• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI MUTASI TITIK A3243G DNA MITOKONDRIA PENYEBAB MATERNALLY INHERITED DIABETES AND DEAFNESS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI MUTASI TITIK A3243G DNA MITOKONDRIA PENYEBAB MATERNALLY INHERITED DIABETES AND DEAFNESS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Sr iwidodo*, O Supr ijana* *, Toto Subr oto* *, Iman Per mana M aksum* * * Fakultas Far masi Univer sitas Padjadjar an, Jatinangor , Sumedang 4 5 3 6 3

* * Jur usan Kimia FM IPA Univer sitas Padjadjar an, Jatinangor , Sumedang 4 5 3 6 3

STUDI M UTASI TITIK A3243G DN A

M ITO KO N DRIA PEN YEBAB M ATERN ALLY

IN HERITED DIABETES AN D DEAFN ESS

Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 3, Desember 2008, 121 - 129 ISSN : 1693-9883

ABSTRACT

Point mutation of mitochondrial DNA A 3243G has been known as a cause of M ater-nally Inherited Diabetes and Deafness (M IDD). Potency of M IDD can be identified from patient phenotype of Non Insulin Dependent Diabetes M ellitus (NIDDM ). The objective of this study is acquiring information about M IDD on patient of NIDDM type and obtaining the simple method to detect the point mutation of mtDNA A 3243G. 50 NIDDM patients were attained from RSCM Hospital, Jakarta. Information con-cerning family history with NIDDM and existences of deafness, medication, and other complication and manifestation were obtained through interview and ques-tioner. Point mutation of A 3243G was determined with the method of PCR A llele’ s Specific A mplification (PA SA ) M ismatch 2 bases and PCR-Restriction Length Poly-morphism (PCR-RFLP) with the HaeIIl restriction enzyme. Detectable Potency M IDD was found by perceiving the patient phenotype and identifying the mutation of heteroplasmic A 3243G utilizing the PA SA method.

Key words: M IDD, A 3243G, mtDNA , PA SA , PCR-RFLP.

A BSTRA K

(2)

2 basa. Hasil metode PCR-RFLP menunjukkan kesulitan mengkarakterisasi pemotongan fragmen berukuran 294 pb. Potensi M IDD dapat ditemukan dengan mengamati fenotip penderita dan mengidentifikasi mutasi heteroplasmi A 3243G menggunakan metode PA SA , namun metode PCR-RFLP pada penelitian ini belum dapat mengidentifikasi karakterisasi mutasi heteroplasmi A 3243G.

Kata kunci: M IDD, A 3243G mtDNA , PA SA , PCR-RFLP.

PEN D A HULUA N

Diabetes Melitus (DM) meru-pakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula secara kronis di dalam darah akibat ketidakmampuan ke-lenjar pankreas mensekresi insulin atau tidak bekerjanya reseptor insu-lin. DM apabila tidak terdiagnosis atau tertangani secara baik, dapat menimbulkan komplikasi yang mem-beratkan seperti gagal ginjal, stroke, kebutaan, hingga amputasi. Diper-kirakan lebih dari 210 juta orang telah dilaporkan menderita penyakit ini di seluruh dunia. Secara garis besar DM dikelompokkan menjadi DM yang tergantung insulin (DM tipe 1) dan DM yang tidak tergantung insulin yang dikenal sebagai DM tipe 2 (1).

Mutasi pada po sisi 3243 telah diteliti sebagai mutasi kausal pada diabetes turunan maternal dengan ketulian atau MIDD (2). Database M ITO M A P 2004 m eny ebutkan penyakit mithocondrial myopathy, en-cephalopathy, lactic acidosis, and stroke-like episodes (MELAS) juga termasuk satu dari subkelompok klinik mito-chondrial encephalopathy yang utama dan disebabkan oleh mutasi tunggal gen tRNALeu yang bertanggung jawab

untuk translasi UUR (R = A atau G) kodon leusin (tRNALeu(UUR)) (3).

Studi yang dilakukan terhadap sejumlah besar penderita MIDD di Perancis, menyebutkan bahwa feno-tip diabetes pada sindrom ini agak berbeda dari apa yang telah dike-tahui mengenai diabetes selama ini (4). Hal ini mempunyai dampak klinis yang sangat penting bagi para klinisi, untuk menjad i lebih hati-hati ter-hadap sindrom tersebut. Pasien yang memiliki mutasi mtDNA A 3243G cenderung nonobesitas, nonketoasi-dosis, menyerang usia dew asa, ter-utama jika muncul gangguan pende-ngaran, atau jika terdapat riw ayat keluarga garis keturunan seibu yang diabetes dengan gangguan pende-ngaran (5).

(3)

mem-bantu para klinisi di dalam seleksi penatalaksanaan penyakit DM. Seba-gai contoh, penderita MIDD memiliki kecenderungan mengalami pening-katan asam laktat, sehingga dihindari penggunaan antid iabetik o ral go -lo ng an metfo rmin. M IDD secara patofisiologis memiliki bentuk yang berbeda dengan diabetes melitus tipe 2 pada umumnya, karena resistensi insulin tidak terlihat sebagai faktor utama. Beberapa klinisi telah menya-rankan terapi insulin sebagaimana seperti yang diberikan pada DM tipe 1 (5).

M ETO D O LO G I

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Pengumpulan sampel darah; 2) Pe-nyiapan Templat DNA mitokondria; 3) Disain primer d an o ptimalisasi suhu annealing; 4) A nalisis mutasi A 3243G m eng g unakan m eto d e PA SA -PCR; 5) Karakterisasi mutasi m eng g unakan elektro fo resis g el agarosa; 6) Analisis data untuk me-ngambil kesimpulan.

Pada penelitian ini, primer yang digunakan untuk PASA mengguna-kan primer mismatch dua basa sebagai berikut:

a. D1 (5’ - A GG A CA A GA GA A A TA A GG CC -3’ ) p o sisi H (3423-3404);

b. Dn (5’ - GGG TTT GTT A A G ATG GCA GA-3’) posisi L (3224-3423);

c. Dmt (5’ - GGG TTT GTT A A G ATG GCA TG -3’) posisi L

(3224-3423).

Seluruh primer telah dirancang secara m anual d an d ico ba p ad a penelitian sebelumnya sed angkan verifikasi primer terhad ap urutan mtDNA menggunakan piranti lunak bebas lisensi seperti “ FastPCR ver. 3.9.22” .

Penentuan M utasi Titik A 3243G

Metode PASA dilakukan dengan teknik PCR pada dua tabung. Tabung pertama menggunakan primer uni-v ersal D1 d an p rimer no rmal DN sedangkan tabung kedua mengguna-kan primer universal D1 1 µL dan pri-mer mutan DN atau DMt 1 µL (masing-masing 20 p mo l/ µL). Camp uran reaksi mengandung enzim Taq DNA polimerase 0,5 µL, buffer taq 5 µL, Dntp (d A TP, d CTP, d TTP, d GTP) 1 µL, MgCl2 7,5 µL, ddH2O steril 24 µL, dan templat mtDNA hasil lisis 10 µL. Pro ses PCR d ilakukan d alam mesin PCR A utomatic Thermal Cycler Ep p end o rfTM sebany ak 30 siklus. Tahap awal proses PCR adalah tahap denaturasi awal yang akan dilakukan pada suhu 940C selama 5 menit, ke-mudian masuk ke pro gram siklus PCR dengan masing-masing siklus terdiri tiga tahap yaitu tahap dena-turasi pada suhu 940C selama 30 detik, tahap penempelan primer (annealing) pada suhu 570C selama 30 detik, dan tahap perpanjangan primer (extension) p ad a suhu 720C selama 50 d etik. A khir dari semua siklus dilakukan tambahan proses extension pada suhu 720C selama 10 menit.

(4)

PCR tersebut selanjutnya dianalisis dengan elektroforesis gel agarosa 1% (b/ v) menggunakan alat M ini sub TM

DNA electrophoresis cell. Komposisi gel agarosa dapat dibuat dengan mela-rutkan agarosa dalam buffer TAE 1x (tris-asetat 0,04 M, EDTA 0,001 M pH 8,0). Larutan tersebut d ipanaskan hingga agarosanya larut sempurna, lalu didinginkan hingga suhu larutan mencapai 50-600C. Sebelum dituang-kan ke dalam cetadituang-kan gel yang me-miliki sisir sebagai pembentuk sumur gel, ditambahkan 2 µL larutan etidi-um bromide 10µg/ mL. Pada masing-masing sumur gel dimasukkan 10 µL sampel hasil PCR yang telah dicam-pur dengan 2 µL loading bufer (sukrosa 50%, EDTA 0,1 M pH 8,0; bromfenol biru 0,1% pH 8,0) (6). Proses elektro-fo resis ini dilakukan dalam dapar TA E 1x sebagai media penghantar arus pada tegangan 75 volt selama 30 menit. M arker atau penanda kontrol yang digunakan adalah 11bp. Hasil elektroforesis divisualisasi dengan lampu UV.

HA SIL DA N PEM BA HA SA N

Optimalisasi Suhu A nnealing PCR

Penentuan suhu annealing yang o p timal untuk p eng erjaan PA SA d ilakukan menggunakan software bebas lisensi, dengan harapan diper-oleh data temperature melting (Tm) m asing -m asing p rim er d an jug a gabungan primer secara cepat dan akurat. Selanjutnya dengan program tersebut dapat diperoleh suhu anneal-ing o ptimal teo retis yang menjad i

pendukung dalam pencarian suhu annealing menggunakan teknik PCR. Suhu annealing pada pengerjaan PCR d itentukan d eng an terlebih dahulu mencari masing-masing Tm primer maupun Tm kombinasi primer yang dapat diketahui menggunakan pro gram Fast PCR, o ligo analyzer maupun oligo explorer. Setelah me-masukkan urutan mtDNA ke dalam p ro g ram ko mp uter, baik no rmal maupun mutan, diperoleh data Tm D1 adalah sekitar 60,30C, Dn sekitar 53,00C, d an Dm t sekitar 53,60C. Ko mbinasi p rimer D1/ Dn meng-hasilkan Suhu annealing sekitar 57,9-62,90C sebagaimana d apat d ilihat pada Gambar 1, sedangkan kombi-nasi D1/ Dmt menghasilkan suhu an-nealing sekitar 58,1-63,10C.

(5)

Beberapa parameter yang pen-ting untuk mengetahui sifat primer yang digunakan adalah % GC, Tm masing-masing primer dan kemung-kinan terjadinya loop / self annealing. O ligo analy zer menyed iakan d ata primer yang dapat digunakan untuk mengetahui produk PCR hasil dari kombinasi primer D1/ Dn maupun D1/ Dmt.

Suhu annealing primer D1/ D2 yang digunakan sebagai kontrol in-ternal pada PA SA telah ditetapkan pada penelitian sebelumnya, yaitu

sekitar 560C, sehing g a p ad a saat orientasi suhu optimal sedikit meng-alami kesulitan d engan pencarian suhu optimal bagi seluruh primer. Sep erti d iketahui, bahw a d engan kombinasi primer D1/ D2/ Dn pada tabung satu dan D1/ D2/ Dmt pada tabung lainnya akan didapat hasil yang menunjukkan mutasi hetero-plasmi dengan dua pita ukuran 294 pb yang dihasilkan oleh primer D1/ D2 d an p ita ukuran 200 p b yang dihasilkan oleh primer D1/ Dn atau D1/ Dmt.

Gbr 1.Bagan karakterisasi fragmen PASA hasil pengerjaan PCR dengan

dua tabung

(6)

A p abila samp el mengand ung mutasi A ! G pada titik 3243, maka baik tabung y ang m eng and ung p rimer D1/ Dn maup un D1/ Dmt akan meng hasilkan p ro d uk PCR dengan pita berukuran 200 pb, ini di-karenakan m utasi y ang bersifat hetero p lasmi memiliki camp uran templat mtDNA mutan yang lebih sedikit dibandingkan templat nor-mal.

Metode PASA dianggap sebagai salah satu m eto d e y ang sang at sederhana namun sangat bergantung pada bekerja tidaknya prinsip mis-match basa ujung 3’ primer yang me-nemp el p ad a p o sisi mutasi yaitu A 3243G. Secara teo retis, ap abila ujung 3’ primer tidak komplementer dengan basa G di posisi 3243, maka dapat dipastikan bahw a tidak akan terjad i perpanjangan, begitu pula sebaliknya.

Karakterisasi frag m en y ang terbentuk pada PASA dengan meng-gunakan 2 tabung ini, akan mengha-silkan perbedaan alel normal, mutasi ho mo p lasmi, d an mutasi hetero -plasmi seperti d igambarkan pad a Gambar 1.

Hasil Pengerjaan PA SA dengan Primer Kontrol Internal D1/D2

Kisaran suhu annealing primer D1/ Dn maupun D1/ Dmt pada suhu 560C menjadi dasar orientasi PASA, dan dengan mengambil sampel se-cara acak, termasuk sampel pemban-ding positif maupun sampel pem-banding negatif. Pada pengerjaan ini digunakan kontrol internal berupa

primer D1/ D2 yang telah diketahui memiliki suhu annealing 560C. Dari beberapa pengerjaan yang telah di-lakukan, didapat pita yang menunjuk-kan bekerjanya primer D1/ D2 pada tabung yang mengandung pasangan primer D1/ D2/ Dmt, namun tidak muncul pada tabung dengan primer Dn. Hal ini menunjukkan sulitnya control internal primer D1/ D2 digu-nakan pada PA SA karena kemung-kinan terjadi kompetisi primer pada suhu annealing yang tid ak sesuai untuk semua primer, namun demi-kian munculnya pita dengan ukuran sekitar 294 pb pad a beberapa pe-ngerjaan menunjukkan bahwa isolasi temp lat mtDN A yang d igunakan telah sesuai dengan yang diharap-kan. Pada pengerjaan dengan sampel nomor 12 munculnya tiga pita pada kombinasi primer D1/ Dmt/ D2 pada sekitar 300 pb, 200 pb dan di bawah 100 pb relatif terhadap marker 100 bp ladder. Setelah menunjukkan hasil yang meyakinkan, pengerjaan selan-jutnya tid ak menyertakan primer kontrol internal D1/ D2.

Hasil PA SA dengan Suhu A nneal-ing Berbeda

(7)

tabung dengan primer D1/ Dn, dan juga tampak pita samar pada tabung d eng an p rimer D1/ Dmt. Hal ini menunjukkan bahw a sampel darah yang diduga positif pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil posi-tif pada penelitian ini. Pada kondisi ini, sampel yang lain tidak menun-jukkan pita pada tabung D1/ Dmt.

Pada suhu 54,50C tampak pita tipis pada 200 pb untuk sampel no. 37 dan no. 59 pada tabung dengan primer D1/ Dn dan tidak ada pita sama sekali p ad a tabung d engan p rimer D1/ Dmt. Hal ini menun-jukkan suhu annealing belum mem-berikan reaksi PCR yang optimal.

Pada suhu 550C, sampel no. 12 menunjukkan satu pita samar pada sekitar 200 pb relatif terhadap marker 100 bp ladder pada tabung dengan p rimer D1/ Dmt, d an p ita terang sekitar 200 pb pada tabung dengan primer D1/ Dn. A pabila dibanding-kan dengan suhu 52 dan 54,50C ter-dapat perbedaan terangnya pita.

Pada suhu 550C sampel no. 59 yang memiliki fenotip MIDD diban-dingkan dengan sampel no. 86 yang tidak memiliki fenotip MIDD, dan sampel no. 59 menunjukkan pita yang sang at tip is sekitar 200 p b p ad a tabung d eng an p rimer D1/ Dmt, sed angkan samp el no . 86 p raktis

Gbr 2.Contoh Karakterisasi elektroforegram hasil PASA dengan kondisi

suhu annealing 570C, menggunakan agarose gel 1% selama 25 menit.

(8)

tidak menunjukkan pita pada sekitar 200 pb.

Elektroforegram metode PA SA pada suhu annealing 570C untuk sam-pel no. 59 dan no. 37 menunjukkan pita terang pada posisi sekitar 200 pb yang diukur berdasarkan marker 100 bp ladder. Hasil PCR tabung yang menggunakan primer D1/ Dn mau-pun tabung yang menggunakan D1/ Dmt menunjukkan pita yang sejajar. Hal ini menunjukkan templat DNA mitokondria yang diidentifikasi se-cara hetero plasmi termutasi pad a titik 3243.

Hasil PASA dengan suhu anneal-ing 570C untuk sampel no. 03, 12, 14, 37, 46, 66, 76, dan 86 menunjukkan pita terang pada posisi sekitar 200 pb menggunakan marker 200 pb yang sud ah d ikalibrasi sebelumnya d e-ngan marker 100 bp ladder. Primer yang digunakan adalah hanya D1/ Dmt setelah sebelumnya telah dilakukan validasi hasil positif untuk primer D1/ Dn. Tampak pula bahwa sampel no. 10 tidak menunjukkan adanya

p ita p ad a p o sisi sekitar 200 p b, sehingga dapat dipastikan negatif.

KESIM PULA N

a. Pada penelitian ini ditemukan sepuluh penderita yang diduga p o sitif m eng and ung m utasi A 3243G mtDNA , dengan mun-culnya pita dengan ukuran 200pb pada tabung yang mengandung primer Dmt.

b. Metode PASA efektif untuk men-d eteksi mutasi titik penyebab M IDD, sehing g a p ara klinisi dapat membedakan DM tipe ini d eng an DM tip e 2, sehing g a pengobatan pada individu ter-sebut dapat lebih rasional.

UCA PA N TERIM A KA SIH

(9)

DA FTA R PUSTA KA

1. Malecki MT. 2005. Genetics of type 2 diabetes mellitus. J.diabres.

68(S1): 11-21.

2. Kirino Y, T Yasukawa, S Ohta, S Akira, K Ishihara, K Watanabe, T Suzuki. 2004. Codon-specific Translational Defect Caused by Wobble Modification Deficiency in Mutant tRN from Human Mi-to cho nd rial Disease. PN A S.

101(42): 15070-15075.

3. Shanske S, J Pancrud o , and P Kaufmann. 2004. Varying Loads o f the M ito cho nd rial DN A A 3243G Mutatio n in Different Tissues: Implications for Diagno-sis. Am. J. of Medical Genetics.

130A: 134-137.

4. Guillausseau PJ, P Massin, D Dubois-La Forgue, J Timsit, M Virally, H Gin. 2001. Maternally inherited diabetes and deafness: a multicenter study. A nn Intern M ed. 134: 721-8.

5. Fischel GN. 2001. Mitochondrial DNA Mutations and Diabetes: A nother Step tow ard Individu-alized Medicine. A nn Intern M ed.

134: 777-779.

Referensi

Dokumen terkait

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah orang dewasa awal total sampel sebanyak 110 orang dengan rentan usia 20-45 tahun dan terdiri dari 22 orang kelompok kasus yang

Lutke koje ožive u ruci djeteta omogućavaju mu sudjelovanje u zamišljenom svijetu koji je samo stvorilo.Lutka zamjenjuje živa bića, njome dijete u igri manipulira

Otto Pharmaceutical Industries yang telah berkenan meluangkan waktu untuk berdiskusi, serta memberikan pengarahan dan ilmu selama penulis menjalankan praktek

Para Pihak akan menyelenggarakan konsultasi pada tingkat Menteri atau pada tingkat pejabat tinggi , untuk mengevaluasi dan mengkaji seluruh aspek hubungan bilateral

Uji aktivitas proteolitik menunjukkan bahwa delapan isolat tersebut dapat menghidrolisis protein pada media agar dengan 1% skim milk yang ditunjukkan dengan adanya

merupakan suatu unit firngsional pe,lrgelolaan basis data dan informasi daerah bagi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah, serta dapat digunakaa dalam rangka

Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik

Deteksi lapangan pada penelitian ini dilakukan dengan metode deteksi tepi Canny dan transformasi Hough. Berbagai metode untuk deteksi tepi antara lain Canny, Sobel,