• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di Kota Medan Dalam Studi Kasus Kerusuhan Mei 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di Kota Medan Dalam Studi Kasus Kerusuhan Mei 1998"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI

2.1Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah pandangan atau pendapat sesudah melakukan penyelidikan atau mempelajarinya (KBBI, 2003:1998).Pustaka adalah kitab-kitab; buku (KBBI, 2003:912).Jadi, tinjauan pustaka adalah hasil meninjau atau hasil pandangan terhadap buku-buku maupun jurnal-jurnal yang sudah diselidiki atau dipelajari sebelumnya.

Penulis menemukan beberapa buku, skripsi, jurnal yang isinya relevan dengan judul penelitian ini.

Leo Suryadinata dalam Dilema Minoritas Tionghoa (1984) membicarakan pandangan pribumi tentangkebangsaan Indonesia dan minoritas Tionghoa, kemudian membahas perekonomiandan masyarakat Tionghoa Indonesia.Selain itu buku ini juga membahaskebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Indonesia terhadap minoritas Tionghoa danterhadap RRC. Sebuah buku yang tentunya akan sangat membantu penulis terutamakajian tentang kebangsaan dan kebijakan pemerintah terhadap etnik Tionghoa.

Bimo Walgito dalam Psikologi Sosial (1994) membahas tentang perilaku individu dan perubahan perilaku individu akibat adanya stimulus yang diterima oleh individu baik stimulus eksternal maupun stimulus internal serta factor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku manusia.

(2)

seluruhnya tersimpan di dalam batin orang Tionghoa namun secara fisikpergulatan itu tidak kelihatan. Berbagai topik seperti kegalauan orang Tionghoamencari sejarahnya, kegalauan mencari identitas , kagalauan dalam pergaulan danberbagai kegalauan lainnya yang tidak pernah diijinkan atau jarang ditampilkan keluar oleh etnis Tionghoa. Melalui buku ini penulis berharap bisa untuk melihatpermasalahan Tionghoa dari sudut pandang etnis Tionghoa itu sendiri.

Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1966-1999

(2006), menjelaskan kekerasan anti-Tionghoa di Indonesiaselama masa transisi sosial, politik dan ekonomi.Dalam buku ini terlihat jelassentimen anti-Tionghoa yang berujung pada aksi kekerasan.Beliau melihat kondisi minoritas Tionghoa ditengah situasipolitik, sosial, ekonomi pemerintahan Orde Baru.

Pujiwiyana dalam Perubahan Perilaku Masyarakat Ditinjau dari Sudut Budaya (2010) menjelaskan tentang Semua objek dan kejadian yang terjadi di alam ini sebagai akibat sebagai ulah manusia adalah kebudayaan. Wujudnya mulai dari proses dan dasar manusia berulah sampai dengan produk ulahnya itu, yaitu mulai dari bagaimana cara berpikir, bersikap, dan cara berperilaku, sampai dengan perwujudan cara berpikir dan berperilaku mereka.

Fri Yanti dalam Kerusuhan di Kota Medan pada Mei 1998 (2010)(skripsi)

menjelaskan kerusuhan yang berawal dari unjuk rasa yang berujung pada aksi anarkis massa. Gerakan aksi tersebut disinyalir oleh rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah yang dianggap kurang mampu mengatasi krisis moneter.

(3)

terorganisasi, tidak bertujuan, dan menggnakan kekerasan, baik untuk menghancurkan, menyerang orang lain, atau menjarah barang.

Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960 (2013), menjelaskan tentang berbagai problematika dan tantangan yang di hadapi oleh etnis Tionghoa di Medan baik dari segi ekonomi, sosial maupun politik yang dihadapi dari berbagai periode pemerintahan. Dari aspek sejarah buku ini juga membahas tentang kehidupan sosial etnis tionghoa sejak awal kedatangannya.

Noviani Soraya dalam Dampak Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 terhadap Masyarakat di Kelurahan Perdagangan (2014) (skripsi)menjelaskan tentang penyebab krisis moneter yang terjadi di Kelurahan Perdagangan yang menyebabkan kerusuhan pada tanggal 6 mei 1998 yang membawa dampak psikologi dan sosial bagi masyarakat Tionghoa.

Farid Muzakky dalam Interaksi Sosial Etnis Tionghoa dengan Masyarakat Pribumi di Kota Yogyakarta (2016)(skripsi) menjelaskan tentang sejarah kedatangan Etnis Tionghoa di Indonesia, kondisi sosial Etnis Tionghoa di Yogyakarta serta pembauran kebudayaan yang melibatkan etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi di kota Yogyakarta.

2.2Konsep

(4)

Berdasarkan KBBI (2003:588) konsep diartikan sebagai rencana atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek ataupun yang ada diluar bahasan yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

2.2.1 Perubahan Nilai Budaya

Perubahan nilai budaya adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.Unsur-unsur yang termasuk ke dalam sistem sosial adalah nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilakunya diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Selain itu perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat (Kingsley davis, dalam Srirahayu 2014:13).

Perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.Secara singkat Samuel Koening mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia (Gillin, dalam Srirahayu, 2014:13).

(5)

kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya.Perubahan budaya adalah perubahan unsur-unsur kebudayaan karena perubahan pola pikir masyarakat sebagai pendukung kebudayaan.Unsur-unsur kebudayaan yang berubah adalah sistem kepercayaan/religi, system mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan tehnologi, bahasa, kesenian, serta ilmu pengetahuan (Soekanto, dalam Adi, 1990:5).

Perubahan pada bidang-bidang kehidupan tertentu tidak hanya semata-mata berarti suatu kemajuan, namun dapat pua berarti kemunduran. Apabila terjadi perubahan nilai sosial maka akan terjadi juga perubahan sikap mental,pola pikir dan tingkah laku anggota masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek kehidupan manusia dibedakan menjadi dua yaitu aspek manusiawi dan aspek tidak manusiawi.Aspek kehidupan manusiawi diungkapakan sesuai dengan sistem nilai sosial dan budaya sebagai pandangan hidup, melalu sikap saling menyayangi, melindungi, menghargai, dan lainnya yang dirasakan sebagai keindahan hidup.Sebaliknya aspek kehidupan tidak manusiawi diungkapkan melalui sikap dan perbuatan yang saling acuh, merugikan, menggelisahkan dan menjadikan manusia menderita.

Faktor-faktor penyebab perubahan nilai sosial dan kebudayaan

(6)

Soekanto menyebutkan adanya faktor internal dan eksternal yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat (1990:342).

1. Faktor internal

a. Perubahan Jumlah Penduduk

Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat cepat, menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakatnya, terutama tentang hal yang menyangkut lembaga-lembaga kemasyarakatan.Lembaga sistem hak milik atas tanah mengalami perubahan-perubahan.Orang mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil, dan sebagainya, yang sebelumnya tidak dikenal. Sebaliknya, berkurangnya penduduk disebabkan karena berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari satu daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk tersebut mangakibatkan kekosongan misalnya dalam bidang pembagian kerja atau stratifikasi sosial yang selanjutnya dapat memperngaruhi lembaga-lembaga kemasyrakatan (Endar, dalam Adi, 2009:57).

b. Penemuan-Penemuan Baru

Penemuan-penemuan juga dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan pada masyarakat meliputi beberapa hal berikut.

(7)

2. Invention adalah discovery yang telah diakui, diterima, dan diterapkan oleh masyarakat. Jadi, invention merupakan bentuk pengembangan dari discovery. 3. Inovasi artinya suatu penemuan baru apabila unsur atau alat baru yang

ditemukan tersebut sudah menyebar ke bagian-bagian masyarakat dan dikenal serta dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Jadi, pada saat penemuan menjadi invention, proses inovasi belum selesai.

c. Teknologi

(8)

d. Pertentangan (Conflict)

Sebagai proses sosial, pertentangan (conflict) merupakan proses disosiatif, namun selalu berakibat negatif. Pertentangan atau konflik dalam masyarakat dapat berupa hal-hal berikut:

1. Pertentangan antara individu di dalam masyarakat 2. Pertentangan antar kelompok di dalam masyarakat

3. Pertentangan antara individu dengan kelompok di dalam masyarakat. 4. Pertentangan antar generasi di dalam masyarakat

Sebenarnya, hubungan antara pertentangan dengan perubahan sosial budaya bersifat timbal balik, yaitu pertentangan di suatu masyarakat dapat memungkinkan terjadinya perubahan sosial budaya, dan sebaliknya perubahan sosial budaya di dalam masyarakat dapat memungkinkan terjadinya pertentangan(Endar, dalam Adi, 2009:58).

e. Keterbukaan masyarakat

Sifat masyarakat yang terbuka mempermudah masyarakat tersebut untuk menerima unsur-unsur baru atau menyerapnya dalam kehidupan sosial dan budayanya. Oleh karena itu, masyarakat yang bersifat terbuka akan mempermudah terjadinya perubahan-perubahan sosial maupun budaya.

f. Pemberontakan atau revolusi

(9)

2. Faktor Eksternal

a. Lingkungan alam (lingkungan fisik)

Perubahan lingkungan alam fisik (bukan karena faktor manusia) dapat membawa perubahan pada kehidupan sosial budaya suatu masyarakat.Bencana alam yang dahsyat dapat mengubah struktur sosial budaya masyarakat setempat (Endar, dalam Adi, 2009:61).

b. Peperangan

Perang menyebabkan pada banyak aspek.Pihak yang menang pada umumnya berupaya menerapkan norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap paling benar oleh masyarakat mereka.

c. Kontak kebudayaan dengan masyarakat lain

Kontak kebudayaan antar masyarakat akan menyebabkan pengaruh positif dan negatif. Contoh: kontak kebudayaan Indonesia dengan kebudayaa barat (Eropa). Pengaruh positif yang di dapat oleh masyarakat Indonesia antara lain berupa transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun pengaruh negatif yang diperoleh bangsa Indonesia dapat berupa sikap sekelompok anak muda di dalam masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan (westernis).

Proses terjadinya pengaruh perubahan karena kontak kebudayaan dengan masyarakat lain dijelaskan sebagai berikut:

(10)

2. Akulturasi kebudayaan : pertemuan antar dua kebudayaan atau lebih di mana kebudayaan asli masih tampak.

3. Asimilasi kebudayaan: proses pertemuan dan percampuran dua kebudayaan atau lebih. Faktor yang merubah terjadinya asimilasi antara lain toleransi, pernikahan campur, atau sikap simpati terhadap kebudayaan lain.

Di dalam masyarakat yang mengalami suatu proses perubahan, terdapat faktor- faktor pendorong jalannya perubahan. Kekuatan-kekuatan pendorong

(motivational forces) yang mempengaruhi perubahan antara lain sebagai berikut : a. Adanya ketidakpuasan terhadap situasi yang ada, karena itu ada keinginan akan

situai yang lain.

b. Adanya pengetahuan tentang perbedaan antara apa yang ada dengan yang seharusnya bisa ada.

c. Adanya tekanan-tekanan dari luar, seperti persaingan atau kompetisi, keharusan-keharusan menyesuaikan diri, dan sebagainya.

d. Adanya kebutuhan-kebutuhan daridalam untuk mencapai efisiensi dan peningkatan, misalnya produktivitas (Margono Slamet, dalam Adi, 2009:62).

2.2.2 Etnis

(11)

kesamaan sifat – sifat kebudayaan misalnya, bahasa, adat istiadat, perilaku dan budaya karakterisik budaya serta sejarah (Ester, dalam Indra2003:9).

Menurut Koentjaraningrat, etnis adalah suatu golongan dari masyarakat yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan budaya, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Menurut (Naroll, dalam Liliweri, 2001:335) Kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang:

a. Secara biologis mampu berkembang baik dan bertahan. b. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

c. Memiliki nilai – nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa keberasmaan dalam bentuk budaya.

Etnik adalah himpunan manusia karena kesaman ras, agama, asal usul, bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai kebudayaannya (Lillweri 2001:335).

(12)

2.2.3 Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis di Indonesia yang berasal dari negara persisir Tenggara Cina yang terletak dikawasan Asia, yang memiliki eksitensi di Indonesia dan memilik kekayaan budaya. Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan dengan kararkter Han (Hanzi). Nama ini digunakan secara luas oleh Negara Republik Rakyat Cina, Hongkong, Makau, dan keturunan Tionghoa mulai pada abad ke-15 ketika armada perdagangan Cina datang mengungjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang sistem barter.Tionghoa atau tionghow adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia yang berasal dari kata zhonghua dalam bahasa Mandarin, Zhonghua dalam dielek hokian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Etnis Tionghoa merupakan salah satu komunitas masyarakat yang sebenarnya masih memiliki tradisi Emigran. Ditandai dengan dimilikinnya sifat fleksibel, ulet, dan tidak segan bekerja keras tahan banting dan punya rasa solidaritas tinggi. Disamping itu pula.Adanya budaya Nepotis dan Stereotip yang demikian melekat membekali sebagai besar etnis Tionghoa menjadikan kalanagan ini menjadu cenderung eksklusif, opurtunistis, serakah, pelit, maunya untung dan enaknya saja, ahli dalam menyogok.

Adapun ciri – ciri etnis Tionghoa sebagai berikut ; 1. Lebih menojol pada bidang Wiraswasta

(13)

Karakteristik dari budaya Tionghoa dibagi menjadi dua, yakni eksternal dan internal, eksternal adalah wujudnya atau bentuk dari budaya itu sendiri, sedangkan internal adalah karakternya yakni spritnya dari budaya itu sendiri, namun para ahli masih berbeda pendapat mengenai kedua karakteristik ini. Kalau disimpulkan wujudnya eksternalnya dapat dibagi menjadi empat aspek yaitu.

1. Kesatuan

Budaya Tionghoa dalam sejarahnya selama ribuan tahun, secara pelan – pelan membentuk sebuah budaya yang menjadikan Tionghoa sebagai pusat/ estrnal, dan bersamaan juga menghimpun budaya bangsa lain menjadi bagian/ terintergasi dalam budaya Tionghoa. Bentuk penyatuan ini berfungsi kuat dalam pengasimilasian, dan perlu kita ketahui bahwa budaya Tionghoa dalam sejarah Tiongkok jaman apapun tidak pernah pecah dan tercerai berai.walaupun mendapatkan ancaman dari luar, kekacauan politik, perpecahan negara., budaya Tionghoa masih tetap utuh kokoh.karakteristik ini sangat sulit ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain didunia.

2. Berkesinambungan

(14)

3. Sangat menerima dan tenggang rasa

Budaya Tionghoa sangat welcome terhadap budaya lain. semuanya diterima baik didalamnya. Seperti agama Buddha yang berasal dari India, semuanya diterima menjadi bagian dari budaya Tionghoa itu sendiri.

4. Aspek keanekaragaman

Meskipun budaya Tionghoa merupakan satu kesatuan yang utuh, namun dengan berbagai suku bangsa dan sub suku bangsa didalamnya menjadikannya sangat beraneka ragam.

Adapun karakteristik internal itu juga banyak aspeknya,tapi pada umumnya adalah :

1. Menurut Feng Youlan, budaya Tionghoa ditinjau dari aspek filosofisnya adalah unsur confusianisme yang dominan,confusianisme sangat berperan penting dalam membangun moralitas dan psikologis orang Tionghoa. 2. Menurut Ren Jiyue, budaya Tionghoa dari aspek religius terbentuk dari

tiga agama yang menyatu, yakni konfusianisme, taoisme dan buddhisme. 3. Menurut Li Zehou, budaya Tionghoa dtinjau dari aspek estetika, tradi

budaya Tionghoa terbentuk dari kumpulan aspek sosiopolitik dan filosofi. 4. Menurut Liang Shuming, budaya Tionghoa menjadikan etika, hubungan

(15)

Budaya Tionghoa akan mendapat tantangan yang luar biasa di era golabalisasi ini, dengan gempuran budaya Barat yang sangat dasyat, sehingga banyak orang merasa kuatir generasi muda akan membuang tradisi Tionghoa. Budaya Tionghoa sekarang berada dalam masa / tahap perubahan dan tahap perkembangan. Perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan taraf hidup secara ekonomi akan mempengaruhi pola pikir, gaya hidup, cara berpakaian, hobby, moral , etika terus berubah. Oleh karena itu, sebaiknya ada kesadaran kita sebagai generasi muda untuk memfilter budaya asing yang negatif dan memahami budaya sendiri, sehingga kita tidak kehilangan jati diri kita. Perkembangan dan pemeliharan Budaya Tionghoa dimasa depan terletak ditangan kita.

2.3Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan yang berfungsi untuk menganalisis berbagai fenomena.Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, Atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu (Soekanto 2001:30).Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.Tanpa adanya teori, pengetahuan hanya menjadi serangkaian fakta saja, tetapi tidak ada ilmu pengetahuan.Karena teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta yang dipelajari.

2.3.1 Teori WHO

(16)

1. Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek kesehatan).

a. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.

b. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

c. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain.

d. Nilai ( value)

Dalam suatu masyarakat selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menjalankan hidup bermasyarakat. 2. Tokoh penting sebagai panutan.

Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.

3. Sumber-sumber daya (resources)

Sumber-sumber daya mencakup fasilistas-fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya.Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat.Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat posifit maupun negatif.

(17)

Di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup ( way of life) yang pada umunya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat.Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia.Kebudayaan setempat juga sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang.

2.3.2 Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dapat digunakan dalam menganalisa mekanisme kebudayaan - kebudayaan secara tersendiri, tetapi teori ini tidak mengungkapkan dalil - dalil sendiri untuk menerangkan mengapa kebudayaan memiliki unsur - unsur budaya yang berbeda dan mengapa terjadi perubahan dalam kebudayaan (Malinowski dalam Joy, 2014:16).

(18)

dipengaruhi oleh pemikiran dan tindakan orang lain di sekitarnya, sehingga manusia tidak pernah seratus persen menentukan pilihan tindakan, sikap, atau perilaku tanpa mempertimbangkan orang lain.

Bagi Malinowski (T.O. Ihromi, 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa, “semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat”. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat; 2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada

(19)

kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap

kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.

Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown (T.O.Ihromi, 2006) mengatakan,

“...bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur social masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”

Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya mengandung deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakan Radcliffe-Brown, dan dapat dirumuskan mengenai upacara budaya (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut:

(20)

2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;

3. Sentimen itu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;

4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;

5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya.

Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada solidaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “...the social function of the ceremonial customsof the Andaman Islanders is to transmit from

one generation to another the emotionaldispositions on which the society (as it

constituted) depends for its existence.”

Referensi

Dokumen terkait

Deklarasi persona non-grata yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk staf misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada

Pencabutan empat gigi premolar pertama meru- pakan pilihan yang dilakukan untuk menda- patkan ruang yang dibutuhkan untuk retraksi 2 mm gigi anterior rahang atas dan bawah

Maka pada paper ini akan diulas perbedaan-perbedaan antara SDM Laki-laki dan Perempuan yang akan menimbulkan tindakan manajemen yang baik agar hambatan yang timbul dari perbedaan

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau

dapat disimpulkan bahwa penerapan Tri Hita Karana yang terdiri dari parhyangan, pawongan, dan palemahan secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat

[r]

Simpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team-Achievement Division (STAD) dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa

Menurut Ismaun sedikitnya terdapat empat langkah atau tahapan yang ditempuh oleh peneliti sejarah dalam mengembangkan metode historis, yakni: (1) heuristik, (2)