• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Penggunaan Senjata Kimia Oleh Suriah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Penggunaan Senjata Kimia Oleh Suriah"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LARANGAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA DALAM KONFLIK BERSENJATA

A. Pengaturan Cara Perang Sebagai Bagian dari Hukum Humaniter

Hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik yang belum

banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Hukum humaniter merupakan nama baru

yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang (Laws of War).24 Hukum humaniter

internasional adalah bagian dari hukum internasional yang merupakan kumpulan

peraturan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar negara. Hukum humaniter

internasional berlaku terhadap konflik bersenjata.25

Hukum Humaniter oleh Haryomataram dibagi menjadi 2 (dua) aturan pokok,

yaitu:26

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk

berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws);

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan

penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).

24 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 1.

25 “International humanitarian law is part of international law, which is the body of rules

governing relations between States… International humanitarian law applies to armed conflicts”

seperti yang termuat di dalam “What Is International Humanitarian Law?” pada 5 Januari 2014, pukul 10.00 WIB.

(2)

Hukum Humaniter oleh Mochtar Kusumaatmadja mencakup cakupan yang

lebih luas daripada cakupan yang dikemukakan oleh Haryomataram. Adapun aturan

pokok yang dikemukakan oleh Haryomataram hanyalah merupakan bagian daripada

kelompok “Jus in bello” yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja.

Pembagian hukum humaniter menurut Mochtar Kusumaatmadja diantaranya, sebagai

berikut:27

1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).

Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi

korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

Berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh kedua sarjana di atas, walaupun

pembagian yang dikemukakan tersebut berbeda, namun pada dasarnya mereka

sependapat bahwa hukum humaniter terdiri dari The Hague Laws dan The Geneva

Laws sebagai sumber hukum utamanya28

Konvensi Den Haag 1907 (dikenal juga dengan Hukum Den Haag)

merupakan konvensi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian Pertama di Den , walaupun masih ada sumber-sumber

hukum humaniter internasional lainnya.

27 Ibid.. hal. 3

28 Terlihat pula dalam kalimat “Present-day international humanitarian law has grown from

two main sources: the Law of Geneva, i.e. a body of rules which protect victims of war, and the Law of the Hague, i.e. those provisions which affect the conduct of hostilities.” yang termuat dalam “Law of Geneva and the law of the Hague”, yang dapat diakses di

(3)

Haag pada tahun 1899, yang disempurnakan dalam Konferensi Kedua yang

dilaksanakan pada tahun 1907. Adapun hukum Den Haag ini terutama mengatur

tentang alat dan cara berperang (means and methode of warfare).29

Berbeda halnya dengan Hukum Den Haag yang terdiri dari 13 (tiga belas)

konvensi dan 1 (satu) deklarasi, pada Hukum Jenewa, hanya terdapat 4 (empat)

konvensi pokok beserta 3 (tiga) protocol tambahan. Adapun keempat Konvensi

Jenewa 1949 diantaranya adalah :

Konferensi Den

Haag tahun 1907 menghasilkan 13 (tiga belas) konvensi dan 1 (satu) deklarasi yang

akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

30

1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and

Sick in Armed Forces in the Field yang telah direvisi menjadi Geneva

Convention (I) on Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, 1949;

2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded,

Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea yang telah direvisi

menjadi Geneva Convention (II) on Wounded, Sick and Shipwrecked of

Armed Forces at Sea, 1949;

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War yang telah

direvisi menjadi Geneva Convention (III) on Prisoners of War, 1949;

29 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 46.

30

Istilah lama diambil dari buku karangan Arlina Permanasari, dkk, Pengantar Hukum

Humaniter, Op. Cit., hal. 32, sedangkan istilah baru yang digunakan sekarang (setelah direvisi)

(4)

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of

War yang tela direvisi menjadi Geneva Convention (IV) on Civilians, 1949.

Adapun keempat konvensi Jenewa 1949 tersebut di atas berkaitan dengan : (1)

pasukan bersenjata yang terluka atau sakit di dalam situs peperangan; (2) pasukan

bersenjata yang terluka, sakit, atau terdampar di laut; (3) tawanan perang; (4)

penduduk sipil.

Ketiga Protokol Tambahan daripada Konvensi Jenewa 1949, diantaranya

adalah sebagai berikut:31

1. Protocol I (1977) relating to the Protection of Victims of International Armed

Conflicts.

2. Protocol II (1977) relating to the Protection of Victims of Non-International

Armed Conflicts.

3. Protocol III (2005) relating to the Adoption of an Additional Distinctive

Emblem.

Sedangkan ketiga protokol tambahan ini lebih menekankan lagi terhadap

perlindungan yang sepantasnya diberikan. Adapun ketiga protokol tambahan ini

berkaitan dengan : (1) perlindungan terhadap korban atas konflik bersenjata

internasional; (2) perlindungan terhadap korban atas konflik bersenjata

non-internasional; (3) penambahan lambang-lambang pembeda pada saat konflik

bersenjata.

31 “Geneva Conventions, dimuat dalam

(5)

Berdasarkan keempat konvensi dan ketiga protokol tambahan Konvensi

Jenewa 1949, dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas dalam hal

yang diatur dalam kedua sumber utama hukum humaniter ini, yakni Hukum Den

Haag dan Hukum Jenewa. Apabila Hukum Den Haag mengatur mengenai tentang

alat dan cara berperang, maka Hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan

terhadap korban perang.32

B. Tata Cara Perang Menurut Konvensi Den Haag Sebagai Bagian dari Hukum Humaniter

Hukum humaniter, khususnya sumber hukum humaniter, apabila dikaitkan

dengan penelitian ini maka akan lebih difokuskan pada Hukum Den Haag, karena

penelitian ini menitikberatkan pada jenis senjata yang digunakan oleh Suriah di

dalam konflik bersenjata yang mana termasuk dalam kajian Hukum Den Haag.

Seperti yang telah dinyatakan pada sub-bab sebelumnya, Konvensi Den Haag

adalah salah satu sumber utama daripada Hukum Humaniter. Konvensi Den Haag ini

dihasilkan dari Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag pada tahun 1899, yang

disempurnakan dalam Konferensi Kedua yang dilaksanakan pada tahun 1907 33

32 Dapat terlihat pada “The Law of Geneva, i.e. a body of rules which protect victims of war”

yang termuat pada “What Is International Humanitarian Law?”

.

pada 5 Januari 2014, pukul 11.55 WIB.

(6)

Konferensi Den Haag tahun 1907 menghasilkan 13 (tiga belas) konvensi dan

1 (satu) deklarasi, diantaranya sebagai berikut:34

1. Convention I for the Pacific Settlement of Disputes;

2. Convention II Respecting the Limitations of the Employment of Force for the Recovery of Contract Debts;

3. Convention III Relative to the Opening of Hostilities;

4. Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land;

5. Convention V Respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in case of War on Land;

6. Convention VI Relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of Hostilities;

7. Convention VII Relating to the Convention of Merchant Ships into War Ships; 8. Convention VIII Relating to the Laying of Automatic Submarine Contact

Mines;

9. Convention IX Concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War; 10.Convention X for the Adoption to Maritime Warfare of the Principles of the

Geneva Convention;

11.Convention XI Relative to Certain Restrictions with Regard to the Exercise of the Right of Capture in Naval War;

12.Convention XII Relative to the Creation of an International Prize Court; 13.Convention XIII Concertning the Rights and Duties of Neutral Powers in

Naval War.

14.Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Balloons.

Convention I for the Pacific Settlement of Disputes mengatur mengenai tata

cara penyelesaian damai suatu persengketaan internasional. Adapun konvensi ini

merupakan hasil daripada Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag tahun 1899.

Konvensi ini diterima dan diperluas oleh Konvensi Den Haag 1907. Konvensi ini

menghendaki terbentuknya Permanent Court of Arbitration (Pengadilan Tetap

(7)

Arbitrase)35. Konvensi yang mendasari pembentukan Permanent Court of Arbitration hingga saat ini telah diratifikasi oleh 115 negara, baik yang meratifikasi salah satu

ataupun kedua konvensi.36

“…Drago Doctrine, which was incorporated into the Hague Convention II of

1907 Respecting the Limitations of the Employment of Force for the Recovery of

Contract Debts (Drago-Porter Convention).Under the Drago-Porter Convention,

states agreed not to use armed force for the recovery of state debts unless there was a

refusal to submit the claim to arbitration.”

Konvensi yang dimaksud ialah konvensi Den Haag tahun

1899 dan 1907.

Convention II Respecting the Limitations of the Employment of Force for the

Recovery of Contract Debts menekankan bahwa dalam hal pelunasan hutang,

kekerasan bersenjata tidak dapat dilaksanakan oleh suatu negara terhadap negara

lainnya, kecuali dalam hal terdapat negara yang menolak untuk menyerahkan klaim

ke lembaga arbitrase, seperti yang terlihat pada:

37

Convention III Relative to the Opening of Hostilities mengatur tentang tata

cara dimulainya suatu perang. Perang yang dimaksud ialah perang dalam arti hukum,

yakni apabila perang itu dimulai sesuai dengan cara yang ditentukan dalam konvensi

35 Permanent Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1899 dan berkedudukan di Den Haag,

Belanda. Permanent Court of Arbitration terbentuk sebagai salah satu kebijakan dari Konferensi Perdamaian Pertama Den Haag tahun 1899, yang menjadikannya institusi tertua berkenaan dengan penyelesaiaan sengketa internasional. Dapat dilihat pada “Permanent Court of Arbitration”, 20.16 WIB.

36

“Member States”, Januari 2014, pukul 20.21 WIB.

37 Andrew Newcombe, Lluís Paradell, Law and Practice of Investment Treaties: Standards of

(8)

ini.38

“The contracting Powers recognize that hostilities between themselves must

not commence without previous and explicit warning, in the form either of a

declaration of war, giving reasons, or of an ultimatum with a conditional declaration

of war.”

Adapun tata cara yang ditentukan dalam konvensi yang dimaksud tersebut

terdapat pada Pasal 1 konvensi yang bersangkutan tersebut, yang berbunyi :

39

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 tersebut, terlihat bahwa telah diakui bahwa

perang tidak akan dimulai tanpa adanya peringatan yang tegas sebelumnya, yang

mana harus dilakukan dalam bentuk deklarasi perang40, memberikan alasan-alasan,

atau suatu ultimatum41

Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land memuat

tentang hukum dan kebiasaan berperang di daratan. Konvensi ini merupakan salah

satu hasil dari Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag 1899, namun mengalami

sedikit perubahan sebelum akhirnya diterima sebagai bagian dari Konvensi Den Haag dengan pernyataan perang dalam hal ultimatum tersebut tidak

dipenuhi.

38

Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 26.

39 Pasal 1 Konvensi III Den Haag 1907

40 Haryomataram menyebutkan bahwa deklarasi perang, sekalipun mengenai hal ini tidak ada

ketentuannya, namun seyogyanya disampaikan secara tertulis karena pentingnya arti deklarasi perang tersebut. Dengan adanya deklarasi ini, maka kedua belah pihak berada dalam keadaan perang. Adanya keadaan perang ini harus segera diberitahukan kepada negara-negara netral. Haryomataram, Bunga

Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Penerbit Bumi Nusantara Jaya Jakarta, Jakarta, 1988, hal.

36.

41

(9)

1907. Konvensi IV Den Haag 1907 ini hanya memuat 9 Pasal, namun dilengkapi pula

dengan lampiran yang disebut dengan Hague Regulations42

1. Klausula Si Omnes

.

Beberapa pengaturan penting mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat

yang terdapat pada Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations,

diantaranya :

Klausula ini tercermin dari Pasal 2 Konvensi IV Den Haag 1907, yang

berbunyi, “The Provision contained in the regulation referred to in art.1, as

well as in the Present Convention, are only binding between Contracting

Powers, and only if all the Belligerents are parties to the Conventions”.

Adapun dari ketentuan Pasal 2 tersebut, dapat diketahui bahwa Klausula Si

Omnes ialah suatu klausula yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan

yang ada pada Konvensi IV Den Haag 1907 ataupun Hague Regulations

hanya berlaku jika pihak-pihak yang terlibat dalam perang adalah pihak dari

Konvensi ini. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang bukan merupakan

peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku.43 Namun demikian,

ketentuan yang ada pada Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations

telah dianggap sebagai bagian daripada hukum kebiasaan internasional44

42 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.

43 Ibid., hal 27.

44

Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, salah satu sumber Hukum Internasional adalah kebiasaan internasional (International Customs). Statuta Mahkamah Internasional dapat dilihat pada http://www.icj-cij.org/documents/index.php?p1=4&p2=2&p3=0#CHAPTER_II , diakses pada 25 Januari 2014, pukul 19.38 WIB.

(10)

sehingga dengan demikian, pada dasarnya Konvensi IV Den Haag 1907 dan

Hague Regulations juga mengikat negara-negara bukan peserta konvensi.45

2. Pasal 1 Hague Regulations

Pasal 1 Hague Regulations ini menentukan siapa saja yang termasuk

belligerents46, yaitu tentara. Selain menentukan siapa saja yang termasuk

sebagai belligerents, Pasal ini juga menetapkan syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh kelompok milisi (militia) dan korps sukarela sehingga dapat

dikategorikan sebagai kombatan.47 Adapun syarat-syarat agar kelompok milisi

dan korps sukarela agar disebut sebagai kombatan, diantaranya:48

a. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;

b. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;

c. Membawa senjata secara terbuka

d. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

45 Dapat dilihat pada bagian “The provisions of the two Conventions on land warfare,…are

considered as embodying rules of customary international law. As such they are also binding on States which are not formally parties to them.” yang terdapat pada “Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907.”

2014, pukul 19.40 WIB.

46 Belligerent menurut Kamus Oxford memiliki makna “a nation or person engaged in war

or conflict, as recognized by international law” yang diterjemahkan suatu negara atau orang yang

terlibat dalam perang atau konflik, yang diakui oleh hukum internasional. Dapat dilihat pada 20.10 WIB.

47 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.

(11)

3. Pasal 2 Hague Regulations

Pasal 2 Hague Regulations mengatur mengenai Levee en Masse49 yang

dikategorikan sebagai belligerent. Adapun syarat-syarat agar Levee en Masse

dikategorikan sebagai belligerent, diantaranya :50

a. Penduduk dari wilayah yang belum diduduki;

b. Secara spontan mengangkat senjaga;

c. Tidak ada waktu untuk mengatur diri

d. Membawa senjaga secara terbuka;

e. Mengindahkan hukum perang.

Hal penting yang harus diingat adalah bahwa Levee en Masse berbeda

dengan masyarakat sipil (civilians). Hal yang membedakannya adalah bahwa

Levee en Masse terlibat secara dalam perang atau konflik bersenjata,

sedangkan civilians tidak. Hal ini akan mempengaruhi perlakuan yang akan

diberikan kepada mereka dalam hal mereka jatuh ke tangan musuh.

4. Pasal 3 Hague Regulations

Pasal 3 Hague Regulations menetapkan menyatakan bahwa pasukan

bersenjata dari belligerent dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan.

Dalam hal mereka tertangkap oleh musuh, maka mereka mempunyai hak

49 Levee en Masse oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam websitenya

dijelaskan sebagai “inhabitants of a country which has not yet been occupied, on the approach of the

enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having time to form themselves into an armed force. Such persons are considered combatants if they carry arms openly and respect the laws and customs of war”. “Definition of Civilians”,

(12)

untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Pasal 3 Hague Regulations

berbunyi “The armed forces of the belligerent parties may consist of

combatants and non-combatants. In the case of capture by the enemy, both

have a right to be treated as prisoners of war.” Perlu dicatat bahwa

non-kombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 bukanlah penduduk sipil, tetapi

bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur.51

5. Pasal-Pasal Hague Regulations yang mengatur cara dan alat berperang

Pasal yang berkenaan dengan cara berperang terdapat pada Pasal 22 Hague

Regulations yang berbunyi “The right of belligerents to adopt means of

injuring the enemy is not unlimited”52, yang memiliki makna bahwa hak pihak yang terlibat perang untuk melukai musuh tidaklah tidak terbatas. Prinsip ini

ditegaskan kembali dalam Resolusi XXVIII pada Konferensi Internasional

Palang Merah ke XX di Wina (1965); dan juga dalam Resolusi Majelis Umum

PBB No. 2444 (XXIII).53

51 Ibid.

52 “Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :

Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,

pukul 18.53 WIB.

53 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 63 yang mengutip

(13)

Pasal 23 Hague Regulations mengatur mengenai alat berperang. Adapun Pasal

23 Hague Regulations berbunyi :54

(a) To employ poison or poisoned weapons;

In addition to the prohibitions provided by special Conventions, it is especially forbidden

(b) To kill or wound treacherously individuals belonging to the hostile nation or army;

(c) To kill or wound an enemy who, having laid down his arms, or having no longer means of defence, has surrendered at discretion;

(d) To declare that no quarter will be given;

(e) To employ arms, projectiles, or material calculated to cause unnecessary suffering;

(f) To make improper use of a flag of truce, of the national flag or of the military insignia and uniform of the enemy, as well as the distinctive badges of the Geneva Convention

(g) To destroy or seize the enemy’s property, unless such destruction or seizure be imperatively demanded by the necessities of war;

(h) To declare abolished, suspended, or inadmissible in a court of law the rights and actions of the nationals of the hostile party. A belligerent is likewise forbidden to compel the nationals of the hostile party to take part in the operations of war directed against their own country, even if they were in the belligerent’s service before the commencement of the war.

Pasal 23 Hague Regulations tersebut khususnya melarang: (a) menggunakan

racun atau senjata beracun; (b) membunuh atau melukai individu setia yang

merupakan bagian dari negara musuh atau pasukan musuh; (c) membunuh atau

melukai musuh yang telah menyerah; (d) mendeklarasikan untuk tidak akan

mengampuni; (e) menggunakan senjata, proyektil, ataupun bahan yang dikalkulasikan

menimbulkan penderitaan yang tidak perlu; (f) penggunaan yang tidak perlu atas

54

“Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :

Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,

(14)

bendera perdamaian yang digunakan dalam genjatan senjata, baik bendera

kebangsaan atau lencana dan seragam militer musuh, termasuk pula tanda-tanba

pembeda yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa; (g) Memusnahkan atau

merampas harta musuh, terkecuali apabila pemusnahan atau perampasan demikian

sangat diperlukan dalam kepentingan perang; (h) Mendeklarasikan penghapusan,

penundaan, atau tidak dapat diterimanya hak dan tindakan daripada warga negara

pihak musuh di dalam pengadilan. Pihak yang terlibat perang dilarang untuk

memaksa warga negara daripada negara musuh untuk mengambil bagian di dalam

perang yang ditujukan untuk melawan negaranya sendiri, termasuk apabila mereka

telah merupakan bagian dari tentara sebelum dimulainya perang.

Convention V Respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and

Persons in case of War on Land mengatur mengenai penghormatan terhadap hak dan

kewajiban daripada Neutral Powers (Negara Netral) dan Neutral Person (Orang

Netral).

Negara Netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral

dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung.55

55 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 29.

J.G.Starke dalam bukunya yang

berjudul “Introduction to International Law” menyatakan bahwa hak dan kewajiban

(15)

perang. Adapun kewajiban-kewajiban dari negara-negara, baik negara netral maupun

negara peserta perang, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:56

1. Duties of abstention;

2. Duties of prevention;

3. Duties of acquiescence.

Duties of abstention (kewajiban untuk tidak berpartisipasi) menurut J.G.Starke

apabila dilihat dari sudut pandang negara netral, maka suatu negara yang menyatakan

diri sebagai negara netral tersebut tidak boleh memberikan bantuan, baik secara

langsung maupun tidak langsung, untuk pihak manapun yang terlibat perang. Sebagai

contohnya, negara netral tidak boleh menyediakan pasukan, menjadi penjamin dalam

pinjaman dana, ataupun menyediakan tempat berteduh untuk pasukan bersenjata

negara yang terlibat perang.57

Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang tersebut, maka

duties of abstention memiliki makna bahwa negara yang terlibat perang tidak boleh

melakukan tindakan menyerupai perang di dalam wilayah teritorial negara netral atau

memasuki wilayah teritorial perairan ataupun udara negara netral dengan kekerasan.

Suatu negara yang terlibat perang juga tidak mencampuri hubungan yang sah antara

negara netral dengan musuh, ataupun menggunakan wilayah negara netral, termasuk

56 J.G.Starke, Introduction to International Law, Ninth Edition, Butterworths, London, 1984,

hal. 555.

57 Dijelaskan di dalam bukunya bahwa “The neutral state must give no assistance–direct or

(16)

di dalamnya perairan negara netral, sebagai markas untuk operasi perang, ataupun

sebagai titik awal suatu ekspedisi.58

Duties of Prevention (kewajiban untuk mencegah) menurut J.G.Starke apabila

dilihat dari sudut pandang negara netral maka memiliki makna bahwa negara netral

berkewajiban untuk mencegah adanya aktivitas-aktivitas seperti pendaftaran pasukan

perang untuk negara yang terlibat perang, persiapan-persiapan untuk kekerasan oleh

pihak manapun yang terlibat perang, atau kegiatan yang menyerupai perang di

teritorial ataupun perairan territorialnya terjadi di wilayah teritorial ataupun yuridsiksi

mereka.59

Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang, maka Duties of

Prevention ini menyatakan bahwa negara yang terlibat perang terikat untuk mencegah

perlakuan buruk terhadap utusan negara netral atau subjek-subjek negara netral atau

kerusakan terhadap properti negara netral di atas wilayah musuh yang diduduki oleh

negara netral tersebut.60

Duty to Acquiescence (kewajiban untuk menyetujui tanpa protes) menurut

J.G.Starke dalam bukunya, dilihat dari sudut pandang negara netral memiliki makna

bahwa negara netral harus menyetujui tanpa protes mengenai perdagangan yang

58 “A belligerent state must not commit warlike acts on neutral territory or enter into

hostilities in neutral waters or in the airspace above neutral territory, nor may it interfere with the legitimate intercourse of neutral with the enemy, nor may it use neutral territory or waters as a base for belligerent operations, or as a starting point for an expedition.” Ibid.

59 “The neutral state is under a duty to prevent within its territory or jurisdiction such

activities as the enlistment of troops for belligerent armies, preparations for hostilities by any belligerent, or warlike measures in its territory or territorial waters.” Ibid.

60 “A belligerent state is duty to bound to prevent the ill-treatment of neutral envoys or

(17)

dilakukan oleh warga negara dari negara yang terlibat perang apabila perdagangan

tersebut sepatutnya dibenarkan oleh hukum perang.61

Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang, maka Duty of

Acquiescence memiliki makna bahwa negara yang terlibat perang harus misalnya

menyetujui penawanan pasukan bersenjata oleh negara netral misalnya seperti

berlindung di teritorial negara netral, atau dalam pemberian suaka sementara oleh

pelabuhan negara netral terhadap kapal perang lawan agar perbaikan-perbaikan

penting dapat dilaksankan.

62

J.G.Starke di dalam bukunya menambahkan bahwa dalam hal negara yang

terlibat perang ataupun negara netral melanggar kewajiban manapun yang mana

pelanggaran tersebut mengakibatkan kerusakan terhadap pihak lainnya, maka telah

menjadi suatu general liability63 bagi negara tersebut untuk ganti rugi terhadap

kerusakan yang diakibatkan dan negara tersebut diwajibkan untuk menyediakan

sejumlah uang untuk kepuasan negara tersebut.64

61

“The neutral state must acquiesce in the acts of belligerent states with respect to the

commerce of its nationals if they are duly warranted by the laws of war.” Ibid.

62 “A belligerent state must, for instance, acquiesce in internment by a neutral state of such

members of its armed forces as take refuge in neutral territory, or in the granting of temporary asylum by neutral ports to hostile warships so that necessary repairs may be effected.” Ibid.

63 Pengertian daripada “general liability” ialah suatu istilah untuk bertindak atau tidak

bertindak layaknya seorang yang bijaksana. Pertanggungjawaban tersebut dapat diberikan terhadap luka-luka, kerusakan terhadap benda, ataupun kerugian keuangan. (The legal exposure under common

law, Statute or Civil law, to act as a reasonably prudent person would, or would not, under the circumstances. Liability may be for bodily injury, property damage, or monetary loss. The standard of care is lower than that of a professional). “Glossary of Commonly Used Insurance Terms”, diakses di

pukul 19.20 WIB.

64 “If a belligerent or a neutral state violates any of such duties and the breach results in

(18)

Pengaturan Konvensi V Den Haag 1907 berkaitan dengan penyerangan

terhadap negara netral dapat ditemukan pada Pasal 10 Konvensi ini. Pasal 10

Konvensi V Den Haag 1907 berbunyi “The fact of a Neutral Power resisting, even by

force; attempts to violate its neutrality cannot be regarded as a hostile act”65.

Ketentuan Pasal tersebut memiliki makna bahwa perlawanan yang dilakukan oleh

negara netral, walaupun dengan kekerasan bersenjata; mencoba untuk melanggar sifat

kenetralan negara tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu bentuk permusuhan.

Hal ini juga dijelaskan oleh Arlina Permanasari, dkk., di dalam bukunya “Pengantar

Hukum Humaniter” diantaranya bahwa apabila dalam suatu peperangan negara netral

mendapatkan suatu serangan, maka bila negara netral tersebut melakukan

upaya-upaya pembalasan yang menggunakan kekuatan bersenjata, maka tindakan tersebut

tidak dapat disebut atau dikategorikan sebagai suatu tindakan permusuhan.66

Neutral Person (Orang Netral) adalah warga negara dari negara yang tidak

mengambil bagian atau terlibat dalam perang dianggap sebagai orang netral, seperti

yang dinyatakan dalam Pasal 16 Konvensi V Den Haag 1907, yakni “The nationals of

a state which is not taking part in the war are considered as neutrals.”

67

65

Pasal 10 diakses di

19.30 WIB.

66 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.

67

Pasal 16 diakses di

(19)

Pasal 17 Konvensi V Den Haag 1907 berbunyi diantaranya sebagai berikut:68

a. If he commits hostile acts against a belligerent; A neutral cannot avail himself of his neutrality

b. If he commits acts in favor of a belligerent, particularly if he voluntarily enlists in the ranks of the armed force of one of the parties.

In such a case, a neutral shall not be more severly treated by the belligerent as against whom he has abandoned his neutrality than a national of the other belligerent State could be for the same act.

Berdasarkan Pasal 17 tersebut di atas maka dikatakan bahwa orang netral

tidak boleh mengambil keuntungan atas status netral yang dimilikinya, dengan: a.

Apabila dia melakukan tindakan permusuhan terhadap pihak yang terlibat perang; b.

Apabila dia melakukan perbuatan yang mendukung suatu pihak yang terlibat perang,

khususnya apabila dia dengan sukarela mendaftarkan dirinya di jajaran pasukan

bersenjata dari salah satu pihak. Dalam kasus yang demikian, negara yang terlibat

perang tersebut tidak boleh memberikan orang netral perlakuan yang lebih kejam

daripada perlakuan yang diberikan kepada orang yang berasal dari negara musuh.

Convention VI Relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the

Outbreak of Hostilities terdiri dari 11 Pasal yang mengatur mengenai status daripada

kapal dagang69

68

pihak lawan ketika peperangan terjadi. Sebelum terbentuknya

Pasal 16 diakses di

http://www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/200-220018?OpenDocument pada 27 Januari 2014 pukul 20.06 WIB.

69 Oleh Pasal 5 Konvensi VI Den Haag 1907 tersebut diatur bahwa kapal dagang yang

dimaksud bukanlah kapal dagang yang dirancang sedemikian rupa guna diubah fungsinya menjadi kapal perang. Adapun bunyi Pasal 5 tersebut adalah “The present Convention does not affect merchant

(20)

konvensi ini, tidak ada pengaturan yang mencegah negara yang terlibat perang untuk

menyita kapal dagang negara musuh yang sedang berada di pelabuhan ataupun di laut

lepas. 70 Sama seperti konvensi lainnya, Konvensi VI Den Haag 1907 juga

menyatakan bahwa semua ketentuan yang ada pada Konvensi tersebut tidak berlaku

kepada pihak-pihak selain daripada negara yang telah mengikatkan dirinya pada

Konvensi ini, dan hanya ketika semua pihak yang terlibat perang juga merupakan

anggota daripada Konvensi ini.71 Namun, oleh konvensi ini, negara yang tidak

menandatangani konvensi juga dapat mematuhi atau tunduk pada konvensi ini dengan

cara-cara yang telah diatur dalam Pasal 8 Konvensi ini.72

Convention VII Relating to the Convention of Merchant Ships into War Ship

mengatur mengenai kapal dagang yang diubah fungsinya menjadi kapal perang. Oleh

Pasal 5 Konvensi VI Den Haag 1907 telah terlihat bahwa ada kapal dagang yang

dirancang sedemikian rupa untuk diubah fungsinya menjadi kapal perang. Adapun

1907”, www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/205-230006?OpenDocument, diakses pada 29 Januari

2014 pukul 15.54 WIB.

70 “Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of

Hostilites. The Hague, 18 October 1907”,

rule of international law existed before the adoption of the present Convention preventing belligerent States from confiscating enemy merchantmen in their harbor or on the high seas at the outbreak of a war”

71 Pasal 6 Konvensi VI Den Haag 1907 berbunyi “The provisions of the present Convention

do not apply except between Contracting Powers, and then only if all the belligerents are Parties to the Convention”, “Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of Hostilites. The Hague, 18 October 1907”,

www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/205-230006?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 15.58 WIB.

72 Ketentuan yang membenarkan negara yang tidak menandatangani konvensi untuk turut

tunduk pada konvensi ini terlihat pada “Non-Signatory Powers may adhere to the present

Convention…”, “Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of Hostilites. The Hague, 18 October 1907”,

(21)

kapal dagang yang demikian diatur oleh Konvensi VII Den Haag 1907. Konvensi ini

mengharuskan awak kapalnya untuk tuntuk pada disiplin militer. 73 Dalam

pengoperasiannya, kapal dagang yang diubah fungsinya menjadi kapal perang harus

tunduk pada hukum dan kebiasaan perang74, dan apabila suatu kapal dagang telah

diubah fungsinya menjadi kapal perang, maka pihak tersebut harus dengan segera

mengumumkan perubahan status kapal tersebut.75

Convention IX Concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War

terdiri dari 13 Pasal yang mengatur mengenai penyerangan yang dilakukan oleh

angkatan laut di dalam masa peperangan. Pasal 1 Konvensi IX Den Haag 1907 ini

mengatur mengenai tempat-tempat yang dilarang untuk diserang diantaranya meliputi

pelabuhan, kota, desa, kediaman, atau bangunan yang tidak dilindungi.

Convention VIII Relative to the Laying of Automatic Submarine Contact

Mines memiliki 13 Pasal yang mengatur tentang pemasangan ranjau dan torpedo.

76

73 Pasal 4 Konvensi VII Den Haag 1907 berbunyi “The crew must be subject to military

discipline.”, “Convention (VII) relating to the Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The Hague, 18 October 1907

Namun,

pada 29 Januari 2014 pukul 16.20 WIB.

74 Pasal 5 Konvensi VII Den Haag 1907 berbunyi “Every merchant ship converted into a

war-ship must observe in its operations the laws and customs of war”, “Convention (VII) relating to the Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The Hague, 18 October 1907”

16.23 WIB.

75 Pasal 6 Konvensi VII Den Haag 1907 berbunyi “A belligerent who converts a merchant

ship into a war-ship must, as soon as possible, announce such conversion ini the list of war-ships”,

“Convention (VII) relating to the Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The Hague, 18

October 1907”

Januari 2014 pukul 16.28 WIB.

76 Tercermin dari ketentuan Pasal 1 Konvensi IX Den Haag 1907 yang berbunyi “The

bombardment by naval forces of undefended ports, towns, villages, dwellings, or buildings is forbidden…”, “Convention (IX) concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War. The Hague, 18 October 1907”,

(22)

oleh Pasal 2 Konvensi tersebut, diperbolehkan suatu penyerangan terhadap objek

militer, termasuk yang terdapat di kota yang tidak dilindungi sekalipun. Aturan yang

demikian akhirnya berlaku pula terhadap peperangan di udara.77

Convention X for the Adaptation to Maritime Warfare of the Principles of the

Geneva Convention (of 6 July 1906) mengatur mengenai perubahan atas pengaturan

mengenai perang di laut yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 6 Juli 1906. Konvensi

ini memperbaharui Konvensi (III) 1899 yang mencerminkan perubahan yang telah

dilakukan terhadap Konvensi Jenewa 1864. Konvensi X Den Haag 1907 ini

diratifikasi oleh semua negara-negara besar kecuali Inggris Raya.78

Convention XII Relative to the Establishment of an International Prize Court

mengatur mengenai pembentukan International Prize Court.

Convention XI Relative to Certain Restrictions with regard to the Exercise of

the Right of Capture in Naval War mengatur mengenai batasan-batasan terkait

pelaksanaan daripada hak penangkapan ketika berperang di laut.

79

77

Dapat dilihat dari “Convention (IX) concerning Bombardment by Naval Forces in Time of

War. The Hague, 18 October 1907”, Konvensi XII Den

bombardment by naval forces of military objectives in undefended towns. This new rule eventually became applicatble in air warfare, too.”

78 “Hague Conventions of 1899 and 1907”, yang dapat diakses di

en.wikipedia.org/wiki/Hague_Conventions_of_1899_and_1907, diakses pada tanggal 29 Januari 2014 pukul 17.10 WIB. Tercermin dari “Thie convention updated Convention (III) of 1899 to reflect the

amendments that had been made to the 1864 Geneva Convention. Convention (X) was ratified by all major states except the United Kingdom.”

79 International Prize Court ialah suatu pengadilan internasional yang berfungsi untuk

(23)

Haag 1907 ini kemudian diubah dengan protokol tambahan yang diberi nama

Additional Protocol to the Convention Relative to the Creation of an Internaional

Prize Court pada 18 Oktober 1910. Namun, baik Konvensi XII Den Haag 1907

maupun Protokol Tambahannya tidak pernah berlaku karena hanya Nikaragua yang

meratifikasi. Sebagai hasilnya, International Prize Court pun tidak pernah

terbentuk.80

Convention XIII Concerning the Rights and Duties of Neutral Powers in

Naval War terdiri dari 33 Pasal yang mengatur mengenai hak dan kewajiban negara

netral berkaitan dengan perang di laut. Seperti yang telah diatur di dalam Konvensi V

Den Haag 1907 yang berkenaan dengan hak dan kewajiban negara maupun orang

netral, Konvensi XIII Den Haag 1907 ini menegaskan kembali bahwa kedaulatan

daripada negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya (wilayah darat),

namun juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa

tidak boleh (dilarang) melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang

dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah

tersebut.81

Prize ialah suatu istilah yang digunakan dalam hukum laut yang mengarah kepada peralatan,

kendaraan, kapal, dan muatan yang tertangkap selama konflik bersenjata (prize is a term used in

admiralty law to refer to equipment, vehicles, vessels, and cargo captured during armed conflict),

“Prize (law)”, en.wikipedia.org/wiki/Prize_(law), diakses pada 29 Januari 2014 pukul 17.45 WIB.

80 “International Prize Court”, en.wikipedia.org/wiki/International_Prize_Court, diakses pada

29 Januari 2014 pukul 17.30 WIB.

81 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 31.

Hal ini tercermin pada Pasal 1 Konvensi XIII Den Haag 1907 yang

(24)

and to abstain, in neutral territory or neutral waters, from any act which would, if

knowingly permitted by any Power, constitute a violation of neutrality.”82

Adapun beberapa perbuatan dilarang yang dimaksudkan tersebut dapat terlihat

pada Pasal 2 serta Pasal 5 Konvensi tersebut, yang oleh Arlina Permanasari, dkk.

rangkum dalam bukunya diantaranya tindakan permusuhan, termasuk di dalamnya

tindakan penangkapan dan pencarian yang dilakukan oleh kapal perang negara yang

bersengketa di perairan negara netral, maupun penggunaan pelabuhan dan perairan

netral oleh pihak yang berperang.

83

Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from

Balloons merupakan suatu pengaturan yang melarang pelepasan daripada proyektil

serta barang peledak dari balon udara. Deklarasi ini menambahkan pengaturan

daripada Deklarasi (IV,1) tahun 1899.84 Hingga saat ini, beberapa negara penting,

seperti Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Rusia tidak menandatangani ataupun

meratifikasi deklarasi ini. Sedangkan Austria-Hungaria menandatangani deklarasi ini,

namun tidak meratifikasinya. Negara-negara besar yang meratifikasi deklarasi ini

hanyalah Inggris Raya dan Amerika Serikat.85

82

Convention (XIII) concerning the Rights and Duties of Neutral Powers in Naval War. The

Hague, 18 October 1907 Pasal 1.

83 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.

84 “Hague Conventions of 1899 and 1907” yang dapat diakses pada

en.wikipedia.org/wiki/Hague_Conventions_of_1899_and_1907, yang diakses pada 29 Januari 2014 pukul 18.30 WIB, dapat terlihat pada “This declaration extended the provisions of Declaration (IV,1)

of 1899…”

85 “Declaration (XIV) Prohobiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Balloons.

The Hague, 18 October 1907”, yang dapat diakses di

(25)

C. Alasan-alasan Pelarangan Penggunaan Senjata Kimia di dalam Konflik Bersenjata

Pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu, termasuk di dalamnya senjata

kimia oleh hukum humaniter tentu disertai dengan alasan-alasan. Adapun alasan

pelarangan penggunaan senjata-senjata tersebut pertama sekali terdapat pada

Deklarasi St. Petersburg tahun 1868, yang kemudian oleh dikuatkan kembali dengan

Hague Regulations tahun 1907 serta Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977.

Bunyi mengenai pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu oleh

Deklarasi St. Petersburg tahun 1868, diantaranya:86

Deklarasi St. Petersburg tahun 1868 tersebut menyatakan dengan menimbang

bahwa kemajuan peradaban seharusnya mempunyai dampak untuk mengurangi

sebanyak-banyaknya malapetaka suatu perang; bahwa satu-satunya sasaran yang sah Considering:

That the progress of civilization should have the effect of alleviating as much as possible the calamities of war;

That the only legitimate object which States should endeavour to accomplish during war is to weaken the military forces of the enemy;

That for this purpose it is sufficient to disable the greatest possible number of men;

That this object would be exceeded by the employment of arms which uselessly aggravate the sufferings of disabled men, or render their death inevitable;

That the employment of such arms would, therefore, be contrary to the laws of humanity;

ratify it. Austria-Hungary signed but did not ratify it. Of the great Powers only Great Britain and the United States ratified the Declaration”

86 Practice Relating to Rule 70. Weapons of a Nature to Cause Superfluous Injury or

Unnecessary Suffering,

(26)

yang mana suatu negara harus berusaha selesaikan ketika perang ialah untuk

melemahkan kekuatan pasukan bersenjata lawan; bahwa untuk tujuan ini, cukuplah

dengan melumpuhkan sebanyak mungkin pasukan; bahwa sasaran ini akan berlebihan

dengan penggunaan senjata yang secara percuma memperberat penderitaan daripada

orang lumpuh, atau menyebabkan kematian mereka menjadi tidak terelakkan; bahwa

penggunaan senjata yang demikian, oleh karena demikian, bertentangan dengan

hukum humaniter.

Pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu tersebut oleh Hague

Regulations (1907) terdapat pada Pasal 23(e), yang berbunyi:87

Pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu oleh Protokol Tambahan I

1977 terhadap Konvensi Jenewa 1949 terdapat pada Pasal 35(2). Perlu diketahui

bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 35 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa In addition to the prohibitions provided by special Conventions, it is

especially forbidden…to employ arms, projectiles, or material calculated to

cause unnecessary suffering;

Pasal 23(e) Hague Regulations 1907 tersebut berisi tentang pelarangan

penggunaan senjata, proyektil, ataupun materi yang diketahui akan menimbulkan

penderitaan yang tidak perlu.

87

“Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :

Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,

(27)

1949 ini juga merupakan aturan dasar atau basic rules di dalam suatu peperangan,

yang berbunyi:88

1. In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose methods or means of warfare is not unlimited.

2. It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering.

3. It is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected, to cause widespread, long-term and severe damage to the natural environment.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dikatakan basic rules atau

aturan dasar dalam perang, diantaranya: 1. Di dalam konflik bersenjata, hak daripada

pihak-pihak yang terlibat konflik untuk memilih metode dan cara berperang tidaklah

tidak terbatas; 2. Adalah dilarang untuk menggunakan senjata, proyektil, dan bahan

dan metode berperang yang secara alami akan menyebabkan luka yang berlebihan

ataupun penderitaan yang tidak perlu; 3. Adalah dilarang untuk menggunakan metode

atau cara berperang yang bertujuan, atau dapat diperkirakan untuk menyebabkan

kerusakan yang luas, berjangka panjang serta parah terhadap lingkungan alam.

Berdasarkan ketentuan ketiga pengaturan berbeda tersebut di atas, terlihat

bahwa alasan tidak diizinkannya penggunaan senjata-senjata tertentu, termasuk di

dalamnya penggunaan senjata kimia ialah bahwa senjata tersebut mampu

menyebabkan luka yang berlebihan ataupun penderitaan yang tidak perlu. Apabila

kita kaitkan dengan bunyi yang terdapat pada Deklarasi St. Petersburg 1868, bahwa

88

“Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the

Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977”,

(28)

tujuan daripada suatu peperangan ialah untuk memenangkan peperangan, dan

satu-satunya sasaran yang sah ialah dengan melumpuhkan sebanyak mungkin pasukan

bersenjata lawan, maka diharapkan bahwa ketika perang berakhir, penderitaan

pasukan-pasukan bersenjata tersebut turut berakhir, bukan tetap menderita sebagai

akibat dari perang.

D. Pengaturan Hukum Internasional Tentang Larangan Penggunaan Senjata Kimia dalam Konflik Bersenjata

Deklarasi St. Petersburg 1868 merupakan tonggak awal perhatian

negara-negara di dunia terhadap penggunaan senjata-senjata yang tidak mampu

menimbulkan efek yang berlebihan. Pada Deklarasi St. Petersburg 1868 ini,

penggunaan senjata kimia belumlah mendapat perhatian negara-negara di dunia.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa deklarasi ini lah yang menyadarkan

negara-negara di dunia ini mengenai bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan

senjata kimia.

Pengaturan mengenai penggunaan senjata kimia di dalam konflik bersenjata

pertama kali muncul pada Deklarasi Den Haag berkaitan dengan gas pencekik

(29)

berkaitan dengan gas pencekik ini merupakan perjanjian internasional pertama yang

menyatakan tidak sah penggunaan gas dalam peperangan.89

Pengaturan hukum internasional tentang larangan penggunaan senjata kimia

dalam konflik bersenjata tidak hanya terdapat pada Deklarasi Den Haag tersebut di

atas, melainkan juga terdapat pada berbagai sumber lainnya. Adapun perangkat

hukum internasional yang mencakup tentang larangan penggunaan senjata kimia

dalam konflik bersenjata, diantaranya:

90

1. Perjanjian (Treaties)

a. Hague Declaration concerning Asphyxiating Gases b. Treaty of Versailles

c. Treaty on the Use of Submarines and Noxious Gases in Warfare d. Geneva Gas Protocol

e. Treaty of Peace between the Allied and Associated Powers and Bulgaria

f. Treaty of Peace between the Allied and associated Powers and Finland

g. Treaty of Peace between the Allied and associated Powers and Hungary

h. Treaty of Peace between the Allied and associated Powers and Italy i. Treaty of Peace between the Allied and associated Powers and

Romania

j. Austrian State Treaty

k. Biological Weapons Convention91

l. US-Soviet Chemical Weapons Agreement

89 The 1899 Hague Declaration concerning Asphyxiating Gases was the first treaty to outlaw

the use of gas in warfare. “Practice Relating to Rule 74. Chemical Weapons”

90 Practice Relating to Rule 74. Chemical Weapons”

91

(30)

m. India-Pakistan Declaration on Prohibition of Chemical weapons n. Chemical Weapons Convention

o. ICC Statute92

2. Instrumen lainnya (Other Instruments)

a. Oxford Manual of Naval War

b. Report of the Commission on Responsibility

c. ILA Draft Convention for the Protection of Civilian Populations against New Engines of War 93

d. New Delhi Draft Rules

e. Mendoza Declaration on Chemical and Biological Weapons f. Cartagena Declaration on Weapons of Mass Destruction

g. Comprehensive Agreement on Respect for Human Rights and IHL in the Philippines94

h. UN Secretary-General’s Buletin i. UNTAET Regulation No. 2000/1595

3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)

a. League of Nations Council b. League of Nations Assembly c. UN Security Council

d. UN General Assembly

e. UN Sub-Commission on Human Rights f. UN Secretary-General

g. UN Commission on Human Rights (Special Rapporteur)96

4. Organisasi Internasional Lainnya (Other International Organizations)

a. ACP-EU Joint Parliamentary Assembly b. Council of Europe Parliamentary Assembly c. European Economic Community

d. GCC Supreme Council

e. League of Arab States Council

f. Organization of the Islamic Conference

g. Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons

5. Konferensi Internasional (International Conferences)

a. International Conference of the Red Cross (1965, 1969, 1986) b. Tehran International Conference on Human Rights

92 ICC stands for International Criminal Court

93

ILA stands for International Law Association

94 IHL stands for International Humanitarian Law

95 UNTAET stands for United Nations Transitional Administration in East Timor

96 Special Rapporteur atau pelapor khusus ialah suatu nama yang diberikan kepada seorang

(31)

c. Conference of States Parties to the 1925 Geneva Protocol and Other Interested States

d. Conference of States Parties to the Chemical weapons Convention (First Session)

6. Badan Internasional dan Peradilan Campuran dan Kuasi Peradilan

(International and Mixed Judicial and Quasi-judicial Bodies) a. International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia

7. Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

(International Red Cross and Red Crescent Movement)

a. ICRC97

b. Council of Delegates (1987) c. National Society (Slovenia) d. National Society (Croatia)

8. Hal Lainnya (Other)

a. Thomas and Thomas b. Robinson

c. International Institute of Humanitarian Law

d. Turku Declaration of Minimum Humanitarian Standards e. Middle East Watch

f. União Nacional para Independência Total de Angola (UNITA) g. United Tajik Opposition

h. Lauterpacht Research Centre for International Law i. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) j. Bulletin of the Atomic Scientists

k. The CBW Conventions Bulletin l. Center for Nonproliferation Studies

Adapun berdasarkan serangkaian pengaturan yang memuat tentang larangan

penggunaan senjata kimia dalam konflik bersenjata tersebut di atas, akanlah dibahas

secara khusus mengenai Chemical Weapons Convention.

Chemical Weapons Convention (CWC), yang bernama lengkap Convention

on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical

Weapons and on their Destruction merupakan suatu perangkat hukum yang dibentuk

oleh Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW), suatu

(32)

organisasi mandiri yang bukan berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hubungan antara OPCW dan Perserikatan Bangsa-Bangsa ialah hubungan kerjasama

yang saling menguntungkan yang berkenaan dengan pelarangan penggunaan senjata

kimia demi menjaga perdamaian dunia, seperti yang menjadi tujuan daripada

dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa98

CWC merupakan pengaturan yang didasarkan atas Hukum Den Haag, yang

berisi 24 Pasal dengan 3 Annex, yakni Annex on Chemicals, Verification Annex, dan

Confidentiality Annex. Hingga saat ini, CWC telah berlaku bagi 190 negara, termasuk

di dalamnya Suriah yang baru dinyatakan berlaku pada 14 Oktober 2013. .

99

Indonesia

juga merupakan negara anggota daripada CWC.100 CWC diratifikasi Indonesia

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention on the

Prohibition of the Development, Production, Stockpiling, and Use of Chemical

Weapons and on Their Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan Pengembangan,

Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Tentang

Pemusnahannya).101

98 Dalam bagian Preamble daripada Chemical Weapons Convention, terlihat bahwa konvensi

ini bertujuan untuk turut berkontribusi terhadap perealisasian tujuan dan prinsip-prinsip daripada UN

Charter, terlihat pada bunyi “Desiring to contribute to the realization of the purposes and principles of the Charter of the United Nations. ”

Hingga saat ini, terdapat 6 negara yang merupakan negara bukan

99 OPCW Member States,

Februari 2014 pukul 06.25 WIB.

100

Indonesia menandatangani CWC pada 13 Januari 1993, dan meratifikasi CWC dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1998 pada 12 November 1998, dan dinyatakan berlaku pada 12 Desember 1998. Ibid.

101 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention on the Prohibition

of the Development, Production, Stockpiling, and Use of Chemical Weapons and on Their Destruction

(33)

anggota daripada CWC, diantaranya Israel dan Myanmar yang belum meratifikasi

CWC, serta Angola, Mesir, Korea Utara, dan Sudan Selatan yang belum menyetujui

CWC.102 CWC dinyatakan berlaku atau entry into force pada 29 April 1997103

Sebelumnya, perlulah dipahami bahwa CWC ini, sesuai dengan namanya,

bukanlah suatu konvensi yang mengatur mengenai penggunaan senjata kimia pada

saat terjadi konflik bersenjata, melainkan suatu pengaturan mengenai senjata kimia

pada umumnya, yang berarti pada masa damai ataupun pada konflik bersenjata. Hal

tersebut dapat terlihat lebih jelas dalam pengaturannya yang melarang suatu negara

untuk mengembangkan, memproduksi, ataupun memperoleh, menyediakan ataupun

mempertahankan senjata kimia, ataupun mengalihkan senjata kimia tersebut kepada

siapapun baik secara langsung maupun tidak langsung.

.

104

Lebih lanjut, oleh

ketentuan Pasal 1 CWC tersebut, setiap negara anggota adalah dilarang untuk

menggunakan senjata kimia105; untuk ikut serta dengan persiapan militer apapun

untuk menggunakan senjata kimia 106

102 OPCW Non-Member States,

; untuk membantu, mendukung atau

pada 10 Februari 2014 pukul 07.32 WIB.

103 Chemical Weapons Convention, en.wikipedia.org/wiki/Chemical_Weapons_Convention,

diakses pada 10 Februari 2014 pukul 07.36 WIB.

104 Dapat dilihat pada bunyi Pasal 1(a) CWC, diantaranya “Each State Party to this

Convention undertakes never under any circumstances: (a) to develop, produce, otherwise acquire, stockpile or retain chemical weapons, or transfer, directly or indirectly, chemical weapons to anyone;”

105

Pasal 1(b) CWC, diantaranya “Each State Party to this Convention understakes never

under any circumstances: (b) to use chemical weapons;”

106 Pasal 1(c) CWC, diantaranya “Each State Party to this Convention understakes never

(34)

menyebabkan, dengan cara apapun, seseorang untuk ikut serta dalam kegiatan yang

dilarang oleh konvensi ini107

CWC merupakan perangkat hukum yang mengatur mengenai penggunaan

senjata kimia. Oleh karena itu, perlulah dilihat lingkup daripada senjata kimia yang

dimaksud di dalam CWC yang terdapat pada Pasal 2 ayat 1 CWC, yakni diantaranya

a) zat kimia yang beracun beserta turunannya, kecuali zat kimia beracun yang

ditujukan untuk hal-hal yang diizinkan oleh konvensi ini, sepanjang jenis dan

jumlahnya sejalan dengan tujuan diizinkannya penggunaan zat kimia beracun

tersebut

.

108

; b) Mesiu dan senjatanya yang khusus dibuat untuk membunuh ataupun

melukai orang lain dengan menggunakan zat kimia beracun yang terdapat pada

sub-bagian (a)109; serta c) Alat-alat lainnya yang dibuat khusus untuk digunakan secara

langsung dengan penggunaan mesiu dan senjata yang dijelaskan pada sub-bagian

(b)110

Pendeskripsian mengenai lingkup senjata kimia atau Chemical Weapons

berdasarkan Pasal 1 semata belumlah cukup jelas apabila tidak dideskripsikan

penjelasan lebih lanjut mengenai makna zat kimia yang beracun beserta turunannya .

107 Pasal 1(d) CWC, diantaranya “Each State Party to this Convention understakes never

under any circumstances: (d) to assist, encourage or induce, in any way, anyone to engage in any activity prohibited to a State Party under this Convention.”

108

Pasal 2 ayat 1(a), yang berbunyi “Toxic chemicals and their precursors, except where

intended for purposes not prohibited under this Convention, as long as the types and quantities are consistent with such purposes;”

109 Pasal 2 ayat 1(b), yang berbunyi “Munitions and devices, specifically designed to cause

death or other harm through the toxic properties of those toxic chemicals specified in subparagraph (a), which would be released as a result of the employment of such munitions and devices;”

110 Pasal 2 ayat 1(c), yang berbunyi “Any equipment specifically designed for use directly in

(35)

atau toxic chemicals and their precursors seperti yang terdapat pada Pasal 2 angka 2

CWC, yakni zat kimia apapun yang melalui reaksi kimianya terhadap proses

kehidupan dapat menyebabkan kematian, cacat semntara, ataupun bahaya permanen

bagi manusia atau binatang. Zat kimia yang dimaksud mencakup semua zat kimia

yang demikian, tanpa membedakan asal mula ataupun cara memproduksi, dan tanpa

membedakan tempat mereka diproduksi. Zat-zat kimia yang telah teridentifikasi telah

tercantum di dalam Annex on Chemicals.111

Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa tidak semua kegiatan adalah dilarang oleh

CWC ini seperti yang telah disinggung pada Pasal 2 ayat 1(a) CWC.

Kegiatan-kegiatan yang diizinkan oleh CWC diantaranya terdapat pada Pasal 2 ayat 9 CWC,

yakni a) industri, pertanian, penelitian, medis, farmasi;112 b) perlindungan;113 c)

militer yang tidak berhubungan dengan penggunaan senjata kimia dan tidak

bergantung dengan penggunaan zat kimia sebagai salah satu metode berperang;114

serta d) penegakan hukum115

111

Pasal 2 ayat 2, yang berbunyi “Toxic Chemical means any chemical which through its

chemical action on life processes can cause death, temporary incapacitation or permanent harm to humans or animals. This includes all such chemicals, regardless of their origin or of their method of production, and regardless of whether theey are produced in facilities, in munitions or elsewhere. (For the purpose of implementing this Convention, toxic chemicals which have been identified for the application of verification measures are listed in Schedules contained in the Annex on Chemicals.)”

112 Pasal 2 ayat 9(a), yang berbunyi “Purposes Not Prohibited Under this Convention means:

(a) Industrial, agricultural, research, medical, pharmaceutical or other peaceful purposes;”

113

Pasal 2 ayat 9(b), yang berbunyi “Purposes Not Prohibited Under this Convention means:

(b) Protective purposes, namely those purposes directly related to protection against toxic chemicals and to protection against chemical weapons;”

114 Pasal 2 ayat 9(c), yang berbunyi “Purposes Not Prohibited Under this Convention means:

(c) Military purposes not connected with the use of chemical weapons and not dependent on the use of the toxic properties of chemical as a method of warfare;”

115 Pasal 2 ayat 9(d), yang berbunyi “Purposes Not Prohibited Under this Convention means:

(36)

Berkaitan dengan tuduhan penggunaan senjata kimia yang melibatkan negara

bukan anggota daripada CWC, ataupun pada teritorial yang bukan dikuasai oleh

negara anggota, maka berdasarkan Part XI(E) Annex on Implementation and

Verification (Verification Annex), dikatakan bahwa OPCW harus bekerjasama dengan

Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa116.

Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat 2 CWC diketahui bahwa atas

rekomendasi Dewan Eksekutif, the Conference of the States Parties berhak

membatasi atau menangguhkan hak dan hak-hak istimewa negara anggota yang

diberikan oleh konvensi ini. Pembatasan atau penangguhan hak tertentu tersebut

dilakukan hingga negara tersebut melakukan tindakan yang diperlukan yang sesuai

dengan kewajibannya menurut konvensi ini. Adapun kewenangan tersebut dapat

dilakukan dalam kasus dimana negara anggota telah diminta oleh Dewan Eksekutif

untuk mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi yang menimbulkan

masalah yang berkenaan dengan kepatutan, namun negara anggota tersebut gagal

memenuhi permintaan tersebut dalam jangka waktu yang telah diberikan.

116

Part XI(E) Annex on Implementation and Verification (Verification Annex) berbunyi “In

Referensi

Dokumen terkait

Makroekonomi Wilayah Sumatera Utara Pembangunan daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional, pada hakekatnya.. adalah upaya terencana

Vigotksy meyakini bahwa perkembangan kognitif, dalam hal ZBD sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial (sosial budaya) sekolah merupakan salah satu agen budaya yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan Islamic Social Reporting sesuai dengan penelitian yang

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Dengan alasan di atas maka penulis mencoba untuk memberikan alternatif pemecahan masalah dengan membuat suatu aplikasi sistem absensi yang akan mencatat data

Pada penelitian tugas akhir ini akan dilakukan analisis hubungan antara konstruk perubahan organisasi, growth factors, hygiene factors dan motivasi kerja karyawan..

Jumlah cabang primer terlihat tidak terpengaruh aplikasi PCH yang diberikan, namun jumlah cabang sekunder dan jumlah bunga pada tanaman dengan perlakuan tanpa PCH

Hasil penelitian ini yaitu (1) Manajemen Aset dan Kinerja Keuangan berdasarkan uji Simultan menyatakan bahwa secara bersama-sama atau serempak berpengaruh positif dan signifikan