• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaum Muda GPIB dan Gerakan Kharismatik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kaum Muda GPIB dan Gerakan Kharismatik"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

JOAS ADIPRASETYA

Email: j.adiprasetya@sttjakarta.ac.id. Joas Adiprasetya adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugaskan secara khusus menjadi dosen penuh waktu di STT Jakarta untuk bidang teologi sistematika; kini Ketua STT Jakarta. Makalah ini disajikan dalam Studi Teologi, Materi Persidangan Sinode XX GPIB, di Wisma Kinasih II, Depok, pada 2 Mei 2014.

Saya diminta untuk memberikan masukan dengan tema “Gereja-gereja Arus-Utama di tengah Kalangan Kristen Kharismatik.” Saya berusaha memahami maksud tema ini, dan saya menduga yang dimaksud adalah bagaimana gereja arus-utama, maksudnya GPIB, GKI, dan gereja-gereja tradisional lainnya mengambil sikap terhadap perkembangan gerakan Kharismatik. Semoga dugaan saya benar. Untuk itu, saya ingin memberi sebuah catatan awal yang patut kita pahami benar, yaitu bahwa istilah “Gereja-gereja Arus Utama” sesungguhnya tidak lagi menjadi istilah yang tepat, untuk dua alasan. Pertama, jika “arus utama” mengindikasikan jumlah mayoritas, maka istilah tersebut tidak lagi tepat, sebab tampaknya jumlah warga dari gerakan Kharismatik sudah melampaui jumlah warga gereja-gereja tradisional (demikian istilah yang saya usulkan). Kedua, istilah “arus utama” dengan mudah dipersepsi sebagai sebuah ungkapan yang arogan dan karenanya perlu dihindari.

Catatan lain yang penting adalah bahwa scope pembahasan saya terfokus pada usaha bersama kita untuk menemukan format pelayanan pemuda GPIB—bahkan nanti kita memperluasnya untuk warga jemaat non-pemuda—dalam konteks pertumbuhan gerakan Kharismatik. Saya tidak akan masuk ke dalam rincian apa dan bagaimananya gerakan Kharismatik, sebab dibutuhkan studi yang lebih luas dan mendalam.1 Dengan demikian, makalah ini tidak bersifat deskriptif (tentang seluk-beluk gerakan Kharismatik) atau analitis (yang sudah dengan apik dikerjakan oleh tim litbang), namun lebih berwatak strategis-preskriptif.

1

Studi Gerakan Kharismatik masa kini telah berkembang sangat pesat dan mengalami pengarusutamaan dalam dunia teologi dengan mengambil nama Renewal Studies. David Duncombe mendefinisikan sub-disiplin baru ini sebagai

“the application of a pneumatological framework on the inter-related fields of Biblical Studies, Church History,

Theology, and Missiology. This methodology, seeks to identify the operation of the Holy Spirit in God’s reformative

work in humanity. This includes a direct examination of pneumatic manifestations, such those witnessed during the Pentecostal and Charismatic Renewals. However, Renewal Studies will also include the study theological renewals, such as Vatican II, or socio-cultural renewals such as those experienced in Africa due to the spread of post-colonial

(2)

Dari laporan penelitian yang telah dikerjakan oleh tim dan telah saya baca, saya menangkap sebuah kesan kuat bahwa, di balik perhatian besar pada gerakan Kharismatik terdapat sebuah pemahaman bahwa gerakan Kharismatik merupakan sebuah ancaman. Beberapa kalimat di dalam laporan mengungkapnya, baik tersurat maupun tersirat. Terus terang saya cukup lama

menggumuli hal ini pula, bahkan sebelum saya diundang untuk berbicara pada hari ini. Apakah fakta kemerosotan jumlah anggota gereja kita dan pertumbuhan jumlah gereja lain—katakanlah gereja X—harus membuat kita melihat gereja X sebagai ancaman bagi gereja kita? Seolah-seolah kemajuan mereka berkorelasi langsung dengan kemunduran kita; atau tepatnya, merekalah penyebab kematian kita! Jangan-jangan memang itu definisi paling lugas dari kata “ancaman.” Lantas saya sempat memiliki sebuah perenungan yang agak di luar pakem, begini.

Jika kita memang sungguh menghayati apa yang kita ucapkan setiap minggu, bahwa kita percaya pada gereja yang satu dan am (una et catholica ecclesia), bukankah gereja kita dan gereja X adalah bagian dari satu gereja yang kita akui tersebut? Lantas, bukankah hal itu juga berarti bahwa perpindahan warga gereja kita ke gereja X sebenarnya bukan sebuah perpindahan keluar dari una et catholica ecclesia itu? Perenungan ini bahkan menuntun saya pada ucapan Kristus sendiri, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24). Bukankah setiap gereja sebenarnya berpartisipasi ke dalam kefanaan dan memang tidak akan pernah abadi. Mati dan ditutupnya sebuah gereja adalah sebuah kewajaran; sama wajarnya dengan lahir dan dibukanya sebuah gereja yang baru. Bahkan, Stephen Gray dan Franklin Dumond, penulis buku

Legacy Churches,2 menginformasikan bahwa setiap hari di Amerika Serikat terdapat sembilan gereja ditutup selamanya. Beberapa minggu lalu saya membaca sebuah kisah tentang the Reformed Church in Plano (RCP) di Amerika Serikat, yang mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum “mati.”3 Bahkan ibadah terakhirnya terselenggara bagaikan sebuah ibadah penghiburan dan

pemakaman, namun dengan sebuah khotbah tentang pengharapan kebangkitan.

Mungkin, perasaan terancam yang kita miliki saat ini tak lebih besar daripada perasaan terancam yang menghinggapi para petinggi gereja Katolik Roma ketika orang banyak berduyun-duyun berpindah ke “gereja” Protestan pada masa itu; juga perasaan yang sama mungkin saat ini menghinggapi pemimpin gereja Kharismatik di Korea Selatan karena pertumbuhan melesat yang mereka nikmati selama beberapa dasawarsa telah rampung dan warganya kini melakukan eksodus besar-besaran, justru ke gereja asal mereka dulu, yaitu gereja-gereja “tradisional,” yang jauh lebih kuat pelayanan sosialnya.

2

Stephen Gray & Franklin Dumond, Legacy Churches (St. Charles, IL: Churchsmart Resources, 2009).

3

Angie Mabry-Nauta, “Mourning the Death of a Church,” dalam Christianity Today (11 Maret 2014);

(3)

Dalam realisme pada ketidakabadian gereja (apa pun) ini, saran saya sederhana saja. Kita harus selalu bersiap-siap untuk menghadapi saat “kematian” gereja kita; GPIB cepat atau lanbat akan memudar! Namun demikian, sementara kita masih memiliki kesempatan untuk hidup, kita juga harus berusaha sebaik mungkin mengolah “kehidupan” gereja kita. Keduanya memerlukan kesediaan untuk menghilangkan perasaan terancam oleh gereja lain. Dan keduanya juga

membutuhkan sebuah spiritualitas yang mendalam yang berporos pada pengharapan kebangkitan, yaitu saat kita mengambil bagian ke dalam persekutuan yang sejati Allah Tritunggal (koinonia tou Theou), yang sesungguhnya menjadi motivasi terkuat kita untuk membuat kehidupan gereja kita menjadi lebih bermakna bagi anggota-anggotanya.

Jemaat tempat saya melayani sebagai tenaga kategorial kaum muda selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya ditahbis menjadi pendeta, yaitu GKI Pondok Indah, juga menghadapi persoalan yang sama. Itu sebabnya, saya dapat memastikan bahwa kebingungan menghadapi gerakan

Kharismatik merupakan fenomena yang jamak dijumpai di gereja-gereja tradisional. Selain gerakan Kharismatik, sebenarnya kami juga menghadapi gerakan lain yang tak kalah

membingungkannya, yaitu gerakan Injili. Problemnya berbeda. Jika perjumpaan dengan gerakan Kharismatik memunculkan masalah seputar kegairahan versus kelesuan, perjumpaan dengan gerakan Injili memunculkan masalah seputar ketertutupan versus keterbukaan doktrinal. Kami pernah menghadapi sebuah saat ketika badan pengurus Komisi Pemuda kami diisi oleh orang-orang dari kedua kelompok ini. Mereka semacam menjadi agen-agen promosi kedua gerakan tersebut di dalam komunitas GKI Pondok Indah.

Usaha melarang, menasihati, membuat acara-acara menarik, dan sebagainya tampak tidak berhasil, sampai akhirnya GKI Pondok Indah secara sangat serius memutuskan untuk

menegaskan visi, misi, dan strateginya serta secara konsisten “memaksa” program-program turunannya, termasuk program-program kaum muda, menyesuaikan diri dengan visi, misi, dan strategi tersebut. Saya paham bahwa tentu banyak di antara kita yang sudah mencoba cara ini ... dan gagal! Kritik saya yang utama adalah bahwa model klasik visi-misi-strategi tersebut menjadi semacam pakem organisasional, namun selalu lemah dalam implementasi. Kelemahan

implementatif tersebut secara khusus terletak pada beberapa titik buta (blindspots).

Titik buta pertama adalah ketika perubahan visi, misi, dan strategi tidak dibarengi dengan perubahan kultur bergereja, baik organizational culture maupun communal culture. Maka, semua perumusan itu hanya bertengger di spanduk-spanduk dan tertulis di dokumen-dokumen tanpa sungguh terjadi perubahan signifikan.

Titik buta kedua muncul ketika perubahan tersebut tidak dibarengi dengan sebuah kesediaan untuk merengkuh spiritualitas transformasi jemaat, yang mengasuh seluruh jemaat untuk bersedia

(4)

pada pembaruan-pembaruan yang harus terjadi demi pencapaian visi tersebut. Kebiasaan buruk

copy-paste program harus disudahi; program-program yang nice to have harus dihapus dan terhadap program-program yang must energi lebih besar harus diberikan. Alhasil, secara perlahan-lahan, jemaat berhenti berlari di atas ministry treadmill yang secara semu memberi sinyal bahwa kita adalah sebuah jemaat yang aktif dan maju, namun pada kenyataannya hanya berlari di tempat.

Titik buta ketiga adalah ketika seluruh elemen bergereja tidak secara serempak mengabdi pada visi, misi, dan strategi tersebut. Salah satu contoh, misalnya, khotbah dan pemahaman Alkitab tidak berkaitan dengan visi, misi, dan strategi. Mungkin salah satu sebabnya adalah kita perlu mengabdi pada tema yang ditetapkan sinode, yang mungkin tidak cocok sama sekali dengan situasi lokal dan dengan visi, misi, dan strategi tersebut.

Titik buta berikut, yang keempat, adalah kesenjangan antara yang sinodal dan yang lokal. Saya semakin tidak percaya pada kekuatan visi, misi, dan strategi yang bersifat supra-lokal (sinode misalnya) tanpa dibarengi usaha lokal untuk merumuskan sendiri visi, misi, dan strategi

kontekstualnya sendiri. Semua kebijakan sentralistis, sejauh saya mengamati, menjadi salah satu penyebab kebuntuan jemaat-jemaat lokal untuk menjawab tantangan eksternal seperti gerakan Kharismatik. Bukankah justru yang sebaliknyalah yang muncul di dalam gerakan Kharismatik, yaitu semangat lokal yang menegaskan jatidirinya secara kontekstual dan unik, seberapa pun tak bersetujunya kita dengan isinya.

Yang kelima merupakan titik buta yang khas gereja-gereja tradisional, yaitu tidak ditemukannya kesediaan untuk bersikap “radikal.” Penyakit kita adalah mediokritas; segala sesuatu dikerjakan apa adanya, serba tanggung, setengah-setengah, dan superfisial. Sekali kita menegaskan visi, misi, dan strategi, kerjakan seoptimal mungkin. Sikap ini menjadikan risk-taking

sebuah kebajikan yang harus dijalani. Artinya, kegagalan sangat mungkin terjadi, namun jika tidak bersedia menanggung risiko, sudah pasti keberhasilan tidak akan tercapai. Kita kerap menyebut kelompok-kelompok Kharismatik sebagai kelompok-kelompok yang ekstrim. Dan ini benar! Namun, saya membenarkannya secara positif, sebab apa yang mereka lakukan secara ekstrim itu sesungguhnya merupakan sebuah ekspresi dari kesediaan mereka untuk meriskir apa yang mereka yakini secara total dan karenanya perlu diperjuangkan tanpa malu, tanpa ragu, dan tanpa kuatir akan gagal.

Saya belum melakukan penelitian yang memadai tentang sejak titik awal dimulainya model pembinaan kategorial berbasis usia di gereja-gereja kita. Menurut Kara Powell, age-segmented ministry ini laku keras sejak lahirnya organisasi-organisasi parachurch yang terfokus pada kaum muda di Amerika Serikat, seperti Young Life, InterVarsity, dan Youth for Christ.4 Ia memberi contoh

4

Is the Era of Age Segmentation Over?” dalamChristianity Today (September 2009);

(5)

ucapan Jim Rayburn, pendiri Young Life, yang sering berkata, “Adalah sebuah dosa untuk membuat seorang anak bosan dengan Injil.” Namun, tren ini tampaknya juga didorong oleh semakin popularnya psikologi perkembangan yang memberi informasi tentang keunikan tiap-tiap jenjang usia manusia.

Alhasil, semua gereja Protestan masa kini mengadopsi model pembinaan kategorial-usia atau

age-segmented ini tanpa pernah sungguh-sungguh melakukan evaluasi mendasar atasnya. Dalam praktik, pendekatan kategorial-usia ini diperluas bahkan (dan terutama) pada dimensi

peribadahan. Di hari Minggu, ibadah di gedung utama gereja disebut “ibadah umum.” Kemudian ada lagi ibadah sekolah minggu, remaja (teruna), pemuda, dan sebagainya. Para penatua

dikonsentrasikan pada ibadah umum; masih beruntung jika ada satu penatua yang ditugasi mendampingi ibadah kategorial. Padahal, yang disebut sebagai “ibadah umum” sesungguhnya adalah ibadah dewasa, sebab kaum muda sudah dilokalisasi di ibadah-ibadah non-umum. Maka, jika ada seorang anak yang ikut ibadah umum, ia adalah seorang anak yang “tidak umum.”

Atas nama perhatian khusus pada anak-anak muda kita, maka kita limpahi mereka dengan fasilitas ini dan itu untuk memastikan bahwa mereka tidak “lari” ke gereja lain—dalam kasus ini, Kharismatik—dan tetap bersama dengan kita. Kita tak mau membiarkan gereja Kharismatik “mencuri domba-domba” kita dengan iming-iming ibadah yang menarik, nyanyian yang meriah, musik yang popular, dan sebagainya. Maka, kita membawa masuk semua iming-iming itu ke dalam gereja kita dan memperbolehkan, bahkan mendorong, ibadah anak muda kita untuk

mempergunakannya. Berapa pun harganya sungguh tak jadi soal, asal mereka tak berpindah ke gereja Kharismatik, bukan? Lantas ibadah dan persekutuan anak muda kita dipenuhi dengan nyanyian-nyanyian khas “persekutuan” (demikian kita menyebutnya). Beberapa orang

menyebutnya nyanyian Seven-Eleven, sebab ia hanya memuat tujuh kata dan dinyanyikan berulang-ulang sebanyak sebelas kali.

Apa yang terjadi lantas menjadi seperti ini: Seorang ibu rumahtangga merasa sedih sebab anak-anaknya tak mau makan lauk sayur dan tempe yang dimasaknya. Mereka meminta ayam goreng dari sebuah restoran yang logonya menampilkan seorang tua berjenggot dari dunia Barat. Lantas ibu itu membawa anak-anaknya jajan ke restoran itu, lengkap dengan ice cream dan minuman yang harganya selangit. Sesekali tak apalah. Namun keesokan harinya, hal yang sama terjadi lagi dan terus terjadi di hari-hari selanjutnya. Lantas, ketimbang harus makan di restoran itu, sang ibu memutuskan untuk membeli dan membawa pulang ayam goreng itu ke rumah.

(6)

bahkan setelah mereka cukup dewasa untuk memutuskan sendiri, plus kendaraan yang mereka pakai sendiri, mereka akan pindah ke sana juga. Toh, kita sudah membuat mereka terbiasa dengan tradisi Kharismatik, hanya saja di dalam gereja kita. Singkatnya, kita telah membesarkan calon anggota gereja Kharismatik, for free, sebelum mereka berpindah ke sana dengan atas kemauan sendiri!

Semoga seluruh analisis ini menunjukkan titik buta terbesar dalam model pembinaan kita selama ini. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa model pembinaan kategorial-usia plus rasa minder pada tradisi kita sendiri plus keputusan gegabah untuk menjadi peniru—dan kita tahu

persis bahwa barang KW tidak pernah sebaik aslinya—telah menghasilkan bencana jangka panjang yang tampaknya mulai kita tuai akibatnya sekarang.

Lantas, strategi pembinaan semacam apa yang perlu kita bangun agar anak-anak muda kita mampu mengakarkan diri pada langgam hidup bergereja GPIB? Saya terus-terang belum menggali lebih lanjut, namun izinkan saya mengusulkan beberapa bulir pemikiran.

1. Tampaknya kita perlu memikirkan perubahan radikal model pembinaan dan ibadah yang berbasis kategori usia (age-segmented model) menjadi family-based model atau intergenerational model. Untuk itu, kita perlu belajar dari gereja-gereja tradisional di Amerika Serikat—tempat

asal gerakan Kharismatik—yang bertahan dan bahkan berkembang menghadapi pertumbuhan pesat Kharismatik berkat pendekatan-pendekatan tersebut.

2. Kita perlu menyadari dan memanfaatkan kekuatan habituasi dalam proses pembinaan. Karena itu, saya menyarankan dihentikannya pengadopsian model ibadah Kharismatik atau praktik ibadah quasi-Kharismatik, tanpa harus sepenuhnya ngotot memegang teguh model tradisional yang lama, yang juga ternyata terbukti tidak efektif, lantas menemukan atau jika perlu

mengkonstruksi sebuah model baru yang sekaligus terbuka namun berakar pada teologi GPIB. Misalnya, manfaatkan himne-himne baru, liturgi-liturgi baru, atau belajarlah dari model ibadah yang muncul di dalam emergent/emerging churches.5

3. Ketimbang mengadopsi model pembinaan dan peribadahan Kharismatik, sebaiknya kita mengkonstruksi model kita sendiri dan mengoptimalkannya menjadi excellent. Penyakit mediokritas, sekali lagi, perlu dilawan dan diatasi. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa belajar dari gerakan Kharismatik. Sebaliknya, kita wajib mempelajari hal-hal baik dari mereka, sama seperti kita perlu belajar dari tradisi-tradisi lainnya.

Strategi terakhir yang perlu dipertimbangkan terkait dengan isu partisipasi dan

kepemimpinan. Harus diakui bahwa salah satu kekuatan terbesar gerakan Kharismatik adalah

5

(7)

dibukanya kesempatan setiap warga untuk berpartisipasi ke dalam seluruh dimensi kehidupan gereja. Gereja Protestan tradisional menganut falsafah “imamat am orang percaya” (Luther), namun tidak memberlakukannya secara konsisten, atau malah mempraktikkan yang sebaliknya. Itu sebabnya kerap muncul olok-olok yang tak bisa saya pungkiri kebenarannya, “Gereja Katolik memiliki seorang paus, namun di gereja-gereja Protestan terdapat ribuan paus.” Sebaliknya, saya tidak pernah mendengar gerakan Kharismatik menekankan prinsip ini secara eksplisit, namun mereka memberlakukannya secara alami. Itu sebabnya, saya memiliki sebuah keyakinan, yang tentu masih perlu diteliti, bahwa salah satu cara menanggapi eksodus anak-anak muda kita ke gerakan Kharismatik adalah karena mereka diberi ruang cukup untuk berpartisipasi sesuai dengan kemauan dan kemampuan mereka.

Bagaimana dengan gereja-gereja tradisional? Partisipasi umat memang dianggap penting, setidaknya hal tersebut yang disuarakan terus dari atas mimbar. Namun, saya menengarai bahwa partisipasi tersebut adalah agar umat mengambil bagian dalam peran-peran yang tidak terlalu sentral, apalagi peran kepemimpinan. Anak-anak muda, secara khusus, malah kerap sekadar diberi peran-peran supporting (keamanan, dekorasi, perlengkapan, dan sebagainya). Sementara itu, fungsi-fungsi kepemimpinan, misalnya kepenatuaan, tetap didominasi oleh yang dewasa—jika bukan malah tua—dan selalu bergiliran di antara mereka, setelah “beristirahat” sejenak. Dalam

kehidupan ibadah pun, paling-paling anak-anak muda diberi peran dalam hal musik dan pengisi suara; sedang peran-peran sentral tetap didominasi oleh penatua.

Saya pernah membandingkan peran-peran dalam ibadah yang selalu dimonopoli penatua dan tugas-tugas penatua di Tata Gereja GKI, ternyata tak satu pun peran liturgis tersebut diatur di Tata Gereja. Sebagai contoh, peran-peran seperti usher, pengedar kantong kolekte, penghitung uang kolekte, pengantar pendeta, pemimpin liturgi, pemimpin Pengakuan Iman, dan sebagainya; tak satu pun tercantum di dalam Tata Gereja dan itu berarti sebenarnya dapat dibagikan kepada warga, termasuk anak-anak muda. Bahkan, dalam Tata Gereja, anak-anak muda yang sudah mengaku percaya sebenarnya berhak menjadi penatua, bahkan ketika mereka masih duduk di jenjang SMA atau universitas, namun tak pernah diberi kesempatan. Pameo “anak muda adalah pemimpin masa depan” lantas terdengar menyebalkan, sebab itu berarti, “anak muda adalah pemimpin masa depan, ketika orang tua yang menjadi pemimpin masa kini tak kuat lagi.” Saya berkeyakinan bahwa jika anak muda tidak menjadi pemimpin masa kini—dan karenanya menjadi

policy and decision makers—mereka tidak akan menjadi pemimpin masa depan yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

5) Konsep dokumen informasi terkait evaluasi pelaksanaan kerja sama. Subbagian Organisasi Internasional Non Pemerintah. Melakukan penyiapan bahan koordinasi, dan penelaahan

Suatu keamanan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam dunia internet baikkeamanan komputer maupun keamanan jaringan yang banyak dipenuhi dengan

87.360,-/ Hari tetapi solusi tersebut solusi yang tidak layak karena melebihi kapasitas ketersediaan barang, tetapi dengan menggunakan metode Branch and Bound

terkait dengan pengajaran yang dilakukan oleh mahasiswa. Evaluasi yang diberikan guru pembimbing lebih kepada cara menghadapi siswa. Dalam melaksanakan praktik mengajar

Namun, hal ini tidak meniadakan kemungkinan tumpahan sering atau besar dapat mempunyai efek yang merugikan atau merusak

Penggunaan kata penghubung waktu yang tepat melengkapi kalimat di atas adalah

Pada penelitian ini, penulis mencoba membangun suatu sistem pendukung keputusan yang dapat digunakan untuk menentukan kadar prosentase lemak tubuh seseorang dengan memasukkan

rolfsii secara in vitro dengan menggunakan sel secara langsung, dan merupakan calon agen pengendali hayati terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh