• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kelainan Kongenital - Karakteristik Ibu Yang Melahirkan Bayi Dengan Kelainan Kongenital Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2007-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kelainan Kongenital - Karakteristik Ibu Yang Melahirkan Bayi Dengan Kelainan Kongenital Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2007-2011"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik.11 Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi. Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang dapat berwujud dalam bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru lahir, yang mencakup aspek fisis, intelektual dan kepribadian.9

2.2. Embriogenesis11

Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari tahap embrio sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis normal merupakan proses yang sangat kompleks. Perkembangan pranatal terdiri dari 3 tahap yaitu:

2.2.1. Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat fertilisasi/pembuahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.

2.2.2. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu keempat sampai minggu ketujuh kehamilan:

a. Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.

(2)

c. Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi melalui sistem vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur jantung belum terbentuk sempurna.

d. Terlihat primordial dari struktur wajah dan ekstremitas.

2.2.3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada tahap ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah dalam ukuran, pertumbuhan progresif struktur skeletal dan muskulus.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang spesifik, khas untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya mungkin sangat singkat. Oleh sebab itu meskipun terjadinya perlambatan proses diferensiasi sangat singkat, dapat menyebabkan pembentukan yang abnormal tidak hanya pada struktur tertentu, tetapi juga pada berbagai jaringan di sekitarnya. Sekali sebuah struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu, maka proses itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat saja mengalami penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan mekanik atau infeksi.

2.3. Embriogenesis Abnormal

Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin.18

(3)

yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan pada tahap implantasi dapat merusak embrio dan menyebabkan abortus spontan. Diperkirakan 15% dari seluruh konsepsi akan berakhir pada periode ini.

Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai ukuran daun telinga yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel menjadi jaringan yang matang mungkin akan menyebabkan lesi hamartoma lokal seperti hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan induksi sel dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia bilier, sedangkan penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan kelainan seperti pigmentasi kulit.

Proses “kematian sel” yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan, antara lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak sempurna akan menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio.11

2.4. Patofisiologi

Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

2.4.1. Malformasi

(4)

dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap. Beberapa contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung.9,19

Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor. Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup. Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik. Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu adalah contoh dari malformasi minor.11

2.4.2. Deformasi

(5)

2.4.3. Disrupsi

Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal. Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Misalnya helaian-helaian membran amnion, yang disebut pita amnion, dapat terlepas dan melekat ke berbagai bagian tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari, tengkorak, serta muka. 11,20

2.4.4. Displasia

(6)

2.5. Beberapa Macam Pengelompokkan Kelainan Kongenital

2.5.1. Menurut European Registration of Congenital Anomalies (2010)

Kelainan kongenital dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang dapat dilihat pada halaman lampiran.21

2.5.2. Menurut Gejala Klinis11

Kelainan kongenital dikelompokkan berdasarkan hal-hal berikut: a. Kelainan tunggal (single-system defects)

Porsi terbesar dari kelainan kongenital terdiri dari kelainan yang hanya mengenai satu regio dari satu organ (isolated). Contoh kelainan ini yang juga merupakan kelainan kongenital yang tersering adalah celah bibir, club foot, stenosis pilorus, dislokasi sendi panggul kongenital dan penyakit jantung bawaan. Sebagian besar kelainan pada kelompok ini penyebabnya adalah multifaktorial.

b. Asosiasi (Association)

Asosiasi adalah kombinasi kelainan kongenital yang sering terjadi bersama-sama. Istilah asosiasi untuk menekankan kurangnya keseragaman dalam gejala klinik antara satu kasus dengan kasus yang lain. Sebagai contoh “Asosiasi VACTERL” (vertebral anomalies, anal atresia, cardiac malformation, tracheoesophageal fistula, renal anomalies, limbs defects). Sebagian besar anak dengan diagnosis ini

tidak mempunyai keseluruhan anomali tersebut, tetapi lebih sering mempunyai variasi dari kelainan di atas.

c. Sekuensial (Sequences)

(7)

aplasia ginjal. Tidak adanya produksi urin mengakibatkan jumlah cairan amnion setelah kehamilan pertengahan akan berkurang dan menyebabkan tekanan intrauterine dan akan menimbulkan deformitas seperti tungkai bengkok dan kontraktur pada sendi serta menekan wajah (Potter Facies). Oligoamnion juga berefek pada pematangan paru sehingga pematangan paru terhambat. Oleh sebab itu bayi baru lahir dengan “Potter Sequence” biasanya lebih banyak meninggal karena distress respirasi dibandingkan karena gagal ginjal.

d. Kompleks (Complexes)

(8)

e. Sindrom

Kelainan kongenital dapat timbul secara tunggal (single), atau dalam kombinasi tertentu. Bila kombinasi tertentu dari berbagai kelainan ini terjadi berulang-ulang dalam pola yang tetap, pola ini disebut dengan sindrom. Istilah “syndrome” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “berjalan bersama”. Pada pengertian yang lebih sempit, sindrom bukanlah suatu diagnosis, tetapi hanya sebuah label yang tepat. Apabila penyebab dari suatu sindrom diketahui, sebaiknya dinyatakan dengan nama yang lebih pasti, seperti “Hurler syndrome” menjadi “Mucopolysaccharidosis type I”. Sindrom biasanya dikenal setelah laporan oleh beberapa penulis tentang berbagai kasus yang mempunyai banyak persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal lebih dari 1.000 sindrom dan hampir 100 diantaranya merupakan kelainan kongenital kromosom. Sedangkan 50% kelainan kongenital multipel belum dapat digolongkan ke dalam sindrom tertentu.

2.5.3. Menurut Berat Ringannya11

Kelainan kongenital dibedakan menjadi: a. Kelainan mayor

Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis segera demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.

b. Kelainan minor

Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan medis. 2.5.4. Menurut Kemungkinan Hidup Bayi2

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:

(9)

b. Kelainan kongenital yang mungkin hidup, misalnya sindrom down, spina bifida, meningomielokel, fokomelia, hidrosefalus, labiopalastokisis, kelainan jantung bawaan, penyempitan saluran cerna, dan atresia ani.

2.5.5. Menurut Bentuk/Morfologi2

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:

a. Gangguan pertumbuhan atau pembentukan organ tubuh, dimana tidak terbentuknya organ atau sebagian organ saja yang terbentuk, seperti anensefalus, atau terbentuk tapi ukurannya lebih kecil dari normal, seperti mikrosefali.

b. Gangguan penyatuan/fusi jaringan tubuh, seperti labiopalatoskisis, spina bifida c. Gangguan migrasi alat, misalnya malrotasi usus, testis tidak turun.

d. Gangguan invaginasi suatu jaringan, misalnya pada atresia ani atau vagina e. Gangguan terbentuknya saluran-saluran, misalnya hipospadia, atresia esofagus 2.5.6. Menurut Tindakan Bedah yang Harus Dilakukan9

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:

a. Kelainan kongenital yang memerlukan tindakan segera, dan bantuan tindakan harus dilakukan secepatnya karena kelainan kongenital tersebut dapat mengancam jiwa bayi.

b. Kelainan kongenital yang memerlukan tindakan yang direncanakan, pada kasus ini tindakan dilakukan secara elektif.

2.6. Beberapa Kelainan Kongenital yang Dapat Dijumpai di Klinik 2.6.1. Spina Bifida

(10)

menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Kelainan ini biasanya disertai kelainan di daerah lain, misalnya hidrosefalus, atau gangguan fungsional yang merupakan akibat langsung spina bifida sendiri, yakni gangguan neurologik yang mengakibatkan gangguan fungsi otot dan pertumbuhan tulang pada tungkai bawah serta gangguan fungsi otot sfingter.2,9

Gambar 2.1. Spina Bifida22

2.6.2. Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit)

(11)

Gambar 2.2. Labiopalatoskisis24

2.6.3. Hidrosefalus

(12)

berlebih, gangguan absorpsi di vilus araknoidalis, dan obsruksi pada sirkulasi cairan serebrospinal. 2,9,25

Gambar 2.3. Hidrosefalus26

2.6.4. Anensefalus

(13)

Gambar 2.4. Anensefalus28

2.6.5. Omfalokel

Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke luar dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilicus yang terjadi dalam minggu keenam sampai kesepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan ini bersamaan dengan terjadinya kelainan kongenital lain, misalnya sindrom down. Pada omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus saja sedangkan pada yang besar dapat pula berisi hati atau limpa.9

(14)

2.6.6. Hernia Umbilikalis

Hernia umbilikalis berbeda dengan omfalokel, yaitu kulit dan jaringan subkutis menutupi benjolan herniasi pada defek tersebut, pada otot rektus abdominis ditemukan adanya celah. Hernia umbilikalis bukanlah kelainan kongenital yang memerlukan tindakan dini, kecuali bila hiatus hernia cukup lebar dan lebih dari 5 cm. Hernia umbilikalis yang kecil tidak memerlukan penatalaksanaan khusus, umumnya akan menutup sendiri dalam beberapa bulan sampai 3 tahun.9

Gambar 2.6. Hernia Umbilikalis30

2.6.7. Atresia Esofagus

(15)

fistula trakeo-esofagus. Secara klinis, pada kelainan ini tampak air ludah terkumpul dan terus meleleh atau berbusa, pada setiap pemberian minum terlihat bayi menjadi sesak napas, batuk, muntah, dan biru.9

Gambar 2.7. Atresia Esofagus31

2.6.8. Atresia dan Stenosis Duodenum

Pada kehidupan janin, duodenum masih bersifat solid, perkembangan selanjutnya berupa vakuolisasi secara progresif sehingga terbentuklah lumen. Gangguan pertumbuhan inilah yang menyebabkan terjadinya atresia atau stenosis duodenum sering kali diikuti kelainan pankreas anularis. Pada pemeriksaan fisis tampak dinding perut yang memberi kesan skafoid karena tidak adanya gas atau cairan yang masuk ke dalam usus dan kolon.9

(16)

2.6.9. Atresia dan Stenosis Jejunum/ileum

Jenis kelainan kongenital ini merupakan salah satu obstruksi usus yang sering dijumpai pada bayi baru lahir. Angka kejadian berkisar 1 per 1.500-2.000 kelahiran hidup. Patofisiologi atresia usus halus diduga terjadi sejak kehidupan intrauterine sebagai volvulus, kelainan vaskular mesenterika, dan intususepsi intrauterine. Sisa kejadian inilah yang kemudian menyebabkan nekrosis usus halus yang masih steril menjadi atresia atau stenosis.9

2.6.10. Obstruksi pada Usus Besar

Salah satu obstruksi pada usus besar yang agak sering dijumpai adalah gangguan fungsional pada otot usus besar yang dikenal sebagai Hirschsprung Disease dimana tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon.

Umumnya kelainan ini baru diketahui setelah bayi berumur beberapa hari atau bulan.9 2.6.11. Atresia Ani

(17)

Gambar 2.9. Atresia Ani33

2.6.12. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

(18)

2.7. Diagnosis11

Dalam menegakkan diagnosis postnatal kita perlu beberapa pendekatan, antara lain:

2.7.1. Penelaahan Prenatal

Riwayat ibu: usia kehamilan, penyakit ibu seperti epilepsi, diabetes melitus, varisela, kontak dengan obat-obatan tertentu seperti alkohol, obat anti-epilepsi, kokain, dietilstilbisterol, obat antikoagulan warfarin, serta radiasi. 2.7.2. Riwayat Persalinan

Posisi anak dalam rahim, cara lahir, lahir mati, abortus, status kesehatan neonatus.

2.7.3. Riwayat Keluarga

Adanya kelainan kongenital yang sama, kelainan kongenital yang lainnya, kematian bayi yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, serta retardasi mental.

2.7.4. Pemeriksaan Fisik

Mulai dari pengukuran sampai mencari anomali baik defek mayor maupun minor. Biasanya bila ditemukan dua kelainan minor, sepuluh persen diserai kelainan mayor. Sedangkan bila ditemukan tiga kelainan minor, delapan puluh lima persen disertai dengan kelainan mayor.

2.7.5. Pemeriksaan Penunjang

(19)

ditunjang dengan melakukan pemotretan terhadap bayi dengan kelainan konenital adalah merupakan hal yang sangat penting dibanding dengan pemeriksaan penunjang laboratorium.

2.8. Epidemiologi

2.8.1. Distribusi Frekuensi

Penelitian Parmar, dkk (2010) di Entebbe, Uganda menunjukkan proporsi kelainan kongenital lebih tinggi pada anak laki-laki (8%; 99 dari 1.224) daripada anak perempuan (7%; 81 dari 1.141), akan tetapi tidak ada perbedaan secara signifikan (p = 0,4).6 Di Urmia, Iran (2008), kejadian kelainan kongenital lebih tinggi pada perempuan (1,99%; 139 dari 6.979) dibandingkan laki-laki bayi baru lahir (1,68%; 120 dari 7.137), namun perbedaan itu tidak signifikan secara statistik (p = 0,65).34 Di Sir T Hospital, Gujarat (Januari 2006 – Juni 2007) menunjukkan kejadian kongenital secara signifikan lebih tinggi (6,1%) pada ibu yang berusia >30 tahun dibandingkan dengan kelompok usia muda.35

(20)

Lebih dari 90% dari semua bayi dengan kelainan kongenital serius dilahirkan di negara-negara berkembang.6 Dari survei perinatal, hampir semua negara maju memiliki angka kematian perinatal sebesar lebih dari 1% dan sekitar 25% dari jumlah ini meninggal sebagai akibat langsung dari suatu malformasi berat.37

2.8.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kelainan Kongenital2,9

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:

a. Kelainan Genetik dan Kromosom.

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan (dominant traits) atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutnya.

(21)

b. Mekanik

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (club foot).

c. Infeksi.

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus ialah :9,11

c.1. Infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.

(22)

c.3. Infeksi virus toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah hidrosefalus, retardasi mental, korioretinitis, mikrosefalus, atau mikroftalmia. Ibu yang menderita infeksi toksoplasmosis berisiko 12% pada usia kehamilan 6-17 minggu dan 60% pada usia kehamilan 17-18 minggu.

c.4. Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi.

c.5. Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.

d. Obat

(23)

e. Faktor Ibu e.1. Umur

Usia ibu yang makin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Contohnya yaitu bayi sindrom down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Beberapa faktor ibu yang dapat menyebabkan deformasi adalah primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, dan kehamilan kembar.

e.2. Ras/Etnis

Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda untuk berbagai ras dan etnis, misalnya celah bibir dengan atau tanpa celah langit-langit bervariasi tergantung dari etnis, dimana insiden pada orang asia lebih besar daripada pada orang kulit putih dan kulit hitam.38 Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak cacat.39

e.3. Agama

(24)

memiliki risiko lima kali yang lebih besar melahirkan anak laki-laki dengan hipospadia atau kelainan pada penis.41 Penelitian yang dilakukan di Irlandia menemukan bahwa wanita dengan tingkat vitamin B12 (dapat ditemukan dalam daging, telur, dan susu) yang rendah ketika hamil berisiko lebih besar untuk memiliki anak dengan cacat tabung saraf. Wanita yang mungkin menjadi hamil atau yang sedang hamil disarankan untuk mengonsumsi suplemen asam folat.42 e.4. Pendidikan

Tingkat pendidikan ibu berkaitan secara tidak langsung dengan kelainan kongenital. Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan risiko tinggi dan kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal menyebabkan angka kematian perinatal meningkat. Pendidikan ibu yang rendah menyulitkan berlangsungnya suatu penyuluhan kesehatan terhadap ibu karena mereka kurang menyadari pentingnya informasi-informasi tentang kesehatan ibu hamil.43

e.5. Pekerjaan

(25)

anemia, keguguran, perdarahan saat dan sesudah hamil, infeksi, persalinan macet, sedang pada bayi dapat menyebabkan terjadi berat badan lahir rendah bahkan kelainan bawaan lahir.44

f. Faktor Mediko Obstetrik

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetrik adalah umur kehamilan, riwayat komplikasi, dan riwayat kehamilan terdahulu, dimana hal ini akan memberi gambaran atau prognosa pada kehamilan pada kehamilan berikutnya.

f.1. Umur Kehamilan

Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:

f.1.1. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat janin antara 1.000-2.500 gram.

f.1.2. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram.

f.1.3. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan.

Penelitian Prabawa (1998) menunjukkan bahwa sekitar 26,5% bayi kelainan kongenital lahir pada umur kehamilan < 36 minggu (kurang bulan).36

f.2. Riwayat Kehamilan Terdahulu

(26)

lalu diharapkan risiko kehamilan yang dapat memperberat keadaan ibu dan janin dapat diatasi dengan pengawasan obstetrik yang baik.

f.3. Riwayat Komplikasi

Risiko terjadinya kelainan kongenital terjadi pada bayi dengan ibu penderita diabetes melitus adalah 6% sampai 12%, yang empat kali lebih sering daripada bayi dengan ibu yang bukan penderita diabetes melitus. Keturunan dari ibu dengan insulin-dependent diabetes mellitus mempunyai risiko 5-15% untuk menderita kelainan kongenital terutama PJB, defek tabung saraf (neural tube defect) dan agenesis sacral. Penyakit ibu lain yang dapat meningkatkan risiko

terjadinya kelainan kongenital adalah epilepsi. Risiko meningkat sekitar 6% untuk timbulnya celah bibir dan PJB dari ibu penderita epilepsi.2,9,11,46

g. Faktor Hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.

h. Faktor Radiasi

(27)

i. Faktor Gizi

Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kurang gizi lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian & kelainan kongenital.

j. Faktor-faktor Lain

Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenital tidak diketahui.

2.9. Pencegahan

2.9.1. Pencegahan Primer

Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar tidak mengalami kelahiran bayi dengan kelainan kongenital, yaitu dengan :

a. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi dengan kelainan kongenital.47

(28)

hamil, karena kelainan seperti spina bifida terjadi sangat dini. Maka kepada wanita yang hamil agar rajin memeriksakan kehamilannya pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita yang berencana hamil untuk mengonsumsi asam folat sebanyak 400mcg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari. Asam folat banyak terdapat dalam sayuran hijau daun, seperti bayam, brokoli, buah alpukat, pisang, jeruk, berry, telur, ragi, serta aneka makanan lain yang diperkaya asam folat seperti nasi, pasta, kedelai, sereal.2

c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)47

Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya

menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar pada setiap kehamilan dilakukan antenatal care secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang lazim berlaku. Tujuan dilakukannya antenatal care adalah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi intrauterin sehingga dapat dicapai kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi serta mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai pemeliharaan bayinya. Perawatan antenatal juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan prematuritas atau berat badan lahir rendah yang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi kelainan kongenital. Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut:

(29)

c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24 minggu d. Menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena dapat

menyebabkan kelainan kongenital seperti atresia ani, celah bibir dan langit-langit.

2.9.2. Pencegahan Sekunder a. Diagnosis

Diagnosis kelainan kongenital dapat dilakukan dengan cara: a.1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara dini beberapa kelainan kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan ganda, molahidatidosa, dan sebagainya.48 Beberapa contoh kelainan kongenital yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan non invasive (ultrasonografi) pada midtrimester kehamilan adalah hidrosefalus dengan atau tanpa spina bifida, defek tuba neural, porensefali, kelainan jantung bawaan yang besar, penyempitan sistem gastrointestinal (misalnya atresia duodenum yang memberi gambaran gelembung ganda), kelainan sistem genitourinaria (misalnya kista ginjal), kelainan pada paru sebagai kista paru, polidaktili, celah bibir, mikrosefali, dan ensefalokel.9,49

a.2. Pemeriksaan cairan amnion (amnionsentesis)2,9,50

(30)

genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-feto-protein terhadap defek tuba neural (anensefali, mengingomielokel), pemeriksaan terhadap beberapa gangguan metabolic (galaktosemia, fenilketonurua), dan pemeriksaan lainnya.

a.3. Pemeriksaan Alfa feto protein maternal serum (MSAFP).

Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui mengalami defek tuba neural, spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain. Apabila serum ini menurun maka dapat ditemukan pada sindrom down dan beberapa kelainan kromosom.2

a.4. Biopsi korion

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin, kelainan metabolik, kelainan genetik dapat dideteksi dengan analisis DNA, misalnya talasemia dan hiperplasia adrenal kongenital.2

a.5. Fetoskopi/kordosentesis

Untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka bayi yang baru lahir perlu diperiksa bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu bentuk muka bayi, besar dan bentuk kepala, bentuk daun telinga, mulut, jari-jari, kelamin, serta anus bayi.2

b. Pengobatan

(31)

produksi cairan serebrospinal. Penanganan PJB dapat dilakukan dengan tindakan bedah atau obat-obatan, bergantung pada jenis, berat, dan derajat kelainan.2

2.9.3. Pencegahan Tersier2

Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penting pada pengobatan dan rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan situasi yang tak dapat disembuhkan. Pada kejadian kelainan kongenital pencegahan tersier bergantung pada jenis kelainan. Misalnya pada penderita sindrom down, pada saat bayi baru lahir apabila diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi ini nantinya bisa dilatih dan dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya.

Gambar

Gambar 2.1. Spina Bifida22
Gambar 2.2. Labiopalatoskisis24
Gambar 2.3. Hidrosefalus26
Gambar 2.4. Anensefalus28
+4

Referensi

Dokumen terkait