• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Perseroan Terbatas dan Kep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan Umum Perseroan Terbatas dan Kep"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Umum Perseroan Terbatas dan Kepailitan Perseroan Terbatas

Didalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD), definisi mengenai perseroan terbatas tidak akan dijumpai dalam Pasal Pasalnya. Namun demikian menurut Pasal 36, 40, 42 dan 45 KUHD dapat disimpulkan bahwa suatu Perseroan Terbatas mempunyaim unsur sebagai berikut:[6]

Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan.

Adanya pesero atau pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya, sedangkan mereka semua di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam organisasi perseroan mempunyai suara untuk mengambil keputusan dalam hal mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris, menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar.

Adanya pengurus (direksi) dan pengawas (komisaris) yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugas yang harus sesuai dengan anggaran dasar atau keputusan RUPS. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa perseroan terbatas

adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam mendirikan perseroan terbatas haruslah dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya dua orang atau lebih untuk mendirikan perseroan.

2. Adanya pernyataan kehendak dari pendiri untuk persetujuan mendirikan perseroan dengan mewajibkan setiap pendiri mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.

3. Perjanjian pendirian perseroan tersebut dinyatakan di hadapan Notaris dalam bentuk akta pendirian berbahasa Indonesia sekaligus memuat anggaran dasar perseroan.

Untuk memperoleh pengesahan atas suatu PT, maka harus dilakukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan akta pendirian perseroan kepada Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia, yang mana apabila permohonan disetujui maka dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan akan diberitahukan kepada permohon mengenai pengesahan permohonan.[7]

Setelah perseroan sah berdiri, maka direksi perseroan mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan perseroan tersebut dalam daftar perseroan. Daftar perseroan adalah daftar perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan dalam waktu paling lambat 30 hari setelah pengesahan atau persetujusn diberikan yang kemudian diumumkan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagai pemenuhan azas publisitas.

Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapt dimiliki oleh setiap orangperorangan, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya mungkin dilaksanakan oleh orang perorangan seperti misalnya yang diatur dalam buku kedua KUHPerdata tentang kewarisan.

Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimiliki tersebut, ilmu hukum telah merumuskan fungsi dan tugas dari masingmasing organ perseroan tersebut yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Sebagaimana bunyi Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 organ perseroan terbatas adalah : 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

(2)

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan ”pailit”. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian bahwa pailit dihubungkan dengan ”ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitur) atas utangutangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampun tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 definisi mengenai kepailitan dapat kita lihat di dalam Pasal 1 ayat 1 yaitu Kapailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Berdasar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh:

1. Debitur sendiri.

2. Atas permintaan seorang atau lebih kreditur. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum.

4. Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

5. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpangan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

6. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Subyek hukum yang dapat dinyatakan pailit adalah :

1. ”Orang perorang”, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun yang belum, jika permohonan pailit itu diajukan oleh ”debitor perorangan yang telah menikah” maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isteri, kecuali antara suami atau isteri tidak ada percampuran harta.[8]

2. ”Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya”. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu ”Firma” harus memuat nama dan tempat kediaman masingmasing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.[9]

3. ”Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang berbadan hukum”. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.[10] 4. Harta peninggalan.[11]

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menyebutkan secara eksplisit terkait pengadilan yang berwenang dalam mengajukan permohonan pailit. Namun terdapat rumusan, yakni Setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur, dengan ketentuan bahwa :

1. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor (ayat 2).

2. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan (ayat 3).

3. Dalam hal debitor tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia (ayat 4).

4. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya (ayat 5).

(3)

Walaupun Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang sudah secara jelas menyebutkan mengenai pengadilan yang berwenang, kita tidak boleh melupakan adanya asas ”recht van overdaging” yang diatur dalam Pasal 100 RV

(Reglement op de Rechtvordering). Ketentuan ini merupakan pelengkap hukum acara perdata (HIR) dan masih tetap berlaku sampai saat ini. Asas ini pada dasarnya memberikan hak kepada pihak penggugat untuk mengajukan gugatan di tempat pihak lain (penggugat).

Sedangkan untuk hukum acara yang di gunakan adalah hukum acara perdata, seperti yang di tentukan dalam Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menyatakan bahwa: ”Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata”.

Dalam hal ini berarti yang berlaku adalah Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/ Reglemenet Indonesia yang Diperbaharui (RIB) untuk Jawa dan Madura, dan Rechtstreglement Buitengewesten (RBG) untuk daearah luar Jawa dan Madura dan RV (Reglement of de Rechtvordering) seberapa jauh dianggap perlu dan relevan.

Dalam undang-undang tentang kepailitan maka pada prinsipnya asas-asas umum dari kepailitan, yakni Sifat dapat dilaksanakan lebih dahulu (Uit Voor Baar Bij Voor Raad).

Asas dapat dilaksanakan lebih dahulu dapat kita lihat di dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa :

”Putusan atas permohonan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum” dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang mewajibkan kurator kepailitan untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan/atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Sifat tersebut makin diperkuat oleh ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa meskipun putusan pailit tersebut kemudian dikoreksi atau dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkis lebih tinggi, semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan (baik dalam bentuk putusan kasasi, maupun karena peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung) tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.

Sifat pembuktian sederhana

Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang menyatakan bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit oleh terpenuhi.

Syarat itu tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, yaitu orang yang hendak dinyatakan pailit mempunyai lebih dari dua kreditur dan memiliki utang yang tidak dibayar dan dapat ditagih. Asas publisitas

Artinya harus ada suatu permohonan pernyataan pailit yang diajukan baik oleh kreditur maupun debitur sendiri kepada pengadilan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui keadaan dari debitur yang tidak mampu membayar utang-utangnya (Pasal 6 UUK & PKPU).

Dalam hal permohonan pernyataan pailit dapat diajukan jika persyaratan kepailitan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat 1 UUK & PKPU telah terpenuhi yaitu :

1. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur.

2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Untuk memahami dari persyaratan kepailitan di atas, maka akan dipaparkan secara lebih lengkap sebagai berikut : 1. Keharusan adanya dua kreditur

(4)

”Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan untuk didahulukan”.

Rumusan tersebut memberitahukan pada kita semua, bahwa pada dasarnya setiap kebendaan yang merupakan sisi positif harta kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yang disebut dengan nama Kreditur.

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagi secara :

1. Pari passu, dengan pengertian bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditur tersebut.

2. Pro rata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang masingmasing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan. Sehubungan dengan eksistensi dari sekurangnya dua orang kreditur merupakan suatu syarat mutlak karena jika hanya ada satu

kreditur tidak perlu kepailitan karena tidak perlu pengaturan pembagian hasil eksekusi harta pailit kepada beberapa kreditur. 2. Pengertian Utang Yang Jatuh Waktu

Di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di dalam Pasal 1 ayat (6), disebutkan bahwa pengertian ”Utang” adalah :

Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Sedangkan pengertian dari ”Jatuh waktu” dapat kita lihat di dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa pihak yang berhutang dianggap lalai apabila ia dengan surat teguran telah dinyatakan pailit dan dalam surat tersebut debitur diberi waktu tertentu untuk melunasi hutangya.

Dari rumusan Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa, dalam Perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu. Undang-undang membedakan kelalaian berdasarkan adanya ketetapan waktu dalam perikatannya, dimana :

1. Dalam hal terdapat ketetapan waktu, maka terhitung sejak lewatnya jangka waktu yang telah ditentukan dalam perikatannya tersebut, debitur dianggap telah lalai untuk melaksanakan kewajibannya.

2. Dalam hal tidak ditentukan terlebih dahulu saat mana debitor berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya tersebut, maka debitor baru dianggap lalai jika ia telah ditegur untuk memenuhi atau menunaikan kewajibannya yang terutang tersebut masih juga belum memenuhi kewajibannya yang terutang tersebut. Dalam hal yang demikian maka bukti tertulis dalam bentuk teguran yang disampaikan oleh kreditur kepada debitur mengenai kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya menjadi dan merupakan satu-satunya bukti debitur yang lalai.

Dengan demikian berarti atas perikatan untuk atau memberikan sesuatu dalam bentuk uang tunai, yang telah ditentukan saat penyerahannya, maka terhitung dengan lewatnya jangka waktu tersebut, utang tersebut demi hukum telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Dalam konteks ini berarti, jika kreditur bermaksud untuk memajukan kepailitan atas diri debitur, maka kreditur tidak perlu lagi mengajukan bukti lain, selain perjanjian yang menentukan saat jatuh temponya yang telah terlewati tadi.

Terkait dengan harta pailit, yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan Pengadilan. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang secara tegas menyatakan bahwa: ”Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu dijatuhkan oleh pengadilan, dan meliputi juga seluruh kekayaan yang diperoleh selama kepailitan berlangsung”.

(5)

seluruh akibat dari pernyataan pailit tersebut yang berlaku untuk debitur pailit juga berlaku untuk suami atau isteri yang menikah dalam persatuan harta dengan debitur pailit tersebut. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (2) Undang-undang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mewajibkan adanya persetujuan dari suami atau isteri, dalam hal seorang debitur yang menikah dengan percampuran harta ingin mengajukan permohonan kepailitan. Ini berarti bahwa kepailitan tersebut juga meliputi seluruh harta kekayaan dari pihak suami atau isteri debitur perorangan dari debitur yang dinyatakan pailit tersebut, yang menikah dalam persatuan harta kekayaan. Harta kekayaan tersebut meliputi harta yang telah ada pada saat pernyataan pailit diumumkan dan harta kekayaan yang diperoleh selama kepailitan.

Akibat Hukum Bagi Perseroan Terbatas Dalam Hal Telah Dijatuhi Putusan Pilit

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa pengertian Perseroan Terbatas adalah sebagai suatu badan hukum, karena hal ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas tersebut.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan berkedudukan sebagai subyek hukum yang mampu mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya, atau dapat dikatakan bahwa kita dapat menemui

keoknuman (rechtpersoonlijkheid) dalam badan hukum korporasi atau perseroan. Akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak akan kita temui batasan apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan badan hukum tersebut.

Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai badan hukum antara lain sebagai berikut:[12] 1. Teori Fiktif dari Von Savigny

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.

2. Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz

Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusiapun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atas kekayaan kepunyaan suatu tujuan.

3. Teori Organ dari Otto Von Gierki

Menurut teori ini badan hukum adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada dalam pergaulan hukum. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-anggotanya). Apa yang mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.

4. Teori propiete collective dari Planiol

Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama

(6)

keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Maka dari itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Dengan demikian dari berbagai teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu sebagai berikut :

a. Mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai ”panca indera” sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.

b. Mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya kalau badan hukum itu membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.[13]

Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggungjawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada di belakang badan hukum tersebut. Yang dimaksudkan dengan

pertanggungjawaban adalah siapa yang harus membayar utang yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan bersama serta siapakah yang harus menanggung atas kerugian yang timbul.

Akibat Hukum Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi Putusan Pailit

Pada dasarnya sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaannya harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitur menurut peraturan perundang-undangan.[14]

Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya.[15]

Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membut perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel. Ada beberapa harta yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:[16]

a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari. b. Alat perlengkapan dinas.

c. Alat perlengkapan kerja.

d. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan. e. Buku-buku yang dipakai untuk bekerja. f. Gaji, upah, pensiun, uang jasa dan honorarium.

g. Sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim komisaris untuk nafkahnya (debitur). h. Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya;

Begitu pula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan kekayaan atau barang-barang mililk pihak ketiga yang kebetulan berada di tangan pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya : hak pakai dan hak mendiami rumah.[17] Akibat hukum bagi Perseroan Terbatas selama kepailitan

Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas, beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit dibacakan

tergantung pada cara pandang kurator terhadap prospek usaha perseroan pada waktu yang akan datang. Hal ini dimungkinkan karena berdasar ketentuan di dalam Pasal 104 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:

(1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap pernyataan putusan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

(2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, curator memerlukan izin hakim pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(7)

tetapi dalam hal perusahaan yang dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan

memutuskan untuk menghentikan beroperasinya perseroan terbatas dalam permohonan seorang Kreditur. Setelah perseroan tersebut dihentikan, maka Kurator mulai menjual aktiva boedel tanpa memerlukan bantuan/persetujuan debitur pailit. Akan tetapi pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika

rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum harga pailit berada dalam keadaan insolvensi. Kurator/Kreditur yang hadir dalam rapat mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan (Pasal 179 ayat (1)) dan usul tersebut hanya dapat diterima apabila usul tersebut disetujui oleh para kreditur yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya (Pasal 180 ayat (1)).

Walaupun syarat-syarat seperti di atas telah terpenuhi, tetap beroperasi tidaknya suatu badan hukum perseroan masih harus tetap mendapatkan persetujuan dari Hakim Pengawas dalam suatu rapat yang dihadiri oleh Kurator, Debitur dan Kreditur, yang diadakan khusus untuk membahas atas usul kreditur sebagaimana tersebut di dalam Pasal 179 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 180 ayat (1), Pasal 183 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dengan diteruskannya kelanjutan usaha dari debitur (perseroan terbatas) pailit maka dimungkinkan adanya keuntungan yang akan diperoleh diantaranya yaitu :

1. Dapat menambah harta si pailit dengan keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh dari perusahaan itu. 2. Ada kemungkinan lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya secara penuh.

3. Kemungkinan tercapai suatu perdamaian.[18]

Dalam hal usaha dari perseroan terbatas diteruskan atau perseroan tetap beroperasi yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan melakukan tindakan pengurusan sehari-hari dari perseroan tersebut, apakah pengurusan tetap dilakukan oleh direksi ataukah pengurusan dilakukan oleh kurator yang menggantikan kedudukan direksi dalam menjalankan aktivitas usaha perseroan.

Mengenai hal ini akan menjadi pertentangan tersendiri karena dalam praktek sebenarnya direksi yang lebih mengetahui tentang seluk beluk dari usaha perseroan, pasar serta konsumen dari perseroan pailit, demikian pula bilaman ada cukup alasan untuk itu, direksi perseroan pailit yang mewakili perseroan dalam menjalankan haknya mengajukan permohonan kepada

pengadilan agar kurator diganti atau diangkat curator tambahan.

Jika kita baca Pasal 16, Pasal 69 ayat 1, Pasal 104 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat disimpulkan bahwa dengan dilanjutkannya usaha dari debitur (perseroan) pailit maka yang berwenang untuk mengurus Perseroan sebagaimana layaknya seorang direksi adalah kurator. Kurator wajib bertindak sebagai pengelola perusahaan yang baik. Kurator wajib menilai kompetensinya untuk mengelola harta pailit sesuai dengan standar profesi kurator dan pengurus Indonesia dan jika perlu mencari bantuan untuk mengelola usaha.

Dengan beralihnya kewenangan dari direksi kepada kurator untuk mengelola perseroan maka konsekuensi dari hal itu adalah bahwa curator adalah juga bertindak sebagai direksi sehingga tugas dan kewajiban serta tanggung jawab direksi perseroan menjadi tugas dan tanggung jawab kurator.

Tugas dan kewajiban kurator dalam posisinya sebagai pengurus perseroan adalah : 1. Melakukan pengurusan sehari-hari dari perseroan.

2. Melakukan pinjaman kepada pihak ketiga. 3. Menghadap di sidang pengadilan.

4. Menjual atau d engan cara lain mengalihkan barang-barang tetap milik perseroan atau membebani barang-barang milik perseroan tersebut dengan hutang.

5. Menggadaikan barang-barang begerak milik perseroan yang bernilai. Sedangkan tanggung jawab kurator dapat dibagi menjadi:[19]

(8)

Tanggung jawab kurator dalam kapasitas sebagai kurator dibebankan pada harta pailit, dan bukan pada kurator secara pribadi yang harus membayar kerugian pihak yang menuntut mempunyai tagihan atas harta kepailitan, dan tagihannya adalah utang harta pailit. Seperti:

a. Kurator lupa untuk memasukkan salah satu kreditor dalam rencana distribusi. b. Kurator menjual asset debitur yang tidak termasuk dalam harta kepailitan. c. Kurator menjual asset pihak ketiga.

d. Kurator berupaya menagih tagihan debitur yang pailit dan melakukan sita atas property debitur, kemudian terbukti bahwa tuntutan debitur tersebut palsu.

Kerugian yang timbul sebagai akibat dari tindakan kurator tersebut di atas tidaklah menjadi beban harta pribadi kurator melainkan menjadi beban harta pailit.

2. Tanggung jawab pribadi curator

Kerugian yang muncul sebagai akibat dari bertindaknya atau tidak bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator. Dalam kasus seperti ini kurator bertanggung jawab secara pribadi. Kurator harus membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat terjadi jika kurator menggelapkan harta kepailitan. Putu Supadmi menjelaskan bahwa segala kerugian yang timbul, akibat dari kelalaian atau karena ketidakprofesionalan kurator menjadi tanggung jawab kurator. Karenanya kerugian tersebut tidak bisa dibebankan pada harta pailit.

Terhadap pendapat tersebut, Tutik Sri Suharti, seorang kurator di Jakarta, mengungkapkan bahwa pembebanan tanggung jawab atas kerugian harta pailit kepada kurator akan membuat kurator menjadi tidak kreatif dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam upaya untuk meningkatkan harta pailit.

Akibat hukum bagi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan

Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya kepailitan, yaitu:

1. Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. 2. Apabila homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

3. Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan.

Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan terbatas setelah berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan tergantung kepada keputusan hakim atas adanya permohonan pembubaran perseroan karena didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang perseroan terbatas tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum perseroan terbatas secara terperinci sebagaimana didalam KUHD yang mengatur alasan pembubaran perseroan terbatas. Alasan-alasan pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian yang mencapai 75% dari modal perseroan. Akan tetapi undang-undang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengenal adanya pembubaran karena penetapan pengadilan tetapi tidak mengenal adanya pembubaran demi hukum.[20]

Menurut ketentuan Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, suatu Perseroan bubar karena:

a. berdasarkan keputusan RUPS;

b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; c. berdasarkan penetapan pengadilan;

d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

(9)

Berdasar ketentuan Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dalam hal kepailitan PT dan kelangsungan usaha tidak diteruskan, Direksi dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS dengan alasan bahwa perseroan tidak lagi berjalan selama jangkawaktu tertentu karena telah dihentikannya usaha PT pailit oleh panitia kreditur.

Cara pembubaran PT juga dapat ditemui didalam ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, yakni Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas:

a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;

b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; c. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan

Pailit tidak mengakibatkan perseroan bubar selama harta kekayaan perseroan setelah kepailitan berakhir masih ada dan dapat digunakan untuk menjalankan perseroan. Kepailitan perseroan hanya menjadi alasan tidak mampu membayar hutang kepada kreditur. Dalam hal ini kreditur tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini. Oleh karena itu apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditur dapat mengajukan

permohonan pembubaran perseroan kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditur berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.

Karena perseroan adalah suatu badan hukum maka atas setiap perseroan yang bubar perlu dilakukan pemberesan/likuidasi. Keberadaan status badan hukum perseroan yang bubar tetap ada untuk kebutuhan proses likuidasi tetapi perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali diperlukan untuk pemberesan kekayaannya dalam proses likuidasi.

Pasal 147 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:

a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan

b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi. Cara menghitung jangka waktu 30 hari tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apabila perseroan dibubarkan oleh RUPS, maka jangka waktunya dihitung sejak tanggal pembubaran oleh RUPS. 2. Apabila perseroan dibubarkan berdarakan penetapan pengadilan, jangka waktunya dihitung sejak tanggal penetapan

pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Selama pendaftaran dan pengumuman tesebut belum dilakukan, maka bubarnya perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Apabila likuidator lalai mendaftarkan dalam dalam daftar perusahaan sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1982, maka sebagai akibatnyalikuidator secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

(10)

Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian, eksistensi PT yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Prinsip utama kepailitan PT adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap

kreditornya.[1]

Eksistensi yuridis dari PT yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakannya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga landasan :

1) Pertama, kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi seluruh tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi dan kepailitan diangkat serta berakibat PT itu kembali pada keadaan semula sebagaiman perseroan sebelum ada kepailitan. Seandainya eksistensi badan hukum PT tersebut hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak

memungkinkan adanya pengangkatan kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah hapusnya status badan hukum itu.

2) Kedua, dalam proses kepailitan PT, maka PT tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, dimana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidak-tidaknya atas mandat kurator. Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih dapat melakukan proses transaksi tersebut.

3) Ketiga, adalah dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari PT itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan PT itu.[2]

Dalam pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan (going concern) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang pada akhirnya hasil keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utang-utang perseroan. Melanjutkan perusahaan ini merupakan langkah yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan perseroan karena kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik.

Dalam konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan tiga jenis utang , yakni utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang jangka panjang. Kesulitan utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan dengan kebangkrutan suatu perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini biasanya hanya sebagai akibat dari kesalahan manajemen cash flow(arus keluar masuk uang perseroan). Dalam teori manajemen keuangan sebagaimana disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi :[3]

1) Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk

menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian ( return ) dibawah tingkat bunga pasar.

2) Business Failure, istilah ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure

statistic, untuk mendefenisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ mentup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.

(11)

apabila technical insolvency merupakan gejala awal dari economic failure,maka hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster ).

4) Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda daari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.

5) Legal bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut diatas.

Dari lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan keuangan jenis pertama, kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan dengan dengan kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami kesulitan

keuangan, maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun oleh karena sistem hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis kesulitan keuangan perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang berarti bahwa kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut, maka konsep pelanjutan usaha (on going concern) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan tersebut manyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe kesatu, kedua, atau yang ketiga.

Dalam hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai subjek hukum yang penuh dalam transaksi bisnis. Ada beberapa pembedaan perseroan terbatas yang sudah dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ pengurus yang bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan direksi dari perseroan tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurursan perseroan terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan yang on going concern tersebut.[4]

Perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis bubar, melainkan masih eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan tertentu masih menjalankan usahanya seperti lazimnya perseroan terbatas ketika tidak terjadinya kepailitan sebagaimana telah dijelaskan diatas. Kepailitan menurut UUK diatur dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :

”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

Dari pasal diatas menerangkan, bahwa apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan terjadi penyitaan atau sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.Permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang berinisiatif untuk mengajukan pailit ke pengadilan berdasarkan undang-undang kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ialah :

1. Debitor itu sendiri (Volutary petition), 2. Adany satu/lebih kreditur,

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum, 4. Bank Indonesia jika debiturnya bank,

5. Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek.[5]

Dengan adanya permohonan pailit yang diajukan maka akan dikeluarkan putusan pernyataan pailit. Putusan

(12)

“ Permohonan pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”

Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana dalam pasal diatas adalah yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan tidak dapat menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut.[6]

Akibat hukum dari adanya kepailitan yang diberlakukan kepada debitor oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu :[7]

1) Berlaku demi hukum

Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya selama masa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

2) Berlaku secara Rule of Reason

Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut.

Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum kepailitan dari subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas. Terhadap kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak berwenang lagi untuk

melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit. Kewenangan untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator. Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengebangkan usaha dari si pailit.[8] Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti

mealkukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga organ perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini mempunyai dua makna antara lain :[9]

1) Kewenangan dari tiga organ perseroan terbatas menjadi berlaih kepada kurator sepanjang yang berhubungan dengan harta kekayaan.

2) Kurator tidak hanya menggantikan kewenangan kelembagaan direksi perseroan terbatas saja, akan tetapi melebihi dari kewenangan direksi yakni didalamnya juga melekat kewengan komisaris dan bahkan kewenangan pemegang saham sepanjang berhubungan dengan pengurusan dan peerbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan.

Kurator pada perseroan terbatas yang sedang pailit pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan harta pailit dari perseroan tersebut. Dalam pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepaillitan secara tegas menyatakan bahwa : “kurator tidak memerlukan persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan”.

Tanggung Jawab Organ PT Atas Terjadinya Pailit PT

(13)

A. Tanggung jawab Pemegang Saham.

Kedudukan pemegang saham sangat penting dalam suatu perseroan terbatas. Rudi Prasetya menyatakan bahwa pemegang saham yang berkepentingan terhadap PT (Rudi Prasetya, 2001). Kepentingan itu berupa:

1) memperoleh pembagian keuntungan tahunan yang disebut deviden dalam hal PT memperoleh keuntungan. 2) dan sekiranya saham PT memasuki pasar modal, maka akam memperoleh keuntungan jika harga kurs saham

dalam bursa naik (capital gain).

3) memperoleh pembagian sisa harta kekayaan PT dalam hal PT bubar.

Mengenai kedudukan RUPS dalam perseroan terbatas Pasal 1 ayat (3) UU PT mengatur bahwa RUPS adalah organ PT yang memegang kekuasaan tertinggi dalam persekutuan dan memegang segala wewenang yang diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Untuk mengukur tanggungjawab dari pemegang saham harus dikaji terlebih dahulu kewenangan apa yang dimiliki oleh pemegang saham.Undang-undang PT memberikan wewenang kepada pemegang saham mengunakan konsep teori residu (teori sisa) yakni bahwa pemegang saham mempunyai wewenang atas semua hal yang tidak diberikan oleh direksi atau komisaris. Kewenangan itu adalah :

1) Mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris.;

2) Memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan/komisaris; 3) Memberikan presetujuan kepada Direksi untuk mengalihkan atau menjaminkan seluruh atau sebagian besar

kekayaan perseroan;

4) Mengubah ketentuan-ketentan Anggaran Dasar sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku; 5) Memberikan putusan untuk mengajukan kepailitan perseroan;

6) Memberikan persetujuan kepada Direksi mengenai rencana penggabungan atau peleburan; 7) Pembelian kembali saham perseroan;

8) Penetapan penambahan atau pengurangan modal perseroan; 9) Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan; 10) Penentuan penggunaan laba;

11) Pembubaran perseroan;

Berkaitan dengan kewenangan RUPS tersebut maka dapat ditentukan mengenai tanggung jawab hukum pemegang saham. Pada prinsipnya sebatas kewenangan pemegang saham tersebut, maka segala tindakan dari RUPS menjadi tanggung jawab dari perseroan itu. Undang-undang PT Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Pasal 3 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila:

1) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.

2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

3) Pemengang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan itu, atau

4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

(14)

B. Tanggung jawab Direksi

Direksi adalah salah satu organ PT yang memiliki tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik dialam dan diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradikma Perseroan Terbatas hal ini karena Direksi yang menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan Terbatas. Ketentuan normatif

dalam Undang-undang Perseroan Terbatas maka fungsi Direksi adalah melakukan pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berkaitan dengan tugas-tugas internal suatu Perseroan Terbatas untuk kepentingan dalam rangka pencapaian maksud tujuan perseroan sedangkan perwakilan adalah berkaitan dengan tugas mewakili perseroan dalam berinteraksi dengan pihak ketiga maupun mewakili diluar dan di dalam perusahaan.

Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Direksi dapat digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya Begitu juga dalam kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupkerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara renteng atas kerugian tersebut.[11]

Prinsip managemen perseroan yang baik yang telah diakomodasi dalam ketentuan undang-undang Perseeoan Terbatas masih harus dijabarkan secara detail dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab Direksi secara umum berdasarkan hubungan kepercayaan (fiduciary of relationship) antara Direksi dan perseroan. Jika diperjelas hubungan tersebut mengandung tiga faktor penting yaitu:

1) Prinsip kehati-hatian dalam bertindak (duty of skill and care).

2) Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan (duty of loyalty). 3) Prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya milik atau diperuntukkan

bagi perseroan (no secret profit rule doctrine of corporateopportunity).

Menentukan keadaan Direksi dianggap melanggar prinsip tersebut secara detail merupakan hal yang tidak mudah. Berdasarkan prinsip tersebut di atas Direksi dapat menggunakan konsep yang dikenal sebagai the business judgement rule, yang merupakan suatu prinsip yang memberikan perlindungan bagi direksi atas dakwaan pelanggaran ketiga prinsip tersebut. Dengan menggunakan prinsip the business judgement rule Direksi dapat dibebaskan dari tanggungjawab secara pribadi, sekalipun tindakannya merugikan perseroan, asalkan tindakannya dilakukan sebagai keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan itikad baik semata-mata untuk kepentingan

perusahaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT sebagai berikut, bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian yang dimaksud pada ayat (3) jika dapat membuktikan: 1) bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2) telah melakukan pengurusan dengan itkad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3) tidak mempunyai bentuan kepentingan baik langsung maupun tidaj langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Demikian juga tanggung jawab Direksi dalam hal terjadi kepailitan adalah sama dengan tanggung jawab Direksi yang perusahaannya tidak mengalami kepailitan. Prinsipnya Direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama perusahaan berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Hal ini karena perbuatan Direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan Terbatas yang merupakan subyek hukum mandiri sehingga perseroan yang bertanggung jawab terhadap perbuatan perseroan sendiri yang dalam hal ini

(15)

pribadi dalam kepailitan Perseroan Terbatas ini. Pasal 104 ayat (2) UUPT menyebutkan Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kelalaian atau kesalahan Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut setiap anggota direksi secara

tanggungrenteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang terlunasi dari harta pailit tersebut. Bukan hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan kesalahan/kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami kebangkrutan yang berujung pada kepailitan.

Mengenai tanggung jawab Direksi yang perseoannya mengalami kepailitan, Munir Fuady menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit, maka sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak Direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Agar dapat dimintakan pertanggung jawaban pribadi ketika perusahaan pailit harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari Direksi (dengan pembuktian biasa);

2) Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan haruslah diambil terlebih dahulu dari aset-aset perseroan. Bila aset tidak mencukupi barulah diambil aset pribadi Direksi;

3) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelaliaianya.[12]

Permasalahan berikutnya mengenai tanggung jawab adalah mekanisme permintaan pertanggung jawaban direksi yang karena kesalahannya atau karena kelalaiannya menyebabkan perseroan tersebut pailit. Apakah secara mutatis mutandis berlaku terhadap Direksi, dimana Kurator langsung meminta pertanggungjawaban pribadi terhadap Direksi atau diperlukan suatu acara gugatan di pengadilan? Undang-undang Kepailitan tidak mengatur hal ini demikian juga dengan Undang-undang Perseroan Terbatas. M Hadi Subhan berpendapat bahwa Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) bisa dijadikan alternative untuk meminta pertanggung jawaban Direksi yang telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan kerudian pihak ketiga. Selain pertanggung jawaban perdata (civil liability) Direksi dapat juga dikenakan pertanggung jawaban pidana (criminal

liability) dalam kepailitan perseroan terbatas ini. Ketentuan pidana ini berkait dengan tindakan organ perseroan tersebut dinyatakan pailit dan juga berkait dengan terjadinya pailit Perseroan Terbatas. Ketentuan pertanggung jawaban pidana terhadap Direksi diatur dalam Pasal 398 dan 399 KUHP. Pasal 398 KUHP mengatur, bahwa Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau yang penyelesaianya oleh

pengadilan yang telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. 1) Bila yang bersangkutan turut membantu atau mengijinkan untuk melakukan perbuatan perbuatan yang

bertentangan dengan anggaran dasar, yang menyebabkan seluruh atau sebagian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan maskapai atau perkumpulan.

2) Bila yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengijinkan pinjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan padahal ia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiannya tidak dapat dicegah lagi.

3) Bila yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban tersebut seperti dalam Pasal 6 alinea pertama KUHD dan Pasal 27 ayat (1) ordonansi tentang maskapai andil Indonesia atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi tidak dapat

diperlihatkannya dalam keadaan tidak diubah.

Berdasarkan Pasal 399 KUHP, bahwa Pengurus atau komisionaris perseroan terbatas, maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaianya oleh pengadilan telah diperintahkan diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bila yang bersangkutan mengurangi secara curang hak-hak pemiutangan pada perseroan.

Maskapai atau perkumpulan untuk :

(16)

2) Telah memindahtangankan barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau jelas dibawah harganya;

3) Dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada wktu kepailitan atau penyelesaian atau apapun pada saat dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiaan tadi tidak dapat dicegah lagi.

4) Tidak memenuhi kewajibannya untuk membuat catatan penurut Pasal 6 alinea pertama KUHD aatu Pasal 27 (1) ordonansi tentang maskapai andil Indonesia dan tentang menyimpan dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat, dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal, yaitu Pasal 398 dan Pasal 399 tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota Direksi maupun Komisaris Perseroan Terbatas dapat dituntut secara pidana apabila mereka telah menyebabkan kerugian para kreditur Perseroan Terbatas dan dapat dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan apabila mereka turut serta dalam memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar Prseroan Terbatas dan perbuatan tersebut kerugian berat sehingga Perseroan Terbatas jatuh pailit atau turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan Perseroan Terbatas atau lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan dalam UUPT dan anggaran dasar Perseroan Terbatas. Selanjutnya baik direksi maupun komisaris Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan pailit dapat dituntut secara pidana dan dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun bila merekayasa pengeluaran / utang dengan maksud mengurangi secara curang hak-hak para kreditur Perseroan Terbatas atau mengalihkan kekayaan Perseroan Terbatas dengan Cuma-Cuma atau dengan harga jauh dibawah kewajaran.

C. Tanggung jawab Komisaris.

Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi dalammenjalankan pengurusan perseroan. Dalam menjalankan tugasnya dewan komisaris berwenang untuk memasuki kantor perseroan, mendapatkan laporan direksi, memeriksa dokumen perseroan, menyetujui atau tidak menyetujui suatu tindakan tertentu dari Direksi yang diatur dalam anggaran dasar, serta memberhentikan sementara direksi dan pengurus perseroan jika perseroan tidak memiliki Direksi.

Berbeda dengan anggota Direksi, Dewan Komisaris bertindak sebagai majelis, Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri mewakili Direksi. Komisaris wajib bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab

menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pemegang saham, atas nama perseroan jika mempunyai paling sedikit 1/10 bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara yang sah dapat melakukan tuntutan kepada Komisaris yang karena kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian perseoan. Dewan Komisaris merupakan organ perseroan yang melakukan pengawasan atas kebijaksanaan kepengurusan dan tindakan pengurusan oleh direksi, fungsi tersebut dewan Komisaris berkewajiban memberikan nasehat kepada Direksi. Dalam kepustakaan dikatakan bahwa pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan untuk melakukan penilaian terhadap hasil kerjaan bawahan apakah sesuai dengan suatu pedoman atau kebijaksanaan yang ditetapkan sebelumnya.[13] Dengan demikian titik berat dari tugas Dewan Komisaris adalah mengawasi pengurusan yang dijalankan oleh Direksi, menurut UU PT, Dewan Komisaris memiliki dua wewenang yang bersifat preventif untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengambil keputusan perseroan dan wewenang yang bersifat represif untuk mengambil tindakan setelah perseroan melakukan kesalahan.

Berdasarkan Pasal 114 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan demikian: 1) Dewan Komisaris bertanggungjawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1). 2) Setiap angota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian dan bertanggungjawab dalam menjalankan

tugas pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

(17)

4) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas dua anggota Dewan Komisaris atau lebih tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat(3) berlaku secara renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.

5) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan

c. telah memberikan nasehat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut

6) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh pemegang saham dengan hak suara dapat mengugat anggota Dewan Komisaris yang kareana kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke Pengadilan Negeri

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jelas bahwa jika komisaris lalai dalam menjalankan kewajibannya yakni tidak dengan itikad baik dan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perusahaan, maka Komisaris harus bertanggung jawab secara hukum. Jika Komisaris bersalah maka seluruh anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara renteng. Berdasarkan Pasal 115 UU PT, bahwa tanggung jawab Dewan Komisaris dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan Komisaris dalam melakukan tugas pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.

(18)

KIBAT HUKUM PERSEROAN TERBATAS (PT) TERHADAP KEPUTUSAN PAILIT PENGADILAN NIAGA

Oleh :

Arif Indra Setyadi

Mahasiswa Pasca Sarjana Kenotariatan UNDIP 2011

I. Perseroan Terbatas

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai akibat hukum apabila PT dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, alangkah lebih baiknya kita memahami Pengertian lebih dalam tentang PT sebagai Badan Hukum, karena hal ini berkait erat dengan pertanggungjawaban kegiatan yang telah dilakukan oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas.

Pasal 1 butir 1 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,selanjutnya disebut UUPT, menegaskan bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalahBADAN HUKUM. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan berkedudukan sebagai SUBYEK HUKUM yang mampu mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya, atau dapat dikatakan bahwa kita dapat menemuirechtpersoonlijkheid dalam badan hukum korporasi atau perseroan. Akan tetapi dalam UUPT tidak akan kita temui batasan apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan badan hukum tersebut. Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai badan hukum antara lain sebagai berikut :[1]

1. Teori Fiktif dari Von Savigny

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.

2. Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz

Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusiapun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atas kekayaan kepunyaan suatu tujuan.

3. Teori Organ dari Otto Von Gierki

Menurut teori ini badan hukum adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada dalam pergaulan hukum. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-anggotanya). Apa yang mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.

4. Teori propiete collective dari Planiol

Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Maka dari itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Dengan demikian dari berbagai teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu sebagai berikut :

(19)

• Kedua, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya kalau badan hukum itu membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.[2]

Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggungjawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada di belakang badan hukum tersebut. Yang dimaksudkan dengan

pertanggungjawaban adalah siapa yang harus membayar utang yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan bersama ? Siapa yang harus menanggung atas kerugian yang timbul.

Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Butir 1 UUPT tersebut diatas bahwa Perseroan Terbatas adalah merupakan badan hukum berarti bahwa badan Hukum (Perseroan Terbatas) merupakan penyandang hak dan kewajibannya sendiri yang memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagi subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberdayaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum.

Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya mungkin dilaksanakan oleh orang perorangan seperti misalnya yang diatur dalam buku kedua KUHPerdata tentang kewarisan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimiliki tersebut, UUPT telah merumuskan fungsi dan tugas dari masing-masing ORGAN PERSEROAN tersebut yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat 2 UUPT organ perseroan terbatas adalah :

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang kedudukannya adalah sebagai organ yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam perseroan berdasar ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT yang menerangkan bahwa :

“Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris”.

Akan tetapi kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang tersebut adalah tidak mutlak artinya bahwa kekuasaan tertinggi yang dimiliki RUPS hanya mengenai wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris karena tugas dan wewenang setiap organ perseroan termasuk RUPS sudah diatur secara mandiri (otonom) di dalam UUPT.

2. Direksi

Tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan. Direksi atau pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan

baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS akan tetapi untuk pertama kali pengangkatannya dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi di dalam akta pendiriannya. Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagai gabungan dari dua macam

persetujuan/perjanjian, yaitu :[3]

1. Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi dan 2. Perjanjian kerja/perburuhan, di sisi lainnya.

(20)

Sebelumdiberlakukannya UUPT, atau ketika kita masih memberlakukan PT berdasarkan KUHD, Organ Komisaris ini tidak wajib ada dalam PT. Tetapi setelah kita memberlakukan UUPT organ Komisaris wajib ada, seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 6 UUPT, yang menerangkan bahwa:

Pasal 1 Butir 6

Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Adapun tugas pokok dari Komisaris dalam Perseroan Terbatas diatur dalamPasal 108 ayat 1 yang menyebutkan bahwa : Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai

Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.

Uraian diatas dapat memberikan pemahaman kepada kita bahwa Perseroan Terbatas terdiri dari 2 (dua) unsur pokok yaitu : 1. Badan Hukum

Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberdayaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum.

2. Organ Perseroan

Hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.Anggota-anggota dari badan hukum itu dalam Perseroan Terbatas terbagi atas

pemilikan saham dalam Perseroan Terbatas, dimana mekanisme pelaksanaan Badan Hukum tersebut dilakukan oleh Organ Perseroan yang terdiri dari RUPS, Direksi dan Komisaris, yang mana memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Anggota-anggota Badan Hukum ini terikat dalam persekutuan modal, yang didasarkan pada perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha yang terbagi atas kepemilikan saham. Sehingga tanggung jawab Organ Perseroan inipun terbatas pada isi perjanjian dalam persekutuan modal dalam bentuk saham yang disetor. Dan pada pelaksanaannya harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam UUPT.

II. Akibat Hukum Perseroan Terbatas (PT) terhadap Keputusan Pailit

Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya kepailitan, yaitu :

1. Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti; 2. Apabila homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti;

3. Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan.

Referensi

Dokumen terkait

selain itu setiap transaksi yang terjadi di puskesmas mampu mengelola data inventory puskesmas.. sistem ini juga mampu berperan untuk menjembatani antara puskesmas

5 Kondisi perairan di selatan Pulau Mandangin persentase tutupan karang keras (Hard Coral) pada bagian selatan ini dengan metode Line Intercept Transect (LIT)

 Gambar garis singgung (slope), usahakan securam mungkin tetapi masih tetap berhimpitan dengan bagian tengah dari kurva S. Berdasarkan R1 dan L, nilai PB, Ti,

Indikator kemampuan komunikasi matematis tulis dalam penelitian ini diturunkan dari NCTM terdiri dari lima macam yaitu (1) siswa menuliskan ide matematis menggunakan

Untuk pinjaman yang diberikan dan piutang yang dicatat pada biaya perolehan diamortisasi, Grup terlebih dahulu menentukan bahwa terdapat bukti obyektif mengenai

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan perpajakan, sanksi perpajakan dan kondisi lingkungan terhadap

9 Uforia masyarakat menyambut BPJS dapat saja terjadi karena sejauh ini akses pelayanan kesehatan masih dirasa sulit, dengan adanya angina segar yang dihembuskan kebijakan BPJS

Ha : Electronic word of mouth memiliki pengaruh yang signifikan terhadap brand image Blue Bird pada followers akun resmi Blue Bird Group pasca insiden anarkis demo 22