BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia mempunyai dua aspek dalam kehidupannya, yaitu sebagai manusia
pribadi dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dua aspek itu tidak mungkin
dapat dipisahkan, artinya bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendirian, harus
bersama-sama dengan manusia lainnya.Hubungan antara sesama manusia tersebut
menimbulkan berbagai macam kebutuhan,baik yang sangat sederhana misalnya
saling berkomunikasi, kerja sama, dan sebagainya, ataupun membentuk hubungan
kejenjang yang lebih serius, misalnya perkawinan.1
Salah satu yang menjadi kebutuhan hidup dasar manusia adalah membentuk
suatu rumah tangga melalui perkawinan.2Perkawinan merupakan ikatan suci
antara seorang pria dan wanita yang saling mencintai dan menyayangi.
Perkawinan tersebut menimbulkan berbagai hubungan hukum, yaitu hubungan
hukum antara suami-istri berupa hak dan kewajiban, kemudian dengan lahirnya
anak mereka, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak.
Perkawinan juga akan menimbulkan hubungan hukum terhadap harta kekayaan
yang dimiliki pasangan suami-istri tersebut.
Perkawinan merupakan penyatuan dua manusia yang memiliki berbagai
perbedaan diantaranya, berbeda latar belakang, sifat, watak, pendidikan dan
pandangan hidup. Perbedaan ini terkadang dapat menimbulkan kerenggangan
1
H. Rusdi Malik, Peran Agama dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2010), hal. 1.
2
dalam perkawinan. Faktor kerenggangan dalam perkawinan tidak hanya berasal
dari internal pasangan suami-istri tersebut, melainkan dapat juga berasal dari
faktor eksternal yaitu lingkungan, keluarga besar, dan lain-lain. Faktor-faktor ini
terkadang dapat memicu suatu permasalahan dalam perkawinan atau bahkan jika
permasalahan tersebut menjadi lebih buruk dapat menimbulkan suatu perceraian.
Setiap orang pasti menginginkan perkawinansekali dalam dalam seumur
hidup, tidak pernah terbersit bila dikemudian hari harus bercerai lalu menikah lagi
dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri. Namun pada kenyataannya,
tidak sedikit pasangan suami-istri yang akhirnya harus memilih berpisah ataupun
bercerai. Penyebab terjadinya perceraian antara lain, faktor ketidak cocokan,
berbeda persepsi serta pandangan hidup.3
Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974), menentukan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atau atas keputusan
Pengadilan.4 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, baik itu
karena suami yang telah menjatuhkan talak, ataupun karena istri yang menggugat
cerai (cerai gugat).5
Perceraian dalam hukum Islam dapat terjadi ketika suami mengucapkan
talak, maka pada saat itu juga suami-istri dianggap telah bercerai. Namun, karena
masyarakat tersebut hidup dalam suatu negara yang memiliki hukum, maka
perceraian pun dilakukan dengan turut campurnya negara untuk mengawasi dan
mengatur tata cara perceraian sesuai dengan hukum positif yang berlaku dalam
3Ibid . 4
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 5
negara tersebut. Apabila seorang suami ingin menjatuhkan talak pada istrinya,
harus dilakukan di depan Pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala
hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum atas perceraian tersebut,
begitu juga dengan anak yang telah ada selama perkawinan dan harta-harta yang
dikumpulkan selama terikat dalam suatu perkawinan.
Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:6
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta besama;
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing dari hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Perkawinan mengakibatkan adanya persatuan bulat harta kekayaan antara
suami-istri, tetapi tidak menutup kemungkinan harta kekayaan dalam perkawinan
terdapat harta milik pribadi masing-masing suami-istri.Pasal 85 Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI)
menyebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.7 Pasal 86 KHI
menyebutkan bahwa:8
1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan;
2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
6
UU No. 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 35. 7
Pasal 85 Inpers Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 8
Harta bersama diperoleh pada saat perkawinan berlangsung, tetapi jika
perkawinan putus maka harta bersama akan dibagi antara suami dan istri, kecuali
jika ada ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat. Dalam
kasus-kasus perceraian, harta perkawinan menjadi persengketaan antara suami-istri.
Suami maupun istri merasa memiliki hak atas harta bersama pada saat perkawinan
masih berjalan, sehingga kedua belah pihak menuntut bagiannya masing-masing.
Tentunya status dan kepemilikan harta itu akan menjadi masalah tersendiri.
Apakah harta itu merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dari usaha
bersama ataukah harta tersebut merupakan harta masing-masing suami-istri
sebelum perkawinan atau usaha sendiri.
Pasal 88 KHI menyebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami
isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.9 Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan
kekuasaan kehakiman sebagai pencari keadilan bagi yang beragama Islam,
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang. Tugas dan
kewenangan Pengadilan Agama yaitu memeriksa, memutus, menyelesaikan
perkara-perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam yaitu wakaf dan shadaqoh.10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, sebagaimana telah dirubah dua kali dan yang terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
9Ibid,
Pasal 88. 10
Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
(selanjutnya disebut UU No. 7 Tahun 1989) Pasal 49 menyebutkan bahwa:11
1. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
Pengadilan Agama Medan menjadi lokasi penelitian dalam skripsi ini,
sebagai instansi yang wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini. Tempat tersebut dipilih
sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan tempat tersebut memenuhi
karakteristik untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang akan ditulis.
Pengajuan permohonan pembagian harta bersama dan perceraian harus
dipisahkan, hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 2205 K/Pdt/1981, tidak benar menggabungkan gugatan perceraian dengan
pembagian harta bersama. Dalam putusan itu, hukum acara tidak membolehkan
penggabungan antara gugatan cerai dengan pembagian harta bersama. Alasan
yang sering diajukan, antara kedua gugatan masing-masing berdiri sendiri.
Gugatan perceraian berada didepan dan pembagian harta bersama berada
dibelakang. Gugatan Harta Bersama berdasarkan hukum acara baru dapat muncul
setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Hukum Islam tidak mengatur masalah harta bersama, tetapi bukan berarti
Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menangani masalah harta bersama.
11
Penyelesaian sengketa harta bersama yang didaftarkan ke Pengadilan Agama
terlebih dahulu harus ditempuh dengan menawarkan proses mediasi.
Pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan diharapkan agar
para pihak yang bersengketa terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian.
Proses mediasi di Pengadilandilakukan setelah sengketa perdata (gugatan)
di daftarkan pada kepaniteraan Pengadilan, maka pada sidang pertama ketika para
pihak yang bersengketa sudah dipanggil dan berada dalam ruang sidang,
Hakimmewajibkan para pihak yang bersengketa terlebih dahulu mengupayakan
perdamaian melalui mediasi. Mediasi adalah kegiatan menjembatani pertemuan
antara dua pihak yang bersengketa untuk dapat menghasilkan kesepakatan.
Kegiatan ini dilakukan oleh Meditor sebagai pihak yang ikut membantu mencari
berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disingkat APS). Posisi
Mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan
agar dapat mengakhiri persengketaan tersebut. Seorang Mediatortidak dapat
memaksa para pihak untuk menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya,
tetapi para pihaklah yang menentukan kesepakatan apa yang mereka inginkan.
Mediator hanya membantu mencari alternatif dan mendorong mereka secara
bersama-sama ikut menyelesaikan sengketa.12
Mediasi dalam proses acaradi Pengadilanmerupakan suatu tahapan yang
penting, sehinggaHakim dapat menunda proses persidangan perkara. Pada sidang
pertama, Hakim wajib mendorong para pihak untuk melakukan proses mediasi
dan memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya
12
mediasi.Hal ini penting agar para pihak dapat mengetahui mekanisme, prosedur
dan biaya mediasi yang harus dikeluarkan dalam proses mediasi. Para pihak bebas
memilih Mediator yang disediakan oleh Pengadilan atau Mediator di luar
Pengadilan. Untuk memudahkan memilih Mediator, Ketua Pengadilan
menyediakan daftar Mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama
Mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman
Mediator. Apabila para pihak menunjuk Mediator yang berasal dari Hakim, maka
tidak dikenakan biaya apapun, sedangkan apabila para pihak menunjuk Mediator
yang berasal dari bukan Hakim, maka para pihak harus membayar jasa Mediator,
yang jumlahnya tergantung pada kesepakatan.13
Mediasi di lingkungan Pengadilan pada prinsipnya dilakukan oleh Mediator
yang berasal dari luar Pengadilan. Namun, mengingat jumlah Mediator yang
sangat terbatas dan tidak semua Pengadilan tingkat pertama tersedia Mediator,
maka Hakim dapat menjadi Mediator. Dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf (d)
Peraturan Mahkamah Agung Repubik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya disebut PERMA RI No. 1 Tahun
2008), Hakimpemeriksa perkara dapat menjadi Mediator.14Mediator nonhakim
dapat berpraktek di Pengadilan, apabila memiliki sertifikat Mediator yang
diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang
No. 1 Tahun 2008, menyebutkan bahwa para pihak wajib menempuh proses
mediasi dengan itikad baik.15
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, berdasarkan uraian latar
belakang diatas yaitu:
1. Bagaimana proses mediasi dalam penyelesaian sengketa pembagian harta
bersama setelah perceraian?
2. Bagaimana peran Mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian
harta bersama setelah perceraian?
3. Apa hambatan yang dihadapi Mediator dalam menyelesaikan sengketa
pembagian harta bersama setelah perceraian?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis dalam membahas peran Mediator dalam menyelesaikan
sengketa pembagian harta bersama setelah perceraian adalah :
1. Untuk mengetahui proses mediasi dalam menyelesaikan sengketa
pembagian harta bersama setelah perceraian;
2. Untuk mengetahui peran Mediator dalam penyelesaian sengketa
pembagian harta bersama setelah perceraian;
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Mediator
dalam penyelesaian sengketa pembagian harta bersama setelah
perceraian.
15
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan penulis dalam skripsi ini:
1. Manfaat secara teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
pengetahuan bagi pembaca serta menambah literatur dunia akademisi, khususnya
tentang hal-hal yang berhubungan dengan peran Mediator dalam penyelesaian
sengketa pembagian harta bersama setelah perceraian. Skripsi ini juga mendorong
mahasiswa untuk mencoba mengembangkan teori yang pernah diperoleh dimasa
perkuliahan dengan fakta-fakta yang ada diperaktek Peradilan perdata khususnya
mengenai mediasi.
2. Manfaat secara praktis
Manfaat penulisan skripsi ini ditinjau dari segi praktis, diharapkan dapat
menjadi bahan acuan bagi pemerintah, praktisi hukum maupun masyarakat,
berkaitan dengan masalah perceraian, harta bersama dan mediasi.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk melengkapi penulisan skripsi
iniagar penulisan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, yaitu:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan
pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis
normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
norma-norma hukum yang ada pada masyarakat.16Metode ini digunakan agar
dapat melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memperoleh data
maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal
hasil penelitian, koran, majalah, situs internet, dan sebagainya.17Kemudian
melihat kesesuaian antara hal yang diatur dalam peraturan hukum tersebut dengan
kenyataan dalam lapangan.
2. Data yang digunakan
Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan
data sekunder, yaitu:
a. Data primer
Data primer dalam skrispi ini adalah data yang diperoleh langsung dari
masyarakat melalui wawancara. Penulis melakukan penelitian langsung ke
lapangan mengenai efektifitas dari peraturan hukum yang berkaitan dengan topik
skripsi penulis terhadap praktek di lapangan. Wawancara dilakukan antara penulis
dengan HakimMediatordan profesional mediator yang melakukan mediasi dalam
penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Agama Medan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari berbagai
sumber bacaan yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi ini.
Seperti : buku-buku hukum, makalah hukum, majalah hukum, surat kabar, artikel
16
Zinuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 105. 17
hukum di internet, pendapat para sarjana yang di dunia hukum, dan bahan-bahan
lainnya.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang berguna dalam penulisan skripsi ini yaitu:
a. Studi kepustakaan
Penelitian dilakukan dengan cara mempelajari berbagai sumber bacaan yang
berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi ini, seperti mempelajari bahan
hukum yang mengatur tentang masalah mediasi yang tercakup dalam PERMA
No. 1 Tahun 2008, buku-buku, artikel, jurnal dan lain-lainnya.
b. Studi lapangan
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang ada di
Pengadilan Agama Medan, beberapa kasus tentang pembagian harta bersama yang
masuk ke Pengadilan Agama Medan mulai dari Tahun 2011- Mei 2015 dan
mengklasifikasikannya menurut sejauh mana kasus tersebut sudah ditangai oleh
pihak Pengadilan.
4. Alat mengumpulkan data
Alat mengumpulkan data yang dilakukan penulis yaitu melalui wawancara
dengan HakimMediatorPengadilan Agama Medan dan pedoman wawancara
adalah rumusan masalah dalam skripsi ini, serta PERMA RI No. 1 Tahun 2008.
5. Analisa data yang dipakai adalah analisa kualitatif
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode
ditelitinya.18 Maka skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang
berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet,
kamus dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan
untuk menjawab soal yang dihadapi.
F. Keaslian Penulisan
Pembahasan skripsi ini dengan judul : “PERAN MEDIATOR DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA SETELAH
PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Medan)” belum pernah ditulis dan
belum pernah ada pembahasan sebelumnya.
Langkah awal yang dilakukan penulis sebelum mengerjakan skripsi ini,
adalah melakukan penelusuran terhadap judul skripsi yang terdapat pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum /
Perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat
tertanggal 10 April 2015 menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama pada arsip
Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara/Pusat Dokumentasi dan informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
G. Sistematika Penulisan
Penulis menyajikan skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan dan
berkesinambungan, untuk mempermudah pembaca dalam memahami bagaimana
18
arah dan isi dari skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5
(lima) bab dan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Garis besar dari setiap bab
adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang, yaitu apa yang
melatar belakangi penulis mengangkat judul ini.
Perumusan masalah yaitu hal-hal yang menjadi
permasalahan dalam skripsi ini, tujuan penulisan yaitu
maksud dari penulis menulis skripsi dengan tujuan
tersebut, manfaat penulisan yaitu apa yang menjadi
manfaatnya bagi penulis dan setiap pembaca, metode
penelitian yaitu metode yang penulis gunakan dalam
mengkaji setiap permasalahan,keaslian penulisan yaitu
penegasan bahwa skripsi ini dapat dijamin keasliannya
dan bukan merupakan bentuk plagiat dari penulisan lain,
dan sistematika penulisan yaitu uraian ringkas dari skripsi
ini.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN
HARTA BERSAMA
Bab ini memaparkan pengertian perceraian, alasan perceraian
dan akibat hukum terhadap perceraian, pengertian harta
bersama, kedudukan harta bersama dalam perkawinan dan
BAB III : PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI
Bab ini memaparkan pengertian mediasi, dasar hukum
mediasi di luar Pengadilan, dasar hukum mediasi di
Pengadilan, perubahan dan perbedaan PERMA RI No. 2
Tahun 2003 menjadi PERMA RI No. 1 Tahun 2008,
proses penyelesaian sengketa perdata, pengertian dan
persyaratan menjadiMediator.
BAB IV : PERAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
SETELAH PERCERAIAN PADA PENGADILAN
AGAMA MEDAN
Bab ini memaparkan proses mediasi dalam penyelesaian
sengketa harta bersama setelah perceraian, peran Mediator
dalam menyelesaikan sengketa pembagian harta bersama
setelah perceraian dan hambatan yang dihadapi oleh
Mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian harta
bersama setelah perceraian.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memaparkan bagian akhir dari penulisan skripsi
ini yaitu kesimpulan dari berbagai permasalahan yang
dibahas sebelumnya. Setelah mendapat kesimpulan maka
penulis dapat menyajikan beberapa poin saran dalam