BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kearifan
lokal, sinandong, tradisi lisan dan melayu Tanjungbalai. Berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa konsep tersebut dan diberi batasan agar tidak terjadi
salah penafsiran bagi pembaca.
2.1.1 Kearifan Lokal
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau
kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sibarani1, 2012:112). Nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Jenis kearifan lokal menurut Sibarani (2012) yaitu (1) kesejahteraan (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan,
(10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (17)
rasa syukur.
misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja,
bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung. Dengan kata lain, tradisi lisan sebagai warisan leluhur mengandung kearifan lokal yang dapat
dimanfaatkan dalam pemberdayaan masyarakat untuk membentuk kedamaian dan meningkatkan kesejahteraan (Sibarani, 2012:132).
2.1.2 Sinandong
Sinandong dalam bahasa Melayu Tanjungbalai, bersinonim atau mempunyai kesamaan kata dengan kata senandung dalam bahasa Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005:1032), ”... senandung adalah nyanyian atau alunan lagu dengan suara lembut untuk menghibur diri atau
menidurkan bayi.” Sedangkan pengertian Sinandong Asahan adalah tradisi lisan
yang berupa syair atau nyanyian yang isinya menceritakan tentang perihal kehidupan masyarakat yang berisi tentang alam, lingkungan, pemikiran, dan
kehalusan budi pekerti yang hidup dalam masyarakat yang tinggal di pinggir pantai, terutama pada masyarakat Melayu Tanjungbalai. Dalam pengucapannya memakai pantun dan mantra disertai kata-kata interjeksi, yaitu dan suku kata
tanpa arti (non-meaning syllables) (Sahril, 2007:79).
Dalam konteks budaya Melayu Tanjungbalai, sinandong ini dibagi ke
dalam beberapa jenis yaitu:
1) Sinandong mengenang nasib, sinandong yang dinyanyikan oleh seorang
ibu yang mengenang nasibnya akibat kesusahan.
3) Sinandong nelayan atau didong, nyanyian nelayan untuk memanggil
(memuja) angin.
4) Sinandong pengobatan atau gubang, nyanyian yang berfungsi untuk
memanggil roh-roh untuk memanggil orang sakit.
5) Sinandong muda-mudi, jenis nyanyian yang dilantunkan bersama-sama dalam suatu permainan nek gobek pada saat bulan purnama.
6) Sinandong dobus, sinandong yang dinyanyikan sehabis bermain dobus oleh salah seorang anggota dobus.
7) Sinandong hiburan, sinandong yang dinyanyikan pada waktu-waktu tertentu dalam acara perkawinan, mencukur anak, dan lain-lain (Sahril, 2007:79-82).
2.1.2.1 Sinandong sebagai Karya Sastra
Puisi Melayu dianggap ciptaan asli orang-orang Melayu. Pada dasarnya
atau pada mulanya puisi Melayu lama disampaikan secara lisan. Kebanyakan isi puisi-puisi itu ditulis kembali agar tidak hilang ditelan jaman. Sebahagian lagi, puisi itu masih tetap berkembang di masyarakat tanpa didokumentasikan. Puisi
tradisi sudah lama berkembang di dalam masyarakat Melayu, yaitu sejak jaman orang-orang Melayu belum lagi mengenal huruf dan sistem tulisan. Sampai
sekarang, masih terdapat beberapa jenis puisi lama yang terus berkembang. Puisi Melayu lama mempunyai nilai keindahan dan falsafah tersendiri.
Nilai falsafah itu dipengaruhi oleh alam sekelilingnya. Keseluruhan puisi ini menggambarkan semua aspek kehidupan, seperti hiburan, senda gurau, pengajaran, kepercayaan, upacara, adat-istiadat, dan lain-lain. Masyarakat Melayu
terang. Pada anggapan mereka, orang yang berterus terang itu dianggap sebagai
orang yang tidak tahu sopan santun dan tidak memiliki etika.
Masyarakat Melayu tradisi percaya kepada makhluk gaib yang menghuni
setiap sudut dan ruang bumi ini. Makhluk itu dapat membawa kecelakaan dan kesaktian kepada manusia. Untuk menghindari bahaya dari makhluk gaib, orang Melayu mempercayai pantang dan larang untuk dipatuhi agar tidak menimbulkan
kemarahan makhluk tersebut. Peraturan adat yang ketat ini terpaksa dipatuhi, jika diabaikan akan mendapat akibat yang buruk.
Kepercayaan terhadap kuasa-kuasa gaib telah melahirkan sejenis media penghubung dengan kuasa gaib tersebut. Melalui pengucapan bahasa yang khas, dengan susunan yang ketat, teratur, dan sistem bunyi yang tertentu. Melalui
pengucapan bahasa tersebut, orang Melayu mengadakan hubungan dengan makhluk gaib. Susunan bahasanya hendaklah tepat, tidak boleh diubah. Jika
susunannya diubah, maka pengucapan tersebut tidak akan memberi kesan magis dan hubungan yang harmonis dengan kuasa gaib tidak akan terwujud.
Susunan bahasa tersebut disebut jampi atau mantra. Mantra merupakan
bentuk puisi yang paling awal yang lahir dalam masyarakat Melayu. Mantra mengandung kekuatan sakti. Melalui mantra, orang Melayu mengadakan
hubungan dengan makhluk gaib. Dari bentuk mantra inilah berkembang bentuk puisi yang lain, seperti pantun, bidal, seloka, ghazal, byat, syair, dan lain-lain.
Oleh karena masyarakat Melayu tradisional ini statis dan terikat dengan peraturan ketat yang terwujud dalam masyarakat, maka hasil pengucapan puisi yang diwarisi dan diciptakan, biasanya terikat kepada peraturan yang telah
”Puisi Melayu lama terikat dengan corak tradisi yang telah diwujudkan dalam masyarakat mereka, namun orang Melayu masih bebas untuk mencipta atau mengolahkan puisi dalam lingkungan corak tradisi itu. Daya cipta dalam pengolahan puisi dapat dilihat dalam kegiatan berbalas pantun; demikian juga dalam mengarang sebuag hikayat dalam bentuk puisi syair. Untuk membolehkan pengarang berbuat demikian dia memerlukan daya cipta yang tinggi untuk mencari persamaan rima di akhir setiap baris dan menyusunkan jalan cerita menurut rangkap-rangkap yang tersusun.”
Oleh karena puisi Melayu itu lahir melalui tradisi lisan bukan tulisan, maka unsur keindahan dalam pencitaannya adalah bunyi. Tekanan pada rima akhir
adalah ciri yang penting dalam puisi Melayu. Di samping itu, jumlah tiap suku kata dalam setiap baris juga sangat ditekankan. Supaya puisi ini dapat dinikmati
dengan sempurna, maka puisi tersebut harus diucapkan atau dinyanyikan. Jadi, jika hendak mengenal puisi lama, maka harus dikenali juga kebudayaan dari masyarakat lama tersebut.
Di Indonesia, Puisi Melayu lama atau puisi Melayu tradisional adalah salah satu cabang dari Puisi Indonesia Klasik. Periode kesusastraan ditetapkan
atas dasar waktu penciptaan karya sastra itu dan adanya pola-pola yang khas di Bentuk syair dibawa oleh orang Persia yang beragama Islam ke Indonesia sekitar
abad kelima belas. Di Arab-Persia pada saat itu ada puisi Arab yang dinamakan syi’r. Namun, Amin Sweeney, seorang sarjana klasik Indonesia, menyatakan
bahwa syi’r yang ada di Arab berbeda dengan syair yang berbahasa Melayu
Hamzah Fansuri adalah pencipta syair Melayu yang pertama pada abad
keenam belas. Menurut Amin Sweeney, syair-syair yang diciptakan oleh Hamzah Fansuri mendapat pengaruh dari pantun yang terdapat dalam Sejarah Melayu –
sebuah kitab yang berisikan cerita tentang raja-raja yang berkuasa – (Yuwono, 2007:23). Sedangkan Syed Naguib al-Attas (Nor, 1991: viii) mengatakan, “... Hamah menciptakan syairnya berdasarkan pengetahuannya yang luas tentang
puisi Arab-Parsi. Istilah syair itu digunakannya secara sadar, yang juga didasarkan pada pengetahuannya terhadap bentuk syi’r dalam bahasa Arab.
Sedangkan dalam pengertian orang Melayu, syair adalah karangan berangkap yang terdiri dari empat baris sebait dengan persamaan bunyi pada tiap-tiap ujung barisnya. Cara penyampaiannya adalah dinyanyikan. Syair ini
berkembang pada beberapa suku Melayu yang ada di Indonesia, misalnya di Langkat dikenal dengan istilah Dedeng, di Gayo dengan istilah Dadong, di
Asahan dikenal dengan istilah Sinandong.
2.1.3 Tradisi Lisan
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu masyarakat yang
diturunkan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan
yang bukan lisan (nonverbal). Berkaitan dengan definisi di atas, ciri tradisi lisan diringkaskan menurut Sibarani (2012:123) sebagai berikut:
”(1) kebiasaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan, (2) memiliki peristiwa atau kegiatan sebagai konteksnya, (3) dapat diamati dan ditonton, (4) bersifat tradisional, (5) diwariskan secara turun temurun, (6) proses penyampaian dengan media lisan atau “dari mulut ke
telinga”, (7) mengandung nilai-nlai budaya sebagai kearifan lokal, (8)
2.1.4 Melayu Tanjungbalai
Tanjungbalai adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Luas wilayahnya 60,52 km² dan penduduk berjumlah 154.445 jiwa. Kota ini
berada di tepi Sungai Asahan, sungai terpanjang di Sumatera Utara. Jarak tempuh dari Medan lebih kurang 186 km atau sekitar lima jam perjalanan kendaraan (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tanjungbalai).
Sebelum Kota Tanjungbalai diperluas dari hanya 199 ha (2 km²) menjadi 60,52 km², kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah
penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per km². Akhirnya Kota Tanjungbalai diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987,
tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan. (Maha, 2002:3-4)
Kota Tanjungbalai terletak diantara 2 58‟ LU dan 99 48‟ BT, dengan luas
wlayah 60, 529 Km (6.052,9 Ha) berada dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan dengan batas-batas sebagai berikut: (Maha, 2002:4)
Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat.
Sebelah Utara dengan Kecamatan Tanjungbalai.
Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei.Kepayang.
Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang Empat.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Antropologi Sastra
simbolik. Sastra pun demikian senantiasa memandang tindakan manusia yang
ditampilkan secara imajinatif dan simbolik. Secara kesastraan Wellek dan Warren menempatkan “Ekstrinsik adalah pendekatan yang menafsirkan hubungan karya
itu dengan lingkungan luar sastra, seperti masyarakat, politik, dan kejiwaan. Sastra berhubungan dengan manusia dalam masyarakat. Usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu (sistem yang
berlaku). Pandangan serupa itu rupanya didorong oleh pesatnya perkembangan pengetahuan sosial sebagai disiplin pada abad ini (Wellek dan Werren, 1989:110).
Secara etimologi, antropologi sastra berasal dari kata antopologi dan sastra. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan manusia, sedangkan sastra adalah karya yang bernilai keindahan yang menceritakan tentang
kehidupan manusia. Titik temu kedua disiplin ilmu ini adalah sama-sama membahas tentang manusia. Bedanya, antropologi menitikberatkan kajian
terhadap kebudayaan manusia di alam nyata sedangkan sastra membicarakan manusia yang ada di dalam karya sastra. Jadi, antropologi sastra mempermasalahkan kebudayaan masyarakat yang ada di dalam karya sastra.
Antropologi sastra merupakan model pendekatan interdisiplin yang relatif baru. Antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk
mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu. Analisis antropologis adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas
terhadap karya tersebut, dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu, dalam hubungan ini ciri-ciri kebudayaannya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa setiap karya sastra selalu
tercipta. Dengan analisis teori Antropologi sastra, manusia dipahami sewaktu ia
membuat pilihan, atau keputusan atau tujuan yang berbeda dan alat-alat untuk mencapainya menjadi unit tindakan terbentuk perbuatan oleh pelaku, alat-alat,
tujuan, suatu keberadaan lingkuangan yang terdiri dari objek-objek fisik dan sosial, norma-norma dan nilai-nilai budaya (Craib, 1994:60-61).
Nilai-nilai budaya memiliki kearifan lokal yang sangat kaya, baik dalam
bentuk sastra lisan maupun tulisan, baik yang dikemukan melalui sastra lama maupun modern. Keberagaman adat istiadat adalah lautan makna yang tak pernah
habis untuk dinikmati dan diteliti. Perbedaan yang dimaksud yang tercermin melalui motto bhinneka tunggal ika menunjukkan kekayaan masa lampau yang harus dipelihara. Salah satu caranya adalah melalui karya sastra, dalam hubungan
ini pendekatan antropologi sastra. Dengan demikian, pendekatan antropologi sastra memiliki kaitan erat dengan kajian budaya (Ratna, 2011:43).
Umumnya karya sastra masyarakat tradisional, seperti sinandong merupakan ekspresi diri kehidupan sosial masyarakat serta adat istiadat. Apabila dianalisis sinandong ini dihubungkan dengan pendekatan antropologi sastra,
terlihatlah bagaimana kearifan lokal dalam sinandong Asahan Melayu Tanjungbalai, sehingga teks sinandong merupakan gambaran kearifan lokal yang
dimiliki suku ini.
Kearifan lokal perlu dipelihara dan dilestarikan. Sebagai sistem norma
dalam kebudayaan lokal juga terkandung pengetahuan lokal, pengetahuan tradisional, yaitu berbagai konsep, bahkan teori yang sudah digunakan oleh nenek moyang dalam rangka menopang keberlangsungan kehidupannya. Dikaitkan
merupakan sumber kearifan lokal itu sendiri. Kearifan lokal, budaya lokal tidak
jauh berbeda dengan masa lampau, semuanya memiliki kaitan dengan masa lalu (Ratna, 2011:97).
Tradisi budaya atau tradisi lisan memiliki berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur yang disebut sebagai kearifan lokal. Maka, dalam penelitian ini, jenis-jenis kearifan lokal yang terdapat dalam Sinandong
masyarakat Melayu Tanjungbalai yaitu (1) kerja keras, (2) pendidikan, (3) kesehatan, (4) pelestarian dan kreativitas budaya, (5) peduli lingkungan, (6)
kesopansantunan, (7) kesetiakawanan, (8) kerukunan dan penyelesaian konflik, (9) komitmen, dan (10) rasa syukur.
2.3 Tinjauan Pustaka
Pengkajian senandung Asahan ini sudah pernah dilakukan. Dari pengamatan peneliti terdapat beberapa kajian tentang senandung ini. Sahril (2007)
meneliti sinandong Melayu yang dimuat dalam Medan Makna Volume 4 yang berjudul “Sinandong dan Estetika Melayu”. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi estetik yang berkaitan
dengan karakteristik masing-masing masyarakat.
Erwany (2012) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
meneliti sinandong Melayu yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV, Edisi Januari, yang berjudul
“Strukturalisme Dadong Sinandong Asahan Tanjung Balai”. Hasil penelitian ini
Erwany (2013) UMSU meneliti citra arketipe dalam sinandong yang
dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV, Edisi Januari, yang berjudul “Citra Arketipe Sinandong Hiburan dalam
Sinandong Asahan Melayu Batubara”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat beberapa citra arketipe dalam sinandong Asahan di Batubara.
Dewi (2015) mahasiswa Pascasarjana UMN dalam tesisnya yang berjudul
“Representasi Nilai-nilai Sosial dan Budaya dalam Sinandong Asahan di
Batubara”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sinandong memiliki nilai