Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 89
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN
ABORTUS DI VERLOS KAMER BERSALIN RSUD DR. H. MOCH.
ANSHARI SALEH BANJARMASIN
DEWI RAKASIWI, S.SiT
AKADEMI KEBIDANAN BUNGA KALIMANTAN
LATAR BELAKANG
World Health Organization (WHO) memperkirakan diseluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13 % dari jumlah total kematian ibu di seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi abortus dan sekurangnya 95 %, yaitu 19 dari setiap 20 tindakan abortus diantaranya terjadi di Negara berkembang ( Widyaastuti Y.& Dina Kaspa, 2007 ).
Di Indonesia angka kematian Ibu (AKI) menurut survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2002/2003) masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup. Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15 – 49 tahun, dan dari jumlah tersebut terdapat 23 kasus abortus per 100 kelahiran hidup ( Utomo,2001 ).
Mengenai penyebab kematian bahwa 90% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, toksemia gravidarum, infeksi, partus lama dan komplikasi abortus.
Perdarahan merupakan penyebab kematian kedua yang paling penting. Perdarahan dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap. Ada beberapa alasan dan kondisi individualis yang memungkinkan terjadinya abortus. Beberapa karakteristik umum dapat didefinisikan yaitu tingkat pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, tinggal di daerah perkotaan, status perkawinan, umur dan paritas. Sebuah penelitian yang dilakukan di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia ditemukan bahwa insiden abortus lebih tinggi diperkotaan dibandingkan dipedesaan. (Widyaastuti Y. & Dina Kaspa, 2007)
Menurut data di ruang Verlos Kamer Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Anshari Saleh
Banjarmasin, pada tahun 2008 ada 101 ibu yang mengalami abortus, pada tahun 2009 ada 125 ibu yang mengalami abortus, sedangkan pada tahun 2010 ibu yang mengalami abortus ada 186 orang.
Berdasarkan data di atas kasus abortus dari tahun 2008 sampai 2010 terjadi peningkatan sebesar 85 kasus ( 54 %) sehingga penulis tertarik untuk meneliti
“Hubungan Umur, Paritas, Tingkat
Pendidikan dan Pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang Verlos Kamer Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013”
METODE
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah survey analitik. Metode penelitian survey analitik adalah survey penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoatmodjo, 2010).
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara factor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan , observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo,2010).
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 90
sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini menggunakan Sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel yang mana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel Istilah lain dari sampling jenuh adalah sensus (Setiawan & Saryono, 2010). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mengalami abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2013 sebanyak 186 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini secara Non Probability Sampling dengan porposive sampling dimana pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoadmodjo, 2010). Sedangkan penetuan jumlah sampel menggunakan teknik Sampling Jenuh yaitu teknik penentuan sampel yang mana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Istilah lain dari sampling jenuh adalah sensus (Setiawan & Saryono, 2010). Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data ini adalah data sekunder yang diambil dari register di Ruang VK bersalin Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
HASIL
A. Uji Normalitas, Multikolinieritas dan Outler
1. Uji Normalitas a. Abortus
Tabel 1 Distribusi frekuensi Berdasarkan Kasus Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
No. Abortus Frekuensi Persentase
(%) 1 Abortus
Inkomplet
112 60
2 Abortus Lainnya
74 39,8
TOTAL 186 100
Sumber : Analisis Data Sekunder
Berdasarkan tabel 1 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu mengalami abortus inkomplet di Ruang VK Bersalin yaitu sebanyak 112 orang ( 60 % ).
b. Umur Ibu yang mengalami Abortus Tabel 2lDistribusi frekuensi
berdasarkan Umur Ibu yang mengalami Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
No Umur Frekuensi Persentase
(%) 1 Beresiko
(<20 & > 35 Tahun)
95 51,1
2 Tidak Beresiko (20-35 Tahun)
91 48,9
TOTAL 186 100
Sumber : Analisis Data Sekunder Berdasarkan tabel 3 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori umur Beresiko ( < 20 & > 35 tahun ) yaitu sebanyak 95 orang ( 51,1 % ).
c. Paritas Ibu yang mengalami Abortus Tabel 3 lDistribusi frekuensi
berdasarkan Paritas Ibu yang mengalami Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch.
Ansari Saleh
Banjarmasin Tahun 2013.
No. Paritas Frekuensi Persentase (%) 1 Beresiko
( > 4 )
39 21
2 Tidak beresiko ( < 4 )
147 79
TOTAL 186 100
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 91
beresiko ( < 4 ) yaitu sebanyak 147 orang ( 79 % ).
d. Tingkat Pendidikan Ibu yang mengalami Abortus
Tabel 4 Distribusi frekuensi berdasarkan Tingkat pendidikan Ibu yang mengalami Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
No .
Tingkat Pendidika
n
Frekuens i
Persentas e (%)
1 Rendah 110 59,1
2 Menengah 55 29,6
3 Tinggi 21 11,3
TOTAL 186 100
Sumber : Analisis Data Sekunder
Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori Tingkat Pendidikan Rendah yaitu sebanyak 110 orang ( 59,1 % ). e. Pekerjaan Ibu yang mengalami
Abortus
Tabel 5 Distribusi frekuensi berdasarkan Pekerjaan Ibu yang mengalami Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
No. Pekerjaan Frekuensi Persentase (%) 1 Bekerja 59 31,7
2 Tidak bekerja
127 68,3
TOTAL 186 100
Sumber : Data Sekunder
Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori ibu yang yang tidak bekerja yaitu sebanyak 127 orang ( 68,3 % ).
2. Multikolinieritas
a. Hubungan Umur dengan Kejadian Abortus
Tabel 6 Distribusi frekuensi Berdasarkan Hubungan Umur ibu dengan Kejadian Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Umur
Kasus Abortus
TOTAL
Abortus Inkomplet
Abortus lainnya
n % n % N % Beresiko ( <20
& >35 Tahun ) 65 68,4 30 31,6 95 100 Tidak beresiko
(20-35 tahun ) 47 51,6 44 48,4 91 100
TOTAL 112 60,2 74 39,8 186 100
Uji Chi square p 0,029 α
0,05
Sumber : Analisis Data Sekunder Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat dari 95 ibu umur beresiko ( < 20 & > 35 Tahun ) terdapat 65 ibu ( 68,4 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 91 ibu tidak beresiko ( 20-35 tahun ) terdapat 47 ibu ( 51,6 % ) yang mengalami abortus inkomplet.
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p 0,029 maka p < α, ini berarti Ha diterima Ho ditolak,
artinya ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
b. Hubungan Paritas dengan Kejadian Abortus
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 92
Sumber : Analisis Data Sekunder Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat dari 39 ibu beresiko ( >4) terdapat 25 ibu ( 64,1 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 147 ibu tidak beresiko ( < 4 ) terdapat 87 ibu ( 59,2 % ) yang mengalami abortus inkomplet.
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p 0,708 maka p > α,
ini berarti Ha ditolak Ho diterima,
artinya tidak ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
c. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Abortus
Tabel.8 Distribusi frekuensi Berdasarkan Hubungan Tingkat Pendidikan ibu dengan Kejadian Abortus
Sumber : Analisis Data Sekunder Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat dari 110 ibu yang memiliki pendidikan rendah terdapat 72 ibu (65,5%) yang mengalami abortus inkomplet, dari 55 ibu yang memiliki
pendidikan menengah, terdapat 32 ibu (58,2%) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 21 ibu yang memiliki pendidikan tinggi terdapat 8 ibu ( 38,1 % ) yang mengalami abortus inkomplet.
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p 0,059 maka p > α, ini berarti Ha ditolak Ho diterima,
artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013. d. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian
Abortus
Tabel 9 lDistribusi frekuensi Berdasarkan Hubungan Pekerjaan ibu dengan Kejadian Abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Sumber : Analisis Data Sekunder Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat dari 59 ibu bekerja terdapat 31 ibu ( 52,2 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 127 ibu tidak bekerja terdapat 81 ibu ( 63,8 % ) yang mengalami abortus inkomplet.
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p 0,195 maka p > α, ini berarti Ha ditolak Ho diterima,
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 93
PEMBAHASAN
1. Kejadian abortus
Berdasarkan tabel 1 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu mengalami abortus inkomplet di Ruang VK Bersalin yaitu sebanyak 112 orang ( 60 % ).
Menurut manuaba (1998), kejadian abortus sulit di ketahui, karena sebagian besar tidak dilaporkan dan banyak di lakukan atas permintaan, keguguran spontan di perkirakan sebesar 10 – 15 %. Data yang diperoleh dari RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013 terdapat 186 kasus abortus dari tahun 2008 sampai 2010 terjadi peningkatan sebesar 85 kasus ( 54 %) kasus abortus, hal ini berarti bahwa kejadian abortus di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin masih tinggi. Menurut Saifuddin ( 2008 ) dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda dan proses patologi yang terjadi, yaitu Abortus Inkompletus, Abortus Imminens, Abortus kompletus, Abortus Insipiens, Abortus Habitualis, Missed abortion, Abortus infeksiosus ( septik ), Kelainan Anembrionik (Blighted ovum) dan menurut Wiknjosastro (2006), Faktor yang menyebabkan abortus adalah karena kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, kelainan traktus genitalis, kelainan pada plasenta, dan penyakit ibu.
Menurut Anonim (2009), faktor predisposisi kejadian abortus yaitu usia ibu yang lanjut, riwayat obstetri dan ginekologi yang kurang baik, paritas ibu yang tinggi, riwayat infertilitas, penyakit yang menyertai kehamilam dan trauma abdomen.
Menurut Saifuddin (2008), abortus inkomplet adalah sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus dimana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium ekternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa.
Pada penelitian ini abortus inkomplet merupakan yang paling banyak.
Hal ini di sebabkan karena kebanyakan ibu-ibu yang datang mengalami perdarahan sampai mengalami anemia yang di karenakan berbagai macam sebab seperti terkena benturan yang keras dan gizi yang buruk dan beberapa faktor lain yang tidak diketahui sebabnya.
Menurut Derek L. (2005) pada kebanyakan kasus, abortus yang sering terjadi adalah abortus inkomplet, karena kebanyakan ibu mengalami perdarahan yang disertai kontraksi uterus yang kuat dan menyebabkan dilatasi serviks sehingga abortus tidak dapat dihindarkan. 2. Umur ibu yang mengalami abortus
Berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori umur Beresiko ( < 20 & > 35 tahun ) yaitu sebanyak 95 orang ( 51,1 % ).
Umur ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) dan terlalu tua ( > 35 tahun ) dimana uterus belum siap menerima zigot dikarenakan fungsi endometrium belum optimal pada umur ibu < 20 tahun Yudiayuts, ( 2008 ).
Menurut Ari S. (2009) kondisi ibu hamil dengan usia lebih dari 35 tahun akan sangat menentukan proses kelahiran nya. Hal itu pun turut mempengaruhi kondisi janinnya, kontraksi uterus juga sangat di pengaruhi oleh kondisi fisik ibu, jika ibu menglami penurunan kondisi, terlebih pada primitua maka keadaan ini harus benar-benar diwaspadai.
Pada usia di atas 35 tahun telah terjadi sedikit penurunan curah jantung yang disebabkan oleh berkurangnya kontraksi miokardium sehingga sirkulasi dan pengambilan O2 oleh darah di
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 94
sebagian atau seluruh dari hasil konsepsi dari tempat implantasinya. Bagian yang terlepas ini dianggap benda asing oleh uterus sehingga uterus berusaha untuk mengeluarkannya dengan cara berkontraksi (Multazamiah, 2003) dalam Yono (2011).
Pada penelitian ini, kejadian abortus sebagian besar terjadi pada ibu yang memiliki umur beresiko (< 20 – > 35 tahun) hal ini sesuai dengan teori yang dikemukankan oleh Hebert Hutabarat (2007), umur ibu dilihat dari kejadian abortus adalah Umur beresiko tinggi yaitu < 20 tahun dan > 35 tahun, umur tidak beresiko yaitu umur 20 - 35 tahun. 3. Paritas ibu yang mengalami abortus
Berdasarkan tabel 3 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori paritas tidak beresiko ( < 4 ) yaitu sebanyak 147 orang ( 79 % ).
Menurut Hartanto (2004), paritas ibu dilihat dari kejadian abortus adalah: Paritas beresiko untuk terjadi abortus yaitu > 4, Paritas yang tidak beresiko untuk terjadi abortus < 4.
Menurut Benson, ralph C & Martin L pernol ( 2009 ) jumlah kelahiran sebelumnya merupakan keterangan penting. Sampai kelahiran anak ke-4, terdapat peningkatan kemungkinan keberhasilan kehamilan dengan adanya resiko abortus.
Menurut rochjati (2003), ibu yang pernah melahirkan > 4 maka akan banyak ditemui masalah dalam kehamilannya seperti anemia, kurang gizi, kekendoran dinding perut, dan kekendoran dinding rahim yang bisa menyebabkan terjadinya abortus.
Pada penelitian ini, kejadian abortus sebagian besar terjadi pada ibu dengan paritas tidak beresiko ( < 4 ). Walaupun pada penelitian ini paritas tidak beresiko banyak terjadi pada kasus abortus tetapi banyak faktor lain yang dapat menyebabkan abortus yaitu karena terkena benturan yang keras dan gizi yang
buruk dan beberapa faktor lain yang tidak diketahui sebabnya.
4. Tingkat pendidikan ibu yang mengalami abortus
Berdasarkan tabel 4 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori Tingkat Pendidikan Rendah yaitu sebanyak 110 orang ( 59,1 % ).
Umumnya ibu yang mengalami abortus mempunyai pendidikan 1-9 tahun dan memungkinkan abortus pada pendidikan terendah lebih besar dibanding kelompok yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut Prawirohardjo (1999), bahwa kejadian abortus pada wanita yang berpendidikan lebih rendah lebih banyak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saiffudin, dkk (2002) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan makin rendah kejadian abortus, yaitu tertinggi pada golongan berpendidikan 10-12 tahun (SMA), secara teoritis diharapkan wanita yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya.
Pada penelitian ini, kejadian abortus sebagian besar terjadi pada ibu dengan pendidikan rendah. Pendidikan diperlukan mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Ibu-ibu yang mempunyai pendidikan rendah akhirnya akan sering terjadi abortus di karenakan kurang nya informasi yang dapat menunjang kesehatan / kehamilannya.
5. Pekerjaan Ibu yang mengalami Abortus Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu yang mengalami abortus adalah ibu yang termasuk dalam kategori ibu yang yang tidak bekerja yaitu sebanyak 127 orang ( 68,3 % ).
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 95
tempat tidur, tetapi perlu dicegah usaha-usaha yang melelahkan.
Pada penelitian ini, kejadian abortus sebagian besar terjadi pada ibu yang tidak bekerja. Walaupun ibu tidak bekerja banyak terjadi pada kasus abortus tetapi banyak faktor lain yang dapat menyebabkan abortus yaitu kurangnya pendidikan ibu, gizi yang buruk dan beberapa faktor lain yang tidak diketahui sebabnya.
6. Hubungan Umur dengan Kejadian Abortus
Hubungan umur ibu dengan kejadian abortus dapat dilihat pada tabel 6 pada tabel tersebut didapatkan bahwa diantara 95 ibu umur beresiko (<20 & >35 Tahun) terdapat 65 ibu ( 68,4 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 91 ibu tidak beresiko ( 20-35 tahun ) terdapat 47 ibu ( 51,6 % ) yang mengalami abortus inkomplet. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu yang memiliki umur <20 dan > 35 lebih banyak mengalami abortus inkomplet di bandingkan umur ibu antara 20 – 35 tahun.
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p 0,029 maka p < α, ini berarti Ha diterima Ho di tolak, artinya ada
hubungan antara umur ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Menurut Ari S. (2009) kondisi ibu hamil dengan usia lebih dari 35 tahun akan sangat menentukan proses kelahiran nya. Hal itu pun turut mempengaruhi kondisi janinnya, kontraksi uterus juga sangat di pengaruhi oleh kondisi fisik ibu, jika ibu menglami penurunan kondisi, terlebih pada primitua maka keadaan ini harus benar-benar diwaspadai.
Menurut Cunningham (1995) dalam Yono (2011) dikatakan frekuensi abortus bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun. Menurut Yudiayuts (2008) dimana uterus belum siap menerima zigot dikarenakan fungsi endometrium belum optimal pada umur ibu < 20 tahun.
Pada usia di atas 35 tahun telah terjadi sedikit penurunan curah jantung yang disebabkan oleh berkurangnya kontraksi miokardium sehingga sirkulasi dan pengambilan O2 oleh darah di
paru-paru juga mengalami penurunan, ditambah lagi dengan peningkatan tekanan darah dan penyakit lainnya yang melemahkan kondisi ibu, sehingga mengganggu sirkulasi darah ibu janin. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi, dimana hasil konsepsi tidak dapat berimplantasi secara maksimal yang mengakibatkan kematian atau lepasnya sebagian atau seluruh dari hasil konsepsi dari tempat implantasinya. Bagian yang terlepas ini dianggap benda asing oleh uterus sehingga uterus berusaha untuk mengeluarkannya dengan cara berkontraksi (Multazamiah, 2003) dalam Yono (2011).
Pada penelitian ini, kejadian abortus sebagian besar terjadi pada ibu yang memiliki umur beresiko (< 20 dan > 35 tahun) hal ini sesuai dengan teori yang dikemukankan oleh Hebert Hutabarat (2007), umur ibu dilihat dari kejadian abortus adalah Umur beresiko tinggi yaitu < 20 tahun dan > 35 tahun, umur tidak beresiko yaitu umur 20 - 35 tahun. 7. Hubungan Paritas dengan Kejadian
Abortus
Hubungan paritas dengan kejadian abortus dapat dilihat pada tabel 7 pada tabel tersebut didapatkan bahwa diantara 39 ibu beresiko (>4) terdapat 25 ibu ( 64,1 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 147 ibu tidak beresiko (<4) terdapat 87 ibu ( 59,2 % ) yang mengalami abortus inkomplet. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu yang memiliki paritas (<4) lebih banyak mengalami abortus inkomplet di bandingkan umur ibu yang paritas (>4).
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 96
Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Menurut rochjati (2003), ibu yang pernah melahirkan > 4 maka akan banyak ditemui masalah dalam kehamilannya seperti anemia, kurang gizi, kekendoran dinding perut, dan kekendoran dinding rahim yang bisa menyebabkan terjadinya abortus.
Pada penelitian ini paritas tidak beresiko (<4) merupakan paritas terbanyak dalam kejadian abortus. Penelitian serupa pernah di lakukan oleh Rina Novitasari (2009) dimana penelitian tersebut tidak ada hubungan paritas dengan kejadian abortus, dimana hasil uji chi square diketahui nilai p = 0,091 lebih
besar dari α = 0,05.
Walaupun paritas tidak beresiko pada penelitian banyak terjadi pada kasus abortus inkomplet maupun abortus lainnya namun masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan abortus yaitu seperti status gizi, gaya hidup, faktor psikologis serta faktor lingkungan, sosial dan budaya.
Pada penelitian ini dari 186 ibu yang mengalami abortus inkomplet maupun abortus lainnya terdapat 76 (40,9 %) ibu memiliki paritas pertama (G1)
dimana ibu baru merasakan kehamilan, menurut Sulistyawati (2009) ibu yang baru mengalami kehamilan, kurang mempunyai pengetahuan tentang kebutuhan pada masa kehamilan dan belum bisa merubah gaya hidup seperti begadang, berpergian jauh dengan berkendaraan motor dll, gaya hidup ini akan menggangu kesejahteraan bayi yang di kandungnya.
8. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Abortus
Hubungan paritas dengan kejadian abortus dapat dilihat pada tabel 8 pada tabel 3 kategori tersebut didapatkan bahwa diantara 110 ibu pendidikan rendah terdapat 72 ibu ( 65,5 % ) yang mengalami abortus inkomplet, dari 55 ibu yang memiliki pendidikan menengah terdapat 32 ibu ( 58,2 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 21
ibu yang memiliki pendidikan tinggi terdapat 8 ibu ( 38,1 % ) yang mengalami abortus inkomplet.
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai p 0,059 maka p > α, ini berarti Ha ditolak Ho diterima, artinya tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Umumnya ibu yang mengalami abortus mempunyai pendidikan 1-9 tahun dan memungkinkan abortus pada pendidikan terendah lebih besar dibanding kelompok yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut Prawirohardjo (1999), bahwa kejadian abortus pada wanita yang berpendidikan lebih rendah lebih banyak, Yudiayuts (2008).
Pendidikan diperlukan
mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Ibu-ibu yang mempunyai pendidikan rendah akhirnya akan sering terjadi abortus di karenakan kurang nya informasi yang dapat menunjang kesehatan / kehamilannya, Yudiayuts (2008).
Akan tetapi pada penelitian ini pendidikan rendah tidak berhubungan dalam kejadian abortus. Ini tidak sesuai dengan teori di atas dan Teori Ari S. (2009) penguasaan pengetahuan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, seseorang penelitian menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baik pula pengetahuannya tentang sesuatu.
Penelitian pernah dilakukan oleh Soiha E. dkk (2006) dimana tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan pengetahuan tentang abortus hal ini dimungkinkan karena tidak keseluruhan pengetahuan yang dimiliki ibu diperoleh melalui jenjang pendidikan formal, khususnya pengetahuan tentang abortus.
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 97
Hubungan paritas dengan kejadian abortus dapat dilihat pada tabel 9 pada tabel tersebut didapatkan bahwa diantara 59 ibu bekerja terdapat 31 ibu ( 52,2 % ) yang mengalami abortus inkomplet dan dari 127 ibu tidak bekerja terdapat 81 ibu ( 63,8 % ) yang mengalami abortus inkomplet. Dari hasil tersebut secara persentase, ibu yang yang tidak bekerja lebih banyak mengalami abortus inkomplet di bandingkan umur ibu yang paritas (>4).
Hasil Statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan
nilai p 0,145 maka p > α, ini berarti Ha
ditolak, artinya tidak ada hubungan antara Pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Menurut Wiknjosastro (2007), jika ia hamil, perlu mendapatkan perhatian khusus. Ia harus banyak istirahat hal ini tidak berarti bahwa ia harus tinggal di tempat tidur, tetapi perlu dicegah usaha-usaha yang melelahkan.
Pada penelitian ini ibu yang tidak bekerja merupakan yang terbanyak dalam kejadian abortus. Walaupun ibu tidak bekerja banyak terjadi pada kasus abortus inkomplet maupun abortus lainnya tetapi banyak faktor lain yang dapat menyebabkan abortus yaitu kurangnya pendidikan ibu tentang kehamilan, status gizi yang buruk dan beberapa faktor lain yang tidak diketahui sebabnya.
Penelitian pernah dilakukan oleh Chrisna, Jurika (2005) dengan judul Analisis pengaruh stres kerja terhadap kejadian abortus spontan pada pekerja Pabrik Sepatu X, Tangerang hasil penelitian mengatakan Ada hubungan yang bermakna antara keenam jenis stresor kerja dengan terjadinya abortus spontan (OR 2.45 - 4.68)
Penelitian di atas berbeda Menurut Ari S. (2009) pekerjaan seseorang akan menggambarkan aktivitas dan tingkat kesejahteraan ekonomi yang didapatnya. Hasil penelitian juga mnunjukan bahwa ibu yang bekerja mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik dari pada ibu
yang tidak bekerja, karena pada ibu yang bekerja akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, sehingga lebih mempunyai banyak peluang juga untuk mendapatkan informasi seputar keadaannya.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah di ruang VK bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin, dapat di ambil rkesimpulan sebagai berikut : 1. Jumlahibu yang mengalamiabortus
di ruang VK bersalin RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasinsebanyak 186 orang sebagian besar ibu mengalami abortus inkomplet sebanyak 112 orang ( 60 % ).
2. Umur ibu yang mengalami abortus terbanyak adalah pada umur tidak beresiko (20-40 tahun )sebanyak 141 orang ( 75.8 % ).
3. Paritas ibu yang mengalami abortus terbanyak adalah pada paritas tidak beresiko ( < 4 ) sebanyak 147 orang ( 79 % ). 4. Tingkat Pendidikan ibu yang
mengalami abortus terbanyak adalah pada tingkat pendidikan rendah sebanyak 110 orang ( 59.1 % ).
5. Pekerjaan ibu yang mengalami abortus terbanyak adalah pada ibu yang tidak bekerja sebanyak 127 orang ( 68.3 % ).
6. Ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Anshari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
7. Tidak ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Anshari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
Dewi, Pelaksanaan Asuhan Kebidanan pada Pasien dengan Pre dan Post SC Page 98
RSUD Dr. H. Moch. Anshari Saleh Banjarmasin Tahun 2013. 9. Tidak ada hubungan antara
pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang VK Bersalin RSUD Dr. H. Moch. Anshari Saleh Banjarmasin Tahun 2013.
SARAN