BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dari 530 jenis rotan di
dunia, sebanyak 316 jenis terdapat di hutan Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera
terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis, Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis,
Maluku dan Papua 47 jenis. Rotan (Daemonorops sp) biasanya tumbuh dengan
membentuk rumpun, memanjat hingga ketinggian 30 meter tergantung. Batang
rotan penghasil jernang langsing, berdiameter 2 - 3 cm dipenuhi duri-duri kecil
dan tajam. Daun rotan berwarna hijau terdiri dari helaian anak daun yang tersusun
berpasang-pasangan, permukaan bawah daun sedikit cekung. Rotan penghasil
jernang mulai berbuah pada usia 2 tahun, akan tetapi baru menghasilkan getah
jernang setelah berumur 5 tahun. Buah rotan ini pada umumnya yaitu bulat
kecil-kecil berkumpul seperti buah salak (Kemenhut, 2013).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan rotan adalah sebagai berikut:
Super Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Daemonorops
2.1.2 Nama lain
Getah dari buah rotan ini memiliki nama lain yaitu:
Nama daerah : Limbayung (Sumatera Barat), Jernang Kuku, Jernang Huar,
Jernang Seronang, Jernang Uhan (Kalimantan), Getih Badak
(Banten) dan Getih Warok (Jawa).
Nama asing : Dragon’s Blood, Kino, Red Benzoin, Sanguis Draconis, Sang
Ragon, atau Ostindisches Drachenblut(Kemenhut, 2013).
2.1.3 Sifat tumbuhan
Daemonorops draco menghasilkan getah jernang yang keras, berwarna
merah, berbentuk amorf, berat jenis berkisar antara 1,18-1,20, titik cair sekitar
120oC, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap
dan bau yang khas (Waluyo, 2013).
2.1.4 Kandungan kimia tumbuhan
Komponen utama pada jernang adalah resin ester dan dracoresinotanol
(57-82%). Selain itu, resin berwarna merah dan juga mengandung
senyawa-senyawa seperti dracoresene (14%), dracoalban (hingga 2,5%), resin tak larut
(0,3%), residu (18,4%), asam benzoat, asam benzoilasetat, dracohodin, dan
beberapa pigmen terutama nordracorhodin dan nordracorubin (Waluyo, 2013).
2.1.5 Kegunaan tumbuhan
Jernang cukup dikenal sebagai obat tradisional dan digunakan untuk
pengobatan haemostatik, antidiare, antiulcer, antimikroba, antivirus, pengobatan
luka, antitumor, antiinflamasi dan antioksidan. Di samping sebagai pengobatan,
jernang ini juga dapat digunakan untuk bahan baku industri pewarna untuk
adalah sebagai bahan pewarna cat dan obat-obatan, misalnya mengobati luka
akibat gatal-gatal dan juga sebagai ramuan yang dioleskan di kening ibu-ibu yang
baru melewati proses persalinan (Yetty, dkk., 2013).
2.2 Simplisia dan Ekstrak
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan dan digunakan
sebagai obat yang tinggi belum mengalami pengolahan apapun (Depkes, 1979).
Ekstrak merupakan sediaan yang dapat berupa kering, kental, dan cair,
dibuat dengan menyari simplisia nabati dan hewani menurut cara yang sesuai,
yaitu maserasi, perkolasi atau penyeduhan dengan air mendidih. Cairan penyari
yang digunakan adalah air, eter atau campuran etanol dan air. Penyarian dilakukan
diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar
zat berkhasiat yang terdapat di simplisia di dapat dalam bentuk yang mempunyai
kadar yang tinggi (Anief, 2000).
Ekstrak diperoleh dengan ekstraksi, yaitu penarikan zat yang diinginkan
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan
pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:
a. Cara dingin
i. Maserasi, berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya
“merendam”. Merupakan proses perendaman simplisia dalam pelarut
yang sesuai sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga
zat-zat yang mudah larut akan melarut.Maserasi biasanya dilakukan pada
temperatur 15-20oC dalam waktu selama 3 hari (Ansel, 2005).
ii Perkolasi, berasal dari bahasa Latin per yang artinya “melalui” dan
ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna dan
umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari
tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi, dan tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
a. Cara Panas
i. Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
ii. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
iv. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
v. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 oC) dan
2.3 Inflamasi (Radang)
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal kerusakan sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang disebabkan oleh kerusakan asal. Inflamasi terbagi menjadi dua pola
dasar, yaitu:
a. Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.
b. Inflamasi kronik berlangsung lebih lama yaitu berhari-hari sampai
bertahun-tahun dan ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag
disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan
parut (Robbins, 2007).
2.3.1 Mediator inflamasi
Inflamasi dimulai saat sel mast berdegranulasi dan melepaskan
bahan-bahan kimianya seperti histamin, serotonin dan bahan-bahan kimia lainnya. Histamin
merupakan mediator kimia utama inflamasi, juga dilepaskan oleh basofil dan
trombosit. Akibat pelepasan histamin adalah terjadi vasodilatasi pembuluh darah
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler
pada awal inflamasi (Corwin, 2008).
Lalu dilepaskan juga mediator lain yaitu faktor kemotaktik neutrofil dan
eusinofil oleh leukosit, yang dapat menarik sel-sel ke daerah cedera. Selain itu
dilepaskan prostaglandin yang dapat meningkatkan aliran darah ke tempat yang
mengalami inflamasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan merangsang
kapiler dan meningkatkan adhesi leukosit pada pembuluh kapiler selama cedera
(Corwin, 2008).
Berikut ini adalah mediator-mediator inflamasi beserta efeknya (Robbins, 2007) :
a. Vasodilatasi : prostaglandin dan nitrit oksida
b. Peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, serotonin, bradikinin,
leukotrien C4, leukotrien D4, dan leukotrien E4
c. Kemotaksis, aktivasi leukosit : leukotrien B4, kemokin (misalnya:
interleukin 8 [IL-8])
d. Demam : IL-1, IL-6, prostaglandin, faktor nekrosis tumor (TNF)
e. Nyeri: prostaglandin dan bradikinin
f. Kerusakan jaringan: nitrit oksida, enzim lisosom neutrofil dan makrofag
2.3.2 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi
Gejala terjadinya inflamasi akut ada 5, yaitu kemerahan (rubor), panas
(kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (funtio laesa):
a. Kemerahan ( rubor)
Kemerahan, atau rubor, merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri
yang mensuplai darah ke daerah tersebut berdilatasi, dengan demikian lebih
banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah
yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi
penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna
merah lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi
inflamasi diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price
b. Panas (kalor)
Panas, atau kalor, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
inflamasi akut. Panas merupakan reaksi inflamasi yang khas karena terjadi pada
permukaan tubuh yakni kulit. Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas
dari daerah sekitarnya, sebab darah dengan suhu 37oC yang disalurkan tubuh ke
permukaan daerah yang terkena inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke
daerah normal (Price dan Wilson, 1995).
c. Rasa Nyeri (dolor)
Rasa nyeri, atau dolor, adalah reaksi inflamasi yang dapat dihasilkan
dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran mediator tertentu, misalnya histamin
atau pembengkakan jaringan yang meinflamasi mengakibatkan peningkatan
tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Price dan Wilson, 1995).
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala yang paling menyolok dari inflamasi akut adalah tumor atau
pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding
kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang
cedera. Pada inflamasi, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan
lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh
molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak
protein daripada biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk
kedalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak (Price dan
Wilson, 1995).
e. Perubahan Fungsi (Fungsio Laesa)
Gangguan fungsi, atau functio laesa, merupakan konsekuensi dari suatu
proses inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah inflamasi, baik yang dilakukan
secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,
pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak
jaringan (Price dan Wilson, 1995).
2.3.3 Mekanisme terjadinya inflamasi
Salah satu faktor penyebab terjadinya inflamasi adalah produk yang
dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan
suatu asam lemak tak jenuh ganda dengan 20 atom karbon. Asam arakhidonat
dilepaskan oleh fosfolipid melalui fosfolipase sel yang telah diaktifkan oleh
rangsang mekanik, kimiawi, atau fisik. Proses metabolisme asam arakhidonat
terjadi melalui dua jalur utama, yaitu siklooksigenase dengan menyintesis
prostaglandin juga tromboksan dan lipooksigenase yang menyintesis leukotrien
dan lipoksin.
Jalur utama metabolisme asam arakhidonat, yaitu:
a. Jalur siklooksigenase, produk yang dihasilkan oleh jalur ini adalah
prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2
(TXA2). TXA2 adalah pengagregasi trombosit dan vasokonstriktor,
merupakan produk utama prostaglandin dalam trombosit. PGI2 adalah
suatu vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. PGD2 merupakan
metabolit utama jalur siklooksigenase dalam sel mast, bersama dengan
PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan pembentukan edema.
inflamasi, PGE2 membantu menigkatkan sensitivitas nyeri terhadap
berbagai rangsang dan berinteraksi dengan sitokin yang menyebabkan
demam.
b. Jalur lipooksigenase, merupakan enzim yang memetabolisme asam
arakhidonat yang menonjol dalam neutrofil. Enzim ini menghasilkan
leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4
(LTA4) yang selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik.
LTB4 merupakan agen kemotaksis dan menyebabkan agregasi neutrofil.
LTC4 dan metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4 menyebabkan
vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular.
Kemudian lipoksin A4 (LXA4) yang menyebabkan vasodilatasi dan
menghambat kemotaksis neutrofil (Robbins, 2007).
Mekanisme terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.
2.4 Obat Antiinflamasi
Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan
atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamasi
terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat
antiinflamasi steroid. Obat antiinflamasi yang kedua yaitu golongan obat
antiinflamasi nonsteroid (AINS)
2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroida
Obat antiinflamasi golongan steroida bekerja menghambat sintesis
prostaglandin dengan cara menghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid
yang berada pada membran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakidonat.
Akibatnya prostaglandin tidak akan terbentuk dan efek inflamasi tidak ada.
Contoh obat antiinflamasi steroid adalah deksametason, betametason dan
hidrokortison (Tan, dan Rahardja, 2007).
2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroida
Obat antiinflamasi golongan nonsteroida digunakan untuk pengobatan
nyeri, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan lainnya. Semua obat antiinflamasi
nonsteroid mempunyai efek klinis yaitu dengan menghambat sintesis
prostaglandin. Prostaglandin menyebabkan terjadinya inflamasi. Prostaglandin
juga ikut mengatur temperatur tubuh, rasa nyeri, agregasi platelet dan efek lainnya.
Waktu paruhnya hanya hitungan menit. Jadi, ketika enzim pembuat prostaglandin
dihambat, maka tidak terjadi pengeluaran prostaglandin. Enzim pembuat
prostaglandin adalah siklooksigenase. Dua isoform siklooksigenase (COX) telah
lambung. COX-2 terdapat di otak dan ginjal, juga dapat menyebabkan inflamasi.
COX-1, terdapat di platelet (Stringer, 2001).
Obat antiinflamasi nonsteroid awal, memiliki cara kerja dengan
menghambat semua isoform COX. Kemudian, obat antiinflamasi nonsteroid yang
spesifik menghambat COX-2 mulai ada. Obat spesifik penghambat COX-2 dapat
mengobati inflamasi tanpa merusak saluran pencernaan dan mengubah fungsi
platelet. Contoh dari obat ini adalah rofecoxib dan celecoxib (Stringer, 2001).
Secara kimiawi, penggolongan obat antiinflamasi nonsteroida ini dibagi dalam
beberapa kelompok, yaitu (Tan, dan Rahardja, 2007) :
a. Salisilat: asetosal, benorilat dan diflunisal
b. Asetat: natrium diklofenak, indometasin dan sulindac
c. Propionat: ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, dan tiaprofenat
d. Oxicam: piroxicam, tenoxicam, dan meloxicam
e. Pirazolon: oksifenilbutazon, dan azapropazon
f. Lainnya: mefenaminat, nabumeton, benzidamin dan bufexamac
2.4.2.1 Natrium diklofenak
Rumus bangun natrium diklofenak dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Rumus molekul : C14H10Cl2NNaO2
Nama kimia : asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]
monosodium
Berat molekul : 318,13
Pemerian : serbuk kristal putih atau sedikit kuning, agak higroskopis
Kelarutan : Sedikit larut dalam air, mudah larut dalam metanol, larut
dalam etanol (96 persen), dan sedikit larut dalan aseton
(British Pharmacopoeia, 2009).
Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif
sebagai penghambat siklooksigenase. Obat ini memiliki waktu paruh singkat yaitu
1-3 jam. Efek samping yang lazim dari obat ini ialah, mual, gastritis, eritema kulit
dan sakit kepala. Pemakaian obat ini harus hati-hati terhadap pasien tukak
lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa
100-150 mg sehari terbagi dalam 2-3 dosis (Wilmana, 2009).
2.5 Karagenan
Iritan yang digunakan untuk pengujian efek inflamasi beragam jenisnya,
salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan suatu polisakarida hasil
ekstrak rumput laut dari famili Euchema, Chondrus, dan Gigartina. Bentuknya
berupa serbuk berwarna putih hingga kuning kecoklatan, ada yang berbentuk
butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa berlendir di
lidah. Berdasarkan kandungan sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan
dapat menjadi tiga jenis, yaitu lamda karagenan, iota karagenan, dan kappa
Karagenan berperan dalam pembentukan udem pada model inflamasi akut.
Karagenan dipilih karena dapat melepaskan mediator inflamasi, yaitu
prostaglandin setelah disuntikkan ke hewan uji. Oleh karena itu, karagenan dapat
digunakan sebagai iritan dalam metode uji yang bertujuan untuk mencari
obat-obat antiinflamasi, tepatnya yang bekerja dengan menghambat sintesis
prostaglandin (Winter, 1961). Penggunaan karagenan sebagai penginduksi
memiliki beberapa keuntungan, antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak
menimbulkan kerusakan jaringan dan memberikan respon yng lebih peka terhadap
obat antiinflamasi dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).
2.6 Pengujian Efek Antiinflamasi Akut
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk model inflamasi akut
(Suralkar, 2008), adalah:
a. Induksi Karagenan
Induksi udem dilakukan pada kaki hewan uji. Dalam hal ini disuntikkan
suspensi karagenan secara subplantar. Obat uji diberikan secara oral. Volume
udem kaki diukur dengan alat pletismometer. Aktivitas inflamasi obat uji
ditunjukkan oleh kemampuan obat uji mengurangi udem yang diinduksi pada
telapak kaki hewan uji.
b. Induksi Histamin
Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karagenan,
hanya saja penginduksi yang digunakan adalah larutan histamin 1%.
Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap
peningkatan permeabilitas vaskular yang diinduksi oleh asam asetat secara
intraperitoneal. Sejumlah pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara
intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap peningkatan permeabilitas vaskular
ditunjukkan dengan kemampuan obat uji dalam mengurangi konsentrasi pewarna
yang menempel dalam ruang abdomen yang disuntikkan sesaat setelah induksi
asam asetat.
d. Induksi Xylene pada udem daun telinga
Hewan uji diberikan obat, kemudian diinduksi xylene dengan mikropipet
pada kedua permukaan daun telinga kanannya. Telinga kiri digunakan sebagai
kontrol. Terdapat dua parameter yang diukur dalam metode ini, yaitu ketebalan
dan bobot dari daun telinga hewan uji. Ketebalan daun telinga hewan uji yang
telah diinduksi diukur dengan menggunakan jangka sorong digital, lalu
dibandingkan dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun
telinga, maka daun telinga hewan uji dipotong dan ditimbang. Kemudian
dibandingkan beratnya dengan telinga kiri.
e. Induksi Asam Arakhidonat pada udem daun telinga
Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi xylene, hanya
saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat yang diberikan secara