• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotanopan Tahun 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotanopan Tahun 2014."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kesehatan sangat memerlukan perhatian karena dengan terwujudnya masyarakat yang sehat maka akan terwujud pula kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan negara yang sehat. Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan nasional. Oleh karena itu, kesehatan diupayakan dapat menjangkau dan dimanfaatkan oleh setiap warga negara.

Undang-undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan, setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau serta setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Dalam pasal 20 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

(2)

Program jaminan kesehatan ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan bagi peserta yang telah membayar iuran (Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014). JKN ini diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Dalam pelaksanaannya sering terjadi Moral Hazard dimana orang yang sudah memiliki asuransi kesehatan cenderung akan merasa terjamin untuk mengakses layanan kesehatan sesuka hati mereka. Kepemilikan asuransi memang baik untuk menjamin ekuitas tapi itu menyimpan efek buruk di sisi lain. Ini membuat seseorang merasa terjamin mengenai masa depan layanan kesehatannya. Mau sakit apapun bisa mudah berobat. Tak ada lagi kepedulian berapa harganya yang penting terjangkau dan terpenuhi. Perilaku berisiko yang kerap terus dilakukan karena merasa akses layanan kesehatan bagi dirinya sudah terjamin ( ex-ante moral hazard) atau berulangkali datang ke layanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan yang sebenarnya tak benar-benar ia perlukan (ex-post moral hazard) (Fuady, 2012).

(3)

anggaran sebesar Rp 2,11 triliun setiap tahunnya jika ada larangan bagi perokok untuk menerima layanan Jamkesmas. Larangan ini menyangkut moral karena perokok memilih untuk menerima risiko penyakit ketika merokok dan sudah diingatkan pemerintah. Setiap tahunnya, pengeluaran negara untuk Jamkesmas mencapai Rp 6,7 triliun hingga Rp 7,4 triliun. Sedangkan, biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan bagi pasien yang sakit akibat rokok mencapai Rp 2,11 triliun per tahun (Wicaksono, 2013).

Menurut Kemenkes, bantuan dari pemerintah berupa Jamkesmas hanya ditujukan bagi masyarakat yang membutuhkan dan telah melaksanakan kewajiban menjaga kesehatan. Saat ini Kemenkes sudah meminta pengelola program Jamkesmas, seperti PT Askes untuk mendata secara lengkap penyakit yang dilayani akibat rokok. Hal ini untuk memastikan kelengkapan data pendukung peraturan larangan perokok mendapatkan Jamkesmas atau layanan BPJS Kesehatan nantinya. Rencana pemerintah menerapkan larangan perokok mengantongi Jamkesmas juga untuk mendukung keberadaan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Wicaksono, 2013).

(4)

jangka waktu yang pendek tetapi akan baru terasa setelah beberapa tahun bahkan setelah berpuluh-puluh tahun (Utama, 2004).

Dari hasil kajian Badan Litbangkes tahun 2013, dampak buruk akibat tembakau/merokok pada kesehatan di Indonesia menunjukkan kenaikan kematian prematur akibat penyakit terkait tembakau dari 190.260 di tahun 2010 menjadi 240.618 kematian di tahun 2013, serta kenaikan penderita penyakit akibat konsumsi tembakau dari 384.058 orang tahun 2010 menjadi 962.403 orang tahun 2013. Kondisi ini berdampak pula pada peningkatan total kumulatif kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau. Jika dinilai dengan uang, kerugian ekonomi naik dari 245,41 trilyun rupiah tahun 2010 menjadi 378,75 trilyun rupiah tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014).

Menurut Tobacco Control Support Center (TCSC), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) 2007, pada tahun 2005 jumlah kematian akibat 3 kelompok penyakit utama yaitu kanker, penyakit jantung dan penyakit pernafasan kronik obstruktif diperkirakan sebesar 400.000 orang yang menyebabkan kerugian total sebesar 167 triliun rupiah atau setara dengan 5 kali lipat pendapatan pemerintah dari cukai tembakau pada tahun yang sama sebesar 37 triliun rupiah. Merokok mengurangi separuh usia hidup penggunanya dan 50% dari kematian tersebut terjadi pada usia 30-69 tahun. Pada tahun 2005, kematian dini akibat merokok mencapai 5 juta penduduk dunia (Wijaya, 2011).

(5)

bayi dan angka kematian balita antara keluarga yang ayahnya merokok dan keluarga dengan ayah tidak merokok. Terlihat bahwa angka kematian bayi dan balita pada keluarga yang ayahnya merokok lebih tinggi daripada pada keluarga dengan ayah yang tidak merokok. Sementara itu, menurut WHO

(World Health Organization) 2011, pada abad ke-20 yang baru lalu, ada 100 juta penduduk dunia meninggal dunia akibat rokok. Diperkirakan pada tahun 2030 angka kematian akibat rokok akan melebihi 8 juta orang pertahun dan akan ada 1 milyar kematian akibat rokok selama abad 21 ini bila tidak dilakukan upaya-upaya intervensi yang efektif.

(6)

bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat lain yang telah ditetapkan.

Peraturan penanggulangan rokok yang telah ada belum berjalan secara efektif, terbukti masih tingginya prevalensi perokok. Di seluruh dunia, prevalensi orang yang merokok mengalami penurunan tetapi jumlah perokok meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hasil temuan dari tim peneliti Amerika bahwa jumlah perokok di seluruh dunia meningkat menjadi hampir satu milyar orang (dikutip dari BBC dalam Journal Of The American Medical Association).

Menurut WHO 2008, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak di dunia (61,4 juta perokok) setelah Cina dan India. Sementara itu, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington memperkirakan jumlah perokok Indonesia sebanyak 52 juta orang. Jumlah perokok pria di Indonesia dalam 30 tahun terakhir meningkat 57%. Peningkatan ini merupakan jumlah tertinggi kedua di dunia berdasarkan hasil penelitian The Institute for Health Metrics and Evaluation (IMHE) dalam Jurnal Kesehatan Amerika (Hafid. 2014).

(7)

menjadi 36,3% (2013). Hasil GATS (Global Adaults Tobacco Survey) 2011 dan Riskesdas 2013 menunjukkan proporsi perokok pria dari 67% tahun 2011 menjadi 64,9% tahun 2013. Selain itu ditemukan juga 9,9% perokok pada kelompok tidak bekerja dan 32,3% pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sekitar 12,3 batang, untuk terendah 10 batang dan tertinggi 18,3 batang.

Hasil penelitian Darwati 2009 adalah anggota asuransi kesehatan yang merokok lebih banyak yaitu 70,4% dibandingkan dengan yang tidak merokok sebanyak 29,6%. Berdasarkan pendidikan, lulusan SMP/SMA 1,2 kali lebih banyak yang memiliki kebiasaan merokok dibandingkan dengan yang lulusan SD/Tidak Sekolah, untuk usia, responden yang berumur diatas 29 tahun memiliki dua kali lipat kemungkinan kebiasaan merokok dibandingkan dengan yang berusia kurang atau sama dengan 29 tahun, responden yang berpendapatan lebih tinggi dari UMK memiliki 0,4 kali kemungkinan kebiasaan merokok dibanding yang berpendapatan lebih kecil daari UMK serta pria dan wanita memiliki kemungkinan kebiasaan merokok yang sama.

(8)

kemampuan menyediakan kebutuhan akan makanan bergizi bagi keluarga, pendidikan dan upaya memperoleh pelayanan kesehatan (Wijaya, 2011).

Kebutuhan masyarakat Indonesia adalah 72% kebutuhan pokok atau beras, 11,5% rokok, 11% ikan, daging, susu, dan sejenisnya, pendidikan

Di Indonesia kelompok keluargatermiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebihtinggi dari pada kelompok pendapatan terkaya. Proporsipengeluaran bulanan untuk belanja rokok pada rumahtangga termiskin (12%) juga lebih tinggi dari rumahtangga terkaya (7%).Proporsi belanja bulanan rokok keluarga termiskinperokok adalah kedua terbesar (12%) setelah beras(22%). Belanja bulanan rokok keluarga termiskin setara dengan 15 kali biaya pendidikan (0,8%) dan 9 kali bagikesehatan (1,3%). Dibandingkan pengeluaran makananbergizi, jumlah itu setara 5 kali pengeluaran untuk telurdan susu (2,3%), 2 kali pengeluaran untuk ikan (6,8%)dan 17 kali pengeluaran

(9)

membeli daging (0,7%). Susenas 2006 menunjukkan rata-rata pengeluaran rokok pada keluarga perokok sekitar Rp 117 ribu per bulan, pada keluarga termiskin rata-rata Rp 52 ribu yang dihabiskan membeli rokok. Program pengurangan kemiskinan akan terhambat apabila keluarga miskin masih terperangkap adiksi rokok (TCSC-IAKMI, 2009).

Perilaku kesehatan menurut Skiner (Notoadmojo, 2007) adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yaitu : makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, mengendalikan stress, perilaku dan gaya hidup. Menurut Notoadmojo 2007, perilaku dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, persepsi dan sebagainya.

(10)

Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk masyarakat miskin/peralihan dari Jamkesmas.

Jumlah peserta peralihan (warga miskin yang tidak mampu menanggung iuran) tercatat sebanyak 116.122.065 peserta (50%) yang akan ditanggung pemerintah melalui kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI). Di seluruh Indonesia jumlah peserta PBI mencapai 86,4 juta orang. Di Provinsi Sumatera Utara PBI tercatat sebanyak 4.192.297 orang (30%). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013, penduduk yang memiliki askeskin/jamkesmas sebanyak 175. 187 peserta (42,63%) yang otomatis akan menjadi peserta PBI.

Dari hasil penelitian Siyoto tahun 2013 bahwa rata-rata unur kepala keluarga adalah 49,5 tahun, pengeluaran rata-rata 122,331>UMR, mayoritas pekerjaannya adalah buruh tani, buruh bangunan, pendidikan mayoritas SMP/SMA serta aktif mengikuti kegiatan RT di lingkungan tempat tinggalnya dan sebagian besar merokok 63% dengan pengeluaran sebesar Rp. 268.948,-. Pengeluaran terbesar kepala keluarga penerima Jamkesmas/PBI di Kota Kediri ternyata didapatkan nilai yang melebihi UMR Kota Kediri (Rp. 850.000 tahun 2012 dan Rp. 1.040.000 tahun 2013). Pengeluaran terbesar keluarga untuk makan kemudian untuk rokok atau tembakau. Baru kemudian untuk pendidikan anak, listrik, komunikasi, arisan , dll (Siyoto, 2013).

(11)

pedagang dan buruh harian. Dari pengumpulan data puskesmas ditemukan sepuluh penyakit terbesar di Puskesmas Kotanopan dengan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) sebagai urutan pertama (Profil Puskesmas Kotanopan, 2013).

Jumlah peserta PBI di wilayah kerja Puskesmas Kotanopan sebanyak 10.110 peserta. Namun dari penuturan petugas puskesmas sebagian besar dari peserta PBI ini memiliki kebiasaan merokok. Dari penuturan beberapa warga, mereka juga mengatakan sudah lama merokok dan bisa menghabiskan rokok antara 6 sampai 15 batang per hari. Harga rokok berkisar antara Rp. 9.000 s/d Rp. 11.000 per bungkus dengan penghasilan rata-rata Rp. 1.500.000 per bulan. Mereka merokok disela-sela istirahat dari aktivitasnya, diwaktu luang, sehabis makan dan konsumsi rokok akan meningkat jika sedang suntuk. Mereka juga mengatakan sudah pernah mencoba berhenti merokok apalagi saat mereka sakit tetapi hanya bertahan sementara karena bagi mereka merokok adalah salah satu kenikmatan apalagi setelah makan.

(12)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah Apakah Ada Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Puskesmas Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah ada Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dengan Perilaku Merokok Di Puskesmas Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Dinas Kabupaten Mandailing Natal dan Puskesmas Kotanopan dalam pembuatan atau penyusunan program kesehatan lainnya dan sebagai informasi pelaksanaan dan kepesertaan JKN di wilayah kerjanya.

1.4.2. Diharapkan bisa menjadi referensi bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk semua instrumen keuangan yang diukur pada biaya perolehan diamortisasi, penghasilan atau beban bunga dicatat dengan menggunakan metode Suku Bunga Efektif (“SBE”),

Untuk menguji signifikansi hubungan antara ekuitas merek yang terdiri dari kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas dan loyalitas merek terhadap harga premium

Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah.Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala

i, dan diamalkan apa yang terkandung

Dalam ijmak kaum muslimin tentang kebolehan jual beli dan hikmah yang terkandung didalamnya. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan

Ipomoae aquatic , dan tanaman Hydrilla verticillata termasuk jenis tanaman mencuat di permukaan air ( emergent ) dan akarnya tenggelam ( amphibious ) sehingga

Untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan model pembelajaran kontruktivisme yaitu LC 7E (Sumiyati dkk,

Kesalahan penulisan transliterasi di atas terdapat kesalahan lokal pada kata ﺔﺒﻴﺒﻄ / ţabībah/ , pada penulisan transliterasi tersebut huruf ﻁ / ṭ / ditulis /ţ/,