• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4). Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir.

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011:9)

Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober 2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

(2)

Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan bagian dari aliran pemikiran kritis.

2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Semiotika

Secara etimologis semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berati berarti ”tanda” atau sign dalam bahasa Inggris. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda yang menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain: kata (bahasa). Secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi. Menurut Littlejohn, manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini (Wibowo, 2010:5).

Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi. Fokus utama semiotika adalah tanda. Fiske mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu (Bungin, 2009:167) :

(3)

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya.

c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Semantara itu, menurut Littlejohn (2009:55-56) semiotik selalu dibagi ke dalam tiga wilayah kajian, yaitu semantik, sintaktik dan pragmatik. Semantik, berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Wilayah kedua dalam kajian semiotik adalah sintaktik atau kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya tidak pernah berdiri dengan sendirinya. Hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu. Kajian utama semiotik yang ketiga pragmatik, memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya.

(4)

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.

3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.

Kategori tipe tanda menurut Peirce digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.

Kategori Tipe Tanda dari Peirce Ikon

Indeks Simbol

Sumber : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ( 2010), hal: 168

Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004:97).

Maksud dari makna dalam Segitiga Peirce adalah panah dari dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan unsur yang lain. Namun ketika ketiga elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Maka muncul sebuah tanda ketika digunakan pada saat berkomunikasi.

(5)

adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41).

Peirce juga menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang, suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berarti berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.

Ahli semiotika lainnya Ferdinand de Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa hanya berfokus kepada prilaku linguistik yang nyata. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa.

(6)

Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified sebagai berikut:

Gambar 2.

Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality (physical (mental of meaning existence concept)

of the sign

Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media (2004), hal: 125

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004: 125).

(7)

Barhes melakukan temuan penting dalam kajian semiotika yang dahulu berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan budaya populer dan media massa. Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada area kehidupan sosial.

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut ini sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Signifikasi tahap kedua merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan dan ini disebut dengan istilah konotasi yang kemudian menghasilkan mitos.

2.2.2. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika padaa studi sastra. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.

(8)

Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja :

Gambar 3 Peta Rholand Barthes 1. Signfier

(Penanda)

2. Signified (Petanda)

3. Denotative sign (Tanda Denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5.CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber : Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2004. hal: 69

Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek fisik) yang dapat ditunjukkan dengan foto yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah juga penanda konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1).

(9)

Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Semiologi Roland Barthes menekankan pada peran pembaca (reader), peran di sini berarti walaupun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu tanda dengan tanda lainnya akan dicari makna tersirat didalamnya (konotasi).

Tradisi semiotika meyakini manakala realitas media telah terpajang di hadapan publik atau khalayaknya maka media seketika kehilangan otoritasnya untuk memaksa tafsiran makna yang dikehendaki. Pemaknaan pun berpindah ke tangan pembaca, pembaca boleh semena-mena karena tafsir realitas tergantung pengalaman kebudayaan yang dipunyainya. Inilah kira-kira yang diimajinasikan oleh Roland Barthes, ketika ia menggambarkan bagaimana otoritas pembuat simbol telah berakhir dan pemaknaan pun telah beralih ke tangan pembaca (Sunarto dan Hermawan, 2011:233).

Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya, adalah sebuah leksia. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, berupa satu-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf (Budiman, 2003:53).

(10)

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004:65-66) :

1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks, kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengodean yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. 4. Kode Kultural (Kode Gnomik), kode ini merupakan acuan teks ke

benda-benda yang sudah diketahui dan sudah dikodifikasi oleh budaya. Menururt Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.

5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

Selain penanda teks (leksial) dan lima kode utama yang telah dijelaskan diatas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah :

1. Penanda dan Petanda

(11)

harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.

Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Barthes, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Singkat kata, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004:46).

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif (Sobur, 2004: 263). Denotasi merupakan definisi objektif yang bersifat umum. Tingkat pertandaan ini menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti.

(12)

ini untuk memecahkan masalah polisemi. Sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Sedangkan konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yng timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: Merah bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.

3. Paradigmatik dan Sintagmatik

Barthes adalah seorang pengikut aliran Saussure. Dari jalur Saussurean, membaca dan mensturkturkan teks dapat dilakukan dalam dua langkah, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai suatu rangkaian dari satuan ruang dan waktu yang membentuk teks. Pada tingkat selanutnya, pemaknaan berikutnya dilakukan secara paradigmatik. Setiap tanda berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu relasi in absentia yang mengabaikan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain ( Sunarto dan Hermawan, 2010:240).

Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Ia terdiri dari satu perangkat tanda dan hanya satu unit dari perangkat itu yang dapat dipilih untuk memaknai sebuah tanda. Contoh dari penerapan paradigmatik dalam satu sistem fashion adalah ketika manusia dapat memilih akan mengenakan kemeja, gaun, atau setelan jas saat pergi ke pesta. Analisis paradigmatik menunjukkan bahwa suatu tanda adalah pilihan dari berbagai pilihan tanda lain yang tidak hadir.

(13)

yang sama adalah pilihan paradigmatik. Adapun susunan pakaian dari ujung rambut ke ujung kaki seseorang adalah satu susunan sintagmatik.

4. Mitos

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang relitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat (Wibowo, 2011:17).

Mitos tidak didefenisikan oleh objek pesannya, tetapi oleh caranya menyatakan pesan, tidak ada batas-batas formal bagi mitos, tidak ada batas-batas yang substansial (Barthes, 2010: 296). Di dalam mitos juga terdapat pola dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga sebuah sistem pemaknaan tataran kedua. Pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif yang nantinya menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan, dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wicara (Barthes, 2004:152). Suatu mitos dapat menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

(14)

diterima sebagai konvensi bersama. Di sinilah konotasi tersebut berubah menjadi mitos.

2.2.3 Feminisme Eksistensialis

2.2.3.1 Pengertian dan Macam-Macam Aliran Feminisme

Para pemikir fenimisme memfokuskan perhatiannya pada masalah gender dan berupaya untuk membedakan antara pengertian ‘jenis kelamin’ (sex) yang merupakan kategori biologis dengan ‘gender’ yang merupakan konstruksi sosial (Morrisan & Wardhany, 2009:40). Didalam buku Sugihastuti (2000:37) terdapat dua penjelasan mengenai feminisme. Pertama adalah penjelasan dari Moeliono, yang menjelaskan bahwa feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Dan yang kedua, Geofe mendefinisikan fenimisme sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politk, ekonomi, sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Upaya yang dilakukan oleh para ‘feminis’ (sebutan untuk mereka yang mendukung paham feminisme) pada dasarnya lebih dari sekedar studi mengenai gender, namun juga menawarkan berbagai teori yang memfokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan dan menjelaskan hubungan antara gender sebagai salah satu kategori sosial dengan kategori sosial lainnya, seperti : ras, etnik, kelas dan seksualitas.

(15)

1. Feminisme Liberal

Feminis liberal muncul sebagai kritik terhadap paham liberal yang umumnya menjunjung tinggi persamaan dan kebebasan individual namun pada saat yang sama masih mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasarnya adalah bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan dan kapasitas rasio.

Feminisme liberal menghendaki reformasi sistem dan budaya masyarakat yang diskriminatif serta integrasi perempuan dalam berbagai peran di bidang ekonomi, politik, sosial dan pendidikan bersama-sama dengan kaum laki-laki. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin dominan yang melakukan opresi terhadap yang lain sehingga tercipta kesetaraan gender.

2. Feminisme Radikal

Feminisme radikal mengklaim, sistem patriarkal sebagai sumber opresi, ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi. Maka dan itu, sistem patriarkal tidak dapat dibentuk ulang, melainkan harus dicabut hingga akarnya untuk memberikan jalan bagi pembebasan kaum perempuan. Feminisme ini muncul pada abad 19, dengan mengangkat isu utama perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki, untuk mengkritisi gerakan feminisme liberal yang dianggap tidak cukup drastis dan dramatis. Sebagai fokus bagi perkembangan pemikirannya, aliran feminisme radikal berfokus pada seks, gender dan reproduksi sebagai penyebab fundamental opresi terhadap perempuan.

Pada tahun-tahun selanjutnya, semakin jelas bahwa meskipun feminisme radikal secara prinsip setuju bahwa seks, gender dan reproduksi adalah bentuk opresi yang pertama, yang paling menyebar dan paling dalam; tidak terdapat kesepakatan dalam kalangan ini mengenai sifat dan fungsi elemen-elemen tersebut maupun cara terbaik untuk menghapuskan opresi terhadap perempuan. Sebaliknya, dengan kemunculan berbagai pemikiran yang berbeda, komunitas feminis radikal terbagi menjadi dua kubu, feminisme radikal libertarian dan feminisnie radikal kultural.

(16)

Kelompok feminisme ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penganut feminisme marxis tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.

4. Feminisme Posmodern

Feminis posmodern hidup dalam lingkungan masyarakat yang telah memberikan hak-hak yang setara dan berbagai keuntungan bagi kaum perempuan. Maka dari itu, wacana publik era 1980an dan 1990an menyatakan secara tidak langsung bahwa karena perempuan telah mencapai kesetaraan dengan laki-laki, gerakan protes tidak perlu dilanjutkan lagi. Jika tidak, perempuan akan menjadi lesbian dan pembenci laki-laki.

5. Feminisme Eksistensialis

Simon de Beauvoir, salah satu tokoh utama dalam aliran feminisme ini memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha menyingkapkan struktur-struktur dari pengalaman hidup perempuan, khususnya yang berkaitan dengan pengalaman tubuhnya. Sementara, perhatian tokoh lainnya Jean Paul Sartre, hanya terfokus pada masalah tubuh dalam bentuk kesadaran.

2.2.3.1 Sejarah dan Perkembangan Feminisme Eksistensialis

Feminisme Eksistensialis merupakan salah satu jenis aliran pemikiran feminis. Aliran ini dipelopori oleh Simone De Beauvoir yang terkenal dengan bukunya yang berjudul The Second Sex. Paham-paham Beauvoir dalam feminisme eksistensialis ini dipengaruhi oleh paham eksistensialisme dalam filsafat milik Jean Paul Sartre. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi, dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

Ciri-ciri pemikiran filsafat eksistensialisme adalah (Syarifah, 2006:55) : 1. Pertama, kata eksistensi menunjukkan “cara manusia berada”, karena

(17)

menjadikan manusia sebagai ukuran semua hal yang menyangkut atau berkaitan dengan keutamaan).

2. Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis, yaitu berbuat, menjadi, merencanakan. Kedinamisan ini membuat setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.

3. Ketiga, menjadi lebih atau kurang dari keadaannya menunjukkan bawa manusia adalah realitas yang belum selesai yang masih harus dibentuk. Hal ini terutama, karena manusia terikat pada dunia sekitarnya, terutama pada sesama manusia.

4. Keempat, sebagai realitas yang belum selesai, pengalaman konkret, pengalaman kognitif manusia menjadi sangat penting dan harus mendapat perhatian utama untuk memahami cara manusia berada.

Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri dan Ada dalam dirinya sendiri. Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran yang hanya dimiliki oleh manusia. Perbedaan antara Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh. Tubuh mempunyai kehadiran yang konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan dan dirasakan. Sebaliknya, yang melihat, entitas yang melakukan tindak melihat, menyentuh, mendengar, mencium, dan merasakan bukanlah objek yang semata-mata dapat dilihat, melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-Adaan. Konsep Sartre yang paling dekat dengan feminisme adalah ”ada untuk orang lain”. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia. Sayangnya dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobjekkan perempuan dan membuatnya sebagai “yang lain” (Liyan). Jadi dalam hal ini laki-laki adalah subyek dan perempuan adalah objek (Tong, 2010: 255).

(18)

dari laki-laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanannya”. Tidak seperti istri atau kekasih, pelacur mendapatkan imbalan karena menjadikan tubuhnya sebagai alat pemenuhan mimpi laki-laki, yaitu ; “kemakmuran dan ketenaran”.

Peran feminin yang bahkan lebih problematik daripada pelacur adalah narsis. narsisme pada perempuan adalah hasil dari ke-Liyanannya. Perempuan merasa putus asa sebagai subjek karena ia tidak diperkenankan untuk terlibat dalam kegiatan mendefinisi diri, dan arena kegiatan femininnya tidaklah memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek penting atas dirinya sendiri. Perempuan mempercayai bahwa dirinya adalah suatu objek atas keyakinan yang ditegaskan orang disekitarnya. Perempuan terpesona bahkan menjadi obsesif terhadap citranya sendiri. Rasa menjadi subjek dan objek pada saat yang bersamaan, tentu saja merupakan ilusi semata. Seorang narsis dengan cara tertentu yakin bahwa ia merupakan sintesis mustahil dari Ada untuk Dirinya sendiri dan Ada pada Dirinya sendiri. Akhirnya narsisme menghambat kemajuan diri perempuan. Ia menjadi terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat.

Penghargaan diri seorang narsis tergantung kepada penilaian laki-laki dan masyarakat terhadap dirinya. Ia hanya cantik jika masyarakat menyatakan bahwa ia cantik. Ia sendiri tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk menyatakan kecantikannya. Banyak perempuan terobsesi pada penampilan, sehingga mereka berusaha untuk memperbaiki penampilannya yang sesungguhnya merupakan jalan agar perempuan tadi indah untuk dilihat oleh laki-laki. Dengan kata lain laki-laki akan lebih terpuaskan menjadikan perempuan sebagai objeknya.

Lalu yang ketiga dan yang paling problematik adalah perempuan mistis. Perempuan mistis ini tidak dapat membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan laki-laki dengan Tuhan. Perempuan dalam kategori ini berbicara tentang Diri yang Agung dan kemudian membicarakan laki-laki adalah Dewa. Dari segi feminisme ini dilihat bahwa perempuan selalu menjadi objek terutama di dunia yang sifatnya sangat patriarkal ini, dunia perempuan selalu akan dimasukkan ke dalam dunia laki-laki sebagai bukti penguasaan laki-laki terhadap perempuan.

(19)

dan kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri. Di dalam objektivikasi perempuan, misalnya dalam pornografi, perempuan seolah kehilangan eksistensi atas tubuhnya sendiri.

2.2.4 Foto

Foto sering digunakan dalam karya-karya desain visual dikarenakan foto memiliki sebuah kekuatan yang tak dimiliki oleh elemen lainnya, yakni kredibilitasnya atau kemampuannya untuk member kesan sebagai bukti yang dapat dipercaya karena foto memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan keadaan asli obek. Daya tarik sebuah foto, terutama dalam sebuah majalah sangat besar bagi pembacanya. Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan Konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:

Tabel 1

Teknik Dalam Pengambilan Gambar Penanda (Signifier) Petanda (Signified) Pengambilan Gambar

Ekstreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan Sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment pentin

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasi dan kurang otoritas

Fokus

(20)

objek)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek)

Pencahayaan

High Key Riang, cerah

Low Key Suram, muram

High Contras Dramatikal, teatrikal

Low Contras Realistik dan terkesan dokumenter Pewarnaan

Warm (kuning,oranye, merah, abu-abu) Optimisme, harapan, hasrat, agitasi

Cool (biru, hijau) Pesimisme

Black and White Realisme, aktualitas, faktual

Sumber : Keith Selby dan Ron Coedery,. How to Study Television (1995). London : Mc Millisan.

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya gambar (foto maupun film) dihasilkan. Pengambilan gambar secara extreme long shot dapat menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang sangat jauh. Pengambilan gambar secara long shot membuat subjek hanya sebagai bagian kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Kesan yang muncul adalah ketidakberatian subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila long shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu peristiwa yang tampak dari gambar tersebut.

(21)

Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.

Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari bawah. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada diatas subjek. Posisi semacam ini secara tidak langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.

Subjek yang diambil dari bawah (low angle shot), sebaliknya membuat subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata pemandang. Kesan yang muncul dalam angle seperti ini subjeklah yang lebih terkesan lebih powerfull, lebih otoritatif dibandingkan dengan posisi khalayak atau pemandang. Gambar yang diambil dengan eye level shot, memposisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara.

Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis foto. Fokus adalah kegiatan mengatur ketajaman objek foto yang telah dijadikan point of interest pada saat komposisi. Dilakukan dengan cara memutar ring fokus pada sehingga terlihat pada kaca pembidik, obek yang tadinya tidak tajam dan tidak jelas, menjadi fokus dan tajam serta jelas bentuk dan tampilannya (Mirza, 2004:48).

2.2.5 Objektivikasi Perempuan Dalam Media Massa

(22)

Dalam objektivikasi ini perempuan mengalami penundukan yang membuat mereka berada di tempat terendah dalam hirarki superioritas laki-laki (Syarifah, 2006:153).

Pada praktik objektivikasi, tubuh perempuan dianggap sebagai objek yang untuk dilihat dan dievaluasi. Perempuan hanya dinilai berdasarkan bagaimana penampilannya dan bukan berdasarkan kualitas pada dirinya. Hal tersebut akan membuat perempuan menjadi terobsesi pada penampilan dan sangat mementingkan keindahan fisiknya. Perempuan akan merasa tidak puas dengan tubuhnya bila dianggap tidak memenuhi standar kecantikan yang dibentuk oleh media massa.

Menurut Yohanes Paulus II (Hardiman, 2010:306), di dalam film dan di dalam seni fotografi, tubuh manusia tidak diperlakukan sebagai sebuah model yang telah mengalami proses transfigurasi dalam bentuk karya seni. Disini yang terjadi adalah reproduksi atas tubuh manusia yang diperoleh dengan menggunakan bantuan teknologi yang handal. Tubuh bukan lagi sebuah model transfigurasi, melainkan objek reproduksi.

Berdasarkan teori objektivikasi, tubuh perempuan dianggap sebagai objek untuk dilihat dan dievaluasi. Budaya masyarakat yang mengobjekkan tubuh perempuan, mensosialisasikan perempuan untuk memperlakukan dirinya sebagai objek yang dievaluasi atas dasar penampilan. Tiggerman dan Lynch mendefinisikan objektivikasi diri sebagai pikiran dan penilaian individual tentang rubuh yang lebih berasal dari perspektif orang ketiga, berfokus pada atribut tubuh yang tampak, daripada perespektif orang pertama yang berfokus pada hak istimewa yang dimilikinya atau atribut tubuh yang tidak tampak, seperti apa yang mampu dilakukan oleh tubuh tersebut (Suprapto dan Aditomo, 2007:187).

(23)

pada perempuan dan ketiga, penundukan yang menempatkan perempuan di tempat terendah dalam hirarki superioritas dan menjadi orang yang patuh dan taat.

Fenomena penggunaan tubuh perempuan dalam media massa ditampilkan dengan tujuan sebagai eksploitasi seksual dan komersial, agar laku di pasaran dan mendapat massa konsumen yang besar. Keuntungan yang didapat dari produsen majalah sangat ditentukan dari bagaimana konsumen dipancing melalui gambar-gambar sensual tubuh perempuan sehingga dapat menangkap sebanyak mungkin konsumen.

2.2.6 Pornografi

Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelaim manusia. Sifatnya yang seronoh, jorok vulgar membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat diperoleh dalam bentuk foto, Poster, leaflet, gambar video, film, dan gambar VCD, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan pencabulan (porno) (Bungin, 2008:338).

Awalnya, semua bentuk pencabulan atau tindakan tidak senonoh dengan menonjolkan objek seks disebut dengan kata porno. Saat ini ketika masyarakat sudah semakin terbuka, kemajuan teknologi komunikasi semakin berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Karena itu, secara garis besar, dalam wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan (pornografi) kontemporer, ada beberapa varian pemahaman porno yang dapat dikonseptualisasikan, seperti pornografi, pornoteks, pornosuara, pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan pornomedia (Bungin, 2008:337).

(24)

konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Pornografi).

Pornografi sudah banyak kita kenal, bahkan jenis porno ini yang paling umum karena jenis sifatnya yang mudah dikenal, mudah ditampilkan dan mudah dicerna. Pornografi dapat menggunakan berbagai media teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi) dan suara. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi.

Keberadaan perempuan dalam pornografi sama sekali tak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar, dan mewarnai, pembentukan sebuah sistem untuk memungkinkan berkembangnya pornografi dengan cara mengeksploitasi tubuh perempuan. Kapitalisme adalah salah satu sistem yang mengeksploitasi perempuan untuk memprodukasi pornografi. Kemudian, yang menjadi persoalan di sini adalah sejauh mana eksistensi tubuh perempuan, secara fisik dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komoditi dan bagaimana keindahan perempuan menjadi ajang eksploitasi ekonomi. Artinya, bagaimana potensi itu disalurkan dan dikendalikan, di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi untuk mengeruk keuntungan

Yasraf Amir Pilliang menyebutkan bahwa tubuh perempuan di dalam budaya kapitalisme tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value), umpamanya sebagai pekerja perempuan yang dilacurkan, pelayan; tetapi juga nilai tukarnya (exchange value) seperti perempuan model, hostess, dan dan kini nilai tandanya (sign value) seperti pornografi, seni erotis, video erotis, majalah erotis, situs porno, cyberporn. Maka tubuh perempuan telah menjadi politik tubuh dalam ekonomi politik dan budaya kapitalisme, tentu dengan segenap potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya (Syarifah, 2004:147).

(25)

dengan menjadikan perempuan sebagai teks dalam proses pasar media. Dalih dalam komodifikasi media biasanya karena perempuan yang bersangkutan sendiri menyukai atau mendapat kemanfaatan atas posisinya di pasar.

Kehebatan media massa yang begitu besar mampu mempengaruhi masyarakat terhadap sebuah realitas simbolik yang disajikan media massa, iklan-iklan di media cetak dan elektronik, maka terlihat jelas di situ ada semacam ekspolitasi perempuan, mulai dari kecantikan tubuh dan perilakunya, selalu menjadi bahan komoditi bernilai jual. Semakin cantik dan daya tariknya kian menarik, semakin lama ditampilkan. Tubuh dan seksualitas perempuan dijadikan alat komoditi untuk tujuan komersial, di mana kapitalisme atas nama globalisasi sangat berperan aktif. Penyamaran ini dilakukan dalam bentuk komodifikasi, yaitu memoles nilai guna sesuatu dengan nilai lain yang lebih menarik. Erotisme, seks, atau tubuh perempuan adalah salah satu magnet yang digunakan memoles sesuatu (dalam bentuk produk/jasa) agar diminati konsumen. Tubuh perempuan dapat tampil dalam bentuk foto, berita, ulasan, hingga iklan.

Maria Marcus menjelaskan bahwa tidak ada pornografi yang terlepas dari sikap masyarakat terhadap perempuan. Dia merujuk pada gambar-gambar yang diperlihatkan di dalam majalah-majalah pornografi. Kebanyakan adalah gambar-gambar yang menampilkan tubuh perempuan, sementara konsumennya terutama, berjenis kelamin laki-laki. Perempuan-perempuan yang hadir dalam gambar itu seakan-akan tidak berarti apapun, kecuali sosok-sosok yang tersedia bebas untuk digunakan sebagai alat pemuas kebutuhan birahi (Syarifah, 2006:134).

(26)

kebudayaan massa. Tepatnya, gambar tersebut merupakan bagian dari sebuah konstruksi sosial budaya massa, dengan segala muatan ideologis dibelakangnya (Pilliang, 2003:159-160).

2.7. Majalah

2.2.7.1 Karakteristik Majalah

Majalah merupakan media yang paling simple organisasinya, relatif lebih mudah mengelolanya serta tidak membutuhkan modal yang banyak. Majalah juga dapat diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, dimana mereka dapat dengan leluasa dan luwes menentukan bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya. Meskipun sama-sama sebagai media cetak, majalah tetap dapat dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik tersendiri, yaitu (Ardianto,2004: 113-114) :

1. Penyajian lebih dalam

Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, dwi mingguan bahkan bulanan. Majalah berita biasanya terbit mingguan, sehingga para reporternya punya waktu cukup lama untuk memahami dan mempelajari suatu peristiwa. Mereka juga mempunyai waktu yang leluasa untuk melakukan analisisi terhadap peristiwa tersebut, sehingga penyajian berita dan informasinya dapat dibahas secara lebih dalam. Analisis beritanya dapat dipercaya dan didasarkan pada buku referensi yang relevan dengan peristiwa.

2. Nilai aktualitas lebih lama

Apabila nilai aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari maka nilai aktualitas majalah bisa satu minggu. Sebagai contoh, kita akan menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila kita baca saat ini. Akan tetapi kita tidak pernah menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila kita baca

3. Gambar/foto lebih banyak

Jumlah halaman majalah lebih banyak, sehingga selain penyajian beritanya yang mendalam, majalah juga dapat menampilkan gambar atau foto yang lengkap, dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna, serta kualitas kertas yang digunakan lebih baik. Foto-foto yang ditampilkan majalah memiliki daya tarik tersendiri, apalagi apabila foto tersebut sifatnya eksklusif.

4. Cover (sampul) sebagai daya tarik

(27)

bergantung pada tipe majalahnya, serta konsistensi atau keajegan majalah tersebut dalam menampilkan ciri khasnya.

2.2.7.2 Majalah Pria Dewasa

Esquire yang didirikan pada 1933, adalah majalah pria berkelas pertama. Ia terkenal karena isinya yang bermutu sastra selama bertahun-tahun memuat artikel mengenai sastra. Fashion juga menjadi aspek penting dalam isi Esquire. Hugh Hefner belajar tentang majalah saat dia masih menjadi staf di Esquire. Lalu dia mengaplikasikan ilmu yang didapat dengan menciptakan majalah Playboy tahun 1953.. Pada puncak kejayaannya, Playboy terjual sampai 7 juta dalam waktu sebulan. Majalah ini menekankan foto telanjang wanita dan juga artikel jurnalistik dan sastra yang menarik banyak pembaca. Pembaca yang tak ingin ketahuan kalau ingin melihat gambar tersebut akan berdalih bahwa mereka membeli majalah itu untuk membaca artikelnya (Vivian, 2007:115-116).

(28)

2.3 Model Teoretik

Gambar 4

Bagan Model Teoretik Penelitian Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah

Objek Penelitian Foto-foto Pada Rubrik Exposure Majalah Popular Edisi Oktober 2011

- Bentuk objektivikasi Perempuan dalam Foto - Mitos

Level Analisis - Teks (Foto)

-Konteks (Sosial, Budaya, Sejarah, Ekonomi)

Semiotika Roland Barthes - Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan -Denotasi dan Konotasi

Gambar

Gambar 1. Kategori Tipe Tanda dari Peirce
Gambar 2.
Gambar 3  Peta Rholand Barthes
Tabel 1
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 38 .Tahun 2015 tentang Pemberian Gaji/ Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun

Batasan Masalah pada Perancangan dan Implementasi Aplikasi Kamus Bahasa Biak pada android yaitu menerjemahkan bahasa Biak ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya, kamus ini

The ability of the powered prosthesis and controller to provide level walking functionality was assessed by characterizing the knee and ankle joint biome- chanics (e.g., joint

lalu lintas ya, jadi saya berpikirnya karena memang tidak lewat jalur- jalur seperti itu, saya anggap gak jadi masalah kalo gak pake, jadi anak gakmau yaudah, pake yang

Inti bumi merupakan lapisan paling dalam dari struktur bumi yang terdiri dari material cair, dengan penyusun utama logam besi (90%), nikel (8%), dan lain-lain yang terdapat

Kriptografi merupakan ilmu yang digunakan untuk mengamankan data. Tetapi kriptografi perlu di- update atau dimodifikasi untuk meningkatkan keamanan. Dalam penelitian

Sebaliknya ketika aktivitas matahari maksimum EM menyebabkan intensitas sinar kosmik yang sampai ke atmosfer bawah menjadi minimum sehingga tutupan awan menjadi