, South Korea, the

(21)

Hubungan antara Jepang dan Korea Selatan juga tidak selalu harmonis, meskipun keduanya sama-sama merupakan mitra keamanan Amerika Serikat. Jepang merasa bahwa Cina dan Korea Utara merupakan ancaman serius bagi stabilitas keamanan kawasan, sementara bagi Cina dan Korea Utara, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan merupakan ancaman. Kerumitan pola hubungan antarnegara di kawasan ini semakin meningkatkan kecurigaan dan menambah kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur.

Ketika perhatian internasional tersita oleh permasalahan Semenanjung Korea dan hubungan rivalitas antarnegara, terdapat beberapa perkembangan positif dalam kerja sama Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan. Upaya tersebut terlihat dengan adanya perjanjian kawasan yang lebih luas, yaitu kerja sama keamanan kawasan antara Amerika Serikat-Jepang-Korea Selatan dengan ASEAN dalam bentuk ASEAN Regional Forum. Kerja sama antara ketiga negara tersebut dengan kawasan lainnya dianggap sebagi perkembangan penting dalam upaya menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia Timur secara lebih luas.50

Selain Jepang dan Korea Selatan, Cina juga secara aktif melakukan kerja sama antarkawasan. Secara bertahap sejak tahun 2000 hingga 2003, misalnya, dilakukan pembahasan kerja samaFree Trade Area (FTA) Cina-ASEAN. Cina sangat agresif dalam mendorong kerja sama tersebut, karena ia berharap melalui peningkatan hubungan ekonomi kekhawatiran ASEAN terhadap peningkatan militer Cina dapat berkurang. Di samping itu, kerja sama ekonomi juga diharapkan Cina untuk mengimbangi kemajuan Amerika Serikat dan Jepang di kawasan Asia Tenggara. Secara ekonomi Cina juga berharap kerja sama ini akan mempermudah jalan bagi Cina untuk mendapatkan bahan-bahan mentah dari kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya, ASEAN berharap kerja sama ini akan membuka jalan bagi negara-negara anggotanya untuk menjual produk mereka dan mendorong Cina untuk melakukan investasi langsung ke Asia Tenggara.51

Rivalitas antara Jepang dan Cina tidak hanya terjadi di kawasan Asia Timur saja, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara. Kesediaan Cina untuk membuka kesempatan untuk mengembangkan FTA dengan ASEAN membuat Jepang mengusulkan perjanjian

50N. Yamaguchi, ‘Trilateral Security Cooperation: Opportunities, Challenges, and Tasks,’ dalam R.A.

Cossa (ed.),U.S-Korea-Japan Relations: Building Toward a Virtual Alliance, CSIS Press, Washington, D.C., 1999, p. 4.

(22)

kemitraan ekonomi dengan ASEAN pada tahun 2002. Jepang tidak ingin kalah bersaing dengan Cina di kawasan Asia Tenggara.52 Selama beberapa tahun terakhir, hubungan

internasional di kawasan Asia Timur mengalami beberapa perubahan yang cukup dinamis. Perubahan tersebut dapat dipantau pada meningkatnya hubungan negara-negara kawasan Asia Timur dengan kawasan lainnya, termasuk dengan kawasan Asia Tenggara.

Selain interaksi antarkawasan dan rivalitas Cina dengan Jepang, permasalahan Semenanjung Korea juga menjadi salah satu faktor penting dalam dinamika kawasan Asia Timur. Korea Utara merupakan negara yang tidak selalu bisa lepas dari kepentingan asing. Eksistensi Korea sebagai negara otonom merupakan salah satu contoh dari sistem perimbangan kekuasaan. Pembagian Korea menjadi dua negara sangat berkaitan dengan kepentingan negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat.53 Berakhirnya Perang

Dingin selama lebih dari dua dekade tidak mengubah pandangan Amerika Serikat terhadap Korea Utara; rezim Korea Utara masih dianggap sebagai rezim yang otoriter dan selalu berupaya mengembangkan kekuatan nuklir untuk mengancam negara di sekitarnya. Karakter yang melekat pada Korea Utara inilah yang selalu menjadi landasan Amerika Serikat dalam melakukan upaya diplomasi dan perundingan dengan negara tersebut.54

Korea Utara dinilai menggunakan isu senjata nuklir sebagai manuver politik untuk meningkatkan posisi tawar di dunia internasional, khususnya terhadap Amerika Serikat dan negara aliansinya di kawasan Asia Timur. Berdasarkan persepsi tersebut Amerika Serikat mengkategorikan Korea Utara sebagai negara “poros setan” (axis of evil).Konsep ini merupakan bagian dari agenda strategi politik Amerika Serikat dalam membangun opini internasional untuk menjatuhkan kredibilitas Korea Utara.55

Sepanjang masa akhir Perang Dingin, hubungan antara Amerika Serikat dan Korea Utara juga semakin tidak membaik, namun upaya untuk melakukan normalisasi hubungan terus dilakukan oleh Amerika Serikat. Salah satu upaya rekonsiliasi konflik di kawasan Semenanjung Korea adalah menyepakati kerangka kerja sama keamanan senjata nuklir.

52Cipto, p. 251.

53H.J. Morgenthau,Politic Among Nations, the Struggle for Power and Peace,edisi Bahasa Indonesia Politik Antar Bangsa, diterjemahkan oleh Maimoen Fatwan & Cecep Sudrajat, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2010, pp. 501-502.

54C.K. Armstrong, ‘US-North Korean Relations,’ dalam J. Feffer (ed.),The Future of US-Korean Relations,

Routledge, London, 2006, p. 9.

55Y. Mochammad, ‘Perspektif Game Theory dalam konflik Amerika Serikat-Korea Utara,’Verity,vol. 2,

(23)

Pada tahun 2003, dilaksanakan mekanisme Six Party Talks antara Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Rusia. Kerangka ini dianggap merupakan salah satu langkah tepat dan alternatif yang sesuai untuk meredam ketegangan konflik militer dan perlombaan senjata di kawasan Asia Timur.56 Sebelumnya, pada tahun 1994

disepakati perjanjian bilateral yang dikenal dengan Agreed Framework antara Amerika Serikat dengan Korea Utara. Menurut perjanjian ini, Korea Utara harus menghentikan seluruh aktivitas pengembangan senjata nuklir dan mengizinkan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk menginspeksi fasilitas nuklir Korea Utara. Namun, kesepakatan ini berakhir karena Amerika Serikat merasa Korea Utara tidak dapat bekerja sama secara sungguh-sungguh dengan IAEA. Bahkan, Korea Utara menyatakan pengunduran diri dari keanggotaan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pada 10 Januari 2003.57

Sering gagalnya upaya perundingan antara Amerika Serikat dengan Korea Utara adalah karena Amerika Serikat dianggap tidak berhasil dalam mendorong upaya harmonisasi hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Harmonisasi hubungan antara dua Korea dianggap merupakan salah satu faktor penting dalam upaya rekonsiliasi konflik di kawasan Asia Timur. Sejak berakhirnya Perang Korea permasalahan antara Korea Utara dan Korea Selatan selalu penuh dengan konfrontasi dan ketegangan. Selain itu, dalam pandangan Korea Utara, citra Amerika Serikat masih dipandang sebagai negara musuh dan anti rezim Korea Utara. Meledaknya bom sekutu pada masa Perang Korea memperkuat anggapan Korea Utara bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang kejam dan sulit diajak untuk berunding.58

Saat ini, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat terus memantau perkembangan Korea Utara. Beberapa kalangan menilai kebijakan Korea Utara dalam melakukan serangan ke pulau Yeonpyeong merupakan strategi bagi Korea Utara untuk melihat apakah Cina menentang kebijakan Korea Utara dan lebih mendukung kebijakan Korea Selatan. Pasca serangan tersebut, terbukti Cina tidak melakukan reaksi dan kecaman keras terhadap kebijakan provokatif Korea Utara. Bagi Korea Selatan, hal tersebut secara tidak

(24)

langsung menyatakan bahwa Cina dianggap masih bersifat pasif dalam upaya untuk menyelesaikan konfrontasi di Semenanjung Korea.59

Dari sudut pandang Cina, Korea Utara masih dinilai sebagai mitra penting. Meski demikian, Cina masih terus melakukan pengamatan terhadap segala kebijakan keamanan Korea Utara. Cina menyadari bahwa ia hanya memiliki sedikit pengaruh atas segala kebijakan Korea Utara terkait masalah keamanan. Korea Utara dinilai masih sangat sulit untuk diajak bekerja sama sehingga Cina perlu secara cermat memposisikan Korea Utara sebagai mitra dalam hubungan antarnegara di kawasan. Dari sudut pandang Amerika Serikat, kebijakan Cina terkait masalah Korea Utara hanya merupakan refleksi dari ketakutan atas runtuhnya rezim Korea Utara yang secara tidak langsung akan berdampak pada kuatnya posisi Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Bagi Cina, sangat jelas untuk mencegah runtuhnya Korea Utara yang akan mengarah kepada reunifikasi Korea. Hal tersebut tentu secara tidak langsung akan melemahkan posisi Cina untuk melawan hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.60

Permasalahan utama terkait dengan kompleksitas keamanan kawasan adalah karena pertumbuhan ekonomi dan militer Cina yang dianggap secara tidak langsung akan menjadi pesaing Amerika Serikat dalam upaya melakukan dominasi global seperti pada masa Perang Dingin. Padahal, Cina tidak secara langsung melakukan tindakan-tindakan agresif dan provokatif terkait dengan masalah dominasi global seperti yang dulu dilakukan oleh Uni Soviet. Selain itu, Cina kini sudah dinilai sangat aktif berpartisipasi secara bersama-sama dalam upaya peningkatan ekonomi global melalui organisasi-organisasi internasional. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Uni Soviet pada Perang Dingin: Uni Soviet berusaha untuk melakukan dominasi terhadap ekonomi global dan secara ekplisit bertujuan untuk melawan kekuatan ekonomi global Amerika Serikat. Untuk kasus Cina ada sedikit perbedaan, di mana Cina dinilai lebih pasif dalam upaya konfrontasi ekonomi dengan Amerika Serikat.61

Selanjutnya, untuk memahami hubungan antara Cina dan Korea Utara penting juga untuk memahami kebijakan Amerika Serikat terhadap kedua negara tersebut dan kebijakan Amerika Serikat terhadap Jepang dan Korea Selatan. Jepang dan Korea Selatan

(25)

memiliki kepentingan dan prioritas berbeda terkait dengan permasalahan keamanan di kawasan Asia Timur. Jepang dinilai berfokus pada kepentingan dan kebijakan Cina di kawasan, termasuk kebijakan peningkatan anggaran militer, sementara Korea Selatan berfokus pada ancaman yang berasal dari Korea Utara. Jadi, penting dalam memahami kerja sama trilateral Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan untuk melihat sudut pandang masing-masing negara dalam memandang hubungan Korea Utara dengan Cina.62

Keberadaan negara-negara besar di kawasan Asia Timur memberikan risiko tersendiri bagi negara-negara yang berinteraksi di kawasan Asia Timur. Potensi kompetisi antarnegara ini terlihat ketika Amerika Serikat, Jepang, dan Cina saling berebut pengaruh di kawasan dan memungkinkan benturan kepentingan yang dapat memicu terjadinya konflik dan ketidakstabilan kawasan Asia Timur. Selain itu, potensi konflik juga semakin meninggi dengan permasalahan Semenanjung Korea yang belum selesai dan kurangnya kepercayaan akibat konflik masa lalu antara negara-negara di kawasan Asia Timur.63

2.1 Aliansi militer negara-negara kawasan Asia Timur

Semenanjung Korea selalu menjadi titik strategis di mana kepentingan negara-negara besar bertemu. Jika pada masa Perang Dingin kedua Korea bersatu di bawah komunisme dan memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet, Korea akan menjadi ancaman bagi Cina dan Jepang. Sebaliknya, apabila dua Korea menjadi mitra keamanan Cina, hal tersebut akan membahayakan bagi Uni Soviet dan Jepang. Pasca berakhirnya Perang Dingin konstelasi keamanan di Semenanjung Korea juga tidak berubah secara signifikan. Secara geopolitik, wilayah Semenanjung Korea yang terletak di antara Cina dan Jepang tetap menjadikan ia memegang peran sebagai jembatan kultural. Di samping itu, Semenanjung Korea juga berfungsi sebagai koridor invasi Cina, Jepang, dan Amerika Serikat, baik invasi terhadap bangsa Korea maupun terhadap satu sama lain. Saat Korea dikuasai Cina, misalnya, hal tersebut akan membahayakan keamanan Jepang, sementara saat Jepang memegang kendali atas kekuasaan di Korea, maka ia akan menjadi ancaman bagi Cina.64

62Saunders, p. 27.

63N.W. Veronika, ‘Dari Uang ke Senjata: Kompetisi Ekonomi dan Pengaruhnya Terhadap Keamanan

Kawasan Asia Pasifik,’Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, vol. 7, no.2, September 2011, p. 162.

(26)

Peran penting Semenanjung Korea menjadikan Amerika Serikat tidak akan membiarkan dua Korea, khususnya Korea Selatan, menjadi mitra keamanan Cina. Apabila hal tersebut terjadi, Jepang akan kehilangan kepercayaan terhadap Amerika Serikat sebagai pihak penjamin keamanan di kawasan Asia Timur. Hilangnya kepercayaan itu akan membuat Jepang mempertimbangkan kembali kebijakan keamanannya dan memutuskan untuk mengembangkan kekuatan senjata nuklir mereka. Peran penting Semenanjung Korea tersebutlah yang menjadikan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan saling menjalin aliansi pertahanan guna melindungi kepentingan masing-masing dan untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan.65

Situasi di atas kemudian menjadi panduan utama dalam aliansi pertahanan Amerika Serikat dengan Jepang. Pada April 1997, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan Perdana Menteri Jepang Hashimoto Ryutaro bertemu di Tokyo untuk membicarakan Japan-US Declarations on Security: Alliance for the 21st Century. Dokumen perjanjian tersebut menegaskan tentang pentingnya aliansi antara Jepang dan Amerika Serikat bagi kepentingan domestik maupun kawasan. Selain itu, dokumen tersebut menyatakan bahwa Jepang dan Amerika Serikat saling berupaya untuk meningkatkan kerja sama, terutama dalam peningkatan hubungan kerja sama keamanan, peninjauan kembali panduan kerja sama tahun 1978, dan pencegahan penyebaran senjata nuklir di kawasan Asia Timur.66

Tujuan utama perjanjian yang secara resmi diterbitkan pada September 1997 tersebut adalah mengusahakan kerja sama keamanan yang efektif antara Jepang dan Amerika Serikat, terutama mengantisipasi ancaman serangan militer dan gangguan keamanan Jepang.67

Pasca berakhirnya Perang Dingin, Jepang mulai meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap kerja sama keamanan multilateral. Jepang memutuskan untuk lebih aktif dalam upaya menjaga perdamaian dan keamanan, khususnya dalam upaya menjaga kepentingan nasionalnya di kawasan. Upaya ini terbentuk melalui Japan Self Defeanse Force (JSDF) yang mempromosikan dialog keamanan. JSDF juga merupakan bukti

65Yoon & Mas’oed,Politik Luar Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional, pp. 18-19.

66A. Tsuneo, ‘US-Japan Relations in the Post–Cold War Era: Ambigious Adjusment to a Changing

Strategic Environment,’ dalam I. Takashi & P. Jain (eds.),Japanese Foreign Policy Today: A Reader, Palgrave, New York, 2000, pp. 186-187.

(27)

eksistensi Jepang dalam upaya kerja sama keamanan kawasan yang mencakup pertukaran tentara militer dan penelitian serta program latihan gabungan.68 Program ini kemudian

berlanjut dengan terbentuknya National Defense Program Outline (NDPO) pada 28 November 1995. Program ini terdiri dari empat isu, yaitu (1) kontribusi terhadap perdamaian internasional yang diwujudkan dengan kegiatan kerja sama perdamaian internasional; (2) kontribusi terhadap promosi kerja sama internasional dalam partisipasi bantuan bencana internasional; (3) promosi tentang dialog keamanan dan peningkatan kerja sama antara negara-negara kawasan Asia Timur; dan (4) kerja sama Jepang dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lainnya dalam upaya melakukan kontrol dan perlucutan senjata untuk tujuan menghentikan penyebaran senjata pemusnah massal dan senjata konvensional lainnya, termasuk senjata nuklir.69

Setelah pendudukan Amerika Serikat terhadap Jepang secara resmi berakhir pada tahun 1952 dengan ditandatanganinya perjanjian San Fransisco, ternyata tidak mungkin bagi Jepang untuk melepaskan diri dari kepentingan strategis Amerika Serikat baik secara global maupun kawasan. Terdapat berbagai pemikiran ketika Jepang mencoba untuk menentukan bentuk dasar diplomasi yang akan dijalankan setelah memperoleh kemerdekaan. Ada yang cenderung berorientasi pada keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan kerja sama dengan Amerika Serikat, ada yang ingin memiliki kemandirian politik, tetapi tetap dalam kerangka memelihara hubungan dengan Amerika Serikat, dan ada juga yang berkeinginan untuk menjalankan diplomasi yang mandiri terlepas dari pengaruh Amerika Serikat. Jepang berusaha melakukan diplomasi untuk menjaga keseimbangan antara keinginan untuk bertindak lebih mandiri, tetapi dengan tetap memelihara kedekatan hubungan dengan Amerika Serikat.70Terlepas dari semua itu,

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan:

We welcome the Obama administration’s policy called the“pivot to Asia”

because it is a contributing factor to the safety and peace of the region. I think this pivot policy is playing an indispensable role in enhancing the deterrence of the U.S.-Japan alliance, as well as ensuring peace and security in the Asia-Pacific region. Last year in April, President Obama

68Yamaguchi, p. 6. 69Yamaguchi, pp. 6-7.

70A. Irsan,Jepang: Politik Domestik, Global & Regional, Hasanuddin University Press, Makassar, 2005,

(28)

visited Japan. On that occasion he mentioned the importance of the U.S.-Japan alliance, especially for the security of the Asia-Pacific region … This is the time and age when one country alone cannot defend and protect its own peace and security. So with the countries of the world, we must cooperate and we must contribute so we can achieve the peace and stability, peace and safety, for our own country, for the region we are in as well as for the entire world.71

Pernyataan Abe di atas menunjukan bahwa Jepang sekarang masih tetap menjadi mitra keamanan yang penting bagi Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Jepang juga memberikan kepercayaan kepada Amerika Serikat untuk melakukan stabilisasi keamanan domestik Jepang dan memainkan peran dalam menjaga keamanan kawasan Asia Pasifik secara umum. Saat ini, kehadiran personel militer Amerika Serikat di Jepang, terutama di pulau Okinawa, dinilai merupakan strategi untuk merespon potensi konflik di Asia Timur. Selain ditempatkan di pulau Okinawa, pasukan militer Amerika Serikat juga ditempatkan di pangkalan udara Yokota dan pangkalan udara Kadena yang merupakan tempat transit pesawat dalam kegiatan militer Jepang di seluruh kawasan.72

Walaupun Jepang sudah memiliki kebebasan dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan luar negerinya, tetapi kedekatan hubungan politik dengan Amerika Serikat telah membuat setiap kebijakan politik dan hubungan luar negeri negara ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Amerika Serikat. Terlebih dalam hal yang berhubungan dengan pengembangan angkatan bersenjata militer. Jepang masih memiliki keterikatan pada Undang-Undang Dasar yang membuat pembatasan-pembatasan tertentu yang secara tidak langsung banyak dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Angkatan bersenjata militer Jepang secara resmi hanya berfungsi sebagai pasukan pengamanan wilayah Jepang terhadap kemungkinan gangguan dari dalam maupun luar negeri, tetapi secara formal tetap dianggap belum berfungsi sebagaimana layaknya angkatan bersenjata di negara-negara lainnya. Keamanan Jepang juga masih berada dalam perlindungan Amerika Serikat, terutama dalam menghadapi kemungkinan terjadinya serangan dari luar, khususnya bahaya perang nuklir.73

71‘David Ignatius’s full interview with Japanese Prime Minister Shinzo Abe,’Washington Post(daring), 26

March 2015, < http://www.washingtonpost.com/blogs/post-partisan/wp/2015/03/26/david-ignatiuss-full-interview-with-japanese-prime-minister-shinzo-abe/>, diakses pada 28 Maret 2015.

72 D.J. Berteau & M.J. Green,U.S. Force Posture Strategy in the Asia Pacific Region: An Independent Assessment, CSIS Press, Washington, D.C., 2012, p. 50.

(29)

Aliansi antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan masih dinilai perlu untuk dipertahankan karena beberapa faktor, yaitu meningkatnya kekuatan anggaran militer Cina, ketegangan Semenanjung Korea dan permasalahan klaim wilayah.74

Ketidakstabilan keamanan dan permasalahan klaim wilayah antara Jepang dengan Cina dianggap merupakan faktor penting dalam memotivasi para pemimpin Cina untuk mengadopsi pendekatan militer yang konfrontatif. Jika ini terjadi, Cina berpotensi menjadi tantangan terbesar bagi Jepang dan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.75

Untuk mengatasi permasalahan klaim wilayah dengan Cina, sejak masa pemerintahan Perdana Menteri Junichiro Koizumi Jepang terus melakukan upaya intesif dalam menjalin komunikasi dan normalisasi hubungan dengan Cina. PM Koizumi pernah mengundang Presiden Hu Jintao untuk datang ke Tokyo, tetapi ajakan itu tidak ditanggapi baik oleh Hu, yang meminta Jepang lebih dulu mengeluarkan pernyataan maaf secara resmi atas kejahatan perangnya.76 Meskipun Cina belum memberikan reaksi yang aktif

terkait dengan normalisasi hubungan dengan Jepang, setidaknya ini merupakan salah satu langkah baik di kawasan. Permasalahan klaim wilayah dan peningkatan anggaran militer Cina yang tiga kali lebih besar dari anggaran militer Jepang membuat Jepang merespon secara negatif dan meminta Cina transparan dalam anggaran militernya. Dapat dipahami, Jepang terus mengintensifkan hubungan sebagai mitra keamanan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur karena khawatir akan ancaman dari Cina.

Selain menjalin aliansi militer dengan Jepang, dalam upaya mencapai kepentingannya di kawasan Asia Timur Amerika Serikat juga menjalin aliansi militer dengan Korea Selatan. Pasukan militer Amerika Serikat pertama kali mendarat di Semenanjung Korea pada tanggal 8 September 1945 setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Tugas utama pasukan militer tersebut adalah melucuti senjata pasukan Jepang dan memegang kendali atas wilayah Jepang. Dalam perkembangannya, Amerika Serikat menjadi pendukung utama pembentukan Republik Korea, pelindung Korea Selatan dari

74Tsuneo, p. 177.

75A.S. Erickson, ‘Changing Military Dynamics in East Asia, Through The Lens of Distance: Understanding

and Responding to China’s “Ripples of Capability”,’Policy Brief, no. 10, January 2012, pp. 2-3.

76N.R. Yuliantoro,Menuju Kekuatan Utama Dunia: Sekilas Politik Luar Negeri Cina, Institute of

(30)

ancaman pihak luar, dan pemberi bantuan untuk pembangunan ekonomi Korea Selatan.77

Aliansi militer antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan telah disepakati sejak masa Perang Dingin. Aliansi ini telah mengalami beberapa perubahan sejak masa tersebut. Pada tahun 1954 Amerika Serikat dan Korea Selatan menandatangani Perjanjian Keamanan Bersama (Mutual Security Aggrement) yang ditujukan untuk memberikan pertahanan terhadap ancaman agresi dari pihak luar.78Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak

berakhirnya Perang Korea, keamanan Korea Selatan sangat tergantung pada aliansi militernya dengan Amerika Serikat, termasuk dalam upaya untuk mencegah serangan dari Korea Utara.

Peran penting yang dimainkan Amerika Serikat sejak penandatanganan perjanjian itu dapat terlihat dari jumlah bantuan ekonomi dan militer dari Amerika Serikat kepada Korea Selatan. Sampai tahun 1970-an bantuan ekonomi dan militer yang diberikan Amerika Serikat kepada Korea Selatan mencakup 8% dari keseluruhan jumlah bantuan yang diberikan Amerika Serikat terhadap berbagai negara di dunia. Bantuan ekonomi yang diterima Korea Selatan itu sendiri mencakup 5% dari total GNP Korea Selatan. Amerika Serikat juga terus mendukung Korea Selatan di organisasi-organisasi internasional agar Korea Selatan dapat memperjuangkan kepentingannya. Di balik hubungan aliansi tersebut, terdapat tujuan yang berbeda yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Melalui aliansi tersebut Amerika Serikat ingin membendung pengaruh Uni Soviet dan Cina, sedangkan Korea Selatan berkeinginan untuk mencegah serangan Korea Utara.79

Meskipun Korea Selatan mendapat dukungan dari pasukan militer Amerika Serikat yang ditempatkan di Korea Selatan, sampai tahun 1980-an ia tidak selalu mampu untuk mempertahankan diri dari serangan pihak Korea Utara karena kekuatan militer Korea Utara jauh lebih unggul dari Korea Selatan. Anggota militer Korea Utara mencapai 1,2 juta personel, dua kali lipat jumlah personel Korea Selatan yang hanya berjumlah 600.000

77Yoon & Mas’oed,Politik Luar Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional, p. 58.

78Goo & Lee, p. 330.

(31)

personel militer. Sehingga sampai akhir tahun 1990-an pasukan militer Amerika Serikat di Korea Selatan berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan militer antara kedua Korea.80

Sejak pertengahan tahun 1980-an, kekuatan pertahanan nasional Korea Selatan sudah dianggap seimbang dengan Korea Utara. Hal ini disebabkan keberhasilan proyek modernisasi militer Korea Selatan yang sudah dimulai sejak 1970-an. Keberhasilan proyek itu dapat dicapai karena adanya pertumbuhan ekonomi nasional Korea Selatan. Meskipun demikian, lebih dari 70% kekuatan militer Korea Utara dipusatkan di sekitar perbatasan Korea Utara-Korea Selatan, padahal ibukota pemerintahan Seoul terletak di dekat daerah perbatasan itu. Hal ini menyebabkan pasukan Amerika Serikat yang ditempatkan di tengah wilayah perbatasan dan ibukota Seoul berfungsi utama sebagai penyangga untuk menghadapi ancaman dari Korea Utara.81

Perjanjian pertahanan bersama Amerika Serikat dengan Korea Selatan terus dilanjutkan sebagai dasar kebijakan strategis Amerika Serikat di Semenanjung Korea. Amerika Serikat terus mempertahankan kehadiran militernya sejak perjanjian keamanan disepakati dengan Korea Selatan. Pada tahun 2004, para menteri pertahanan kedua negara mensahkan sebuah program untuk mengurangi jumlah pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan menjadi 25.000 personel militer akibat dari invasi militer Amerika Serikat di Irak.82 Selanjutnya, pada tahun 2009, Presiden Obama dan Presiden Lee Myung Bak

menyetujui aliansi bersama “Joint Vision for the Alliance.” Perjanjian ini dianggap penting sebagai upaya untuk melakukan kontrol operasi penyebaran personel militer di seluruh wilayah Korea Selatan. Inisiatif ini merupakan salah satu langkah penting dalam membentuk kekuatan aliansi Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Selain melakukan kontrol operasi penyebaran personel militer, aliansi bersama ini juga menggabungkan dua inisiatif sebelumnya. Insiatif pertama, personil militer Amerika Serikat akan berpindah dari pangkalan Yongsan ke pangkalan Humphreys, sekitar 40 mil selatan ibukota Seoul. Inisatif kedua, dilaksanakannya program Land Partnership Plan (LPP), yaitu penarikan

80Yoon & Mas’oed,Politik Luar Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional, p. 21.

81Yoon & Mas’oed,Politik Luar Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional, pp. 21-22.

(32)

10.000 tentara dari kedua divisi di sepanjang jalur demiliterisasi. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pasukan Korea Utara.83

Saat ini, aliansi Amerika Serikat dengan Korea Selatan juga terus terjalin dengan baik. Pada Maret 2015, Jenderal Martin E. Dempsey, Kepala Staff Gabungan Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan Jenderal Choi Yun-hee, Panglima Angkatan Bersenjata Korea Selatan, pada acara South Korean Joint Chief of Staff Headquarter di Seoul. Pertemuan ini merupakan salah satu langkah untuk memperkuat aliansi Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Salah satu implementasi dari pertemuan tersebut adalah upaya peningkatan pertahanan rudal dan integrasi sistem pertahanan udara. Upaya ini dianggap penting guna mencegah segala bentuk gangguan keamanan bagi Korea Selatan. Choi Yun-hee menyatakan bahwa “For the last six decades, the South Korea-U.S. alliance has effectively deterred North Korean provocation, and this has been the driving force, the foundation of the miraculous economic industrial development that we have achieved here in the Republic of Korea.”84

Dari pernyataan Choi di atas dapat disimpulkan bahwa aliansi militer antara Korea Selatan dan Amerika Serikat masih terus terjalin secara baik dalam berbagai bentuk kebijakan militer yang berguna untuk menangkal ancaman dari Korea Utara. Setiap tahun, Amerika Serikat dan Korea Selatan juga terus melakukan latihan gabungan, yang memicu kekhawatiran Korea Utara karena latihan gabungan tersebut akan membuat militer Korea Selatan semakin kuat. Selain itu, aliansi militer Amerika Serikat dengan Korea Selatan juga memberikan tekanan psikologis bagi pemimpin Korea Utara. Sekitar 200.000 personel tentara militer Korea Selatan siap dan dalam kondisi siaga untuk melakukan serangan militer apabila ada ancaman dari Korea Utara.85

Kerja sama strategis antara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang utamanya dilakukan karena permasalahan perdamaian dan stabilitas keamanan di Semenanjung Korea dan konfrontasi dengan Cina. Permasalahan Semenanjung Korea dianggap sebagai permasalahan penting dan paling mengancam bagi keamanan dan kepentingan Korea

83Berteau & Green, p. 65.

84L. Ferdinando, ‘US, South Korean Military Chiefs Discuss North Korea Threat’,Eurasia Review(daring),

28 March 2015, < http://www.eurasiareview.com/28032015-us-south-korean-military-chiefs-discuss-north-korea-threat/>, diakses pada 29 Maret 2015.

85D.E. Jee, ‘Why North Korea is so Freaked out by US-ROK Drills,’The Diplomat(daring), 23 March

Gambar

Gambar 1. Kompleksitas keamanan kawasan 27
Gambar 1. Peningkatan anggaran militer Cina.91
Gambar 2. Peningkatan anggaraan militer Jepang.94
Gambar 3. Peningkatan anggaran militer Korea Selatan.97

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya pada bidang politik, permainan Analisis Pohon memberikan hasil analisa yang memuaskan, bahwa pemilihan strategi oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet

Aksi-aksi provokatif Korea Utara tersebut tidak terlepas dari dinamika hubungannya dengan Korea Selatan, yang oleh pihak Korea Utara juga dinilai telah melakukan

Salah satu hal yang membuat Amerika Serikat lebih berhati hati dan penuh pertimbangan dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya terhadap pengembangan nuklir Korea Utara

Amerika Serikat menghendaki Korea Utara menghentikan program pengembangan senjata nuklir untuk ditukarkan dengan bantuan ekonomi, tetapi pemerintah Korea Utara

Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur diuraikan dengan menjelaskan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Amerika Serikat, Jepang dan

di Palestina (Jerusalem) menjadi sebuah konflik yang bersifat “permanent” , Veto yang di lakukan oleh Amerika Serikat justru memperparah serta memberikan dampak

Serangan militer Cina terhadap Taiwan akan dianggap sebagai ancaman perdamaian dan keamanan kawasan, sehingga Amerika Serikat dan Jepang akan bergabung membela

Dalam menghadapi konflik dengan Korea Utara bagi Korea Selatan dengan melakukan latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat dan Jepang dapat mengimbangi kekuatan yang