• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPPASENG MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PAPPASENG MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN P"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

LKTI PLANOPOLIS 2017

PAPPASENG ; MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

DI KELURAHAN AMPARITA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Diusulkan Oleh:

1. KARTINI 60800114072/ 2014

2. YAYAH AWALIYAH 60800114052/ 2014

3. ASWITA WIRYADISURIA 60800114053/ 2014

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR SAMATA-GOWA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Ketua :Kartini

Tempat, Tanggal lahir :Pangkajene, 21 April 1996

Jurusan/ Fakultas :Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi Perguruan Tinggi :Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Nama Anggota 1 :Yayah Awailiyah

Tempat, Tanggal lahir :Watansoppeng, 17 Desember 1995

Jurusan/ Fakultas :Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi Perguruan Tinggi : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Nama Anggota 2 :Aswita Wiryadisuria

Tempat, Tanggal lahir :Masamba, 28 April 1995

Jurusan/ Fakultas :Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi Perguruan Tinggi :Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul:

Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan Ruang dengan

Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang adalah benar-benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari karya tulis orang lain serta belum pernah diikutsertakan dalam kompetisi sebelumnya. Apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan oleh panitia PLANOPOLIS 2017 berupa diskualifikasi dari kompetisi. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Samata-Gowa, 1 April 2017

Kartini

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

1.Judul :Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan

Ruang dengan Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang

2.Sub Tema :Sosial Budaya

3.Ketua Tim

a.Nama Lengkap :Kartini

b.NIM :60800114072

c.Jurusan/ Fakultas :Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/Sains dan Teknologi d.Perguruan Tinggi :Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

e.Alamat Rumah :Samata-Gowa

f.No. HP :085216078423

g.Alamat E-mail :kartini_yunus95@yahoo.com 4.Dosen Pendamping

a.Nama :Fadhil Surur, S.T, M.Si

b.NIP :19890306 201503 1 006

Samata-Gowa, 1 April 2017

Mengetahui,

Dosen Pendamping Ketua Tim

Fadhil Surur, S.T, M.Si Kartini

NIP 19890306 201503 1 006 NIM 60800114072

Disetujui,

Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan Ruang dengan Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang” dapat selesai tepat pada waktunya.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini dibuat untuk mengikuti kegiatan perlombaan yang diadakan oleh Departemen Perencanaan Wilayah & Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang bertema “Great Innovation for

Housing & Settlement towards New Urban Agenda”.

Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih terkhususnya kepada Bapak Fadhil Surur, S.T, M.Si. yang telah meluangkan waktunya untuk terus membimbing kami hingga tahap penyelesaian dan semua pihak yang telah mendukung dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini yang tak bisa kami sebutkan satu persatu. Harapan kami bahwa karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang budaya pappaseng yang dapat dijadikan sebagai media implementasi penataan ruang.

Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan dengan keterbatasan yang kami miliki maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah selanjutnya. Akhir kata, sekian dan terima kasih.

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Samata-Gowa, 1 April 2017 Ketua Tim

(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan dan Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Landasan dan Konsep Teori ... 3

B. Penelitian yang Relevan ... 5

BAB III METODE PENULISAN ... 7

A. Lokasi Penelitian ... 7

B. Waktu Penelitian ... 7

C. Jenis dan Pendekatan Penelitian... 7

D. Teknik Pengumpulan Data ... 7

E. Metode Analisis ... 7

BAB IV PEMBAHASAN ... 8

A. Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Penataan Ruang ... 8

B. Identifikasi Sistem Pappaseng Terhadap Penataaan Ruang ... 10

C. Strategi Penggunaan Pappaseng Sebagai Media Implementasi Penataan Ruang ... 11

BAB V PENUTUP ... 14

A. Kesimpulan ... 14

B. Saran ... 15

(6)

PAPPASENG ; MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL DI KELURAHAN AMPARITA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Kartini, Yayah Awaliyah, Aswita Wiryadisuria Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar

Kartini_yunus95@yahoo.com

Pertumbuhan permukiman masyarakat Amparita yang dominan beragama Hindu Tolotang mendorong terjadinya perubahan lingkungan secara signifikan. Hal tersebut menandakan rendahnya implementasi kebijakan penataan ruang. Pada sisi yang berbeda masyarakat setempat memiliki tradisi kearifan lokal yang menjadi pedoman hidup secara fundamental dalam sistem adat pappaseng yang dikendalikan oleh Uwwa. Sistem budaya yang bergerak selaras dengan agama dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, mengindetifikasi sistem pappaseng dan menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media implementasi penataan ruang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memperoleh data dari hasil wawancara, pemetaan partisipatif, kajian kepustakaan dan survey lapangan. Metode analisis mencakup analisis deksriptif dan analisis partisipatif. Hasil penelitian menujukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam penataan ruang dengan menggunakan pendekatan formal cenderung rendah. Uwwa sebagai pemegang kasta tertinggi berperan dalam mengawali implementasi penataan ruang. Nilai pappaseng yang relevan dengan penataan ruang antara lain lempu (kejujuran), mappasitinaja (kepatutan),

siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan sosial),

getteng (keteguhan) dan warani (keberanian). Masing-masing nilai pappaseng

kemudian diterjemahkan dalam berbagai aktifitas masyarakat yang dapat menstimulus peningkatan partisipasi. Strategi penggunaan pappaseng sebagai media implmetasi penataan ruang dilakukan dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi muda masyarakat Tolotang.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kearifan lokal dalam bahasa asing dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) yang diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Berbicara mengenai kearifan lokal juga membicarakan warisan ajaran hidup yang disampaikan oleh para pendahulu suatu suku atau bangsa bagi penerusnya.

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia yang telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal lahir dari pemikiran dan nilai yang diyakini suatu masyarakat terhadap alam dan lingkungannya. Di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat. Oleh karena itu kearifan lokal di setiap daerah berbeda-berbeda.

Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah yang memilki keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Kebudayaan merupakan jiwa dari setiap komunitas sebuah masyarakat karena kebudayaan itulah yang menghidupi masyarakat dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Keanekaragaman budaya daerah Sulawesi Selatan antara lain berupa peninggalan sejarah, tradisi, dan adat-istiadat. Peninggalan sejarah tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan dalam berbagai media antara lain lisan dan tulisan. Media tulisan dituangkan melalui naskah lontara yang didalamnya orang Bugis-Makassar menyimpan ilmu dan kearifan masa lalunya termasuk berbagai ekspresi kebudayaannya seperti nilai pappaseng.

Dalam budaya masyarakat Bugis dikenal istilah pappaseng yang berarti pesan-pesan atau nasihat yang berasal dari nenek moyang orang Bugis untuk disampaikan kepada cucu-cucunya. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan di masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah lontara, salah satu bentuk naskah lontara bugis yang berhubungan dengan kearifan adalah istilah pappaseng. Dalam pappaseng banyak ditemukan nilai-nilai keagamaan. Hal ini disebabkan karena orang Bugis sejak dahulu sudah mempercayai adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta yang disebut sebagai Dewatae.

(8)

Uwwa yang berperan penting dalam menjaga ajaran leluhur secara turun menurun menjadikan komunitas ini tetap mempertahankan budaya seperti adat pappaseng yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, diharapkan dengan

adanya sistem adat pappaseng mampu dijadikan regulasi dalam

mengimplementasikan penataan ruang.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap penataan ruang ?

2. Bagaimana mengidentifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang ? 3. Bagaimana menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media

implementasi penataan ruang ?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap penataan ruang.

b. Untuk mengidentifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang. c. Untuk menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media

implementasi penataan ruang.

2. Manfaat

a. Pemerintah akan mudah mengimplementasikan kebijakan penataan ruang melalui sistem adat pappaseng.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Landasan dan Konsep Teori 1. Pengertian Pappaseng

Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an) (Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui dan dikenal. Menurut Mattulada (1985:7) pappaseng adalah kumpulan amanat atau orang-orang bijak yang awalnya diwariskan secara turun temurun dan dihafal. Setelah itu ditulis pada daun lontar dan buku. Pengertian pappaseng yang dikemukakan tersebut berdasarkan prosese dan fungsi pappaseng.

Mattalitti (1986:6) juga mengemukakan hal senada mengenai

papaseng, bahwa pappaseng yaitu petunjuk dan nasihat dari nenek moyang

orang Bugis zaman dahulu untuk anak cucunya, agar menjalani hudup dalam masyarakat dengan baik. Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya perlu diresosialisasikan kepada masyarakat Bugis-Makassar sebagai pemilik

budaya, agar masing–masing individu dapat menghayati dan

menginternalisasikan dalam kehidupannya. Selanjutnya para orang tua dapat mewariskan nilai–nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter anak–anak mereka sejak dini (Iswary, 2012 : 103).

2. Bentuk-bentuk Pappaseng

Pappaseng sebagai bentuk ekspresi pikiran dan perasaan orang Bugis

muncul dalam berbagai peristiwa kehidupan masyarakat, baik peristiwa besar atau kecil, maupun peristiwa suka dan duka. Gaya pengungkapan yang tidak dibumbui dengan pappaseng akan terasa hambar dan kurang menarik. Cara untuk mengungkapkan pappaseng dapat dilakukan dalam bermacam-macam bentuk, yaitu:

a. Pappaseng dalam Bentuk Elong.

Elong berarti puisi atau nyanyian. Pappaseng dalam bentuk elong

dimaksudkan agar mendengar orang yang mengutarakan pappaseng itu dapat berkesan di dalam hati, sehingga pappaseng tersebut dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari;

b. Pappaseng dalam Bentuk Warekkada.

Warekkada dapat diartikan sebagai ungkapan atau peribahasa dalam bahasa Indonesia, yaitu perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan; dan

c. Pappaseng dalam Bentuk Percakapan.

(10)

adalah yang diucapkan seorang diri, sedangkan yang diucapkan secara dialok merupakan percakapan dua orang.

3. Keyakinan Towani Tolotang

Dalam keyakinan Towani Tolotang dikenal pula adanya sadda atau wahyu dan orang yang menerima wahyu, orang yang pertama menerima wahyu adalah Sawerigading, beliaulah yang menyebarkan ajaran-ajaran dari Dewata Sewwae yang diperoleh melaui sadda.

Setiap agama tentunya mempunyai kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman dalam beribadat dan kontak sosial dengan anggota masyarakat yang lainnya. Kitab suci yang dijadikan pegangan oleh Towani Tolotang adalah kitab Lontara yang lazimnya disebut Sure Galigo yang berisi empat uraian pokok yaitu; Mula ulona Batara Guru, Taggilinna Sinapatie, Itebbanna Walanrange, Appongenna Towanie. Lontara ini berisi petunjuk-petunjuk dan ajaran tentang kehidupan sebelum adanya dunia ini sampai setelah berakhirnya kehidupan di bumi.

Bagian terakhir dari keyakinan Towani Tolotang adalah appongenna

towanie, adalah riwayat ketika La Panaungi menerima sadda dari Dewata

Sewwae, sebagai petunjuk kehidupan di dunia dan di akhrat nanti. Disamping kitab lontara yang menjadi pedoman Towani Tolotang juga terdapat apa yang mereka sebut paseng dan pemmali sebagai salah satu sumber ajaran tentang nilai dan norma.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Towani Tolotang berpegang teguh pada paseng dan pemmali yang secara turun-temurun diwariskan dalam keluarga masing-masing. Pewarisan nilai-nilai luhur dalam keluarga merupakan kewajiban oleh penganut agama Towani Tolotang hal ini diungkapkan dengan istilah tomatoanna jellokangngi laleng anakna artinya orang tua seharusnya memberikan petunjuk kepada anaknya, paseng dan pemmali inilah yang dianggap penganut agama Towani Tolotang konsep sosial yang harus dipegang oleh setiap masyarakat yang lainnya.

Dalam pembentukan sikap peribadi dan sikap hidup bermasyarakat tiap anggota masyarakat Towani Tolotang wajib berpegang pada sifat-sifat utama sebagai konsep sosial masyarakat seperti :

a. Lempu atau kejujuran

b. Getteng atau sikap tegas

c. Tettong atau ketetapan hati konsekuen

d. Tongeng atau benar

e. Temmapasilaingeng atau bersikap adil.

Penganut Towani Tolotang juga meyakini adanya kehidupan sesudah mati, atau hari kemudian, yang mereka sebut lino paimeng sebagai hari pembalasan, mereka yang selama hidup di dunia taat pada aturan agama dan

(11)

Untuk mendapatkan keselamatan hidup di akhirat maka manusia harus mengetahui tujuan hidupnya.

4. Pappaseng dalam Kearifan Lokal Bugis

Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Koestoro, 2010: 122). Sedangkan menurut Hendrawan (2011: 230) dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama dalam suatu masyarakat.

Hilangnya atau musnahnya kearifan lokal atau local genius berarti memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu. Hal penting sekali adalah usaha pemupukan serta pengembangan local

genius tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat, baik

dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam orientasi masyarakat (Ayatrohaedi, 1986: 33).

Isi pappaseng atau pappasang yang berbentuk manuskrip berbahasa

Bugis-Makassar antara lain adalah pemberian tuntunan kepada masyarakat agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, rasa, dan karsa, baik sebagai pemimpin maupun anggota masyarakat (Iswary, 2012: 98-99).

Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya perlu diresosialisasikan kepada masyarakat Bugis-Makassar sebagai pemilik budaya, agar masing-masing individu dapat menghayati dan menginternalisasikan dalam kehidupannya. Selanjutnya para orang tua dapat mewariskan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter anak-anak mereka sejak dini (Iswary, 2012: 103). Jenis-jenis pesan yang bersumber dari kearifan lokal Bugis tersebut sangatlah kaya akan nuansa pendidikan, khususnya pendidikan manusia yang berkarakter.

B. Penelitian yang Relevan

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Iskandar yang berjudul

(12)

seyogianya ajaran pappaseng ini tetap dilestarikan dengan cara mengajarkannya lewat pendidikan non formal, baik di rumah maupun dalam lingkungan masyarakat sekitarnya, begitu juga lewat pendidikan formal di sekolah dalam bentuk mengintegrasikan nilai-nilai pappaseng dalam pembelajaran (local content), khususnya pada pembelajaran IPS.

Johar Amir juga melakukan penelitian mengenai “Pappaseng Alempureng sebagai Sarana Pengendalian Diri Pada Masyarakat Bugis” yang mengemukakan bahwa pappaseng ini sangat terkait dengan kehidupan sekarang. Bangsa Indonesia mendambakan pemimpin yang tidak hanya mengumbar janji pada saat akan dipilih menjadi pemimpin, tetapi janji-janji yang telah diucapkan harus dilaksanakan agar masyarakat tetap percaya pada pemimpinya. Hal ini banyak terjadi menjelang pemilihan pimpinan mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat propinsi, bahkan pemilihan pemimpin negara juga banyak mengumbar janji. Namun, setelah terpilih kadang sudah lupa terhadap janjinya. Dengan demikian pappaseng alempureng ini sebagai sarana pengendalian khususnya para pemimpin dan masyarakat Indonesia secara umum.

Fokus utama pada penelitian Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik yang ditulis oleh Mashadi Said meliputi sure galigo, lontara, paseng/pappaseng toriolota/ungkapan dan elong/syair. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama meliputi ati mapaccing (bawaan hati yang baik), konsep pemerintahan yang baik (good governance), amaradekangeng (demokrasi), penegakan hukum, reso (motivasi berprestasi), assimellereng (kesetiakawanan sosial), dan mappasitinaja (kepatutan). Kearifan lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam pencaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

Irawati dalam tulisannya “Peranan Watta (Tetua Adat) dalam Pembagian Warisan Masyarakat Adat Towani Tolotong di Amparita Sulawesi Selatan”

menyimpulkan peranan Uwatta dalam pelaksanaan pembagian warisan

(13)

BAB III

METODE PENULISAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan berlokasi di Kelurahan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan bahwa mayoritas untuk Komunitas Towani Tolotang berada di Amparita yang masih mempertahankan pappaseng sebagai wasiat dari leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.

B. Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 1 bulan. Waktu penelitian tersebut mencakup tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap penyusunan laporan.

C. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dan pendekatan kualitatif. Penggunaan jenis penelitian deskriptif disebabkan karakter penelitian ini relevan dengan kriteria penelitian deskriptif yaitu peneliti melibatkan diri untuk memahami fenomena penelitian dengan cara pengamatan, wawancara, dan data pendukung lainnya yang diperoleh dari buku-buku, tesis dan jurnal-jurnal ilmiah, serta berbagai dokumen yang relevan dan membahas mengenai pappaseng.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2008:47). Alasan penggunaan pendekatan ini karena penelitian ini berlatar alamiah, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, data penelitian dianalisis secara induktif, serta bersifat deskriptif.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik participation observation, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara peneliti berbaur langsung dalam kehidupan masyarakat yang menjadi objek dari penelitian yang dilakukan, melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat, melalui kajian kepustakaan dan survey lapangan.

E. Metode Analisis

(14)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Penataan Ruang

Setiap suku bangsa di dunia memiliki ciri khas sendiri yang menjadi jati diri seperti halnya Komunitas Towani Tolotang yang tetap berupaya melestarikan dan mempertahankan budaya mereka. Komunitas Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok sosial yang memiliki aliran kepercayaan tradisional yang bersumber dari kepercayaan Sawerigading.

Komunitas Towani Tolotang menanggalkan aliran kepercayaannya dan memilih bernaung dibawah agama Hindu pada tahun 1966. Kepemimpinan tradisional Towani Tolotang dipegang oleh para Uwwa yang berperan penting dalam menjaga ajaran leluhur secara turun temurun. Komunitas Towani Tolotang mempunyai norma tersendiri dalam melakukan interaksi sosial yang bersifat mengikat anggotanya dengan aturan yang harus ditaati serta berbagai ganjaran apabila ajaran tersebut tidak dijalankan.

Aturan dalam pelaksanaan penataan ruang belum diketahui oleh Komunitas Towani Tolotang sehingga dalam pelaksanaannya masih terdapat kesalahan yang dilakukan. Seperti halnya dalam pembangunan rumah yang terdapat di Keluarahan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang. Selain itu kurangnya pengetahuan akan dampak yang ditimbulkan juga sangat minim karena mayoritas dari komunitas ini hanya menempuh pendidikan sampai ditingkat SMP dan adanya faktor budaya yang melarang mereka untuk melanjutkan pendidikan terkhusus bagi mereka yang memiliki keturunan Uwwa. Sehingga pemahaman akan penataan ruang dan tingkat partisipasi mereka pun cenderung rendah.

Berbeda halnya dengan sistem adat pappaseng yang mereka jadikan pedoman hidup dalam kesehariannya. Komunitas Towani Tolotang sangat memegang teguh pappaseng yang dijalankan oleh Uwwa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kesolidan dan kepatuhan mereka terhadap Uwwanya sangat kuat dan komunitas ini juga masih mempertahankan strata sosial masyarakat yang disebut kasta. Setiap penganut komunitas ini sangat menjunjung tinggi sifat-sifat utama dari konsep sosialnya karena merupakan manifestasi dari tingkah laku yang akan memberikan ketentraman. Semakin tinggi derajat seseorang dalam Komunitas Towani Tolotang maka semakin tinggi pula kepatuhan mereka untuk menjalankan sistem adat pappaseng karena menjadi panutan bagi masyarakat yang lainnya. Adapun sistem adat pappaseng yang dimaksud yaitu :

1. Lempu (kejujuran)

(15)

2. Mappasitinaja (kepatutan)

Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, layak atau patut. Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan nilai kemampuan jasmaniah dan ruhaniah. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan.

3. Siparapakkei (saling menyelamatkan)

Siparapakkei berasal dari kata siparapa yang berarti berdekatan, saling merangkul sedangkan kata kei berarti menyuruh jadi siparapakkei memiliki arti bahwa setiap orang harus saling menyelamatkan satu sama lain dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang.

4. Assimellereng (kesetiakawanan sosial)

Assimellereng adalah saling tolong menolong, peduli antar sesama, memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam ungkapan bugis : Tejjali tettappere, banna mase-mase. Ungkapan tersebut biasanya diucapkan

ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksudnya adalah “kami tidak

mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang”.

5. Getteng (keteguhan)

Getteng dalam bahasa Indonesia artinya teguh, kata ini pun berarti tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. To Ciung Maccae ri Luwu mengungkapkan bahwa empat perbuatan nilai keteguhan (a) Tak mengingkari janji, (b) tak mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung (Rahim,1985).

6. Warani (keberanian)

Warani adalah suatu sifat pemberani yang dimiliki oleh setiap

manusia. Memiliki keberanian yang tinggi dalam melakukan sesuatu sesuai dengan prinsip kebenaran dan kejujuran. Keberanian dalam konteks ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu:

a. De na matau ripariolo yang artinya selalu ingin di depan atau tidak

takut jadi pelopor.

b. De na matau riparimunri yang artinya selalu memberikan kesempatan

kepada orang lain yang lebih baik darinya atau tidak takut ditempatkan di belakang.

c. De na matau mengkalinga kareba yang artinya dapat menerima kritik

(16)

besar, serta dapat menerima kabar yang baik maupun kabar yang buruk.

d. De na matau ammita bali yang artinya berani dalam menghadapi

lawan baik dalam melakukan perundingan maupun ketika dalam berperang serta memiliki jiwa yang tegas dan konsisten.

B. Identifikasi Sistem Pappaseng terhadap Penataan Ruang

Towani Tolotang sebagai sebuah komunitas agama mempunyai norma tersendiri dalam melakukan interaksi sosial dan norma yang berlaku di kalangan mereka bersifat mengikat anggota masyarakat dengan berbagai aturan yang harus ditaati serta berbagai ganjaran yang harus diterima oleh orang-orang yang lalai dalam menjalankan norma yang ada.

Dalam sistem kepemimpinan yang dijalankan oleh Uwwa selalu berdasar terhadap pappaseng yang dijadikan sebagai pegangan sehingga segala yang dilakukan tidak akan tersesat dan mengambang. Uwwa sebagai pemegang kasta tertinggi dapat berperan dalam mengawali implementasi penataan ruang melalui sistem pappaseng. Adapun identifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang yaitu :

1. Lempu (kejujuran)

Kehidupan Komunitas Towani Tolotang sangat berpegangan teguh terhadap nilai-nilai kejujuran yang dijadikan sebagai suatu keharusan sehingga meraka terus memelihara sifat tersebut. Ketika tidak mampu mempertahankan sifat tersebut maka konsekuensi yang akan diterima yaitu akan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga seluruh masyarakat senantiasa bersikap jujur. Bila dihubungkan dengan penataan ruang maka setiap

masyarakat harus berkata jujur terhadap Uwwa mengenai seluruh

pembangunan yang dilakukan kemudian peran Uwwa akan menyampaikan kepada Pemerintah sehingga mencegah terjadinya penyelewengan .

2. Mappasitinaja (kepatutan)

Sistem pemberian amanah yang diberikan oleh Uwwa kepada

seseorang yang memiliki sifat mappasitinaja atau kepatutan melalui pandangan Uwwa terhadap orang tersebut yang dinilainya pantas untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Aspek kepatutan bila dihubungkan dengan penataaan ruang yakni apabila masyarakat ingin melakukan pembangunan maka Uwwa memiliki peran untuk melihat kelayakan pembangunan tersebut bersama dengan pemerintah.

3. Siparapakkei (saling menyelamatkan)

(17)

masyarakatnya, maka Uwwa akan segera mengambil sebuah tindakan untuk memerintahkan seluruh pengikutnya agar bergegas menyelamatkan anggota keluarga yang terkena musibah. Sama halnya dalam penataaan ruang, Uwwa harus menyelamatkan lingkungan melalui sosialisasi kepada seluruh masyarakat agar tetap mempertahankan kestabilan lingkungan dalam lingkup wilayah mereka.

4. Assimellereng (kesetiakawanan sosial)

Assimellereng dalam kehidupan sosial masyarakat Towani Tolotang

diwujudkan dalam bentuk gotong-royong apabila terdapat masyarakat yang memerlukan bantuan seperti ketika pembuatan rumah yang memerlukan banyak tenaga dalam proses pembuatannya sehingga masyarakat sekitar saling bahu-membahu untuk membantu dalam tahap penyelesaian pembuatan rumah tersebut. Kegiatan ini telah relevan dengan penataan ruang, seperti halnya ketika mereka mendapatkan sebuah arahan dari Uwwa untuk melakukan pembangunan maka akan diselesaikan dengan cara gotong-royong sehingga dalam pembangunan ini tidak berdasar atas kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan bersama.

5. Getteng (Keteguhan)

Nilai pappaseng juga mengatur keputusan yang diambil oleh Uwwa. Hal ini dibuktikan ketika Uwwa mengambil keputusan dalam menentukan jadwal, baik jadwal upacara adat maupun penentuan tanggal pernikahan masyarakatnya maka hal itu menjadi keputusan mutlak yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat Komunitas Towani Tolotang. Ketika pappaseng ini

dihubungkan dengan penataan ruang maka Uwwa dalam memberikan

hukuman/sanksi kepada masyarakat yang melanggar aturan harus dijalankan tanpa mengenal status sosial.

6. Warani (Keberanian)

Warani dalam adat pappaseng yang ada di komunitas Towani

Tolotang ditunjukkan melalui sifat masyarakat yang berani menerima kritik dan saran dari orang lain karena hal ini dianggap sebagai wujud kepedulian antar sesama. Wujud dalam penataan ruang untuk pappaseng warani berupa keberanian masyarakat untuk melakukan pelaporan kepada Uwwa ketika terdapat masyarakat dalam Komunitas Towani Tolotang melanggar aturan yang telah ditetapkan.

C. Strategi Penggunaan Pappaseng Sebagai Media Implementasi Penataan Ruang

(18)

Sebaliknya, seseorang yang tidak mengindahkannya bisa saja menanggung sanksi yang amat berat, nama baiknya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah sehingga sangat sulit beradaptasi dalam pergaulan masyarakat hingga dikucilkan dalam masyarakat.

Kepatutan masyarakat terhadap pemimpinnya yakni Uwwa sangat kuat dan hal ini dapat dijadikan strategi dalam pengimplementasian penataan ruang. Strategi yang dapat dilakukan yaitu menjalin kerja sama dan berkolaborasi antara pemerintah dan Uwwa dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi muda masyarakat Komunitas Towani Tolotang sehingga mampu memberikan pemahaman tentang perumahan dan permukiman sebagai unsur dominan dalam pembangunan kota.

Sistem adat pappaseng yang berupa lempu (kejujuran), mappasitinaja (kepatutan), siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan sosial), getteng (keteguhan) dan warani (keberanian) dapat dijadikan regulasi dalam penataan ruang seperti setiap masyarakat komunitas towani tolotang harus berkata lempu (jujur) ketika melakukan sebuah pembangunan perumahan yang harus sesuai dengan aturan-aturan sebagai wujud mappasitinaja (kepatutan) mereka. Untuk mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman maka

masyarakat Komunitas Towani Tolotang harus siparapakkei (saling

menyelamatkan) dan juga memiliki sifat rasa assimellereng (saling tolong menolong) yang dapat diwujudkan melalui kerja bakti dalam pemeliharaan lingkungan yang telah diarahkan oleh Uwwa. Adapun untuk sifat getteng (keteguhan) dapat diwujudkan melalui konsistensi Uwwa dalam aturan dan pengambilan suatu keputusan tanpa mengenal status. Selain itu, setiap masyarakat juga harus mempunyai sifat warrani (keberanian) untuk melaporkan setiap tindakan yang melanggar penataan ruang dan merusak lingkungan seperti membuang sampah disembarang tempat, membangun tanpa izin, menebang pohon dan lain sebagainya.

Penambahan pengetahuan akan pentingnya penataaan ruang juga dapat dilakukan dengan pembuatan papan informasi mengenai penataan ruang terkhusunya tentang ketertiban permukiman yang dikaitkan dengan adat

pappaseng. Penguatan peran Uwwa juga sangat diperlukan seperti memberikan

paradigma persamaan kedudukan antara pappaseng dengan aturan penataan ruang kepada seluruh masyarakat bahwa masyarakat yang mengikuti aturan akan terpandang didalam masyarakat sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi yang berat seperti dikucilkan.

(19)

mayoritasi oleh Komunitas Towani Tolotang. Uwwa akan menyampaikan regulasi penataan ruang yang didengarkan oleh seluruh komunitas ini tanpa terkecuali karena kegiatan upacara adat merupakan salah satu kewajiban mereka yang harus dilaksanakan. Apapun keputusan yang diberikan oleh Uwwa akan senantiasa dijalankan oleh para pengikutnya.

(20)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Pappaseng merupakan pesan atau nasihat dari nenek moyang orang bugis untuk dijadikan pedoman dalam menjalani hidup. Sistem adat pappaseng yang terdapat didalam Komunitas Towani Tolotang sangat dijunjung tinggi karena isinya menekankan keharusan dan pantangan yang apabila dipatuhi maka akan selalu terpandang di dalam masyarakat namun ketika dilanggar maka mendapat sanksi, nama baiknya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah. Sistem adat pappaseng yang dimaksud yaitu lempu (kejujuran), mappasitinaja (kepatutan), siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan sosial), getteng (keteguhan) dan warani (keberanian). Tingkat partisipasi masyarakat dalam sistem adat penataan ruang sangat tinggi yang dibuktikan dengan pengaplikasian masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Keberadaan sistem adat pappaseng dapat dijadikan strategi dalam implementasi penataan ruang dengan cara menjalin kerja sama antara pemerintah

dengan Uwwa dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan

musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi muda masyarakat Komunitas Towani Tolotang.

Sikap kepatuhan Komunitas Towani Tolotang terhadap Uwwa

memberikan peluang yang sangat besar untuk mengimplementasikan kebijakan penataan ruang. Adapun nilai pappaseng yang relevan dengan penataan ruang yang dapat dijadikan strategi yakni melibatkan setiap masyarakat komunitas towani tolotang agar berkata lempu (jujur) ketika melakukan sebuah pembangunan perumahan yang harus sesuai dengan aturan-aturan sebagai wujud mappasitinaja (kepatutan) mereka. Untuk mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman maka masyarakat Komunitas Towani Tolotang harus

siparapakkei (saling menyelamatkan) dan juga memiliki sifat rasa assimellereng

(saling tolong menolong) yang dapat diwujudkan melalui kerja bakti dalam pemeliharaan lingkungan yang telah diarahkan oleh Uwwa. Adapun untuk sifat

getteng (keteguhan) dapat diwujudkan melalui konsistensi Uwwa dalam aturan

(21)

B. Saran

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan maka saran yang dapat diberikan dalam mewujudkan implementasi penataan ruang khususnya dalam mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman yaitu :

1. Pemerintah

Menjalin kerja sama dan berkolaborasi dengan Uwwa dalam

mewujudkan pengimplementasian penataan ruang dengan membuat regulasi yang sesuai dengan sistem adat pappaseng didalam Komunitas Towani Tolotang. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mengoptimalkan dalam memberikan berbagai pelayanan kepada seluruh masyarakat Komunitas

Towani Tolotang, sehingga tidak menimbulkan perbedaan dan

ketidakharmonisan di antara mereka. 2. Masyarakat

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Johar dan Ambo Dalle. (2010). “Pappaseng Alempureng sebagai Sarana

Pengendalian Diri Pada Masyarakat Bugis”. Makalah pada Seminar

Internasional Bahasa dan Sastra Se-Asia Tenggara, Universitas Negeri Makassar

Abbas, Irwan. (2013). “Pappaseng : Kearifan Lokal Manusia Bugis Yang

Terlupakan”. Jurnal Sosiohumaniora. 15 (3), 275-278.

Faisal Hajji, Ahmad. (2004). Agama Sebagai Konsep Sosial Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap. Tesis Magister pada Unversitas Negeri Makassar. Iskandar. (2016). “Bentuk, Makna, dan Fungsi Pappaseng Dalam Kehidupan

Masyarakat Bugis di Kabupaten Bombana”. Jurnal Bastra. 1(2), 2-4.

Khalikin, Ahsanul. (2011). “Eksistensi dan Perkembangan Kepercayaan Towani

Tolotang di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang”. Jurnal Multikultural & Multireligius. 10, 825-831.

Muhammadong. (2002). Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Sastra Bugis (Kajian Terhadap Pappaseng. Skripsi Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Said, Mashadi. (2007). “Kearifan Lokal Dalam Sastra Bugis Klasik”. Jurnal Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil. 2, 19-21. Samad, Abdu. (2010). Pengaruh Nilai Budaya Bugis Terhadap Perilaku Aparat

Birokrasi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone. Tesis Magister pada Universitas Hasanuddin.

(23)
(24)
(25)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Biodata Ketua Tim A. Data Pribadi

Nama KARTINI

TTL Pangkajene, 21 April 1996

Jenis Kelamin Perempuan

NIM 60800114072

Fakultas/Jurusan Sains dan Teknologi/Teknik Perencanaan Wilayah & Kota

Perguruan Tinggi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Alamat Asal Jl. Sultan Hasanuddin, Pangkajene-SIDRAP

Alamat Kos Pondok Nuryah Samata, Samata-Gowa

HP 085216078423

E-mail Kartini_yunus95@yahoo.com

B. Penghargaan Kepenulisan (Selama menjadi Mahasiswa)

No. Jenis

Pemanfaatan Kanal Sebagai Media Transportasi Air Di Kota Makassar

Mendorong Program STBM yang Lebih Implementatif Di Desa Balang

Komunitas Minoritas & Desa Religi

Amparita 2016

Pelestarian Budaya Lokal Towani Tolotang

Referensi

Dokumen terkait

logika dalam hal ini mempunyai hubungan yang erat meskipun secara sejarah keduanya berbeda. Logika dilibatkan dengan pertanyaan-pertanyaan, sedangkan amatematika

Dalam menduduki jabatan struktural, ASN/PNS harus lulus Diklat Kepemimpinan (diklatpim) IV untuk Eselon IV, diklatpim III untuk eselon III dan diklatpim II untuk eselon

Selain air, yang menyebabkan erosi pada tanah juga adalah penanaman, seperti penanaman pada lahan bertopografi miring, ditambah dengan curah hujan tinggi dan

Data di bawah ini diambil dari berbagai sumber yang mendukung dalam proses penentuan ukuran utama kapal keruk jenis TSHD yang akan didesain untuk Alur Pelayaran

Saya mengesahkan bahawa lawatankuasa Pemeriksa bagi Zolman bin Hari telah mengadakan pemeriksaan akhir pada 27 hb lun 2000 untuk menilai tesis Doktor Falsafah

Jenis-jenis penggerek batang padi ini memiliki sifat atau ciri yang berbeda dalam penyebaran dan bioekologi, namun hampir sama dalam cara menyerang

Sedangkan, frekuensi emesis gravidarum yang paling rendah adalah rata-rata dalam sehari muntah 0 kali atau tidak mengalami mual muntah dan kejadian ini dialami oleh 10

SGSR melintas dengan muatan penuh anak sekolah yang berjalan di jalan tanjakan berbelok ke kiri ke Jalan Purwojati dengan kondisi jalan tanjakan dan pada saat itu