• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Kepemilikan Dalam teori Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Kepemilikan Dalam teori Islam"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP KEPEMILIKAN DALAM ISLAM*

Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim**

A. Pendahuluan

Konsep yang penting dalam perekonomian adalah konsep kepemilikan. Kepemilikan menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang kepemilikan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.

Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi ketidakadilan dalam penguasaan atau kepemilikan harta kekayaan baik individu, umum dan negara. Hal ini mengakibatkan timbulnya monopoli kepemilikan harta kekayaan yang bertumpu pada satu golongan sehingga harta kekayaan tidak tersebar secara merata di masyarakat. Menanggapi kenyataan tersebut, ekonomi islam diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi sistem perekonomian suatu negara.

Islam sebagai sistem hidup (way of life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan perkembangan kajian tentang ekonomi islam dan kebutuhan solusi krisis ekonomi yang ada saat ini mendorong terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana konsep kepemilikan dalam Islam? Bagaimana klasifikasi kepemilikan dalam Islam? dan apa saja qaidah-qaidah fiqih yang menjadi landasan kepemilikan dalam Islam?

B. Konsep Kepemilikan Dalam Islam

*Disampaikan dalam perkuliahan yang diampu oleh Prof. Dr. Atthaillah, M.Ag. Mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah.

**Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin (NIM: 13

(2)

Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Memiliki bisa diartikan dengan menguasai, memiliki suatu benda berarti mempunyai hak mengatur dan memanfaatkan selama tidak terdapat larangan dalam syariah. Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak menggunakan suatu benda tanpa izin dari pemiliknya. Keterkaitan antara manusia dan hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan. Sebab kepemilikan bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan legalisasi dari syariah. Menurut syariah, kepemilikan adalah sebentuk ikatan antara individu terkait dengan harta, yang pada tahapan proses kepemilikan disyaratkan berbagai hal yang disebut asal usul kepemilikan (asbab al-milkiyyah). Selanjutnya syariah mengharuskan beberapa aturan dalam pengoperasian harta dan dalam mengembangkannya.1

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS. Al-Baqarah: 284)

Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi kekuasaan kepada manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, namun dengan catatan manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya diberi, maka ia harus tunduk kepada yang memberi. Kepatuhan ini harus terwujud mulai saat manusia melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semua harus sesuai dengan syariah yang merupakan ekspresi kehendak Allah. Maka dari itu Islam mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah, begitu juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktik investasi yang melanggar aturan, terutama jika dengan akibat merugikan masyarakat. Jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si pemilik berarti tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam

1Lihat Muhammad Zarqa,Al-Fiqh al `Am, jilid 1 hal : 258 dalam M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, ibid, hal :

(3)

mempunyai hak dalam kepemilikan individu. Prinsipnya, Islam tidak mengakui segala kepemilikan yang muncul dari cara yang menyimpang.2

Pandangan Islam ini jelas berbeda dengan undang-undang kepemilikan yang tunduk pada falsafah dan sosial politik dari ekonomi konvensional. Islam menolak paham kapitalis, bahwa kepemilikan individu sangat absolut. Islam juga berbeda dengan paham sosialis bahwa kepemilikan adalah tugas kolektif, di samping itu, Islam juga menentang paham bahwa kepemilikan adalah hak bersama. Islam sangat mengakui dan tidak menentang, bahwa kepentingan umum haruslah dipertimbangkan dan didahulukan daripada kepentingan kelompok kecil, apalagi kepentingan individu. Dengan demikian mempertimbangkan kemaslahat umum adalah suatu hal yang harus diterima dalam rumusan kepemilikan.

Islam menolak paham bahwa kepemilikan adalah hak milik kolektif, dengan alasan bahwa hal demikian ini bertentangan dengan milik individu, atau perampasan individu dari hak miliknya, yang sekaligus memberi ruang kepada masuknya intervensi pemerintah dalam pembredelan hak milik. Paham ini jelas memposisikan pemerintah di antara pengatur harta, yang karenanya sah merampas dan selanjutnya memberikan kepada siapa saja yang diberi pemerintah atas dalih undang-undang.3

Islam tidak menghendaki terjadinya kepincangan antara hak individu pemilik dan hak masyarakat lain, keberhakan pemilik dalam pandangan Islam adalah hal yang baku. Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-undang, dan inipun sangat terbatas pada keadaan tertentu yang kaitannya erat dengan target sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan.

Posisi Islam yang demikian dimaksudkan untuk membantu perimbangan antara hak milik dan hak intervensi yang ditakutkan berlebihan dengan dalih demi kesejahteraan umum. Dalam Islam, hak kepemilikan individu menyangkut hak bersama yang harus diperhatikan, tanpa sedikitpun mengurangi hak hak-hak

2M. Faruq An Nabahan,Sistem Ekonomi Islam : Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis,alih bahasa :

Muhadi Zainuddin, (Yogyakarta, UII Press, 2000) h. 44

(4)

pribadi pemilik. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur nan sejahtera, tanpa mengurangi hak milik individu. Menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera tidak mungkin dibangun tanpa melindungi hak milik individu anggotanya, maka melindungi hak milik individu anggota masyarakat adalah perangkat utama dalam usaha mewujudakan masyarakat yang adil dan makmur.4

C. Sebab-sebab Kepemilikan Dalam Islam

Dari ketentuan syara perihal sebab atau cara memperoleh kepemilikan, yakni:5 (1) Ihrazul Mubahat, (2) Al-Uqud, (3) Al-Khalafiyah, (4) Al-Tawalludu

minal mamluk.

1. Ihrazul Mubahat(Menimbulkan Kebolehan)

Ihrazul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara boleh dimiliki atau disebut juga dengan Istila al-Mubahat. Istila al-Mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Al-Mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum (mani al-syar iy) untuk memilikinya. Misalnya,air yang masih berada dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan dan pohon kayu di hutan, dan lainnya.

Tujuan penguasaan atas al-mubahat (harta babas) dengan tujuan untuk dimiliki. Adapun cara penguasaan harta bebas tersebut yaitu:

a. Ihya al-mawat, yaitu membuka tanah (ladang) baru yang tidak di manfaatkan orang lain, tidak dimiliki dan berada diluar tempat tinggal penduduk

b. Berburu hewan. Allah menghalalkan buruan kecuali jika pemburu sedang berihram. Firman Allah:

4Ibid.h. 46

(5)



Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah: 1)

2. Al-Uqud(Perjanjian)

Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan menusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.

3. Al-khalafiyah(Pewarisan)

Al-khalafiyahartinya pewarisan.Al-khalafiyahada dua macam yaitu : a. Khalafiyah Syakhsyun an Syakhsyin(Warisan)

Penggantian atas seseorang oleh orang lain. Misalnya dalam hal hukum waris seorang ahli waris menggambarkan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkan.

b. Khalafiyah Syaa in an syaa iin(Menjamin kerugian)

(6)

4. Al-Tawallud Minal Mamluk(Berkembang Biak)

Al-Tawallud minal amlukadalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainya. Setiap peranakan atau sesuatu yang tumbuh dari harta milik adalah milik pemiliknya. Prinsip ini hanya berlaku pada harta benda yang dapat menghasilkan sesuatu yang lain/baru (produktif), seperti bertelur, berkembang biak, menghasilkan air susu, dan lain-lain.

Dari ketentuan tersebut diatas terkandung nilai-niali filosofis:6

a. Nilai rahmat (kemurahan). Diperolehkannya seseorang memiliki sesuatu yang mubah, seperti air, rumput, pepohonan di hutan, binatang buruan, dan lain-lain, dengan syarat sesuatu itu tidak berada dalam pemilikan/kekuasaan orang lain serta maksud untuk memiliki sesuatu tersebut, menunjukkan begitu besar kemurahan Allah pada manusai yang dengan pemilikan secara mudah tanpa ganti rugi itu menjadikan ia memiliki keudahan di dalam memenuhi kepentingan hidup serta menunjukkan perannya sebagai khalifah sekaligus hamba Allah. Lebih dari itu, kebolehannay menempuh cara pemilikan seperti ini merupakan pengejawantahan dari watak Islam rahmatan lil alamin .

b. Nilai penghargaan, kepastian dan kerelaan. Aqad/transaksi dikategorikan sebagai suatu cara memperoleh hak milik menurut Islam. Dalam akad terdapat sua atau lebih pihak yang melakukan perjanjian, masing-masing pihak dihargai memiliki posisi yang sama, masing-masing memiliki sesuatu yang bernilai sejak awal yang sama-sama dihargai dalam aqad, hal ini mencerminkan bahwa dalam ketentuan Islam terkandung nilai penghargaan terhadap setiap kepemilikan. Selanjutnya di dalam akad yang terdapat persyaratan ijab dan qabul dan syarat-syarat lain menunjukkan adanya nilai kepastian hukum dalam kepemilikan serta nilai kerelaan. c. Nilai tanggungjawab dan jaminan kesejahteraan keluarga. Salah satu cara

yang diatur Islam untuk memperoleh pemilikan adalah melalui khalafiyah

6M. Sularno,Konsep Kepemilikan Dalam Islam: Kajian dari Aspek Filosofis dan Potensi Pengembangan Ekonomi Islam,

(7)

syakhsy an syakhsy atau kewarisan. Waris menempati kedudukan muwaris (orang yang mewariskan) dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Pewarisan harta utamanya merupakan kosekuensi dari hubugan nasab dan pernikahan. Hak mewarisi bagi waris sangat kuat posisinya, muwaris harus memperhatikan nasib warisnya. Sehingga untuk berwakaf, sadakah, hibah, dan lain-lain, ada batas maksimalnya (1/3), hal ini mencerminkan nilai jaminan/kometmen Islam pada kesejahteraan keluarga lewat pengaturan kepemilikan.

D. Klasifikasi Kepemilikan Dalam Islam

Menurut Ibnu Taimiyah, hak milik terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:7 1)

Hak milik individual (al-milkiyyat al-fardiyyah/privat property), 2) Kepemilikan umum milkiyyat al- ammah/public property), 3) Kepemilikan negara (al-milkiyyat al-daulah/state property).

1. Hak Milik Individual (Al-Milkiyyat Al-Fardiyyah/Privat Property)

Tentang akuisisi hak milik secara individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan dengan rinci untuk kepentingan yang dibenarkan oleh syariat. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakan secara produktif, memindahkannya dan melindungi dari pemubadziran. Akan tetapi hak tersebut dibatasi oleh sejumlah limitasi diantaranya: ia tak boleh menggunakannya dengan tabdzir, tidak boleh menggunakannya dengan semena mena dan tidak boleh bermewah mewahan. Dalam transaksi, ia tidak boleh menggunakan pemalsuan, penipuan dan curang dalam timbangan. Juga dilarang mengeksploitasi orang-orang yang membutuhkan dengan cara menimbun barang, dan lain sebagainya.8

7Dr. A. A. Islahi,Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah,(trjm)H. Anshari Thayib, (Surabaya, Bina Ilmu, 1997) h. 31

(8)

Terpisah dengan pembatasan atas hak milik di atas, pemilik juga diharuskan kepada sejumlah kewajiban tertentu. Kewajiban pokok (fardhu `ain) setiap individu agar menggunakan hartanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya, sedangkan membantu orang miskin adalah kewajiban sosial dalam kategori fardhu kifayah.

Doktrin Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia cenderung menghargai hak milik atas kekayaan yang berfungsi sosial. Ketika seorang individu tidak melakukan kewajiban sosial atas hak miliknya, maka negara berhak melakukan intervensi atas hak milik pribadi individu tersebut.9 Lebih lanjut negara berhak

untuk memungut pajak diluar kewajiban zakat, menetapkan denda, bahkan penyitaan atas hak milik karena pertimbangan kondisi tertentu.

Kewajiban lain atas hak milik individu adalah kewajiban memberikan pinjaman harta kepada orang lain yang membutuhkan , baik secara suka rela (bi thariq al tabarru`) ataupun dengan mengambil keuntungan (bi thariq al ta`widh). Kewajiban finansial yang tidak memberikan keuntungan terbagi menjadi 4 jenis yaitu: pembayaran zakat, menjamu tamu, menyantuni sanak kerabat, dan membantu orang yang membutuhkan bantuan.10

Secara alamiah manusia cenderung melakukan pertukaran barang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, syariah tidak menetapkan aturan sepanjang pertukaran tersebut dilakukan dengan sukarela. Namun bila tidak tercapai kesepakatan dengan suka rela, syariah menetapkan kewajiban terntentu. Misalnya seseorang berhutang kepada orang lain, dan ia memiliki barang yang dapat melunasi utang tersebut, maka negara berhak memaksa orang tersebut agar menjual barangnya untuk melunasi hutangnya. Dengan cara yang sama, negara dapat mewajibkan seorang individu untuk menjual barang atau makanan dengan harga yang wajar, yaitu ketika orang lain membutuhkan barang tersebut, dan pemilik barang menolak menjualnya kecuali dengan harga yang tinggi. Maka bisa

9Ibid.h. 139.

(9)

disimpulkan bahwa keadilan dan kedermawanan harus dibatasi dengan moral dan hukum sekaligus.11

2. Kepemilikan Umum (Al-Milkiyyat Al- Ammah/Public Property)

Kepemilikan umum atau kolektif adalah hak milik yang biasanya diperlukan untuk kepentingan sosial. Jika harta kekayaan dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka mereka bisa menggunakannya sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan. Apabila salah satu pihak berusaha mengembangkan jumlah harta tersebut untuk kepentingan bersama, maka pihak yang lain harus memberikan kontribusinya dan bekerja sama untuk itu.

Contoh tentang hak milik secara kolektif adalah wakaf, yaitu ketika sebuah harta kekayaan disumbangkan untuk tujuan tertentu atau untuk kelompok masyarakat tertentu, maka ada kewajiban bahwa harta tersebut harus digunakan sesuai dengan maksudnya. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta wakaf bisa digunakan untuk kepentingan lain apabila memberi manfaat yang lebih besar.12

Obyek utama dari kepemilikan bersama adalah anugerah alam semesta, seperti air, rumput dan api, yang secara khusus disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. Salah satu alasan dari keharusan kepemilikan kolektif terhadap obyek obyek alam itu adalah karena semua itu diberikan oleh Allah swt secara gratis, dan manusia tidak mendapatkan kesulitan apapun untuk menggunakannya. Alasan yang lain adalah demi kepentingan umum, jika ada seseorang menguasai salah satu dari obyek alam tadi, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat.

3. Kepemilikan Negara (Al-Milkiyyat Al-Daulah/State Property)

11Ibid.h. 142.

12Abdullah Abdul Husain at-Tariqi,Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, (Magistra Insania Press, Yogyakarta,

(10)

Kategori ketiga adalah hak kepemilikan oleh negara, karena negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh penghasilan, yang pada gilirannya dipakai untuk menjalankan kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara hukum, menjaga keamanan dalam negeri, melindungi kepentingan masyarakat dan lain sebagainya. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa sumber utama kekayaan negara adalah zakat, pajak, wakaf, hadiah, pungutan denda dan harta rampasan perang (ghanimah), serta barang temuan yang tidak ada pemiliknya.13

Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik, kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah (care taker). Negara berkewajiban memanfaatkannya guna kepentingan publik, namun demikian tidak diperbolehkan untuk menggunakannya secara berlebihan. Misalnya zakat harus dibagikan kepada orang orang yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariah.

Negara mempunyai kewajiban untuk bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan individu. Lebih jauh Imam Mawardi menjelaskan bahwa tugas negara adalah meneruskan misi Nabi Muhammad saw dalam menjaga agama dan mengemban amanat kehidupan dunia.14

Dari pembagian hak milik ini, bisa disimpulkan bahwa hak atas harta benda itu bersifat kondisional dan tidak mutlak. Konsep Islam tentang hak milik ini secara radikal sangat berbeda dengan pandangan orang Romawi yang kemudian diadopsi oleh para ahli ekonomi modern. Dalam Islam meskipun setiap individu bebas memiliki kekayaan, namun demikian harus tunduk dan mengikuti ketentuan syariah dan moral. Pada dasarnya hak milik pribadi adalah sebagai institusi dasar, dan dalam kondisi kondisi tertentu negara mempunyai wewenang untuk intervensi terhadap hak milik individu tersebut. Namun demikian

13Dr. A. A. Islahi,Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah,Op. Ct.,h. 144.

14Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi,Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo,

(11)

merupakan pemikiran yang salah bila menyebutkan bahwa hak negara di atas segala galanya.

Di sini konsep kepemilikan dalam Islam juga berbeda dengan pemikiran kaum sosialis atau komunis, dimana Islam mengakui hak milik pribadi sebagai sebuah gharizah atau tabi`at manusia itu sendiri.15

E. Qaidah Fiqih Tentang Kepemilikan

1. Qaidah Fikih Tentang Kepemilikan Individu

16

Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta

Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.

Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu

Seperti telah dikemukakan pada kaidah pertama bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta memberikan izin kepadanya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta. Contohnya adalah akad wakalah yang diberlakukan di Bank Syariah.

17

Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian

15Dr. A. A. Islahi,Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah,Op. Ct.,h. 146.

16Al-Majallah al-Ahkam al-AdliyyahNo. 97

(12)

Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.

18

Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.

19

Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meningggal melalui perantaraan, maka ia tidak mewarisi selama perantaraan itu ada

Contohnya antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal masih ada, karena kakek dihubngkan dengan orang yang meninggal melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris selama ada anak laki-lakidari orang yang meninggal, karena cucu laki-lakidihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.

20

18Ibid.No. 95

19 Faizal Husen, Kaidah-kaidah Fiqh: Muamalah, Ahwalussahsiyah, Jinayah, Siyasah,

http://faizalhusen.blogspot.com/2012/03/kaidah-kaidah-fiqh-muamalah.html (akses 20 Mei 2014)

(13)

Setiap orng yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta."

Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena hak khiyar tetap ada dalam jual beli. Demikian pula hak terhadap utang atau gadai tau juga hak cipta yang diwariskan. Kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.

Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang meninggal.

Artinya, sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada harta warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta peninggalan tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudin untuk utang. Kalau masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam. Kaidah diatas dipertegas lagi dengan kaidah:

Tidak ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris kecuali setelah dilunasi utang

2. Qaidah Fiqih Tentang Kepemilikan Umum dan Negara

21

Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal

Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim

(14)

Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan nonmuslim secara bilateral atau unilateral.

22

Pungutan harus disertai dengan perlindungan

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, fae, rikaz, ma dun, kharaj (pajak tanah bagi non muslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang sudah dipungut tadi. Yang dimaksud dengan perlindungan di sini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk di dalam kondisi menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya.

23

Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita

Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban diantara sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah, meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya.

22Ibid.

(15)

Kesimpulan

Konsep kepemilikan dalam ekonomi islam membantu menghilangkan ketidakadilan dalam penguasaan harta seseorang oleh individu, umum dan negara sehingga tiap golongan dapat memanfaatkan dan memiliki harta kekayaan secara adil dan merata sehingga ekonomi Islam mampu menjadi solusi krisis ekonomi yang ada sekarang ini.

Klasifikasi kepemilikan dalam Islam meliputi tiga bentuk, yaitu: Hak milik individual milkiyyat al-fardiyyah/privat property), 2) Kepemilikan umum (milkiyyat ammah/public property), 3) Kepemilikan negara ((milkiyyat al-daulah/state property). Dan qaidah fiqhiyyah yang menjadi landasan kepemilikan dalam Islam meliputi:

(16)

Daftar Pustaka

A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (trjm) H. Anshari Thayib, (Surabaya, Bina Ilmu, 1997)

Al-Jabi, Bassam Abdal Wahhab,Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyyah

Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo, Dar al Wafa, 1989)

An-Nabahan, M. Faruq,Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, (terj) Muhadi Zainuddin, (Yogyakarta, UII Press, 2000)

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Mu amalah, (Semarang, Pusataka Rizki Putra, 2001)

At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, (Magistra Insania Press, Yogyakarta, 2004)

Djazuli, Ahmad, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis(Jakarta, Kencana, 2006)

Musbikin, Imam,Qawa id Al-Fiqhiyah(Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001) Sularno, Muhammad, Konsep Kepemilikan Dalam Islam: Kajian dari Aspek

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa dalam jangka panjang keempat variabel penelitian dalam hal ini inflasi, pengeluaran konsumsi pemerintah, hutang luar negeri,

Oleh karena penyusunan entri dengan urutan alfabetis berpedoman pada awal kata ini berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama dan dipakai pula untuk penulisan indeks

Cilj SMED sustava je pretvoriti što više koraka promjene opreme u eksterne aktivnosti, odnosno u one aktivnosti koje se mogu odvijati tijekom rada opreme.. SMED alat i

1) Lembar observasi Kegiatan Belajar Mengajar yang meliputi lembar kecakapan berpikir rasional dan kecakapan sosial, lembar respon siswa. Lembar kinerja guru digunakan untuk

Anatomi induk udang galah secara umum tidak memiliki perbedaan yang berarti dari ketiga sumber genetik baik untuk bentuk rostrum, badan, ekor dan telson relatif sama,.

Salah satu daya tarik wisata budaya yang ada di Kabupaten Rokan Hilir Riau tepatnya di Kota Bagan siapi-api pada setiap tahunnya yaitu acara Bakar Tongkang atau dalam

terjadinya kemiskinan, karena dengan tidak adanya pekerjaan tentunya hal yang mustahil masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi untuk memenuhi

Suhu yang tinggi juga mempengaruhi tingkat keasaman air (pH) apabila suhu naik maka pH juga akan naik yang dapat menimbulkan racun (ammonia) yang diperoleh dari