programme for sanitation hygiene and water in East Indonesia
Cerita dokumentasi berdasarkan kesaksian warga Desa Puna
dan Loli, Kecamatan Polen, Timor Tengah Selatan dan warga
Desa Du dan Hepang, Kecamatan Lela, Sikka, mengenai
Program Sanitasi Total Berbasis M asyarakat.
M ereka Bicara
Tentang
M ereka Bicara
Tentang
STBM
© 2014 by SIM AVI SHAW Program
M ereka Bicara Tentang STBM
Cerita dokumentasi berdasarkan kesaksian warga Desa Puna dan Loli, Kecamatan
Polen, TTS dan warga Desa Du dan Hepang, Kecamatan Lela, Sikka, mengenai
Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Penulis, Fotografer & Desainer Grafis:
Putri YunifaSupervisor:
Galuh S. WulanHak cipta dilindungi Undang-Undang.
Lead agency
Partners
Jalan Panjang M enuju STBM
S
IMAVI melalui Program Sanitation, Hygiene and Water (SHAW), mendukung Program Pemerintah Indonesia yaitu Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Lima Pilar sejak tahun 2010, bersama dengan lima Organisasi Non Pemerintah di sembilan kabupaten di wilayah Indonesia bagian Timur. Strategi Nasional STBM ini dicanangkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan No 852/Menkes/SK/IX/2008 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 3 tahun 2014. Sebagai sebuah program, STBM memiliki lima aspek penting, yaitu:1. Stop buang air besar sembarangan (BABS),
2. Cuci tangan pakai sabun (CTPS),
3. Pengolahan air minum dan penyimpanan yang aman di rumah tangga,
4. Pengelolaan sampah rumah tangga, dan
5. Pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Program yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan status kesehatan masyarakat pedesaan - terutama ibu dan anak - secara berkelanjutan dengan bertitik berat pada perubahan perilaku di tingkat individu dan rumah tangga, telah dilaksanakan melalui empat tahapan, yaitu 1) persiapan, 2) pemicuan, 3) dukungan tindak lanjut, dan 4) pemantauan dan evaluasi sebelum dan setelah deklarasi. Hingga Juni 2014, berdasarkan Laporan Kemajuan SHAW jumlah total penerima manfaat di wilayah Program SHAW sebanyak 1.462.988 orang yang berada di 1.042 desa, di 114 kecamatan, dan Simavi mencatat bahwa 479 desa dan 39 kecamatan telah mendeklarasikan 100% STBM 5 Pilar. Namun penelitian tentang Manfaat yang Diperoleh dari STBM 5 Pilar di Empat Kabupaten di NTT tahun 2014 menunjukkan hasil sebaliknya. Perilaku 5 Pilar STBM tidak lagi 100%.
Demi mempertahankan STBM di masyarakat, SIMAVI menerbitkan sebuah dokumentasi dari hasil kunjungan ke dua kabupaten yaitu Timor Tengah Selatan (TTS) dan Sikka, khususnya Desa Puna dan Loli di Kecamatan Polen dan Desa Du serta Hepang di Kecamatan Lela. Hasil dokumentasi berjudul “Mereka Bicara Tentang STBM” ini merupakan narasi yang menggambarkan bagaimana masyarakat mempersepsi STBM, baik manfaat maupun tantangan yang melingkupinya. Substansi dasar publikasi ini beranjak dari hasil penelitian “Tentang Manfaat yang Diperoleh dari STBM 5 Pilar di Empat Kabupaten di NTT” yang melibatkan 1.428 responden di 24 desa yang telah mendeklarasikan penerapan 100% STBM pada tahun 2012 di Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sikka dan Flores Timur, yang disajikan melalui narasi serta infografis. Ada cerita-cerita yang menunjukkan harapan, tapi ada juga yang menggambarkan tantangan. Pada akhirnya, publikasi ini berusaha mengajak banyak pihak lebih peduli dan terlibat dalam proses perubahan di masyarakat. Bukan langkah singkat untuk mewujudkan perubahan total, dan begitu banyak harapan menunggu untuk diwujudkan. Saatnya kita melangkah bersama mewujudkan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Infograis
4-6
Apa Kata Mereka
tentang Manfaat 5
Pilar STBM?
7-13
Mengapa STBM
Tidak 100%?
19-23
Kisah Mereka
Seputar 5 Pilar
STBM
15-17
Agar STBM
Tetap 100%,
Ini Yang Perlu
Dipertahankan
25-29
4
PENURUNAN KASUS DIARE DI 6 PUSKESM AS DI 4 KABUPATEN DI NTT, BERDASARKAN PERBANDINGAN RATA-RATA KASUS 2011 (SEBELUM STBM ) DAN 2013 (SESUDAH STBM )
48
APA YANG WARGA DESA RASAKAN MENGENAI MANFAAT STBM 5 PILAR?
Hasil penelitian Tentang Manfaat STBM 5 Pilar di 4 Kabupaten di Indonesia
bagian Timur mengungkap bahwa 706 warga di 24 desa di 8 kecamatan di
Kabupaten TTS, TTU, Sikka dan Flores Timur menyebutkan:
47
Polen TTS Kie, TTS
TERKONFIRMASI
KE-7 MANFAAT
YANG
HANYA BISA
DIRASAKAN JIKA
MELAKSANAKAN
STBM 5 PILAR
Musi, TTU Lurasik, TTU Lela, Sikka Koting, Flotim
*) Sumber: Penelitian Tentang Manfaat yang Diperoleh dari STBM 5 Pilar di 4 Kabupaten di NTT
sebelum STBM (2011) sesudah STBM (2013)
APAKAH SAAT INI, STBM 5
PILAR DI KABUPATEN TTS, TTU,
SIKKA DAN FLORES TIMUR
MASIH 100%?
JADI, PERILAKU STBM 5 PILAR TIDAK LAGI 100%! MENGAPA DEMIKIAN?
PILAR 1
STOP BUANG
AIR BESAR
SEMBARANGAN
PILAR 2
CUCI TANGAN PAKAI
SABUN
SAMPAH RUMAH
TANGGA
PILAR 5
PENGELOLAAN LIMBAH
CAIR RUMAH TANGGA
BAB DI SEMAK-SEMAK TANPA GALI LUBANG KETIKA SELALU CTPS
SEBELUM/
(n=238)FLORES
BAB DI
SAMPAH
27 26
%
%
Hasil penelitian tentang
M anfaat 5 Pilar STBM di 4
Kabupaten juga mengungkap
bahwa perilaku 5 Pilar STBM
warga desa*) adalah sebagai
berikut:
*) berdasarkan jumlah responden penelitian
6
KEBERHASILAN & KEBERLANJUTAN STBM
AIR TIDAK
M E R AT A
KOMITMEN
MENURUN
PEMASARAN
SANITASI
TIDAK
BERJALAN
MENURUNNYA
KUALITAS &
KUANTITAS
PEMANTAUAN
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT
KEBERHASILAN & KEBERLANJUTAN STBM
STBM TIDAK 100%, KARENA ADANYA..
JADI, UNTUK MEMPERTAHANKAN
STBM 5 PILAR 100%, FAKTOR-FAKTOR
BERIKUT HARUS ADA..
OPPORTUNITY
ABILITY
MOTIVATING
DETERMINANT
DETERMINANT
DETERMINANT
DESAIN FLEKSIBEL GAUNG STBM
NORMA SOSIAL BARU BERTAHAN KOMITMEN DAN KETEGASAN
PENGETAHUAN & KETERAMPILAN MENINGKAT KUATNYA MODAL SOSIAL
RT DAPAT MENJANGKAU SARANA STBM TEKANAN SOSIAL & EMOSIONAL KEYAKINAN BAHWA STBM ITU BAIK
PERILAKU
STBM
Infografis dikembangkan berdasarkan Penelitian Tentang Manfaat STBM 5 Pilar di Empat Kabupaten di NTT, 2014
M ENJADI
KEBIASAAN
Apa Kata
M ereka Tentang
M anfaat 5 Pilar
STBM ?
8
S
eraut wajah lelah menyambut kedatangan kami siang itu, di Desa Puna, Kecamatan Polen, Kabupaten TTS. Setelah salingmemperkenalkan diri, Erni, demikian panggilan singkat ibu yang baru melahirkan anak kembar dua itu, menuturkan usahanya menerapkan 5 pilar dari program STBM. “Yang paling susah, membuat WC,” tuturnya, sembari
memperlihatkan jamban milik keluarganya yang masih menggunakan kloset model cemplung. Masalah biaya, menjadi kendala besar bagi keluarga yang mengandalkan hidup dari berkebun ini. Meski demikian, Erni mengakui bahwa kehidupan mereka lebih sehat setelah menerapkan STBM. Memangnya, apa yang terjadi sebelum itu?
“Sani sempat kena muntaber, dan harus dirawat di RSU di Kefa,” kisahnya dengan mata menerawang. Dengan terbata-bata, ia mengisahkan bagaimana ia dan suaminya harus pontang-panting membawa anak keduanya tersebut ke rumah sakit supaya tertolong. Meski biayanya terbantu oleh Jamkesmas, namun tak
urung mereka harus mengeluarkan biaya untuk transportasi serta makan selama menginap di rumah sakit menemani anaknya yang saat itu berusia 3 tahun. Selama ia bercerita, Sani, 5 tahun, terus mendampingi ibunya dengan mata berbinar. Sani pernah kena muntaber lagi setelah itu? Sani dan ibunya menggeleng.
“Setelah kami cuci tangan pakai sabun, tidak pernah lagi Sani muntaber,” katanya. (*)
Keterangan foto:
Atas: Sani dan anak-anaknya di rumah bulat yang menjadi tempat menyimpan air minum.
Kiri bawah: Erni ketika menceritakan kembali saat Sani kena muntaber, dua tahun lalu.
Tengah bawah: Jamban milik Sani sekeluarga; “Uangnya belum ada,” katanya.
Kanan bawah: Erni mempraktikkan cara menggunakan tippy tap menggunakan jerigen. Meski kesulitan air, warga masih berusaha menggunakan air yang mengalir untuk cuci tangan.
Lebih Sehat Setelah
Menerapkan STBM
S
embari menunggu pembagian BLT diKecamatan Polen dimulai, Nita mengutarakan pengalamannya terkait sanitasi. “Anak saya pernah kena muntaber” kata perempuan warga Desa Balu sembari menggendong anaknya, Ingrid (11 bulan). Bulan Oktober lalu, Nita harus membawa anaknya ke puskesmas karena muntaber. Di sana ia mendapat informasi dari petugas kesehatan untuk selalu mencuci tangan setiap selesai buang air atau menceboki anak. Setelah mengikuti saran petugas, Nita mengakui bahwa anaknya kini tidak lagi terkena muntaber. “Muntaber sudah tidak, hanya sekarang susah makan,” kata ibu tiga anak tersebut. (*)
D
esa Laob, Kecamatan Polen, merupakan satu desa yang merasakan manfaat dari penerapan STBM karena desa ini pernah dilanda wabah diare. “Tahun 2003-2004 ada wabah diare,” tutur Yura Welhelmince Bahan, Kepala Desa Laob. Berbagai upaya untuk mengurangi wabah pun dilakukan, termasuk dengan menerima bantuan berupa jambansehat. Sayangnya jamban sehat itu kemudian rusak semuanya, dan penyakit pun kembali merebak. Tapi semenjak program STBM masuk di 2011 hingga hari ini, menurutnya, angka diare pun menurun. Berdasarkan pengamatannya, juga semakin sedikit warga yang menggunakan kloset cemplung. “Kebanyakan menggunakan WC plengsengan yang pakai tutup,” katanya menyebut jenis kloset yang meski belum menggunakan model leher angsa, tapi lebih sehat dari model cemplung.
S
elain manfaat sehat, Yura juga menyebutkan manfaat pendidikan bagi warganya karena anak-anaknya jarang sakit. “Banyak anak-anak yang juga sudah bersekolah. Karena kalau kita tidak sakit, tidak keluar biaya untuk berobat. Anak-anak juga rajin masuk sekolah karena tidak sakit,” kata perempuan yang menjadi Kepala Desa Laob sejak 2011 ini. (*)Nita dan anaknya, Ingrid
M
arta Salem, kader Desa Loli, Kecamatan Polen menuturkan bahwa semua warga di Desa Loli pada dasarnya sudah memiliki WC, meski sebagian masih WC cemplung atau darurat. Manfaat memiliki WC sehat, selain tidak bau dan mengurangi risiko penyakit, juga aman bagi anak-anak. Sebelumnya, dengan WC darurat, selain banyak anak terkena muntaber, mereka juga takut masuk WC. “Kan hanya pakai kayu. Mereka takut jatuh masuk ke dalam. Pernah saya jatuh ke WC karena kayu WC (cemplung) sudah lapuk saya injak langsung jatuh. Jadi pakai WC sehat saja, karena saya su pengalaman (jatuh),” Ujarnya sambil tertawa. (*)10
Sampah Dibuang Sayang,
Bank Sampah pun
dibangun:
Sampah
M enjadi
Berkah,
Nyamuk pun
Hilang
Pilar keempat STBM, Mengelola
Sampah Rumah Tangga, memicu
sebagian masyarakat di TTS dan Sikka
untuk mengolah sampah menjadi
produk bernilai.
D
i Kecamatan Polen, meski belum banyak, namun sudah ada sebagian warga yang mendapatkan keterampilan mengolah sampah. Salah satunya, Afia Sutrismiati yang tak lain Mama Desa Puna atau istri Kepala Desa Puna - Zed Edi Babis, yang mendapatkan keterampilan tersebut dari seorang siswa SMP, beberapa bulan lalu. Siswa itu mendapat keterampilan tersebut dari sekolahnya. “Awalnya saya penasaran, kok dia minta sisa bungkus terus,” kata perempuan asal Jawa Tengah yang juga memiliki kios sendiri tersebut. Salah satu hasil karyanya, keranjang kecil, juga dipajang di kiosnya di Koperasi Unit Desa. “Saya membuatnya sambil menunggui kios,” katanya, yang berharap bisa menambah keterampilannya dan menularkannyake kelompok PKK dampingannya maupun ibu rumah tangga.
S
enada dengan Mama Desa Puna, produk berbahan dasar sampah pun mulai melanda Desa Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka. Di salah satu kios milik warga, keranjang berbahan dasar tutup minuman gelas instant dijualdengan harga Rp35 ribu perbuah. Fenomena merebaknya produk daur ulang dari sampah ini juga tidak luput dari perhatian Mayella da Cunha, Camat Lela, saat ditemui di kantornya (27/11). “Persoalan saat ini sebenarnya tinggal sampah rumah tangga. Saya ingin membangun bank sampah,” kata pria lulusan Universitas Brawijaya Malang ini. Jika Mayella masih
kategori yang telah disiapkan, lalu mengolahnya menjadi produk bernilai jual.
Diawali modal “gotong-royong” Rp3,5 juta, lambat laun Bank Sampah Harapan mulai menuai hasil. Gudang penyimpanan sudah menampung sampah senilai kurang lebih Rp2 juta, belum lagi yang sudah diolah menjadi produk berharga. Saat ditemui (25/11) mereka sedang menimba keterampilan baru untuk mengolah sampah, di pelatihan yang diselenggarakan Bank Sampah Harapan bersama Plan Indonesia.
Hasil yang dicapai sejauh ini tidak terlepas dari upaya sosialisasi yang gencar dilakukan melalui rapat-rapat atau pertemuan PKK.
“Kami wajib membawa sampah dalam setiap pertemuan PKK,” papar Yohana Rambu Diki, Ketua Tim Penggerak PKK Kec. Kota Soe, yang banyak menyosialisasikan soal sampah ini di kelompok-kelompok PKK di tingkat kelurahan. Sosialisasi dilakukan secara luas mengingat manfaat bank sampah ini bukan hanya ekonomis, namun juga kesehatan. “Selama ini, kita kan sudah promosi 3M (Menutup, Menguras dan Mengubur). Tapi tidak ada yang
mengubur. Ah, kami sudah pusing. Saya bilang ke Bapak (Camat), kita ganti saja, M ketiga bukan Mengubur tapi menjadi Mengumpulkan, Menimbang dan Menjual,” tukas Berince SS Yalla, salah satu penggerak Bank Sampah yang juga Kepala Bidang Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten TTS. Jika berkelanjutan, Berince optimis bahwa kegiatan ini akan mengurangi penyebaran nyamuk yang menimbulkan demam berdarah dan mengurangi beban sampah kota.
“Selama sampah-sampah itu tidak menjadi nilai ekonomis, percuma kita sosialisasi, capek,” kata Berince. Saat ini Bank Sampah Harapan Soe digerakkan oleh 5 orang staf yaitu Direktur, Bendahara, staf Gudang, staf promosi dan sekretaris. Biasanya gaji karyawan bank lumayan, bagaimana dengan staf Bank Sampah?
“Ini masih kerja bakti, upahnya di surga,” sahut Iwan Bako, Direktur Bank Sampah Harapan, sambil tertawa.(*)
Keterangan foto:
Kiri atas: Iwan Bako dan stafnya di Bank Sampah Harapan
Kiri bawah: Aia dengan keranjang buatannya
Tengah Bawah: Warga Desa Du dengan tas hasil sampah
Kanan Bawah: Yohana R Diki, dengan bahan-bahan sampah siap olah
Keterangan foto:
12
Messak Bahan, Anggota Tim
Relawan Cilik Desa Laob,
Kecamatan Polen, TTS
M embuat Tippy
Tap Sendiri
Selamat siang,”
Sebuah suara yang ringan tapi tegas sekonyong-konyong hinggap di telinga kami. Seorang anak laki-laki berparas kurus dengan tinggi sekitar 130 cm, masih dengan seragam SMP, tas STBM dan sandal jepit, berdiri di ambang pintu kediaman Simon Djamie, di mana kami sedang berbincang sambil minum teh. Messak, demikian panggilannya - memang memenuhi keinginan saya untuk bertemu secara khusus siang itu. Kami kemudian beranjak ke rumah pendeta Billa yang hanya beberapa meter dari situ. Messak yang tampak grogi sempat memanggil beberapa temannya untuk bergabung, tapi urung.
Selanjutnya, selama kami berbincang, wajah mungilnya yang terbakar matahari terus menerus memamerkan senyum salah tingkah dan malu. Messak bercerita pengalamannya mengikuti pelatihan pertama kali tahun 2011. Ia mengaku
senang, karena menurutnya; “Dapat keliling desa, periksa WC, tippy tap, lubang sampah, limbah cair, jalan-jalan, menyanyi...”
Program STBM telah memberinya pengalaman baru. Menurut pengakuannya, apa yang
dipelajarinya melalui STBM belum pernah diperolehnya di sekolah.
Meski terpatah-patah, Messak juga dapat menjelaskan manfaat menerapkan STBM 5 Pilar terhadap kesehatan. Kami menemaninya pulang ke rumahnya, dan Messak menunjukkan tippy tap yang ia buat sendiri. Ia juga menjelaskan bagaimana mengelola limbah cair rumah tangga. “Kasih batu-batu supaya air meresap,” tuturnya sambil memperlihatkan lubang penampung di tempat cuci piring.
Bayangkan jika semua anak menguasai pengetahuan mengenai STBM 5 Pilar...!(*)
Keterangan:
Kiri: Messak menunjukkan tippy tap buatannya sendiri
Kanan: Messak berfoto dengan tas STBM yang juga dibawanya ke sekolah
Pengetahuan mengenai STBM menjadi
pengalaman berharga bagi anak
Pemasaran Sanitasi
(Sanitation Marketing)
Ketika si Kloset Kuat Sepi Peminat
Untuk meningkatkan penerimaan
masyarakat terhadap STBM, sejumlah
warga dilatih sebagai tenaga
Pemasaran Sanitasi. Hasilnya? Para
pengrajin kloset leher angsa yang
berkekuatan prima dan hemat air.
Sayang, di sebagian wilayah, kloset
berbahan semen ini sepi peminat.
“Pasaran susah..,”
Markus Tefnae menjawab singkat ketika kami tanyakan mengenai pasaran kloset buatannya. Laki-laki yang sehari-hari bertani ini sejak dua tahun lalu membuat kloset leher angsa dari bahan dasar semen. Hasil buatannya, sekilas, sangat mirip dengan kloset produksi pabrik yang banyak di jual di toko-toko bangunan.
Di antara beraneka kloset di jamban warga, sebagian di antaranya menggunakan kloset berbahan semen. Itulah hasil karya para pengrajin lokal yang telah dilatih sebagai Pemasaran Sanitasi (Sanitation Marketing), termasuk Markus Tefnae, dari Desa Konbaki, Kecamatan Polen. Dengan harga jual berkisar antara Rp60 ribu hingga Rp75 ribu, kloset ini diharapkan bisa menjangkau konsumen dengan mudah. Namun kenyataannya tidak demikian. Hingga hari ini, Markus baru memproduksi 15 buah. Padahal kebutuhan kloset sehat cukup tinggi. “Kebanyakan orang akhirnya beli (kloset pabrik) di Kefa,” tuturnya. Kegiatan Pemasaran Sanitasi ini meski bermanfaat secara ekonomi, namun tidak lantas berjalan mulus. Di TTS
misalnya, dari 24 kelompok Pemasaran Sanitasi, 8 di antaranya tidak aktif. 1
Menurut Ardi dari Plan Indonesia, kloset buatan warga ini sebenarnya sudah teruji lebih kuat dan hemat air dibandingkan kloset produksi pabrik. Namun kalah dalam hal strategi pemasaran maupun promosi. Markus Tefnae pun hanya tersenyum kecil ketika kami tanyakan bagaimana cara dia mempromosikan produknya.
“Saya tidak bilang apa-apa. Orang biasanya
1 “Penelitian Tentang Manfaat STBM 5 Pilar di 4 Kabupaten di NTT” 2014
datang dan lihat, kalau cocok ya beli,” katanya sembari menjelaskan bahwa kloset buatannya hanya dititipkan di KUD Puna. Jika Markus cenderung pasif, tidak demikian dengan
Magdalena Leing, sanitarian Puskesmas Nanga, Kecamatan Lela, yang juga membuat kloset. Menurut Kepala Desa Du, Yansen Paskalis, ia sudah dihubungi Leing untuk membeli klosetnya. “Tapi tahun ini saya tidak anggarkan untuk jamban, baru tahun depan,”jelasnya. Jelas dibutuhkan dukungan kebijakan dan perbaikan strategi untuk memastikan kloset lokal ini memberi manfaat sehat sekaligus ekonomi. (*)
Keterangan:
Atas dan Kanan: Markus Tefnae, dengan WC buatannya serta cetakan dari ibreglass.
16
Eci, Desa Hepang,
Lela, Sikka
“Kebiasaan anak-anak dulu ‘kan buang air besar sembarangan. Saya dulu juga begitu, waktu kelas 3 SD. Sekarang juga masih ada satu dua orang yang begitu. Saya pernah lihat, hahaha. Mereka biasanya (BAB) di kali. Ya, ‘WC”nya di situ. ‘Kan nanti air hujan bawa (kotoran) itu toh.” (*)
Simson Mella,
Desa Loli, Polen,
TTS
“Saya bikin WC di sawah sejak 2010. Harus begitu ibu, karena kalau kita datang pagi sampai malam baru balik ke rumah, kita harus buang air besar di tempat yang nyaman. Jarak rumah ke sawah ini satu kilometer. Rumah terdekat pun masih agak jauh. WC cemplung ini tidak ada air, tapi kalau kita olah sawah, air ada.”(*)
Lisnawati, Desa
Hepang, Lela,
Sikka
“Saya diberi tahu lewat penyuluhan dari posyandu mengenai cuci tangan pakai sabun. Mengenai sampah, biasanya ya dibakar atau dibuang ke Kali Mati. Limbah cair rumah tangga siram ke halaman supaya tidak berdebu. Anak juga saya kasih tahu untuk cuci tangan, tapi ya kadang susah. “(*)
Martin Telopo, Desa
Puna, Polen, TTS
“Sebelum ini kami pakai WC cemplung, itu lalat keluar masuk sehingga bisa membawa penyakit bagi kami. Dengan WC yang bagus ini, tidak ada lalat keluar untuk hinggap di makanan, sehingga kami tidak sakit. Dulu kami orang tani ini tidak tahu - tangan kotor-kotor dari kebun langsung makan, sekarang kami sudah tahu dan cuci tangan pakai sabun.”(*)
Pilar Kelima yang Terlupakan
S
alah satu pilar yang tampaknya banyak terabaikan adalah pengelolaan limbah cair rumah tangga. Musim kering berkepanjangan di wilayah Timor dan Sikka tampaknya menjadikan persoalan itu pun tenggelam dibandingkan jamban.Zed Edi Babis, Kepala Desa Puna, misalnya, juga menganggap pilar kelima tersebut bukan masalah berarti. “Pilar empat lima itu tidak masalah. Tidak ada sampah yang luar biasa. Dan soal limbah cair rumah tangga, menurut kita tidak ada persoalan, di sini kan air susah sekali, jadi air sisa cuci piring itu untuk siram-siram halaman atau tanaman,” katanya. Gejala serupa juga ditemukan di desa-desa lain. Pengamatan juga menunjukkan bahwa tidak banyak rumah yang menyediakan lubang penampungan. Panas terik membakar memang membuat genangan tidak banyak tercipta di sekitar rumah. Namun, bagaimana jika musim hujan tiba?(*)
Foto:
Air “Panas Dingin”
Dalam Wadah
Tertutup
T
eriknya matahari tak urung menerbitkan dahaga, tidak lama setelah beranjak dari kantor kecamatan Polen, Kabupaten TTS. Di rumah Martin Teflopo di Desa Puna, beberapa puluh meter dari kantor kecamatan, saya pun meminta air minum, sembari melirik galon air mineral di atas dispenser di dalam rumah. Eci Kohetai, istri Martin Teflopo yang mendampingi suaminya, langsung menuangkan minuman dari sebuah wadah plastik tertutup ke gelas. Masih mengepulkan asap. Saya bertanya, apakah mereka membeli air mineral untuk diisi ke dalam galon. Eci menggeleng.“Kebanyakan kami buat air panas, lalu air panas dingin kami masukkan ke galon,” Tuturnya. Air “panas dingin”? Saya bingung seketika.
“Maksudnya, kami rebus air betul-betul sampai masak, lalu kami saring, setelah dingin baru kami masukkan ke galon,” jelas Martin Teflopo sambil tersenyum lebar. Menurutnya, air harus disaring karena kadar kapur yang tinggi. Saat saya cicipi
memang rasanya pahit. Kondisi air di wilayah NTT ini umumnya memang banyak mengandung kapur. Situasi inilah yang coba disiasati oleh warga dengan menyaring air yang sudah masak sebelum diminum. Beberapa rumah yang kami kunjungi juga tampak menyimpan “penyaring” air di dapurnya, tanda barang tersebut sangat diperlukan sehari-hari. Kesadaran untuk memasak air ini, menurut Martin, sudah ada sebelum program STBM masuk. Air yang sudah dimasak biasanya ditampung dulu dalam wadah ember tertutup, sebelum kemudian mereka pindahkan ke wadah tempat minum bercorong atau berkeran yang tertutup (dispenser). (*)
keterangan foto:
Yanembria, putri Martin Telopo di Desa Puna, Kecamatan Polen, menenggak air minum sepulang sekolah
Pilar ketiga, memasak air minum
hingga mendidih, sudah digaungkan
pemerintah jauh sebelum Program
STBM masuk. Hasil penelitian juga
menyimpulkan hampir 100% warga di 4
kabupaten termasuk TTS, memasak air
minum mereka.
Bernadetta, Bidan, Desa Hepang, Kecamatan
Lela, Sikka
20
Kelangkaan Air, Bukan
Satu-satunya M usuh
Besar STBM
Sebagian warga Desa Laob harus
menempuh jarak 5 kilometer untuk
mendapatkan air. Warga Desa Du juga
mesti “baku rebut” air setiap hari. Tapi
kelangkaan air bukan satu-satunya
ancaman bagi keberlanjutan STBM.
W
ati (26) tidak dapat menutupi rasagundahnya. Sambil menggendong Floren, 1 bulan, keluh kesahnya pun mengalir. “Air belum keluar,” katanya sambil tertawa getir. Bayinya belum mandi. Kotoran kulit kepala memenuhi rambut ikalnya yang legam. Warga Desa Du sebenarnya menikmati air bersih dari mata air yang berjarak 8 kilometer dari desa. Namun warga harus bergantian menikmati air bersih yang disalurkan melalui beberapa keran di beberapa titik desa ini. “Kami harus baku rebut,” kata Minsia Sane, tentang air bersih di Desa Du. Di Desa Laob, lebih parah lagi. Rata-rata warga harus menempuh 1 km untuk mencapai sungai yang menjadi satu-satunya sumber air. Bahkan ada satu dusun di Desa Laob yang berjarak 5 km dari sumber air.
Meski dilanda krisis air, namun pada umumnya warga bisa beradaptasi sehingga kegiatan STBM 5 Pilar tetap dapat dilakukan. Desa Hepang misalnya, warga secara berkala membeli air. Dengan harga Rp200 ribu, mereka bisa membeli air satu tangki atau 5000 liter. Jerigen juga
Keterangan foto:
Tengah dan kanan atas: sungai yang mengering dan menjadi satu-satunya sumber bagi warga Desa Laob dan desa di sekitarnya
cukup dilubangi dengan paku, bukan kayu, sehingga lebih irit air. Di Desa Du, meski krisis air mengundang “baku rebut” antar warga, namun warga masih memiliki beberapa sumur milik desa yang dapat diakses siapa saja. Rata-rata warga yang ditemui juga mengakui bahwa Tim Pengelola Air Minum yang diketuai Siprianus Hilarius, bekerja dengan baik, terutama ketika mengatasi pipa yang sering patah (lihat boks: Pipa Rusak, STBM Tidak Berjalan).
N
amun, di luar permasalahan air, adapersoalan yang lebih serius dan berpotensi menghambat keberlanjutan. Salah satunya, komitmen warga yang mengendur untuk melaksanakan STBM 5 Pilar. Meskipun rata-rata rumah yang kami temui menyediakan tippy tap, namun beberapa di antaranya tidak disertai sabun. Sebagian warga di TTS mengatakan bahwa mereka sengaja menyembunyikan sabun karena acapkali dimakan oleh sapi yang berkeliaran.
P
asca deklarasi, tampaknya pemantauan dan gerakan untuk memotivasi warga memang mengendur bahkan di Desa Du sendiri. Menurut Ludardis Nona Erwin dari Tim Sebelas Desa Du, setelah deklarasi Kecamatan Lela, baru satu kali ada pemantauan dari Kecamatan di Desa Du. Itupun, hasilnya hanya disampaikan secara lisan oleh petugas Program Kesehatan kepada Erwin. “Jadi itu saya anggap tidak resmi,” tutur Erwin yang juga menjabat Sekretaris Desa Du. Di wilayah lain, indikasi mulai melonggarnya pemantauan tampak dalam bentuk pengelolaan sampah Rumah Tangga di Desa Hepang.Lisnawati, seorang warga, menuturkan bahwa biasanya sampah dibakar, atau dibuang ke Kali Mati. Sebagian warganya juga ditengarai masih melakukan BABS karena jamban mereka tidak bisa dipakai. Magdalena Leing, sanitarian Puskesmas Nanga, Kecamatan Lela juga mengutarakan bahwa di antara 5 Pilar STBM, sampah di wilayah publik yang masih menjadi masalah.
keterangan foto:
atas: Warga Ragaregong, Desa Du, mengantri air dari keran. Setiap keran diakses 5-6 rumah tangga.
Kiri bawah: Warga Desa Du menimba air dari sumur desa , sebagai alternatif sumber air.
Kanan bawah: Sampah organik bercampur plastik di pinggir Kali Mati, Desa Hepang. Warga biasa membuang sampah di sini.
22
Berbagai persoalan maupun tantangan juga dihadapi relawan. Jika situasi tersebut menurunkan komitmen mereka, maka dapat mempengaruhi keberlanjutan STBM. Di Desa Laob, relawan terkendala dengan jarak antar rumah yang berjauhan. “Sekarang ini hanya 3 relawan yang masih aktif memonitor 3 bulan sekali, “Kata Simon Petrus Djamie, relawan STBM. Menurutnya, harus ada dorongan terus menerus, tidak cukup hanya sosialisasi, karena tingkat pemahaman masyarakat yang masih minim. Masalahnya, untuk terus mendorong mereka, tidak cukup dana dari desa untuk memfasilitasi relawan dalam memonitor. Di Kecamatan Lela, beberapa pemangku
kepentingan di sana juga menghadapi tantangan yang menguji kebersamaan mereka sebagai ujung tombak STBM di desa. (lihat: Koordinasi Dulu dengan Desa). Mengingat besarnya
peranan desa yang berdaya dan mandiri dalam penerapan STBM 5 Pilar, maka persoalan-persoalan tersebut perlu segera diurai demi keberlanjutan STBM. (*)
keterangan foto:
kiri atas: suasana Desa Laob, jarak antar rumah berjauhan menjadi kendala dalam pemantauan rutin
kanan atas: Simon Petrus Djamie, relawan STBM dan istrinya
kiri bawah: pipa yang mengalirkan air dari mata air Waermea ke beberapa titik keran di Desa Du, disampirkan sekedarnya ke batang pohon. Sering rusak terkena longsoran batu.
Tim Pengelola Air Minum Desa Du
Pipa rusak, STBM tidak
berjalan
S
etiap kali membicarakan soal air keran, warga akan langsung menyebut nama Siprianus Hilarius. Laki-laki yang juga tokoh adat ini terpilih sebagai Ketua Tim Pengelola Air Minum Desa sejak dua tahun lalu melalui musyawarah desa. Ketika ditanya mengenai masalah distribusi air yang sering macet, singkat ia menjawab; “Pipa sering rusak,”Menurutnya, pipa air yang dipasang oleh
kontraktor bukan kualitas utama sehingga sering rusak. Setiap kali rusak, Hilarius dan 6 orang timnya berjalan kaki menempuh 8 kilometer ke mata air Waermea membawa berbagai perlengkapan asesoris pipa.
Selain itu, penyaluran air untuk penerima manfaat juga dilakukan secara bergantian di antara
dusun-dusun di Desa Du dan satu di Desa Sikka. Saat ini pipa sering patah karena tertimpa batu longsor, terutama saat musim hujan. “Dengan adanya STBM, mereka yang di sebelah atas dan hanya mengandalkan air Waermea, ketika air
macet, pasti setengah mati,” katanya.
Menurutnya pipa itu harus diganti dengan pipa plastik, sehingga lebih awet. Untuk itu ia sudah mengajukan kenaikan tarif iuran namun belum terlaksana. Saat ini setiap keluarga penerima manfaat dikenakan iuran Rp5000./bulan. (*)
keterangan foto:
Siprianus Hilarius di kediamannya di Desa Du
Foto bawah: Mans Cosmas, kepala Dusun Ragaregong
Koordinasi Dulu dengan Desa!
D
esa adalah ujung tombak STBM 5 Pilar. Atas dasar itulah, pengakuan atas wewenang desa dalam berbagai aspek terkait STBM menjadi sangat penting. Setelah memiliki tim 11 sebagai tim relawan STBM yang sukses mengantar Kecamatan Lela menuju Deklarasi STBM, Desa Du tampaknya sudah siap memikul tanggungjawab dalam hal STBM. Masalah muncul ketika seorang sanitarian menunjuk salah satu anggota Tim 11 mengikuti lomba Natural Leader STBM yang diadakan Kementerian Kesehatan RI Agustus lalu. Penunjukan langsung tersebut memicu masalah, karena dianggap melangkahi wewenang desa. “Kalau mau kirim orang harus koordinasi dulu dengan orang desa,” tukas Siprianus Hilarius yang juga tokoh BPD. Menurutnya, hanya karena kedekatan dengan pihak kecamatan, tidak lantas sanitarian tersebut boleh melangkahi wewenang desa. Hal senada juga disampaikan Kepala Dusun Ragaregong, Mans Cosmas, yang juga anggota26
Komitmen Desa dan Fleksibilitas jadi Modal
Utama
Dari Jerigen, hingga ADD
Keberhasilan STBM 5 Pilar dimotori
oleh beberapa hal, di antaranya
leksibilitas dalam pengadaan sarana
sanitasi. Tidak ada keran, jerigen pun
jadi. Tidak ada sabun cuci, deterjen pun
oke. WC juga tidak perlu mahal.
“Tippy tap? Oh, jerigen cuci tangan,” Begitulah masyarakat di TTS dan Sikka
mengenali sarana pilar kedua STBM tersebut. Jerigen untuk cuci tangan memang tampaknya familiar bagi masyarakat di sana, khususnya ketika program STBM diperkenalkan. Saya bisa dengan mudah menemukannya di setiap rumah yang saya temui di Kecamatan Polen, bahkan di Desa Laob yang sarana sanitasinya - menurut pengamatan saya - lebih terbelakang dibanding Desa Puna maupun Desa Loli, Kecamatan Polen, Kabupaten TTS, apalagi dibanding Desa Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka.
Secara umum, jerigen cuci tangan itu bisa dikenali karena posisinya yang biasanya di luar rumah, tergantung tali yang disambungkan dengan bambu. Cukup menginjak bambu, maka jerigen pun menumpahkan air dari bagiannya yang berlobang. Di samping jerigen, biasanya tergantung pula sabun. Nah, mengenai sabun, ini juga tidak harus sabun mandi seperti di iklan-iklan televisi.
“Sabun cuci pun bisa,” kata Marten Teflopo, warga Desa Puna.
Jika sarana cuci tangan dibuat mudah dan murah, begitu juga halnya dengan pengadaan jamban. Umumnya mendengar kata jamban, pikiran akan langsung tertuju pada bangunan jamban permanen yang mahal. Ternyata tidak perlu demikian.
“Di Desa Puna, cukup dengan Rp500 ribu, warga sudah bisa membangun jamban sendiri,”
kata Camat Polen, Nim Tauho. Komitmen dari pemerintah desa juga menguatkan keberhasilan STBM, seperti di Desa Du. Yansen Paskalis, Kepala Desa Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka yang menyisihkan dana bantuan jamban untuk 45 rumah di tahun 2012-2013, dengan total nilai Rp16 juta, semua dari Alokasi Dana Desa (ADD). “Hanya tahun 2014 yang tidak,” Katanya, seraya menyebut hanya 5-6 rumah saja yang masih perlu dibantu.
Desa Laob, meski belum memiliki ADD memadai untuk STBM, namun perangkat desa dan tokoh masyarakat setempat tampak begitu kompak. “Kalau di desa ini saya masih urus SPJ ADD, (Alokasi Dana Desa), dan akan ada dana sedikit dari ADD untuk membantu masyarakat membuat jamban,” kata Yura W Bahan, Kepala Desa Laob. Selama ini, ia merangkul pihak pemuka agama atau pendeta untuk membantu pengadaan jamban bagi warga yang tidak mampu.
keterangan:
atas: tippy tap di Soe, mudah dan murah.
Komitmen bukan saja dari perangkat pemerintah, tapi juga tokoh masyarakat dan agama - ikut mendorong keberhasilan program STBM. Di Desa Laob, Plan Indonesia bersama dengan Pendeta Billa Octavia Koilher yang juga bagian dari tim STBM Desa mengajari anak-anak usia SD (waktu itu, tahun 2012) menilai berdasarkan 5 Pilar STBM (lihat boks: Tim Relawan Cilik). Anak-anak inilah yang kemudian, dengan pengawasan Pendeta Billa, menjadi ujung tombak dalam pemantauan pelaksanaan STBM di Desa Laob. Senada dengan Desa Laob, Desa Loli melalui Tim STBM Desa juga mendorong warganya melaksanakan STBM. Petronella Tefnae, ketua Tim Penggerak PKK sekaligus bagian dari STBM Desa, menerapkan beraneka denda bagi pelanggaran 5 Pilar STBM. “Denda seratus ribu jika jerigen tidak tergantung, dan seratus lima puluh ribu jika tidak ada WC,” katanya. Denda juga pernah menjadi kesepakatan di Desa Puna untuk mendorong warganya memiliki WC, apapun kondisinya. “Ya, pernah dibuat kesepakatan, denda Rp100 ribu jika tidak memiliki WC. Tapi, tidak pernah terjadi (denda) karena tidak ada temuan pada waktu monitoring,” ujar Zed Edi Babis, Kepala Desa Puna. Rencananya, denda itu masuk kas desa, lalu digunakan untuk bergotong-royong membangun jamban. (*)
Bawah: Tim STBM Desa Loli. Kepala Desa Loli duduk paling kiri.
Memantau Melalui Tim Relawan Cilik:
Anak-anak Lebih Jujur
S
alah satu strategi mendorong STBM 5 Pilar di Desa Laob yaitu melibatkan anak-anak yang tergabung dalam Tim Relawan Cilik. Mengapa anak-anak? Menurut Pendeta Billa Octavia Koilher, agar anak-anak sudah mulai mengenal budaya hidup bersih. “Orang dewasa juga supaya belajar dari anak-anak. Masak kita sudah dewasa ditegur oleh anak-anak,” paparnya.“Anak-anak itu jujur,” kata Simon Petrus Djamie, Relawan STBM. Menurutnya, orang dewasa kadang abai dan tidak mengecek sampai teliti, berbeda dengan anak-anak.
“Awalnya saya malu, anak kecil menyuruh-nyuruh orangtua,” ujar Benyamin, ketua BPD. Namun menurutnya, pemantau anak-anak justru akan efektif karena mereka polos apa adanya. Berdasarkan pengamatan kami, juga demikian. Ketika keenam anak tersebut melakukan simulasi pemantauan di kediaman Pendeta Billa, salah satu di antaranya langsung masuk ke dalam jamban, bukan hanya melihat dari luar. Yang lain mengecek tippy tap dan berseru, “Wah, tidak ada sabun!” Pendeta Billa menyaksikan sambil tertawa. “Iya, saya lupa sediakan sabun lagi,” katanya.
Hasil temuan biasanya disampaikan ke Pendeta Billa, yang akan meneruskannya ke pemerintah desa. “Karena Desa yang akan menentukan tindak lanjut,” jelas Pendeta Billa.(*)
Keterangan foto:
28
“Deklarasi itu penting, karena deklarasi itu sekaligus memperkenalkan masyarakat bahwa kegiatan kami sudah terprogram dengan STBM. Deklarasi akan memotivasi masyarakat, sekaligus menjadi tanggungjawab bersama. Saya tidak mau STBM itu hanya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Makna deklarasi ini, bagi kecamatan, jelas ada efek lanjutnya. Lela adalah destinasi wisata. Kita punya Gereja Sikka, Wisung Fatima, dan wisata laut. Obyek wisata, tanpa kebersihan, itu akan mempengaruhi daya tarik wisata. Jadi, manfaat STBM bagi pengembangan potensi di Lela, jelas ada. Cuma, ya begitu musim hujan, sampah akan terkumpul. Nah, saya punya mimpi, saya ingin bikin bank sampah. ”(*)
Mayella Da Cunha, Camat Lela - Kabupaten
Sikka
Deklarasi STBM Akan
Memotivasi Masyarakat
Keberlanjutan STBM 5 Pilar juga dipengaruhi persepsi para pemangku
kepentingan mengenai manfaat STBM itu sendiri. Berikut di antaranya.
Kader posyandu merupakan salah satu ujung tombak penting keberhasilan STBM. Berbekal semangat kerelawanan (kader posyandu hanya mendapat biaya insentif dari pemerintah sebesar Rp300 ribu setahun dan naik menjadi Rp600 ribu setahun sejak bulan September tahun ini), mereka menjadi sumber akses informasi kesehatan bagi ibu dan anak. Mama Ana dan Mama Venta, adalah contoh kader yang sudah mengabdi lebih 20 tahun.
“Saya menjadi kader karena saya suka anak-anak, dan dengan menjadi kader, kita bisa mengetahui soal-soal kesehatan buat anak.“ kata Mama Ana. Bersama Mama Venta, serta Siprianus Hilarius - saat itu kepala Dusun Du - mereka inilah yang pertama-tama terjun dalam sosialisasi awal program STBM di Desa Du. Semua dilakukan sukarela. Sekalipun menjadi kader berdasarkan sukarela, namun mereka memandang penting manfaat lain yang diperoleh dari STBM yaitu kesempatan untuk menambah pengetahuan melalui berbagai lomba maupun pelatihan. Mama Venta pernah juara I lomba STBM tingkat kecamatan dan juara III di kabupaten. Mama Ana juga berkata, “Saya ini kan sekolahnya rendah, tidak lulus SMP. Jadi ya harus menambah pengetahuan.” Katanya sembari menegaskan ingin STBM terus berlanjut sehingga mereka dapat terus menambah
pengetahuan. (*)
Clemensia Ana Dakota (Mama Ana) dan
Inosensia Adventa (Mama Venta), Kader Desa
Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka
Manfaat Pengetahuan
Tambahan dari STBM
“STBM itu bermanfaat terutama untuk menjamin kesehatan keluarga dan pribadi. Dengan STBM, penyakit-penyakit yang berasal dari lingkungan semakin berkurang. Sebelum ada STBM, keluarga kami sudah terbiasa soal jamban dan air minum, tapi pilar-pilar lain, belum. Karena mungkin kami belum mendapat informasi, tentang cuci tangan, pengolahan sampah, dan limbah, sehingga kami pikir waktu itu tidak masalah. Tapi untuk keberlanjutan, masyarakat harus terus menerus didorong, dan kami relawan terkendala sebaran penduduk yang luas, hanya 260 KK di luas wilayah sekitar 20 km2.” (*)
Simon Petrus Djamie, Relawan, Desa
Laob,Kecamatan Polen, TTS
Pasca Deklarasi STBM
Usai M emunculkan Rasa M alu, Kini
Komitmen Desa Jadi Penentu
Panas matahari begitu menyengat
saat kami tiba di pelataran Kecamatan
Polen. Inilah kecamatan yang pertama
kali mendeklarasikan STBM 5 Pilar
di kabupaten TTS hanya dalam
kurun 7 bulan setelah sosialisasi. Apa
rahasianya?
S
aat kami tiba, halaman kecamatan dipenuhi warga yang berkumpul demi mendapatkan Bantuan Langsung Tunai - kompensasi kenaikan harga BBM sejak beberapa hari lalu. Kemiskinan memang mendominasi warga sebelas desa yang tergabung dalam kecamatan Polen ini. Berada pada garis kemiskinan, serta kemarau panjang - sungguh bukan kondisi ideal untuk menerapkan STBM 5 Pilar.Fokus pada Stop BABS
“Kami paling fokus pada pilar pertama, yaitu Stop BABS,” Kata Zed Edi Babis, Ketua Tim STBM Kecamatan. Masuknya program ini memang diikuti dengan pembentukan tim STBM di setiap kecamatan. Tim inilah yang bergerak melakukan proses perubahan di desa-desa cakupannya. Selain pilar kesatu, menurut Zed, penyuluhan kesehatan sudah biasa dilakukan untuk mendorong warga
melakukan keempat pilar lain. Pilar kelima, yaitu pengelolaan limbah cair rumah tangga, nyaris tidak ada karena daerah ini cenderung kering. Saat program STBM masuk juga hanya tinggal sekitar 466 Rumah Tangga dari 3681 RT saja
yang belum memiliki jamban sama sekali.
Memunculkan Rasa Malu
Selain itu, menurut Zed, salah satu penyebab keberhasilan STBM di sini yaitu, orang Timor memiliki harga diri yang tinggi. Hal inilah yang dijadikan “senjata” sehingga memunculkan rasa malu bagi warga yang belum memiliki jamban sendiri di rumahnya. Strategi lama yang hanya mengandalkan tenaga sanitarian untuk penyuluhan, ditinggalkan dan berganti dengan pelibatan tim yang terdiri dari perangkat
pemerintah setempat, sanitarian, maupun kader. Hal kurang lebih sama terjadi pula di Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka. Sanitarian bukan lagi tenaga andalan satu-satunya di wilayah ini. Bahkan di kecamatan ini kemudian lahir Tim 11 di Desa Du, yang kemudian menjadi tim yang menilai 8 desa lainnya sebelum kemudian dinyatakan sebagai Desa STBM. Desa yang terletak di pesisir pantai itu sendiri merupakan desa yang pertama kali mendeklarasikan sebagai Desa STBM di Kecamatan Lela.
Komitmen Desa Kembali Jadi Penentu
Memang, prasasti “STBM” berdiri megah di dekat pintu masuk beberapa desa yang kami kunjungi, dan juga dimiliki kantor Kecamatan Lela, Sikka maupun Polen, TTS. Di dekat pintu masuk kantor kecamatan Polen kami juga melihat tempat sampah yang memisahkan organik dan anorganik.
Namun, untuk menjamin keberlanjutan STBM, komitmen desa menjadi penentu utama. Komitmen inilah yang akan menentukan bagaimana STBM ini terinternalisasi di
masyarakat melalui alokasi anggaran dana desa, serta pemantauan terus menerus terhadap kelima pilar - secara menyeluruh - untuk