BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2005:588) konsep
merupakan gambaran mental objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam penyusunan
karya ilmiah akan lebih mudah jika memiliki konsep yang dijadikan dasar
pengembangan penulisan karya ilmiah, konsep yang disajikan dasar
pengembangan penulisan selanjutnya.
2.1.1 Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam
masyarakat, proses sosial yang ada di dalam masyarakat, cara manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan lain-lain, linguistik merupakan ilmu
yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. (Chaer dan Agustina, 1995:2).
Sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari
faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial. Booij,
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya
dengan penggunaan bahasa dan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat.
2.1.2 Bilingualisme
Di Indonesia terdapat masyarakat yang memakai lebih dari satu bahasa, seperti bahada daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di
mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasaan
atau bilingual. orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan
atau orang bilingual.
Bilingualisme adalah berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian. Mackey 1962 (dalam Chaer dan Agustina, 1995:12), Bilingualisme
terjadi akibat perpindahan penduduk terhadap penduduk lainnya, sehingga terjadi
bilingualisme pada pedesaan atau masyarakat. Bila sekelompok penutur pindah ke
tempat lain yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dan dapat mengguasai
bahasa tersebut maka terjadilah penguasaan dua bahasa atau bilingual, dan terjadi
interaksi antara penduduk setempat dan sekelompok penutur yang berpindah.
Weinreich 1970 (dalam Umar, 1993:8) membatasi kedwibahasaan sebagai
praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian. Bahasa yang digunakan adalah
Bahasa pertama (B1) disebut juga bahasa ibu yaitu bahasa yang pertama
sekali dikenal seseorang pada masa kanak-kanak melalui intraksi dengan
keluarga. Bahasa kedua (B2) yaitu bahasa lain yang menjadi bahasa kedua, dan
bahasa kedua diperoleh setelah bahasa pertama (B1). Kebanyakan masyarakat
Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua (B2) dan bahasa pertama (B1)
adalah bahasa ibu atau bahasa daerah masing-masing. Akan tetapi pada saat ini
masa kanak-kanak yang bahasa ibu bahasa Karo (B1) tidak mengetahuinya lagi,
karena orang tua mengajak berbicara menggunakan bahasa Indonesia (B2)
sehingga sianak tidak dapat berbahasa ibu.
2.1.3 Bahasa Karo
Bahasa Karo hingga kini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari
antara masyarakat penuturnya. Masyarakat Karo akan lebih baik dalam
menyampaikan perasaan hatinya jika menggunakan bahasa Karo, entah itu
ditujukan kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Dalam dialognya, mereka
sering tidak sadar banyak ungkapan yang disampaikan itu merupakan partikel
fatis. Selain untuk menyatakan penuturnya, ungkapan fatis itu juga dipakai untuk
menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut
dapat berupa ucapan salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi
pergaulan.
Bahasa Karo digunakan sebagai alat komunikasi oleh penutur yang
tersebar di wilayah Sumatera Utara. Suku Karo aslinya mendiami Pesisir Timur
Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara
(Sembiring.jo-blogspot.com/2009/05hidup-dan-dalam-pikiran-orang-karo.html). Nama suku
ini juga dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka
diami (dataran tinggi Karo) yait
sendiri yang disebut
Karo jahe Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Kemudian
masyarakat yang ada pada Kabupaten tersebut menyebar ke daerah-daerah di
seluruh Indonesia, baik di daerah Medan maupun daerah lainnya di Provinsi
Sumatera Utara.
2.1.4 Masyarakat Karo di Desa Pasar X
Kecamatan Kutalimbaru Desa Pasar X merupakan sebuah Kecamatan di
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Masyarakat di Desa Pasar X terdapat
beberapa etnis. Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru merupakan masyarakat
bilingual di mana mereka dalam berintraksi menggunakan dua bahasa yaitu
bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Bahasa pertama (B1) di Desa Pasar X
Kecamatan Kutalimbaru yang mereka kenal adalah bahasa Karo, di samping itu
ada juga etnis pendatang.
Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru memiliki jumlah penduduk
laki-laki 975 jiwa, perempuan 1.510 jiwa total 2.485 jiwa. Desa Pasar X Merupakan
salah satu desa yang berada di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.
Masyarakat yang tinggal di desa ini mayoritas etnis Karo yang merupakan etnis
Jumlah penutur di desa Pasar X 355 jiwa dan di samping etnis Karo juga terdapat
etnis pendatang.
Desa Pasar X memiliki enam dusun. Keenam dusun tersebut juga memakai
bahasa Karo sebagai bahasa pertama. Keenam dusun itu adalah:
Dusun I Pasar X
Dusun II Silemak
Dusun III Gunung Gertam
Dusun IV Lau Cal-cal
Dusun V Kinangkung
Dusun VI Lau Batur.
Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru berbatasan sebelah utara dengan
Desa Namo Mirik dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kutalimbaru.
2.2 Landasan Teori
Landasan teori merupakan dasar atau kerangka dari sebuah penelitian.
Mustahil sebuah penelitian tidak memiliki landasan atau kerangka penelitian.
Landasan teori juga diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang dibahas
agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan
2.2.1 Bilingualisme
Mackey 1962 (dalam Chaer dan Agustina, 1995:112) mengatakan bahwa
bilingualisme berasal dari bahasa Inggris yaitu bilingualism yang dalam bahasa
Indonesia disebut kedwibahasaan yang diartikan sebagai penggunaan dua bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Konsep kedwibahasaan selalu mengalami perubahan dan semakin meluas akibat
perkembangan teknologi.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme atau sering juga
disebut kedwibahasaan. Kedwibahasaan merupakan memahami, mengerti, dan
kebiasaan memahami dua bahasa antara bahasa Karo (B1) dan bahasa Indonesia
(B2) oleh seorang penutur dalam melakukan intraksi dengan orang lain.
Bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan
dua bahasa dengan sama baiknya Bloomfield, 1933 (dalam Chaer dan Agustina
1995:115). Kapan menggunakan bahasa pertama (B1) dan kapan pula
menggunakan bahasa kedua (B2) tergantung pada lawan bicara, topik
pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan.
Menurut Mackey 1970 (dalam Chaer dan Agustina, 1995) bilingualisme
bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau
penggunaan dua bahasa, yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian.
Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengunaan kapan dan bilingualisme
tersebut terdiri dari dua tipe. Yang pertama, bilingualisme setara, yaitu
bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara
kedua, yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang
tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan
dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi
ialah masuknya unsur-unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.
Weinreich 1970 (dalam Umar, 1993:8) membatasi kedwibahasaan sebagai
praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian.
Bloomfield (dalam Umar, 1993:8) menerangkan bawha, kedwibahasaan
sebagai penguasaan yang sama baik terhadap dua bahasa, seperti halnya penguasaan
oleh penutur asli. Pendapat tersebut masih diragukan karena kriteria penggunaan
dua bahasa sama baiknya oleh penutur asli sangat sulit diukur. Para penutur asli
berbeda-beda penguasaan terhadap kedua bahasa.
Konsep kedwibahasaan selalu mengalami perubahan dan semakin diperluas.
Haugen 1972 (dalam Umar, 1993:8) mengemukakan, tidak perlulah kedwibahasaan
menggunakan kedua bahasanya. Cukup ia mengetahui kedua bahasa itu, jadi
menurut Haugen kedwibahasaan adalah penguasaan tentang dua bahasa oleh
seorang penutur.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme atau
kedwibahasaan adalah kemampuan memahami dan kebiasaan menggunakan dua
bahasa yaitu bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) oleh seorang penutur
untuk berintraksi dengan orang lain, dalam hal ini Grosjea (dalam Umar, 1993:26)
Situasi sosial pembicaraan mencakup situasi resmi (formal) dan situasi tidak
resmi (nonformal). Situasi formal berada di lingkungan sekolah dan di lingkungan
kantor kepala desa. Situasi nonformal berada di luar lingkungan sekolah dan di luar
lingkungan kantor kepala desa.
2.2.2 Kontak Bahasa
Weinreich 1970 (Umar, 1993:16) mengemukakan bahwa dua bahasa atau
lebih disebut kontak, apabila bahasa-bahasa itu dipergunakan secara bergantian oleh
orang yang sama maka kontak bahasa terjadi pada diri dwibahasawan.
Mackey (dalam Umar, 1993:16) mengatakan kontak bahasa adalah pengaruh
bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain baik langsung maupun tidak langsung,
sehingga menimbulkan perubahan bahasa dan mempengaruhi perkembangan bahasa
itu.
Kontak bahasa berlangsung bukan hanya di dalam diri perseorangan
melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari
bahasa kedua. Karena itu, kontak bahasa sering pula dianggap sebagai baguan yang
lebih luas, yaitu kontak budaya. Yang terlibat dalam kontak ini bukan hanya
perseorangan, yaitu orang-orang yang mempelajari bahasa kedua, melainkan juga
orang lain. Unsur-unsur bahasa yang sebelumnya mempengaruhi dwibahasawan
secara perseorangan kemudian menyebar lebih luas, sehingga pengaruh itu
mendapat penguatan bersama. Pada ekabahasawan menerima pengaruh kontak
dan dimasukkan menjadi bagian dari sistem bahasa itu. Pada tingkat ini, dapat
dikatakan telah terjadi kontak bahasa.
Kontak bahasa merupakan peristiwa yang sudah terjadi sejak lama dan terus
berlangsung hingga saat ini maupun pada masa yang akan datang.
Contoh: Bahasa Indonesia sudah mengalami kontak dengan bahasa lain
secara langsung dengan bahasa asing (Arab, Belanda, Cina, Sansekerta dan
sebagainya) sejak dulu hingga sekarang.
Kontak yang telah berlangsung dalam waktu yang lama itu telah
mengakibatkan terjadinya kedekatan kosakata antar bahasa yang mengalami kontak
bahasa tersebut. Bahasa Karo juga mengalami kontak bahasa dengan bahasa
Indonesia maka dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan zaman bahasa
Karo juga mengalami perubahan. Akibat peristiwa kebahasaan terjadi adanya
kontak bahasa yaitu alih kode, campur kode.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan bersumber dari paparan atau konsep-konsep yang mendukung
pemecahan masalah dalam penelitian yang bersumber dari pendapat para ahli,
empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar peneliti yang
berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Risma Jojor Sinaga (1996) dalam sekripsinya yang berjudul Bilingualisme
pada Masyarakat Batak Toba yang membicarakan, tentang bagaimana proses
terjadinya bilingualisme pada masyarakat Batak Toba. Teori yang digunakan yaitu
penelitiannya, masyarakat Batak Toba di Balige merupakan masyarakat bilingual,
disamping bahasa daerah yaitu bahasa Toba, masyarakat Balige juga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Masyarakat Batak Toba di Balige memperoleh bahasa kedua dari situasi
formal yaitu proses belajar mengajar disekolah dan diajarakan secara informal di
tengah-tengah keluarga. Di Kecamatan Balige anak-anak yang berusia 4-5 tahun
juga diajari menggunakan bahasa Indonesia di tengah-tengah keluarga. Walaupun
kosakata yang diajarkan masih terbatas, karena keterbatasan kosakata yang
dimiliki anak-anak tersebut.
Di sekolah dasar, anak-anak sudah mendapat pelajaran bahasa Indonesia,
tetapi sebagian besar bahasa pengantarnya masih mempergunakan bahasa Toba.
Sinaga mengatakan motivasi belajar bahasa kedua berorientasi pada dua hal yaitu
orientasi instrumental dan orientasi integratif. Orientasi instrumental adalah
penggunaan bahasa untuk mendapatkan keuntungan material, memproleh
pekerjaan, dan lain sebagainya. Orientasi integrative memberikan penekanan pada
penggunaan bahasa sebagai alat yang menbuat anak didik sanggup menjadi
anggota masyarakat.
Erni J. Marondang (1997) dalam skripsinya yang berjudul Bilingalisme
pada Masyarakat Cina di Kecamatan Medan Denai yang menerangkan tentang
bagaimana proses terjadinya bilingualisme pada masyarakat Cina di Kecamatan
Medan Denai. Penelitian Matondang tidak jauh berbeda dari penelitian Ariani,
teori yang digunakan juga sama. Menurut Martondang, karena adanya
masyarakat Cina. Alih kode di sini terbagi menjadi dua yaitu alih kode intern dan
alih kode ekstern. Alih kode intern terjadi dalam bahasa daerah dalam satu bahasa
nasional. Sementara itu, alih kode ekstern terjadi antara bahasa Indonesia dengan
bahasa asing yaitu bahasa Cina.
Rini Apriani (2009) dalam skripsinya yang berjudul Bilingalisme pada
Masyarakat Simalungun di Kecamatan Pematang Raya membahas tentang
seorang bilingual menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dan
penyebab bilingualisme. Di kecamatan Pematang Raya memperoleh bahasa kedua
dari situasi formal yaitu proses belajar mengajar disekolah dan diajarakan secara
informal di tengah-tengah keluarga. Di Kecamatan Pematang Raya anak-anak
yang berusia 4-5 tahun juga diajari menggunakan bahasa Indonesia di
tengah-tengah keluarga. Dalam penelitian Apriani menggunakan bahasa pertama (B1)
dan bahasa kedua adalah bahasa Indonesia (B2), di Desa Sondi Raya juga masih
banyak sebagian bahasa pengantarnya masih mempergunakan bahasa Toba
Hasil penelitian bilingualisme sebelumnya dapat menjadi informasi bagi
peneliti saat ini dalam meneliti Bilingalisme pada Masyarakat Karo di Kecamatan
Kutalimbaru. Pada kesempatan ini, peneliti membicarakan tentang faktor-faktor
penyebab terjadinya bilingualisme di Kecamatan Kutalimbaru, faktor-faktor
bilingualisme adalah adanya rasa nasionalisme, mobilisasi penduduk, rasa
nasionalisme antar etnis yang berbeda. Selain itu peneliti juga meneliti kapan
digunakan B1 dan dan kapan digunakan B2 di Kecamatan Kutalimbaru, Desa
anak-anak usia 3-6 tahun juga di ajarkan mengunakan bahasa Indonesia di
tengah-tengah keluarga, walaupun kosakata yang diajarkan masih terbatas, akibat
keterbatasan kosakata yang dimiliki anak-anak tersebut, tidak jarang dalam