• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengetahui dan Memahami Konsepsi Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengetahui dan Memahami Konsepsi Negara"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MENGETAHUI DAN MEMAHAMI KONSEPSI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

(Pandangan Negara Integralistik dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945)

Laga Sugiarto1, Moh. Ridwan2, M. Ali Safa’at3.

Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum

Universitas Brawijawa Malang

ABSTRACT

This paper discusses the integrative view of the state as contained in the Preamble to the

Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 (Preamble of the 1945 NRI).

Integrative view of the country stems from the idea Supomo speech he delivered on the

formulation of the basic law (constitution) of Indonesia, especially on May 31, 1945 in

the trial Investigation Agency Efforts Preparation of Indonesian Independence

(BPUPKI). School of thought (staatsidee) integralistic state stemming from the Western philosophy of Spinoza, Hegel and Adam Muller is a state of mind that flows over all the

classes that exist in the country, not side to group the biggest and the strongest, but the

state as the embodiment of a living the nation as a whole.

Key Words:

State Integralistic Idea, Manunggaling Kawula-Gusti, Preamble to the Constitution of the Republic of

Indonesia Year 1945, National Socialists / National Socialism (NAZI / NSDAP), Unitary State

of Republic of Indonesia. ABSTRAK

Tulisan ini membahas mengenai pandangan negara integralistik sebagaimana terkandung

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Pembukaan UUD NRI Tahun 1945). Pandangan negara integralistik bermula dari

pemikiran Soepomo yang disampaikannya pada pidato perumusan hukum dasar

(Konstitusi) Indonesia, terutama pada tanggal 31 Mei Tahun 1945 di sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Aliran pikiran

1 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum angkatan 2011, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. 2 Dosen Hukum Internasional/HAM, sebagai Pembimbing Utama.

(2)

(staatsidee) negara integralistik yang berakar dari filsafat Barat yakni Spinoza, Adam Muller dan Hegel merupakan aliran pikiran negara yang mengatasi segala golongan-golongan

yang ada dalam negara, tidak memihak kepada golongan yang terbesar maupun yang

terkuat, akan tetapi negara sebagai pengejawantahan penghidupan bangsa secara

keseluruhan.

Kata Kunci:

Ide Negara Integralistik, Manunggaling Kawula-Gusti, Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945),

Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI/NSDAP), Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI).

A. PENDAHULUAN

Perdebatan tentang bentuk negara memang masih merupakan sebuah persoalan yang

selalu muncul, meskipun hal itu sebenarnya sudah merupakan sesuatu yang klasik. Sejak

masa transisi dari pemerintahan Orde Baru muncul usulan dari berbagai pihak bahwa

bentuk negara yang bersifat federasi merupakan salah satu alternatif yang terbaik agar

supaya keutuhan negara Indonesia dapat dipelihara. Sebenarnya perdebatan tentang

pilihan bentuk negara Federalisme atau Kesatuan bukanlah merupakan harga mati,

karena masih ada kemungkinan untuk memunculkan model lain selain dari kedua pilihan

tersebut. Tampaknya, pemerintah sudah sedemikian mantap untuk tetap

mempertahankan format Negara Kesatuan, sehingga alternatif bentuk negara yang

lainnya sudah sangat sulit untuk dimunculkan. Di samping itu, kekuatan-kekuatan politik

yang ada di Indonesia dalam masa transisi hingga saat ini juga tidak memberikan

dukungan yang positif terhadap kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan yang

federalistik ataupun yang lain.4

Perumusan bentuk Negara Kesatuan sebagaimana ditegaskan dalam Bab I, Pasal 1

ayat (1) tentang Bentuk dan Kedaulatan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum

amandemen) dan diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 Tahun

1946 yakni yang berbunyi “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik”, bahkan hingga amandemen ke-4 (empat) UUD 1945, bunyi pasal tersebut

(3)

tetap dipertahankan menjadi satu-satunya norma dasar/fundamental negara yang

ditabukan untuk dilakukan perubahan. Pengejawantahan Pokok Pikiran daripada

Pembukaan tersebut sebagaimana dipengaruhi oleh pandangan negara intergralistik dari

Soepomo sebagai tim perumus Undang-Undang Dasar pada saat itu yang seringkali

menyatakan pandangannya berdasarkan pada aliran filsafat Barat yang diajarkan oleh

Spinoza, Adam Muller dan Hegel (khususnya Hegel). Hal tersebut, sebagaimana tampak

dari penggunaan terminologi integralistik-totalitarian-nasional sosialis yang mendukung

pandangannya tersebut, dengan demikian memunculkan persepsi mengenai bentuk

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang cenderung berwatak totalitarian.

Dalam pandangan yang berbeda mengenai negara integralistik, justru pengaruh

Hegelian dari Barat, tidak semata-mata menjadi basis daripada pandangan negara

integralistik daripada Soepomo. Soepomo juga menyatakan, bahwa pandangan negara

integralistik yang bersifat asli ketimuran (Indonesia) tidak hanya berakar dari filsafat

Integralistik Hegel yang tumbuh dan berkembang di Barat, akan tetapi menemukan

akarnya pada filsafat kebatinan yang bersumber dari religi Jawa, sebagaimana dikenal

dengan sebutan “Manunggaling Kawula-Gusti”. Adapun, konsepsi Manunggaling Kawula-Gusti dan Hegelian sebagai sandaran dari pandangan negara integralistik Soepomo saling

berkaitan erat satu sama lain, sebagaimana tampak dalam pengejawantahannya yang

berupa sakralisasi secara simbolik terhadap penguasa.

Perspektif Hegelian dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin

menimbulkan pemahaman yang bertendensi negatif berupa penjelmaan negara yang

berwatak otoriter dengan mengabaikan hak-hak individu sebagai manusia. Adapun

kekeliruan terhadap pemahaman dari konsepsi bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945

(sebelum dan sesudah amandemen) yang dianggap bersandar sepenuhnya pada aliran

pikiran integralistik Hegel tersebut, justru memberikan legitimasi yang kuat terhadap

supremasi negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dengan mengabaikan dan

memaksakan secara sukarela dari hak-hak individu dan masyarakat untuk melebur dalam

bangunan organis negara. Pandangan negara integralistik-totalitarian yang menjadi jiwa

(4)

pikiran Pembukaan UUD 1945, diyakini merupakan paham yang bernafaskan negara

yang memilki kendali kekuasaan penuh melalui cara-cara otoriter dan cenderung lebih

dekat kepada ideologi Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (Nazi/NSDAP). Melalui

supremasi kedaulatan organis negara tersebut dalam pengejawantahannya dikhawatirkan

menimbulkan praktik-praktik kesewenang-wenangan terhadap hak-hak individu dan

masyarakat melalui legitimasi paham (staatsidee) negara integralistik yang mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara. Sebaliknya, adanya pengakuan

terhadap kedaulatan kemanusiaan yang sejalan dan bersumber dari spirit Pancasila

(Pancasilais) dalam pandangan negara integralistik Indonesia semakin memberikan

persepsi yang berbeda mengenai model pandangan negara integralistik Indonesia itu

sendiri.

Dengan demikian, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan ini

adalah, sebagai berikut: 1). Pandangan negara integralistik “Manunggaling Kawula-Gusti” berkaitan erat dengan pandangan negara integralistik Barat; 2). Pandangan negara

integralistik kesukuan Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI) menjadi basis

pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3). Bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) sejalan dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tujuan penulisan ini adalah, sebagai berikut: 1). Merumuskan, menganalisis dan

menjelaskan mengenai pandangan negara integralistik “Manunggaling Kawula-Gusti” yang dianggap berkaitan erat dengan pandangan negara integralistik Barat; 2). Merumuskan,

menganalisis dan menjelaskan mengenai pandangan negara integralistik kesukuan

Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI) yang dianggap menjadi basis pandangan

negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; dan 3). Merumuskan, menganalisis dan menjelaskan

mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dianggap sejalan

dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang

(5)

Manfaat penulisan ini adalah, sebagai berikut: 1). Manfaat teoritis untuk memahami

sejarah dan landasan konseptual (filosofis) mengenai asal-mula Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; 2a). Manfaat praktis bagi akademik untuk memberikan

pemahaman secara komprehensif untuk melakukan kajian ilmiah-akademik terkait

konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2b). Manfaat praktis bagi Legislatif untuk

memberikan masukan yang berharga dalam melakukan penyusunan peraturan

perundang-undangan (norma umum) yang selaras dengan konsepsi Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; 2c). Manfaat praktis bagi Eksekutif untuk memberikan pedoman

untuk menjalankan roda pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses

penelitian tersebut, diadakan analisis dan konstruksi data yang telah dikumpulkan dan

diolah. Karena itu, metodologi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu

pengetahuan yang menjadi induknya.5

Menurut Soerjono Soekanto6, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah

yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.

Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut,

untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahn-permasalahan yang

timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Sedangkan, menurut Soetandyo

Wignyosoebroto7, penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan

menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan. Untuk menjawab segala macam

5 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 17. 6 Ibid, hlm. 18.

(6)

permasalahan hukum diperlukan hasil penelitian yang cermat, berketerandalan dan sahih

untuk menjelaskan dan menjawab segala permasalahan yang ada.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian politik yuridis, sedangkan pendekatan

penelitiannya menggunakan berbagai pendekatan penelitian, yakni pendekatan historis

(historical approach)8 dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan

perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Pendekatan filsafat (philosophical

approach)9 dilakukan dengan menelaah secara menyeluruh, mendasar dan spekulatif untuk

mengupas isu hukum secara radikal dan mendalam. Pendekatan historis (historical

approach) dipergunakan dalam usaha menelusuri latar belakang sejarah dan politik yang

mempengaruhi pembentukan norma-norma fundamental (aturan fundamental negara)

sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengenai konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam

perspektif negara integralistik, dan pendekatan filsafat (philosophical approach) dipergunakan dalam usaha untuk menyelami hakikat substansi/makna yang terkandung

dalam norma fundamental (aturan fundamental negara) sebagaimana dituangkan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai

konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam perspektif negara integralistik.

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung

dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari

bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Jenis dan sumber data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Menurut Rony Hanitijo

Soemitro10, data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan

membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian

hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 94. 9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007),

hlm. 320.

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat,

(7)

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas yang mana terdiri dari peraturan perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan

undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Selain itu

bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi kamus,

ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.11Bahan hukum primer yang terdiri dari

sebagai berikut: Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Sedangkan bahan hukum sekunder12 yang terdiri dari sebagai berikut: (i)

Buku-buku literatur; (ii) Disertasi, Tesis dan Laporan Penelitian; (iii) Artikel, Makalah, dan

Media Massa.

Teknik memperoleh data dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara dalam

memperoleh data, yang mana adalah dengan melakukan penelusuran dan dokumentasi

pustaka dari berbagai sumber, antara lain yaitu Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya,

Perpustakaan PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Pusat Dokumentasi

Mahkamah Konstitusi, surat kabar, serta browsing melalui internet terkait dengan sistem

ketatanegaraan Indonesia.

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan bahan-bahan hukum yang

dikumpulkan untuk meneliti dan mengkaji permasalahan seperti yang terdapat dalam

rumusan masalah. Adapun penelitian ini menggunakan suatu interpretasi mendekatkan

pada suatu kajian historis, yakni melalui penelusuran kesejarahan awal mula terbentuknya

negara kebangsaan Indonesia (nationale staat) yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI

11 Zainuddin Ali, op. cit., hlm. 47.

12 Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahan-bahan sekunder berguna untuk dirujuk guna meningkatkan

(8)

Tahun 1945, kemudian sejarah perdebatan politik tersebut mengejawantah berupa

makna-makna filosofis dari pergulatan antithese yang kemudian menemukan

keharmonisan pendapat dalam suatu these dan menjelma menjadi Negara Kesatuan

Republik Indonesia hingga saat ini.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Apakah pandangan negara integralistik “Manunggaling Kawula-Gusti” berkaitan erat dengan pandangan negara integralistik Barat?

Ide negara integralistik Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Soepomo pada

pidatonya (dibagian awal) tanggal 31 Mei Tahun 1945 di sidang BPUPKI, ide negara

integralistik yang pada awalnya diinginkan oleh Soepomo berakar pada ajaran dari filsuf

barat yakni Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Aliran pikiran negara integralistik

merupakan aliran pikiran negara (staatsidee) yang menganggap negara menjamin keselematan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan,

tidak berpihak kepada golongan yang terkuat maupun yang paling besar. Dalam falsafah

Barat, aliran pikiran negara integralistik bersandar kepada paham monisme-panteisme.

Teori negara integralistik yang diajarkan oleh Spinoza menganggap bahwa pada

hakikatnya zat (substansi) sejati dalam alam ini hanya ada satu, dan segala sesuatunya

berupa kesatuan atau keesaan karena berasal dan bisa dikembalikan ke zat yang sama itu,

yang esa (manunggal, dalam bahasa Jawa). Karena adanya Tuhan itu mutlak, dan bersama

adanya alam tidak mungkin terdapat dua zat berbeda, maka Tuhan dan alam adalah satu,

zat tunggal satu-satunya, yang terwujud dalam bentuk (atribut) yang tidak terhingga

banyaknya. Inilah yang dikatakan sebagai paham monisme atau panteisme Spinoza.

Makna kesatuan atau dalam istilah yang dipakai pada tahun empat-puluhan itu yakni

persatuan menjadi titik temu dengan pilihan Soepomo.13

Adam Muller menyatakan bahwa negara dalam susunan kekuatan merupakan

bangunan yang organis (berjasad). Seluruh kehidupan rohani manusia merupakan bagian

dari negara, jiwa umum negara juga mempengaruhi hidup pribadi dari tiap-tiap manusia.

Akan tetapi, ia tidak mau memandang negara secara mekanis, artinya dalam arti

kebendaan semata. Sebaliknya, negara adalah kerajaan cita-cita yang kekal dan selalu

(9)

bergerak. Selain itu, Muller juga menyatakan bahwa negara adalah totalitas permasalahan

manusia (die Totalitat der menschlichen Angelegenheiten), yang berjalin menjadi suatu keseluruhan yang hidup. Negara bukanlah sekedar berupa industri, peternakan, lembaga

asuransi atau serikat dagang. Negara adalah suatu ikatan yang mendalam dari seluruh

kebutuhan jasmani dan rohani, seluruh kekayaan fisik dan rohani, kehidupan lahir dan

batin suatu bangsa yang merupakan satu tenaga yang mahabesar, satu keseluruhan yang

hidup yang senantiasa bergerak.14

Sedangkan, Hegel menyatakan negara adalah aktualitas, perwujudan dari ide etikal (die

sittlichen Idee, the ethical Idea). Negara adalah aktualisasi kehendak dari kesadaran universal,

yang ke dalamnya telah bersatu dan menjadi satu, seluruh kehendak masing-masing yang

khusus (kesadaran diri partikular) dari perseorangan.15 Hakikat negara dalam pengertian

modern ialah, bahwa yang universal (keseluruhan) Tujuan keseluruhan (universal) tidak

bisa diraih tanpa diketahui dan dikehendaki oleh para anggotanya masing-masing, yang

hak-haknya harus tetap dipertahankan. Jadi yang universal harus dimajukan, tetapi di lain

pihak, perkembangan subyektivitas pun harus hidup dan tercapai penuh. Hanya bila

kedua daya ini, yang universal dan yang subyektif, bisa ada bersama dengan cukup

tenaga, maka negara bisa dianggap telah mengejawantah dan benar-benar terorganisir.16

Dalam pernyataan selanjutnya, justru Soepomo mengatakan hal yang berbeda, bahwa

hakikat persatuan bangsa Indonesia bersifat persatuan hidup antara kawulo dan gusti,

sebagai berikut:

Maka semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat, pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam sesuatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (darma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia, malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut.

14 J.J. Von Schmid, Pemikiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad Ke-19, (Jakarta: PT Pembangunan

Djakarta, 1961), hlm. 56-57.

15 Marsillam Simanjuntak, op. cit., hlm. 168.

(10)

Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam sususnan tata negaranya yang asli.17

Pernyataan yang berbeda tersebut, tampak ketika di awal Soepomo mengatakan bahwa

ide negara integralistik Indonesia berakar pada filsafat Barat

(Monisme-Panteisme-Hegelian), justru dalam pernyataan selanjutnya mengatakan ide negara integralistik

Indonesia berakar dari filsafat kebatinan Jawa yang dikenal dengan konsepsi

Manunggaling Kawula-Gusti”.

Konsepsi “Manunggaling Kawula-Gusti” dalam religi Jawa mengajarkan keselarasan. Keselarasan antara makrokosmos, tata alam semesta, dan mikrokosmos, yakni manusia

itu sendiri. Alam semesta telah ditata sedemikian rupa menurut aturan-aturan yang pasti

demi menjaga keselarasan tersebut.18 Apabila Tata Alam Semesta dipimpin oleh Tuhan

yang kekuasaan-Nya mutlak, negara dipimpin oleh Raja. Maka, demi keteraturan, baik

negara maupun Raja memiliki kekuasaan yang mutlak tidak terbatas. Raja diyakini sebagai

perwakilan Tuhan di bumi, sebagai bentuk avatara (titisan, penjelmaan) Dewa dari langit,

meminjam konsepsi Hinduisme. Dua hal tersebut memantapkan absoluditas penguasa

negara, Sang Raja.19

Walaupun raja dan rakyat dianggap sama pentingnya, yang dengan demikian segi

fungsional merupakan satu-satunya perbedaan, namun di antara keduanya terdapat

hubungan momongan. Ini berarti pamong (yang melakukan momongan) memiliki

kedudukan yang lebih tinggi dari yang mendapat momongan (kawula).20 Implikasinya

adalah kawula harus patuh pada yang melakukan momongan. Hal ini juga menunjukkan

bahwa hubungan antara raja dan rakyatnya mengikuti contoh kasih sayang dalam ikatan

keluarga.21 Hubungan antara raja dan rakyat juga dijelaskan dalam konsep manunggaling

kawula-gusti (menyatunya abdi-tuan) yang menunjukkan bahwa keduanya, walaupun

berbeda, yaitu satu lebih rendah dan lainnya lebih tinggi, sesungguhnya merupakan dua

17 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum

Indonesia, 2004), hlm. 124-125.

18 Weko Kuncara, Citra Jawa Kekuasaan Soekarno; 18 Juni 2012, diakses pada tanggal 22 Juli 2013.

19 Moertono Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau “Studi tentang Masa

Mataram II, Abad XVI sampai XIX”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 5.

(11)

aspek yang berbeda dari hal yang sama. Apabila antara Tuhan (Gusti) dan manusia

(kawula) dapat menyatu, apalagi antara sesama manusia sendiri, meskipun itu adalah raja

(Gusti) dan rakyat (kawula) sebagai bentuk replikanya.22

Konsepsi ini sekaligus mengimplikasikan pada adanya perbedaan status antara raja

sebagai Gusti, yang lebih tinggi, dan rakyat sebagai kawula, yang lebih rendah.

Keyakinan bahwa raja adalah titisan Tuhan di bumi memberikan konsekuensi bahwa

perintah-perintah raja merupakan isyarat dari tuhan kepada manusia untuk memelihara

keteraturan dan keselarasan alam semesta atau untuk mengembalikannya pada

keteraturan bila ada gangguan; tidak memungkinkan bagi rakyat untuk mengucapkan

tidak bagi setiap perintah raja. Akhirnya, ketundukan rakyat terhadap raja diperkuat

dengan adanya pemahaman fatalistik pada masyarakat Jawa. Setiap hal yang terjadi pada

manusia dianggap telah merupakan ketentuan dari Tuhan yang mesti dijalankan.

Berhubungan dengan ini, termasuk dalam memandang posisi rakyat sebagai kawula,

diyakini sebagai titah dari Tuhan yang mesti dijalaninya karena memang itulah yang

terbaik baginya.23

Sejatinya, pemikiran Soepomo mengenai semangat kebatinan dan struktur

kerohaniaan bangsa Indonesia memang berakar dari filsafat Jawa yang dikenal dengan

persatuan antara Kawula dan Gusti atau biasa disebut dengan “Manunggaling

Kawula-Gusti”. Pemikiran mengenai Manunggaling Kawula-Gusti dari budaya Jawa berkembang

sebagai dasar kerohaniaan mistik Jawa. Pemikiran Manunggaling Kawula-Gusti yang

“dianggap” senafas dengan pemikiran filsafat monisme-panteisme, kemudian dijadikan sandaran bagi aliran pikiran negara integralistik dalam pengejawantahannya menekankan

kepada penyelenggaraan pemerintahan yang berpangkal kepada sendi bersatunya batin

antara pemimpin dengan rakyatnya sehingga menimbulkan persepsi yang mana

penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa menganggap kesempurnaan pemimpin

diharapkan mampu memiliki dan menjaga semangat penyelenggara negara itu sendiri,

memenuhi segala keperluan rakyatnya dengan menyangsikan ketidaksempurnaan

(12)

daripada manusia yang celakanya dapat tergelincir terlalu dalam sehingga menimbulkan

kesewenang-wenangan penguasa atau pemimpin terhadap rakyatnya.

Raja yang dianggap sebagai sosok manusia bumi yang karismatik dan sempurna

karena telah menerima dan bersemayamnya esensi dari Tuhan, dibebankan tanggung

jawab besar sebagai pemimpin umat maupun agama. Kesempurnaan tabiat manusia

(Raja) justru semakin memperkokoh inklusivitas dari kedudukan politik Raja itu sendiri

yang celakanya tidak mampu bersikap bijaksana dalam perilaku penyelenggaraan

pemerintahan, ekstremnya tergelincir menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang

terhadap rakyat dan negaranya sendiri. Kemustahilan semakin diperkuat dengan masih

terbelenggunya alam pikiran akan romantisme “masa lalu” ketakhayulan mengenai

kelahiran sosok figur yang sempurna (Ratu Adil, Imam Mahdi) sebagai pemimpin yang

mampu mengayomi rakyatnya selaku pemimpin umat yang dibebankan derajat ketuhanan

(Raja Dewa/Raja Binathara) dalam kehidupan sosial politik dan agama (Raja-Pinandhita), selayaknya dan sekurang-kurangnya secara personal mendekati jati diri Nabi ataupun

Wali yang dianggap mampu menghayati/membuka tabir kedekatannya dengan Tuhan

(makrifat).

Jika kita menghayati kembali secara sementara terhadap pernyataan Soepomo di atas

ini, bahwasanya sejalan dengan sistem metafisika Spinoza yang telah dirintis oleh

Parmenides. Hanya ada satu zat, yaitu “Tuhan atau alam”, sesuatu yang terbatas tidak ada

yang hidup mandiri. Descartes mengakui tiga zat yakni Tuhan, pikiran dan materi.

Benarlah bahwa baginya Tuhan dalam pengertian tertentu lebih substansial daripada

pikiran dan materi, karena Dia telah menciptakan keduanya, dan dapat melenyapkannya

jika mau. Tetapi kecuali dalam kaitannya dengan kemahatahuan Tuhan, pikiran dan

materi adalah dua zat yang independen dan didefinisikan berturut-turut oleh sifat-sifat

pemikiran dan pengembangan. Spinoza tidak mempunyai konsep seperti ini. Baginya,

pemikiran dan pengembangan adalah sifat-sifat Tuhan. Tuhan juga memiliki sifat-sifat

lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspekNya,

tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui. Jiwa individu dan potongan-potongan

materi yang terpisah, bagi Spinoza merupakan kata sifat, semua itu bukan benda, tetapi

(13)

dipercaya orang-orang Kristen, tetapi keabadian impersonal yang diperoleh dengan

menjadi semakin menyatu dengan Tuhan. Sesuatu yang terbatas didefinisikan oleh

batas-batasnya, baik fisik maupun logis, yakni oleh apa yang bukan sesuatu “semua determinasi adalah negasi”. Hanya ada Tuhan Esa yang seluruhnya positif, dan Dia pasti tidak terbatas secara absolut. Maka Spinoza cenderung pada panteisme yang lengkap dan

keras. Segala sesuatu, menurut Spinoza diatur oleh sebuah ketentuan logis yang absolut.

Tidak ada semacam kehendak bebas di wilayah mental atau peluang di dunia fisik. Segala

yang terjadi adalah manifestasi dari sifat Tuhan yang gaib, dan logikanya, suatu peristiwa

tidak mungkin menjadi persitiwa lain. Menurut Spinoza, kalau memang segala sesuatunya

ditentukan Tuhan dan karena itu pasti baik. Spinoza menjawab bahwa apa yang bernilai

positif dalam peristiwa-peritiwa adalah baik, dan hanya apa yang bernilai negatiflah yang

buruk, tetapi negasi hanya ada dari sudut pandang makhluk. Bagi Tuhan, satu-satunya

yang sepenuhnya nyata, tidak ada negasi, maka kejahatan yang bagi kita tampak sebagai

dosa tidak ada jika dilihat sebagai bagian dari keseluruhan.24

Dengan demikian, setelah diuraikan dengan cukup jelas pernyataan-pernyataan

Soepomo di atas, berkaitan kembali mengenai staatsidee (aliran pikiran) bernegara Indonesia, yang masing-masing pernyataan justru mengandung kontradiksi yang sangat

fundamental, karena ketiadaan konsistensi dari pandangan-pandangan Soepomo tersebut

yang berganti-ganti dengan mudah dari satu pandangan ke pandangan yang lain tanpa

memperhatikan penggunaan secara pasti akar pikiran yang secara konsepsional satu

dengan yang lain berbeda-beda. Kontradiksi antara masing-asing pandangan Soepomo

itu bercampur baur tanpa kejelasan, sehingga menimbulkan persepsi simpang siur

mengenai pilihan salah satu aliran pikiran negara yang sejatinya ingin dianut oleh

Sopomo sendiri.

Perbedaan konsepsional aliran pikiran negara integralistik yang dibangun oleh

Soepomo yang bersumber dari filsafat Barat yang bersifat monisme-panteisme sejatinya

tidak sepenuhnya sama dengan yang bersumber dari filsafat Jawa “Manunggaling

Kawula-Gusti”. Secara historis, filsafat monisme-panteisme yang berkembang di Indonesia,

khususnya Jawa merupakan aliran mistik kebatinan yang hidup di masyarakat pada masa

(14)

Pra-Buddha (Animisme-Dinamisme), hingga masa kerajaan-kerajaan

Hindu-Buddha yang berkuasa pada saat itu. Justru, lain halnya dengan perkembangan filsafat

kebatinan itu sendiri setelah diserapnya unsur Tasawuf Islam yang disiarkan secara luas di

kalangan masyarakat melalui kekuasaan istana kerajaan Islam.

Titik tolak yang berbeda-beda diambil oleh Soepomo, jika titik tolak pandangan

negara integralistik varian Spinoza, Adam Muller, Hegel, Nazi, maka sandaran filsafatnya

adalah monisme-panteisme atau serupa dengan filsafat kebatinan Jawa masa

Pra-Hindu-Buddha dan Hindu-Pra-Hindu-Buddha yang cenderung menghasilkan karakter pemerintahan yang

berwatak totaliter anti demokratis. Lain halnya, jika titik tolak yang diambil Soepomo

merupakan konsepsi Manunggaling Kawula-Gusti yang berkembang sebagaimana dalam gubahan sastra Jawa-Islam setelah masuknya pengaruh Islam (Islamisasi Jawa), bukan

(Jawanisasi Islam), maka esensi manusia sebagai kawula/hamba tetaplah terpisah dengan

Tuhan (Gusti), sehingga jika dibumikan dalam struktur politik ketatanegaraan, maka

esensi manusia tidak melulu bagian dari sosial masyarakat ataupun melebur dalam

kehendak universal negara melalui simbolisasi Raja (pemimpin) sebagai pengejewantahan

kekuasaan Tuhan, akan tetapi esensinya tetap masih memiliki kodratnya sebagai makhluk

pribadi (subjektif) yang memiliki otonomi/partikularitas dalam prinsip monodualisme.

Rumus yang indah tentang Aworing Kawula-Gusti adalah sebagai berikut:25

“Tunggal tan tunggal lawan ing pasti/ loro pan tan loro/ lire jiwa tinon lawan ragane/ katon

tunggal katingal kakalih/ mangke awak marmi/ lawan Gustiningsun.”

Artinya:

Kita adalah satu, tetapi bukan satu secara pasti, dua tetapi bukan dua secara pasti pula. Laksana jiwa dengan badannya, dikatakan satu terlihat dua.

2. Apakah pandangan negara integralistik kesukuan Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI) menjadi basis pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

Pandangan negara integralistik yang berakar dari filsafat Barat kemudian

mempengaruhi aliran pikiran sosialisme nasional yang dikatakan cocok dengan aliran

pikiran ketimuran merupakan kesalahpahaman mendasar dari Soepomo, ketika

25 Simuh, Sufisme Jawa “Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa”, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm.

(15)

menyatakan dengan yakin dan insaf bahwa aliran sosialisme nasional memang

benar-benar mampu menjadi sandaran aliran pikiran negara Indonesia. Sebagaimana kita telah

mengetahui secara umum, bahwasanya aliran pikiran sosialisme nasional merupakan

aliran pikiran yang begitu popular diperkenalkan oleh Adolf Hitler. Aliran pikiran

sosialisme nasional yang dianggap memiliki akar kesamaan dengan filsafat

monisme-panteisme dari Spinoza, romantisme dari Adam Muller dan integralistik-organik dari

Hegel, merupakan suatu doktrin organis tentang sejarah di mana “setiap ras merupakan

kesatuan yang utuh dan tersendiri” dikembangkan oleh orang-orang yang membutuhkan

definisi ideologis kesatuan nasional sebagai substitusi bagi kesatuan politis.26 Adanya

definisi-definisi bangsa secara organis naturalistik merupakan ciri menonjol

ideologi-ideologi Jerman dan historisme Jerman.27 Maka, aliran pikiran nasionalisme

sosialis/sosialisme nasional (Nazi) merupakan varian khusus/berbeda dari ide negara

integralistik, kekhususan daripada sosialisme nasional tersebut, selain secara umum

sejalan dengan menerima esensi pemikiran gaib, mistik dan karismatik yang awalnya

berakar pada feodalisme abad ke-18, yakni melalui upaya memodifikasi standar-standar

kebangsawanan para aristokrat/bangsawan yang diperluas menjadi standar-standar

kebangsawanan bagi satu bangsa tanpa menghiraukan atomisasi status derajat sosial

dan/atau ekonomi individu-individu dalam satu bangsa tersebut.

Gerakan nasional sosialis dijadikan sandaran filsafat bagi gerakan Partai Sosialisme

Nasional (NSDAP) untuk melanggengkan tujuan Negara Jerman untuk Bangsa Jerman.

Adapun pikiran sosialisme nasional dipergunakan dengan mengandalkan kepada

persamaan darah dari ras bangsa Arya demi mengatasi segala hegemoni eksternal yang

mengancam keberadaan solidaritas internal negara tersebut. Aliran pikiran sosialisme

nasional menganggap begitu pentingnya kemurnian ras sebagai hukum alam paling dasar

yang mendorong berbagai macam spesies untuk tetap mempertahankan garis hidup

mereka dengan memperbanyak spesies mereka.28 Dalam hal ini, Soepomo begitu

tergesa-gesa untuk memberikan pemahaman mengenai ide sosialisme nasional, artinya Soepomo

26 Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliterisme “Jilid II Imperialisme”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995),

hlm. 85.

27 Ibid.

(16)

dengan tergesa-gesa belum begitu memahami apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan

negara Indonesia dengan begitu saja mengadopsi ide negara sosialisme nasional yang

dianggap cocok dengan aliran pikiran ketimuran. Ide sosialisme nasional justru

merupakan ide yang secara negatif mengandung makna destruktif terhadap keberadaan

ras bangsa lain (khususnya ras bangsa Yahudi). Soepomo dengan mentah-mentah telah

mejadi seorang ultra-nasionalis yang menganggap ras bangsa lain merupakan musuh

bersama yang mengancam keberadaan ras bangsa Indonesia sehingga melepaskan rasa

kemanusiaan di bawah rasa kebangsaaan Indonesia. Dengan demikian, mungkinkah

Soepomo menyadari bahwa bangsa Indonesia memang akan menjadi negara yang

berlandaskan pada ide sosialisme nasional, tentunya sudah barang tentu negara Indonesia

yang lahir dari bangsa Indonesia tidak akan pernah dilahirkan, sebagaimana Soepomo

mengatakan bahwa kewarganegaraan Indonesia berdasarkan pada keturunan dan

territorial tentunya sudah tidak lagi sesuai dengan semangat sosialisme nasional bangsa

Jerman tersebut, jika melihat pada kehendak Soepomo yang menginginkan

kewarganegaraan pada dua aspek penting yakni, keturunan dan territorial yang terdiri dari

berbagai suku bangsa dan mendiami wilayahnya masing-masing, maka tentunya menjadi

hal yang sungguh mustahil tetap membangun negara Indonesia yang berdasar kepada

kemurnian ras.

Persoalan paling krusial yang membedakan konsepsi negara integralistik kesukuan

sosialisme nasional dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan

UUD NRI Tahun 1945, yakni persoalan pengakuan kemanusiaan baik ke dalam, maupun

ke luar terhadap kedudukan martabat bangsa lain. Jika dalam konsepsi negara

integralistik kesukuan sosialisme nasional cenderung bersifat ekstrim ke dalam yang

hanya meliputi ras tertentu dengan mengabaikan martabat ras lain dan ekstrim ke luar

terhadap kedaulatan bangsa lain di suatu wilayah teritorial tertentu, maka sebaliknya

berbeda dengan konsepsi negara integralistik kemanusiaan Indonesia yang mengakui dan

menghormati ke dalam dan ke luar martabat bangsa lain karena dijiwai oleh ruh

kemanusiaan Pancasila (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945).

Rumusan pokok yang menjadi perbedaan mendasar antara negara integralistik

(17)

melalui bunyi kalimat pada alinea ke-1 (satu) “Bahwa sesungguhnya kemeredekaan itu

ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Maksud dari

bunyi kalimat pada alinea pertama tersebut memiliki makna hak akan kemerdekaan yang

dimaksudkan adalah daripada segala bangsa, bukannya hak kemerdekaan daripada

individu, dan untuk mempertanggung jawabkan lebih lanjut, bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, juga bukan hak kemerdekaan individu yang dipergunakan

sebagai dasar, akan tetapi “perikemanusiaan dan perikeadilan”, kedua-duanya pengertian

dalam arti abstrak dan hakekat. Ini sesuai juga dengan yang dimaksudkan dengan hak

kemerdekaan di dalam pernyataan, yang tidak diambil dalam arti realita, akan tetapi

dalam arti mutlak dan hakekat, yang dapat disimpulkan dari perkataan “sesungguhnya”

dalam bagian kalimat “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu. Dengan demikian

nampaknya pernyataan hak kemerdekaan dalam pembukaan ini lain daripada pernyataan

hak kebebasan di Inggris, di Amerika Serikat dan di Perancis dan bagi negara-negara lain

yang mengikutinya, yang menggunakan asas hak kebebasan perseorangan. Janganlah

sekali-kali lalu timbul anggapan, bahwa di dalam pernyataan hak kemerdekaan bangsa

daripada pembukaan tidak ada tempat bagi hak kebebasan perseorangan. Tidak demikian

halnya, akan tetapi perseorangan ditempatkan dalam hubungannya dengan bangsa, dalam

kedudukannya sebagai anggota bangsa dan sebagai manusia dalam kedudukannya

spesimen atas dasar atau dalam lingkungan jenisnya (genus), ialah perikemanusiaan.

Sebaliknya bukan maksudnya juga untuk menyatakan, bahwa perseorangan adalah

seolah-olah anggota bangsa, melulu penjelmaan jenis, akan tetapi seraya itu juga

merupakan diri sendiri dan berdiri pribadi. Kedudukan relasi itu lebih tegas lagi terletak

di dalam pemakaian “perikeadilan” sebagai alasan pertanggung jawab bagi tuntutan akan

penghapusan penjajahan. Barangkali sekiranya isi daripada pernyataan hak kemerdekaan

bangsa daripada pembukaan dapat disimpulkan demikian, bahwa tiap-tiap bangsa,

sebagai kesatuan golongan manusia yang merupakan diri dan berdiri pribadi, sesuai

dengan hakekat manusia yang demikian itu, mempunyai hak kodrat dan hak moril untuk

berdiri pribadi atau hidup merdeka. Di mana ada bangsa yang tidak merdeka, maka yang

(18)

wajib moril. Bagi pihak penjajah pada khususnya, untuk menjadikan merdeka atau

membiarkan menjadi merdeka bangsa yang bersangkutan.29

Rumusan pokok di atas mencerminkan dengan jelas, bahwa negara integralistik

Indonesia memang sangat menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, baik ke dalam

maupun ke luar sebagai individu dan/atau bangsa. Lain halnya dengan konsepsi negara

integralistik kesukuan sosialisme nasional yang menjunjung tinggi kedaulatan bangsanya

sendiri dengan merendahkan martabat bangsa lain yang terwujud melalui

ekspansi-ekspansi tanpa perikemanusiaan terhadap bangsa lain melalui politik imperialisme.

Kemudian, apabila kembali diperhatikan secara seksama mengenai pandangan negara

integralistik Soepomo terkait dengan jiwa kebangsaan bangsa Indonesia yang tidak hanya

berlaku ke dalam, akan tetapi juga mampu menjangkau ke luar dalam wujud kebangsaan

yang menghargai keberadaan martabat bangsa lain yang berupa kemanusiaan, sejalan

dengan apa yang telah diutarakan oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juli yang

diyakini sebagai hari lahirnya philosophie grondslag atau weltanschauung negara Indonesia, yakni ideologi Pancasila. Dalam hubungan ini, pandangan negara integralistik Indonesia

dengan Pancasila telah melahirkan varian khusus/berbeda negara integralistik Indonesia

Pancasilais. Salah satu ide dasar negara Indonesia mengenai paham kebangsaan tersebut,

Soekarno menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari

banyak suku senantiasa tetap memperhatikan cita rasa kebangsaan dalam pergaulan

internasional. Adapun secara lengkap sebagai berikut: 30

… prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang

meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham “Indonesia uber

Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah-air yang satu, merasa berbangsa yang satu,

mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland

uber Alles”, …, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan

termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus meuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

(19)

Dengan demikian, maka sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa sosialisme

nasional sebagai gerakan politik yang mensandarkan ideologinya kepada ide negara

integralistik secara umum memanglah tidak dapat dipungkiri kembali, sosialisme nasional

sebagai gerakan politik dalam ide negara integralistik memiliki kedudukan yang lebih

tinggi ketimbang negara, hal ini terjadi karena Nazi sebagai gerakan politik

mengidentifikasikan negara sebagai bangsa, bukan sebagai warga negara. Relevansi ide

negara integralistik itu sendiri yang dikatakan sesuai dengan ide bernegara Indonesia

justru merupakan pemahaman yang tidak sepenuhnya diterima benar ataupun keliru,

demikian konsepsi negara integralitik sebagai identifikasi bangsa hanya pernah

diberlakukan dengan penuh di Indonesia ketika dalam usaha untuk memulihkan

kedaulatan bangsa Indonesia seluruhnya baik yang meliputi tanah dan tumpah darah dari

penjajahan bangsa asing.

3. Apakah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejalan dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

Berkaitan dengan konsepsi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),

dapat langsung diselami melalui bagian Pembukaan yang kedua, ialah pernyataan tentang

perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dirumuskan “Dan perjuangan kemerdekaan

Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa

mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia,

yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Apa yang dimaksud dengan Negara Indonesia, yang “bersatu”, barang sekiranya ada beberapa kemungkinan, ialah pertama sesuai dengan pernyataan kemerdekaan, bahwa bangsa itu dimaknakan sebagai

pengertian kesatuan, maka Bangsa Indonesia harus merupakan satu Negara dan tidak

terpecah di dalam negara-negara yang berfederasi. Kemungkinan arti ini terbukti dengan

tidak dimuatnya redaksi dari bagian kedua di dalam Mukaddimah Konstitusi Republik

Indonesia Serikat, kemudian dicantumkan lagi di dalam Mukaddimah Undang-Undang

Dasar Sementara daripada Negara Kesatuan sekarang. Kemungkinan kedua ialah, bahwa

(20)

dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 ditegaskan, bahwa dipakai “aliran

pengertian Negara Persatuan … jadi Negara mengatasi segala paham golongan,

mengatasi segala paham perseorangan”. Kemungkinan ketiga bagi maksud daripada Negara Indonesia yang “bersatu”, ialah bahwa seluruh Bangsa Indonesia termasuk di

dalam lingkungan daerah negara, tidak ada sebagian bangsa yang berada di luarnya.

Apabila disimpulkan, maka isi daripada bagian Pembukaan yang kedua ini ialah, bahwa

Bangsa Indonesia di dalam terpaksa berjuang untuk merealisir hak kodrat dan hak

morilnya akan kemerdekaan, atas kekuatan sendiri akan berhasil membentuk Negara

Indonesia, yang dicita-citakan mempunyai sifat-sifat tertentu. Pertama, negara yang

sungguh bebas dan baik di dalam negara sendiri maupun terhadap negara-negara lain

berdiri pribadi dengan menguasai seluruhnya diri sendiri. Kedua, negara yang berasas

persatuan, baik dalam bentuknya maupun dalam keutuhan bangsa, ialah meliputi dalam

keutuhan bangsa, ialah meliputi seluruh bangsa dalam batas-batas daerah negara,

dukungan oleh seluruh rakyat dan memelihara kepentingan seluruh rakyat dalam

pertalian kekeluargaan atau kerjasama, gotong royong, dengan berdasarkan atas sifat

manusia sebagai individu dan makhluk sosial kedua-duanya. Ketiga, negara yang

berpedoman dan melaksanakan keadilan dalam seluruh lingkungan dan tugas negara

negara, baik di dalam negara maupun terhadap dunia luar. Keempat, negara yang menjadi

tempat hidup bagi seluruh rakyat, di mana tiap-tiap orang dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya, baik yang ketubuhan maupun yang kerohaniaan, yang layak bagi

kemanusiaan.31

Meskipun semenjak itu, Soepomo tidak lagi menggunakan kosakata negara

integralistik, akan tetapi saripati ide negara integralistik tersebut tersirat di dalam

pokok-pokok pikiran sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Soepomo dan termaktub dalam

pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Justru Soepomo dianggap dengan adanya

perubahan pandangan tersebut telah menggali juga ide negara Pancasila yang pernah

disampaikan oleh Soekarno pada pidatonya di tanggal 1 Juni 1945. Mengapa demikian,

karena pokok-pokok pikiran yang diutarakan oleh Soepomo memilki kesamaan ide

dengan philosophischegrondslag atau weltanschauung (ideologi) yang diutarakan oleh Soekarno.

(21)

Dalam pokok pertama “… pemerintah yang melindungi segenap …” senafas dengan prinisip pertama “Kebangsaan Indonesia”, pokok pikiran kedua “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” senafas dengan prinsip keempat “Kesejahteraan Sosial”, pokok pikiran ketiga “Negara yang berkedaulatan rakyat …”

senafas dengan Mufakat atau Demokrasi, pokok pikiran keempat “Negara berdasar atas

Ketuhanan” senafas dengan prinisp kelima “Ketuhanan”, dan pokok pikiran “Negara yang berdasar atas hidup kekeluargaan …” atau “ … dasar kemanusiaan yang adil dan

beradab” senafas dengan prinsip kedua ”Internasionalisme atau Perikemanusiaan”.

Ide negara integralistik sejatinya memang bebar-benar termaktub keberadaannya

dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, khususnya dalam Mukaddimahnya tersebut.

Ide negara integralistik menghendaki prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI), sebagaimana Nasionalisme Indonesia yang dinyatakan pada mukaddimah dari

UUD 1945 ini ialah kesatuan (unitarisme) dan bukanlah

nasionalisme-federalisme.32 Dalam teori tata negara, negara kesatuan atau negara unitaris adalah negara

yang tidak tersusun dari beberapa negara (federalis). Wewenang bersifat tunggal dipegang

oleh pemerintah pusat, dan tidak ada badan lain yang berdaulat. Kewenangan pemerintah

pusat seperti itu dapat didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk desentralisasi.

Alasan founding fathers memilih negara kesatuan lebih bersifat ideologis ketimbang teknis administratif. Mohammad Yamin, misalnya, menganggap negara serikat sebagai negara

yang tidak kuat dan mengandung aroma negara kapitalis.33

… federalisme itu akan memberi bahan untuk melepaskan perasaan provincialisme, yang boleh timbul oleh pembentukan negara serikat itu. Janganlah kita member persemaian pada benih-benih jelek yang telah ada, melainkan mestilah kita bunuh dalam gerakan kita, karena provincialisme, kampongisme, insularisme atau rasa kepulauan tidak ada lagi tempatnya di negeri kita.34

Pernyataan Yamin memperlihatkan dengan jelas bahwa bentuk negara federal atau

serikat bertolak belakang dengan semangat nasionalisme atau persatuan Indonesia.

Dengan demikian, negara kesatuan lebih bermakna ideologis. Makna negara kesatuan

disejajarkan dengan gagasan satu bangsa, satu tanah, dan satu tumpah darah Indonesia.

32 Muh Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 114.

33As’ad Said Ali, Negara Pancasila “Jalan Kemaslahatan Berbangsa”, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009),

hlm. 110.

(22)

Itu berarti, secara ideologis mewujudkan “negara kesatuan” sama dengan mewujudkan

satu kesatuan sebagai satu bangsa dan satu negara.35

Meskipun Pancasila dinyatakan hidup dan menjiwai di tiga konstitusi yang pernah

berlaku di Indonesia, yakni UUD NRI Tahun 1945, Konstitsi RIS Tahun 1949, dan

UUDS Tahun 1950. Mengenai hal tersebut, makna Persatuan Indonesia dalam

Konstitusi RIS Tahun 1949 memang benar-benar mengalami pergeseran makna yang

semula bersandar kepada ide negara integralistik yang berwatak negara persatuan

berbentuk Kesatuan berubah menjadi negara persatuan yang berbentuk Federal. Dengan

demikian, maka ide negara integralistik memang tidak pernah hidup dan menjiwai dalam

Konstitusi RIS Tahun 1949. Ide negara integralistik sejatinya hidup dan menjiwai

hanyalah kepada kedua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni UUD NRI

Tahun 1945 dan UUDS Tahun 1950. Pancasila yang pernah hidup di ketiga Konstitusi

tersebut yang tidak mengusung makna yang sama dari Persatuan Indonesia, maka

mempersepsikan bahwa nilai-nilai filsafat negara yang dinamakan Pancasila mengenai

keberadaannya di alinea ke-4 dalam Muqaddimah UUD NRI Tahun 1945 dan UUDS

Tahun 950, serta aline ke-3 Konstitusi RIS Tahun 1949 merupakan Pancasila yang

diartikan dalam pengertian sempit. Pancasila yang diartikan dalam pengertian luas, sudah

seharusnya mengandung pokok-pokok pikiran yang bersandar kepada ide negara

integralistik yang menjiwai dari keseluruhan isi (alinea 1-4) dari Pembukaan UUD NRI

Tahun 1945 dan UUDS Tahun 1950. Khususnya UUD NRI Tahun 1945 memang

bersandar kepada ide negara integralistik (Pancasila dalam pengertian luas), adapun

pengejawantahan dari hal ini didukung oleh keberadaan dari pasal 37 ayat (5) UUD NRI

Tahun 1945 yang berbunyi “Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Artinya selain Pancasila dalam pengertian

sempit yang menjadi filsafat negara Indonesia sebagai norma fundamental negara yang

termaktub dalam aline ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan hal yang

sangat mustahil untuk dilakukan perubahan, maka merefleksikan kepada apa yang

termaktub dalam pasal 37 ayat (5) tersebut maka dapatlah dipersamakan perlakuannya

dengan Pancasila untuk tidak dapat dilakukan perubahan. Hal ini terjadi demikian, karena

(23)

ide negara integralistik memang menjiwai Pancasila dalam arti sempit maupun dalam arti

luas di Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sehingga ide negara integralistik yang

berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia memang sejatinya menjiwai Pembukaan

UUD NRI Tahun 1945.

D. Kesimpulan

1. Pandangan negara integralistik merupakan aliran pikiran negara (staatsidee) yang menganggap organisme negara sebagai perwujudan kehendak universal kehidupan

berbangsa dan bernegara. Pandangan negara integralistik yang berakar dari filsafat

monisme-panteisme (Barat), dalam perspektif timur (Indonesia) dikenal sejalan

dengan konsepsi Manunggaling Kawula-Gusti yang berakar dari filsafat kebatinan Jawa. 2. Pemahaman mengenai pandangan negara integralistik secara negatif cenderung

totaliter, bahkan chauvinistik dengan mengobarkan semangat nasionalisme ke dalam

belaka dan mengabaikan rasa solidaritas antar bangsa. Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung ide negara integralistik

yang berbeda dengan pandangan negara integralistik daripada Nasional Sosialis

(NAZI), justru sebaliknya ide negara integralistik Indonesia mengenal adanya hakikat

kemanusiaan yang sejalan dengan Pancasila.

3. Ide negara integralistik Indonesia yang berpaham Persatuan dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi jiwa

daripada konsepsi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

E. Saran

1. Ide negara integralistik bagi seluruh elemen bangsa dan negara Indonesia, hendaknya

difahami dan dikembangkan secara positif dalam konteks kehidupan berbangsa dan

bernegara Indonesia, hal ini penting dilakukan secara konsekuen karena ide negara

integralistik Pancasilais merupakan sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan

berbangsa dan bernegara Indonesia.

2. Mistifikasi terhadap mitos kesakralan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), hendaknya bagi

penyelenggara negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) dalam menghadapi masa

(24)

irasional terhadap mitos kesakralan UUD NRI Tahun 1945 menjadi pemikiran yang

rasional-ilmiah-kritis dilakukan melalui penafisran terhadap isi daripada Pembukaan

UUD NRI Tahun 1945 itu sendiri.

3. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi seluruh elemen bangsa,

khususnya penyelenggara negara bukan lagi semata dimaknai sebagai bentuk

persatuan semu yang berupa ideologis semata, akan tetapi perlu menekankan kembali

pentingnya pengejawantahan daripada makna hakikat Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI), yakni berupaya mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf Hitler, Mein Kampf “Volume I”, (Yogyakarta: Narasi, 2011).

As’ad Said Ali, Negara Pancasila “Jalan Kemaslahatan Berbangsa”, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009).

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). G.W.F. Hegel, The Philosophy of Right, (London: Encyclopedia Brittanica, 1986).

Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliterisme “Jilid II Imperialisme”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007).

J.J. Von Schmid, Pemikiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad Ke-19, (Jakarta: PT Pembangunan Djakarta, 1961).

Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994).

Moertono Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau “Studi

tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1985).

Muh Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1952). Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010).

RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, 2004).

Ryaas Rasyid dkk, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Simuh, Sufisme Jawa “Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa”, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011).

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya “Cetakan

Pertama”, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002).

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).

Internet

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang

Oleh karena itu, sosialisasi empat pilar Bangsa yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Dasar Negara

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;.  Amandemen UUD 1945 mengatur lebih lengkap hak

Perjuangan rakyat Indonesia berhasil memerdekakan rakyat Indonesia dari penjajahan, menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka dan berdaulat, dengan

Kedudukan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang

Penjelasan Umum RUU Pornografi menggambarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Mata kuliah Kewarganegaraan adalah pendidikan yang mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ne- gara Kesatuan Republik Indonesia NKRI dan Bhinneka

“Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih” Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 2009