• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumpah Pocong Bentuk Resolusi Konflik Y

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sumpah Pocong Bentuk Resolusi Konflik Y"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Persidangan Serantau Kearifan Tempatan 2013

“Memperkukuhkan Kearifan Tempatan ke Arah Pengantarabangsaan” 6-7 Oktober 2013

Sutra Beach Resort, Terengganu, Malaysia

“Sumpah Pocong” Bentuk Resolusi Konflik Yang Efektif Berasaskan Kearifan Tempatan

Oleh;

Budhy Santoso Azlinda Azman Mohd Izzuddin Bin Ramli

Pendahuluan

Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan

terbalut kain kafan seperti layaknya orang yang telah meninggal dunia (pocong). Tetapi juga,

sumpah pocong boleh juga dilakukan hanya dengan posisi duduk dan dikerudungi kain kafan.

Sumpah pocong dilakukan dihadapan orang ramai dengan maksud dan tujuan untuk

meyakinkan orang lain bahwa pelaku sumpah pocong tidak bersalah dan tidak seperti yang

didakwa orang terhadapnya. Dengan sumpah pocong, jika pelaku terbukti bersalah dipercayai

akan dihukum atau dilaknat oleh Tuhan sesuai dengan perbuatannya bahkan boleh sampai

meninggal atau kepada tujuh keturunannya

Secara umun, sumpah pocong dilakukan oleh pemeluk agama Islam kerana dalam

Islam-lah kain kafan (kain pocong) dikenal, dan lazim dilakukan di masjid sebagai tempat

ibadah ummat Islam. Para pemuka agama (ustaz) akan memimpin dan menjadi saksi dalam

upacara sumpah pocong yang dilakukan masyarakat.

Dari perspektif ajaran agama Islam, sumpah pocong bukanlah ajaran syariat Islam.

Sumpah pocong hanyalah tradisi masyarakat yang memasukkan ajaran agama ke dalam

norma adat. Sekalipun dalam sumpah pocong ada kain kafan, ada masjid, ada ustaz, ada kyai,

bahkan ada ulama sekalipun, sebagai simbol-simbol Islam, sumpah pocong tetap tidak

diajarkan dalam Islam. Kerana dalam ajaran Islam, untuk mengucapkan sumpah dan

meyakinkan kebenaran sumpahnya, seorang muslim cukup bersumpah atas nama Allah

misalnya kalimat "Demi Allah, saya tidak melakuan perkaru tersebut". Sehingga apabila

seorang muslim bersumpah bukan atas nama selain Allah maka dikategorikan kufur atau

(2)

Sumpah pocong dilakukan oleh masyarakat Islam ketika terjadi konflik antara orang

lain. Demikian juga yang berlaku di dalam masyarakat Jember. Pada saat masyarakat

mengalami situasi konflik yang sukar dibuktikan secara undang-undang, misalnya didakwa

sebagai penyebab sakitnya orang lain, didakwa mencuri, atau didakwa melakukan

perselingkuhan dengan orang lain, maka sumpah pocong merupakan alternatif yang boleh

ditawarkan untuk membuktikan bahwa dakwaan tersebut tidak benar.

Kepercayaan masyarakat kepada ritual sumpah pocong tersebut mengakibatkan

aktiviti ini memiliki nilai yang sakral (sacred), kerana menggunakan ayat-ayat suci al-Quran sebagai bacaan-bacaan yang dilantunkan dalam ritual ini, padahal secara syariat, aktiviti ini

tidak ada dalam tuntunan Islam. Namun keberadaan sumpah pocong boleh berkesan untuk

meyakinkan bahwa pengakuannya adalah benar dan boleh diterima semua pihak yang terlibat

sehingga boleh menyelesaikan pertikaian/konflik antara masyarakat ataupun individu.

Dengan demikian, sumpah pocong masih membawa pengaruh budaya lokal yang

menggunakan norma adat sebagai pemutus suatu perkara.

Adalah tidak dapat dipastikan akan sejarah bermulanya sumpah pocong dipraktikan

oleh pemeluk agama Islam di Indonesia. Informasi yang beredar mengatakan wilayah

Pendalungan di Jember sebagai wilayah yang pertama kali melakukan praktik sumpah

pocong (uniqpost, 2012). Bahkan metode tradisional ini terbukti menekan amuk massa

lantaran tuduhan sepihak yang sulit dibuktikan (Rahardjo, 2001). Pendalungan merupakan

daerah tempat berbaurnya masyarakat Jawa dan Madura di Jember dengan sebahagian

besarnya penduduknya memeluk agama Islam. Di daerah ini terdapat banyak pesantren

sehingga budaya/budaya yang ada di Jember adalah budaya pesantren. Hubungan masyarakat

dengan Kyai sebagai tokoh masyarakat bersifat patron klien yang sangat kuat. Kerana

masyarakat memposisikan dirinya adalah santri kepada kyai, sekalipun masyarakat tersebut

tidak masuk senarai santri dalam pesantren.

Sumpah pocong pada masa dahulu digunakan untuk memutuskan perkara yang

melibatkan kekuatan supernatural yang tak dapat diputuskan oleh hukum resmi seperti sihir

dan pencarian kekayaan. Demikian pula, perkara hutang piutang dan perebutan warisan juga

sering berakhir dengan diadakannya ritual sumpah pocong dengan seorang kyai yang dilantik

(3)

Walaupun dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia sumpah boleh menjadi

alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 HIR. Pasal 164 HIR

menyatakan sumpah merupakan alat bukti terakhir selain alat-alat bukti lain seperti saksi,

pengakuan, persangkaan, dan tulisan, namun bukanlah sumpah pocong kerana sistem hukum

Indonesia tidak mengenal sumpah tersebut.

Konflik dalam masyarakat

Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang mahupun

dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Akibat konflik ini akan terjadi sikap penentangan, sampai kepada situasi

pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu

tercapainya keperluan dan tujuan masing-masing. Bahkan masing-masing pihak boleh

memperluas pengaruh konflik ini kepada kelompok yang lebih besar.

Menurut Jhonson dan Dunker, Konflik adalah pertentangan antara banyak

kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan

ada. Kerananya konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan yang boleh bersifat

positif atau bersifat negatif (Mitchell, 2000). Sedangkan menurut Fisher, konflik adalah

hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa

memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001).

Akibat yang demikian, konflik yang terjadi memunculkan kekacauan, saling

hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, membunuh secara sadis atau penuh

pertentangan batin, membakar, merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan

dokumen-dokumen penting, membakar, dan lain sebagainya yang pada intinya akan

membahayakan keselamatan masyarakat yang lebih luas.

Konflik yang berkepanjangan selalu meninggalkan ironi dan tragedi. Kekerasan yang

terjadi dalam tempoh waktu yang lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar

dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran syaitan (vicious circle) kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Kerana perasaan setiap pihak

(4)

kekerasan, dan ditambah lagi adanya kerusakan dan kerugian harta benda yang harus di

tanggung.

Dampak terbesar dari konflik yang memerlukan perhatian dan penanganan serius,

justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat, berupa dihinggapi rasa takut dan merasa

selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling

curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat (distrust) dan ini akan terus terjadi dan berlanjut adanya ekses-ekses sampai pada masa pasca konflik sehingga

menimbulkan trauma yang bersifat komunal. Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan

rasa yang mendalam dan menyakitkan. Dan juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’

dari kedua-dua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang

digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok ideantitas yang

berkonflik

Selama ini yang terjadi di berbagai wilayah, penanganan konflik yang dilakukan oleh

pemerintah/kerajaan selalu berpedoman pada langkah-langkah yang sama, dimana pola

penanganan konflik di tiap wilayah cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari

respon masyarakat yang menyatakan bahwa usaha yang dilakukan pemerintah selain

memberikan bantuan fizikal material, seperti bahan makanan, atau tempat berlindung hanya

berkisar pada fasilitasi, penjagaan oleh anggota keselamatan dan sosialisasi perdamaian.

Usaha-usaha yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi

sebagaimana dikemukakan dalam penanganan konflik, seperti penguatan dasar sosial dan

ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan

seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali terperangkap di dalam

paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.

Menurut hasil penelitian Sugiarto yang bertajuk Konflik Sosial yang terjadi di

Masyarakat dikatakan bahawa dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang

dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris, tanggapan/respon

masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang mereka alami

sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar

responden 73.2% menyatakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di

masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka

dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar

(5)

agama. Hanya 7.5% saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di balai polis serta

5.7% saja yang menyatakan agar diselesaikan di mahkamah (Sugiarto, 2010)

Dari huraian ini menunjukkan bahwa konflik dalam masyarakat adalah suatu hal

yang tidak boleh dibiarkan seperti di dalam pemahaman teori struktural fungsional yang

percaya bahwa dalam masa yang lama akan terjadi penyesuaian sehingga konflik dalam

masyarakat akan selesai dengan sendirinya, kerana jika demikian akan berdampak yang lebih

buruk kepada masyarakat. Tetapi konflik dalam masyarakat kenyataannya selalu berterusan,

kerana adanya perbezaan-perbezaan kepentingan berkaitan dengan konflik yang terjadi.

Keadaan inilah yang disadari oleh konsep konflik dialektika, bahawa konflik dalam

masyarakat memang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus dikelola dengan baik agar konflik

tersebut tidak mengarah kepada violence atau hal-hal yang merosak sistem sosial masyarakat.

Sumpah pocong selama ini telah berhasil meredam konflik yang terjadi dengan

mengelola dan membuat trust antara pihak yang berkonflik dalam membuktikan permasalahan yang menjadi sumber konfliknya. Keberadaan sumpah pocong ternyata juga

diterima dengan baik sebagai alat mengelola konflik di masyarakat kerana sesuai dengan

keyakinan-keyakinan budayaalnya yang selama ini difahami dalam kehidupan sehari-harinya.

Pernyataan masalah

Melihat huraian diatas, bahawa konflik memiliki kesan yang sangat serius kepada

disintegrasi masyarakat kerana akibat adanya peningkatan eskalasi dan intensitas konflik

yang dimaksud, dan sumpah pocong yang berlaku di masyarakat Jember dan Pedhalungan

telah berhasil mengelola secara baik sehingga tidak mengalami peningkatan eskalasi dan

intensitasnya, maka menjadi pentanyaan yang menarik untuk dijadikan rumusan

permasalahan dalam kajian ini. Sehingga pernyataan masalahnya adalah: Mengapakah

sumpah pocong boleh mejadi alat resolusi konflik yang efektif di Jember dan masyarakat

wilayah Pendhalungan?

Sumpah pocong: perilaku masyarakat Pendhalungan hasil perkahwinan antara nilai tempatan dengan nilai Islam

Masyarakat Jember dan sekitarnya adalah masyarakat Pendhalungan. Secara

sosio-budaya Jawa Timur terbagi menjadi tiga wilayah besar, yakni; Mataraman, Arek,

(6)

atau kawasan yang secara budaya lebih dekat dengan budaya Jawa Mataram, iaitu budaya

keraton Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat Arek adalah masyarakat yang tinggal di

kawasan yang memiliki budaya khas Jawa Timur, seperti merek yang tinggal di Malang,

Sidoarjo, Gresik dan Surabaya, sedangkan masyarakat Pendhalungan adalah masyarakat yang

tinggal di daerah yang mengadaptasi budaya Jawa dan Madura sehingga membentuk

sub-budaya baru. Daerahnya meliputi daerah Tapal Kuda, iaitu Surabaya, Bangil hingga kawasan

Jawa Timur bagian timur, yakni Jember dan Banyuwangi. Dan yang terakhir adalah

masyarakat Madura yang ada di Pulau Madura. Sementara menurut Herusatoto, Jawa Timur

terbagi tiga wilayah budaya, iaitu kawasan yang disebut Mataraman, iaitu kawasan yang

secara budaya lebih dekat dengan budaya Jawa Mataram, iaitu budaya keraton Surakarta dan

Yogyakarta. Di luar kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan pesisir dan ujung timur Jawa,

iaitu kawasan Madura dan Jawa-Madura (Herusatoto, 1991).

Secara umum, Masyarakat Jawa-Madura memiliki ciri-ciri dan budaya yang sama

dengan Madura. Para ilmuwan ada yang menempatkan dan memperlakukan sama antara

orang Madura dan Jawa-Madura, kerana hubungan genealogis yang tidak boleh dipisahkan

(Chalik, 2013). Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal,

dan stigmatik. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Madura dikenal memegang kuat ajaran

Islam dalam pola kehidupannya.

Penanda menyatunya Islam dengan budaya Madura ialah banyaknya Kyai dan

Pesantren sebagai institusi pendidikan keagamaan dengan Kyai sebagai pimpinannya yang

bagi masyarakat etnik Madura merupakan tokoh yang dihormati dan diteladani dalam aktiviti

kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang-bidang di luar masalah agama. Hubungan

masyarakat dengan Kyai dan Pesantren di wilayah ini memiliki ciri khas, iaitu kepatuhan

budayaal orang Madura kepada Guru (Kyai/Ustaz) kerana peranan dan jasa mereka itu

dipandang bermanfaat dan bermakna bagi keberlangsungan etnik Madura. Sehingga selain

tuntutan keagamaan juga implementasi nilai budaya etnis Madura. Menurut Latief,

masyarakat Madura mengenal ajaran kepatuhan budaya kepada Buppa,’ Babbu, Guru, ban

Rato iaitu Bapak, Ibu, Guru dan Pemimpin Pemerintahan. Bagi masyarakat Madura sesuai dengan ajaran budayanya, empat tokoh ini harus dihormati dan dipatuhi. Penghormatan

terhadap tokoh ini berdasarkan konteks kesejarahan dan terkait dengan eksistensi etnisitas

masyarakat Madura (Wiyata, 2003). Ajaran nilai budaya Madura ini hingga kini masih

(7)

dan berbeda dengan budaya aslinya. Inilah yang kemudian menurut Sutarto disebut sebagai

sub-budaya baru yang bernama masyarakat Pendhalungan 1.

Terkait dengan sumpah, dalam masyarakat Jawa sumpah mendapat tempat tersendiri

dalam budi pekerti luhur, dikategorikan sebagai perilaku kesatria, berupa ikrar pribadi yang

diucapkan dihadapan orang ramai dengan menyebut nama Yang Maha Kuasa, diselaraskan

dalam hati, dibuktikan dengan perbuatan. Jika sumpahnya bersifat palsu atau dingkari, maka

selain mendapat hukuman undang-undang, juga akan mendapat balasan sosial yang akan

melekat sepanjang hidupnya, serta dipercayai jika sudah meninggal akan mendapatkan

balasan azab di akhirat kelak.

Sementara, dalam ajaran agama Islam, sumpah atau yang dalam bahasa

Arab disebut: al-yamín atau al-hilf ialah kata-kata yang diucapkan dengan menggunakan nama Allah atau sifat-Nya, untuk memperkuat suatu hal. Contohnya: "Wallahi

(Demi Allah) saya sudah belajar" dan "Wa'adhamatillah (Demi Keagungan Allah) saya tidak mencuri". sehingga kerana sumpah itu menggunakan nama Allah atau sifat-Nya, maka la

tidak boleh dibuat main-main. (Muhammadiyah, 2011).

Menurut Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammdiyah, syarat sumpah agar

menjadi sah adalah: (1) berakal (2) baligh (3) Islam (4) bisa melaksanakannya (5) suka rela

(tidak dipaksa). Rukun sumpah: Lafaz yang dipakai dalam bersumpah iaitu harus

menggunakan nama Allah atau sifat-Nya. Sementara berdasarkan sifatnya, sumpah itu ada

tiga:

a. Sumpah Laghwi: iaitu sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya: "Demi Allah kamu harus pandai" . Meskipun kata-kata di atas menggunakan nama Allah,

tetapi tidak dimaksudkan untuk bersumpah, hanya untuk memperkuat saja. Maka hukum

1

Wilayah kebudayaan pandhalungan (pandalungan) merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Secara budaya, yang disebut masyarakat pandalungan adalah masyarakat hibrida, yakni masyarakat

berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan. Dalam konteks kawasan “tapal kuda”

(8)

sumpah tersebut tidak wajib membayar kaffarah dan tidak berdosa. Hal ini berdasarkan

firman Allah yang artinya "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpah-mu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Baqarah [2]: 225).

b. Sumpah Mun'agadah: iaitu sumpah yang sengaja diucapkan untuk bersumpah yang bertujuan melakukan atau meninggalkan sesuatu hal. Contohnya: "Demi Allah

saya akan memberimu wang jika saya kaya" dan "Saya bersumpah demi Allah tidak

akan menipumu". Hukum sumpah ini ialah wajib membayar kaffarah jika melanggarnya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat/tebusan (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, iaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepa da keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian,maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." (A-Maidah [5]:89). Menurut ayat ini, jika seseorang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, lalu la tidak boleh menepati

sumpahnya itu, ia terkena kaffarat. Kaffarat ialah penebus dosa sumpah.

c. Sumpah Ghamus: ialah sumpah palsu/bohong, iaitu sumpah yang diucapkan untuk menipu atau mengkhianati orang lain. Sumpah palsu ini adalah salah satu dosa besar

sehingga tidak ada kaffaratnya atau tidak boleh ditebus dengan kaffarat. Pelakunya wajib bertaubat nasuha. Dinamakan ghamus kerana akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka. Jika sumpah ini menyebabkan hilangnya hak-hak, maka hak-hak

tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini berdasarkan ayat yang artinya

"Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) kerana kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar " (An-Nahl [16]: 94). Dan berdasarkan Hadits berikut: Artinya

(9)

Terlihat jelas dari huraian ini bahawa sumpah pocong memang tidak sesuai dengan

kaedah sumpah menurut budaya Jawa mauhupun budaya Islam. Walau demikian ternyata

sumpah pocong memiliki kemampuan yang kuat untuk membuat orang yang menjalani taat

dan patuh kepada sumpah yang diucapkan. Nilai sakral yang muncul dari aktiviti sumpah

pocong ini timbul kerana ayat-ayat Al-Quran yang selalu digunakan dalam upacara sumpah

ini serta penggunaan kain kafan yang selalu mengingatkan kepada kematian.

Dalam pandangan masyarakat Pendhalungan yang merupakan masyarakat yang

masih memegang nilai budaya Madura, Al-Quran merupakan simbolisasi Islam yang sudah

tidak boleh dibantah lagi, ayat-ayat dalam Al-Quran merupakan doktrin yang harus ditaati

sebagai bentuk implementasi jatidiri orang Madura yang ideantik dengan orang Islam.

Menurut Taufiqurrahman Direktur Center for Madura Studies (Cermad), (Taufiqurrahman, 2006). Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik,

stereotipikal dan stigmatik. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Madura dikenali

memegang kuat ajaran Islam dalam pola kehidupannya walaupun dalam sifat yang terbatas

terdapat “dilema,” untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal

dan substantif) dan pola perilaku sosio-budaya dalam praktik keberagamaan mereka. Penanda

menyatunya Islam dengan budaya Madura adalah banyaknya Kyai dan Pesantren sebagai

institusi pendidikan keagamaan dengan Kyai sebagai pimpinannya yang bagi masyarakat

etnis Madura merupakan tokoh yang dihormati dan diteladani dalam aktiviti kehidupan

sehari-hari, termasuk dalam bidang-bidang di luar masalah agama. Hubungan masyarakat

dengan Kyai dan Pesantren di wilayah ini memiliki ciri khas, iaitu kepatuhan budayaal orang

Madura kepada Guru (Kyai/Ustaz) kerana peranan dan jasa mereka itu dipandang

bermanafaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Sehingga selain tuntutan keagamaan juga implementasi nilai budaya etnis Madura.

Menurut Latief, masyarakat Madura mengenal ajaran kepatuhan budaya kepada

Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato iaitu Bapak, Ibu, Guru dan Pemimpin Pemerintahan. Bagi masyarakat Madura sesuai dengan ajaran budayanya, empat tokoh ini harus dihormati dan

dipatuhi. Penghormatan terhadap tokoh ini berdasarkan konteks kesejarahan dan terkait

dengan eksistensi etnisitas masyarakat Madura (Wiyata, 2003).

Dalam situasi budayaal seperti inilah, maka figur kyai dalam pelaksanaan sumpah

(10)

penanda budaya Islam yang hadir bersama dengan ayat-ayat Al-Quran yang dilantunkan

sebagai pelengkap ikrar/sumpah yang dibacakan, juga sebagai penanda legalitas sosial

masyarakat, kerana kedudukan sosial yang tinggi status kyai. Disisi lain, ikrar yang

diucapkan juga bermakna sebagai bentuk perilaku kesatria, yang harus diucapkan secara

sungguh-sungguh dihadapan orang banyak dengan menyebut nama Yang Maha Kuasa, dan

nantinya dibuktikan kebenaran ucapannya dihadapan orang banyak pula.

Keadaan ini yang kemudian membuat Sumpah Pocong menjadi terasa sakral, ada

rasa takut dari pihak-pihak yang terlibat untuk tidak melaksanakan dengan serius, sehingga

hasil dari Sumpah Pocong ini adalah trust dari semua pihak yang berkonflik untuk menuju proses penyelesaian hubungan menjadi lebih baik lagi. Yang menurut Fisher dikategorikan

sebagai penyelesaian konflik, iaitu bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui

suatu persetujuan perdamaian (Fisher, 2001).

Trust yang dihasilkan dalam Sumpah Pocong inilah yang kemudian bermanfaat untuk menghasilkan situasi yang kondusif dalam menjalankan tahap dalam pengurusan

resolusi konflik selanjutnya. Wirawan menjelaskan bahawa resolusi konflik adalah proses

untuk mencapai keluaran konflik dengan kaedah resolusi konflik, sedangkan kaedah resolusi

konflik adalah proses pengurusan konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran

konflik yang mencakup kaedah pengaturan sendiri (self regulation) mahupun kaedah campur tangan pihak ketiga (Wirawan, 2010).

Pengurusan konflik iaitu praktik mengideantifikasi konflik, menangani konflik

secara bijaksana, adil, efisien dan mencegah konflik agar tidak lepas kendali. Kaedah

pengaturan sendiri iaitu; win-win sulution, (kolaborasi-kompromi), win and loses solution

(memperkecil posisi lawan), ataupun kaedah menghindar, sedangkan kaedah campur tangan

pihak ketiga iaitu melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan alternatif

iaitu terdiri dari mediasi, arbitrasi dan ombudsmen. Dalam konteks Sumpah Pocong,

simbol-simbol budaya dan agama menjadi mediator munculnya trust menuju pengelolaan konflik selanjutnya.

(11)

Dalam Sumpah Pocong, ketiga komponen ini dikemas dalam suasana religius yang menyatu

antara budaya dan keimanannya sehingga akan memunculkan tiga komponen yang bersifat

asli, jujur dan keiklasan. Semua pihak yang teribat mengalami suasana yang demikian

sehingga trust akan tumbuh dalam penyelesaian konflik.

Bagaimana Sumpah Pocong dapat menghasilkan trust untuk menuju resolusi yang lebih baik?

Meningkatnya ekskalasi konflik antara orang dengan orang mahupun kelompok

dengan kelompok juga tidak boleh dilepaskan dari persoalan contradiction. Terlalu banyaknya khabar angin yang berkembang sekitar konflik yang dialami dalam masyarakat

pesekitaran menyebabkan arah konflik menjadi serba tidak jelas. Apakah ini konflik pribadi,

atau bersintesis dengan konflik kepentingan lainnya. Dalam pandangan Johan Galtung,

berkembangnya isu yang tidak bertanggungjawab tersebut akan menyebabkan celah

kontradiksi akan semakin melebar, sehingga berbantut dengan semakin mengecilnya ruang

kepercayaan satu sama lain. Antara masyarakat saling tidak percaya, elit tidak dipercaya oleh

massanya, atau bahkan usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak lainpun juga tidak akan

dipercaya sehingga tidak boleh menyelesaikan permasalahan dalam konflik itu. Jika sudah

demikian akutnya kontradiksi maka konflik akan menjadi sebuah benang kusut yang sulit

dihurai.

Masyarakat Jember dan Pendhalungan adalah masyarakat yang berbudaya Madura,

Penduduk budaya Madura majoritinya keagamaan memeluk Islam. Dalam konteks sosio

budaya keagamaannya kaum Madura menempatkan tokoh agama dan kyai pada posisi yang

sangat penting dan tokoh yang dipercaya di tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat

berbudaya Madura, kyai dipandang tidak hanya sebagai subjek yang mengajarkan ilmu-ilmu

agama, tetapi juga sebagai subjek yang mempunyai kekuatan linuwih2. Itu sebabnya, ia juga berperanan sebagai tabib, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat

belajar ilmu kanuragan3. Kyai membangun relasi kuasa melalui proses budayaal, iaitu melakukan Islamisasi. Beragam media budayaal mereka ciptakan untuk membangun

2

Linuwih(bahasa Jawa), bererti “lebih”. Istilah ini biasa dipakai untuk menjelaskan kelebihan yang dimiliki oleh seseorang terkait dengan ilmu. Dalam konteks ini kekuatan linuwih dapat diartikan memiliki kesaktian, iaitu kelebihan dalam bidang ilmu beladiri mahupun ilmu mistik/magic.

3

(12)

kesedaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar4, pondok pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya kyai melakukan transfer/pemindahan pengetahuan keagamaan, tetapi

pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemoni dalam membina bangunan

kognitif dan tindakan sosial masyarakat.

Suatu yang khas mengenai budaya Madura adalah pengakuan bahawa Islam sebagai

ajaran formal yang diyakini dan diteladani dalam kehidupan individual etnik Madura itu,

ternyata tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka.

Kekhususan budayaal itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan

mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam

praksis keberagamaan. Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis

orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya mereka

(Wiyata, 2003).

Bagi etnik Madura, demikian juga yang berlaku di Jember dan masyarakat

Pendhalungan umumnya, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi keniscayaan untuk

diaktualisasikan dalam praktik keseharian sebagai “aturan normatif” yang mengikat. Oleh kerananya, pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara disengaja atas aturan itu

menyebabkan pelakunya dikenakan sekatan sosial mahupun budayaal. Pemaknaan etnografis

demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk

mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan

bahawa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang

tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada

keempat figur tersebut. Termasuk ketaatan dan kepercayaan atas kepemimpinannya dalam

kegiatan Sumpah Pocong sebagai usaha untuk membuktikan kebenaran atas dasar keyakinan

atau keimanan yang dimilikinya.

Public trust terhadap Sumpah Pocong sebagai alat resolusi konflik merupakan kunci

utama keberhasilan resolusi konflik pada masyarkat Jember dan Pendhalungan.

4

Langgar: bangunan tempat sholat dan kegiatan keagamaan lain yang ukurannya lebih besar daripada musholla dan lebih kecil daripada masjid. Dalam lingkungan masyarakat etnik Madura yang pola bermukimnya berkumpul dengan keluarga besarnya, biasanya ditengah-tengah perumahan terdapat langgar yang digunakan untuk sholat berjamaah. Langgar biasanya tidak digunakan untuk sholat jum’at. Untuk

(13)

Dari bingkai konflik tersebut tampak bahwa ekskalasi konflik lebih disebabkan oleh

timbulnya ketidakpercayaan satu sama lain dari pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik

dalam masyarakat selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada

pendekatan komunikasi antara budaya, antara kepentingan dan antara individu yang berwatak

persuasif. Birokrasi pemerintah yang terlibat dalam proses menciptakan tertib sivil selama ini

lebih mengedepankan pada pendekatan keamanan dan hukum.

Pendekatan penyelesaian konflik yang bersifat general yang berlangsung selama ini

jelas menjadi salah satu aspek yang harus dibenahi. Kesan yang dirasakan masyarakat adalah

hukum dan birokrasi sudah tidak memperoleh kepercayaan masyarakat dalam menyelesaikan

persoalan, keadilan boleh dibeli dengan wang. Public trust terhadap lembaga peradilan sudah mengalami degradasi yang cukup besar. Public trust ini akan terciptanya jika proses penyelesaian konflik mengedepankan aspek human security.

Sumpah Pocong merupakan institusi resolusi konflik yang telah mendapatkan public trust dari masyarakat Pendhalungan kerana menggunakan nilai-nilai agama yang menjadi dasar keimanan masyarakat serta perilaku keyakinan berdasarkan budaya yang berlaku di

wilayah setempat. Selanjutnya, dengan public trust yang telah dimiliki, maka usaha menciptakan saling percaya antara kedua-dua belah pihak yang berkonflik (trust building)

lebih mudah dilakukan. Trust building merupakan kegiatan menuju negosiasi yang sangat menentukan proses selanjutnya, kerana konflik yang sudah berlangsung (apalagi sudah

lama) akan membuat kedua belah pihak untuk saling mencurigai satu sama lain, atau bahkan

tidak jarang sudah saling membenci dan menyerang, dengan adanya trust building, keadaan yang demikian dapat dihindarkan

Menurut Dominkus Dalu, akar persoalan mengapa tidak ada penyelesaian dalam

konflik adalah faktor kepercayaan atau trust. Berbagai konflik tersebut berlarut-larut tidak ada penyelesaian, yang hujungnya menjadi serius sampai pada pertumpahan darah kerana

tidak ada trust yang dibangun pihak yang seharusnya menjadi mediator penyelesaian masalah (Dalu, 2012). Institusi penyelesai masalah yang dibentuk oleh masyarakat Jember dan

Pendhalungan yang dikenal dengan nama “Sumpah Pocong” telah mampu menciptakan trust

masyarakat dalam menjalani proses resolusi konflik.

(14)

Keberadaan Sumpah Pocong yang berfungsi efektif sebagai salah satu bentuk

pengurusan konflik dalam sebuah resolusi konflik dimasyarakat Jember dan Pendalungan

kerana terdapat beberapa perkara:

1) Adanya penerimaan dari masyarakat ataupun pihak-pihak yang berkonflik terhadap

semua elemen dalam pelaksanaan Sumpah Pocong, iaitu:

a. Kyai sebagai tokoh utama yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.

b. Simbol-simbol Islam berupa ayat-ayat al-Quran, kafan, masjid dan lain sebagainya

yang diterima keberadaannya sesuai dengan keimanan yang diyakini oleh masyarakat

c. Anggapan bahwa bersumpah dengan benar dan dilakukan dihadapan orang ramai

merupakan salah satu pembuktian dari tindakan kesatria yang merupakan tuntutan

budaya nilai-nilai budaya Jawa

2) Sumpah Pocong merupakan produk budaya setempat, sehingga mendapatkan penerimaan

secara budaya.

3) Adanya trust dari hasil pelaksanaan Sumpah Pocong kerana dalam pandangan masyarakat hasilnya telah memenuhi harapan dan keyakinan agama mahupun budaya. Sehingga

(15)

BIBLIOGRAFI

Chalik, A. (2013). Integrasi Budaya Madura dan Jawa dan Implikasinya Terhadap Budaya

Politik Masyarakat Pendalungan Retrieved 5 September 2013, 2013, from

http://www.sagafgresik.com/2013/02/integrasi-budaya-madura-dan-jawa-dan.html

Dalu, D. (2012). Negara tanpa Resolusi Konflik Retrieved 7 September, 2013, from

http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/01/05/negara-tanpa-resolusi-konflik/

Fisher, S. (2001). Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. United Kingdom: Zed Books Ltd.

Herusatoto, B. (1991). Simbolisme dalam Budaya Ja wa. Yogyakarta: PT. Hanindita.

Mitchell. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yoyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muhammadiyah, D. F. M. T. d. T. (2011). Nazdzar dan sumpah; Tanya Jawab Al Islam

Retrieved 5 September, 2013, from

http://www.muhammadiyah.or.id/15-content-188-det-tanya-jawab-alislam.html

Rahardjo, H. S. d. C. (2001). Sumpah Pocong Efektif Menekan Amuk Masa Jember. News. Retrieved from liputan6.com website:

http://news.liputan6.com/read/13125/sumpah-pocong-efektif-menekan-amuk-massa-jember

Sugiarto. (2010). Konflik Sosial Yang Terjadi di Masyarakat. Retrieved from

http://sugiartoagribisnis.wordpress.com/2010/05/08/konflik-sosial-yang-terjadi-di-masyarakat/

Taufiqurrahman. (2006). Islam Dan Budaya Madura. Paper presented at the Annual Conference on Contemporary Islamic Studies, Grand Hotel Lembang Bandung.

uniqpost. (2012). Riwayat Praktik Sumpah Pocong di Idonesia. Nasional. Retrieved from Uniqpost website: http://uniqpost.com/35260/sumpah-pocong-di-indonesia/

Wirawan. (2010). Konflik dan Pengurusan Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum digunakan untuk sintesis β -TCP serbuk cangkang kerang ranga dikeringkan pada suhu 110 o C selama 5 jam untuk menghilangkan air yang terdapat dalam serbuk

Mikrograf SEM untuk sampel optimum dapat dilihat pada Gambar 5.Dari hasil karakterisasi SEM tersebut dapat diketahui bahwa sampel β -TCP menunjukkan kristal

Kemudian dari tujuan umum di atas maka dapat dirumuskan menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan rancangan pembelajaran IPS dengan

[r]

Dari sepuluh komponen komunikasi tersebut, hanya beberapa komponen yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk peristiwa komunikasi pada komunitas perempuan pesisir antara

ija>rah bahwa obyek harus dimiliki oleh orang yang menyewakan atau diijinkan untuk disewakan tidak terpenuhi, dimana dalam hal ini ketua RT 01 menyewakan tanah tanpa ijin

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh dosis kapur dan pupuk kandang kambing dan untuk menentukan dosis kombinasi kapur dan pupuk kandang

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan