BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia
Anemia adalah kondisi berkurangnya sel darah merah (erirosit dalam sirkulasi darah atau massa hemoglobin, sehingga tidak mampu memenuhi
fungsinya sebagai pembawa oksigen ke seluruh jaringan (Tarwoto et al., 2007). Anemia juga didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) dan hematokrit (HTC) di bawah kadar normal, berdasarkan pada umur, jenis kelamin, dan lokasi geografis (ketinggian dari permukaan laut). Umumnya kadar Hb pada wanita adalah 12 g/dL dan pada pria adalah 14 g/dL. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya anemia yaitu kekurangan pembentukan sel darah merah, destruksi sel darah merah yang lebih cepat dan kehilangan darah (perdarahan) (Wall, 2008).
2.1.1 Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia berdasarkan Etiopatogenesisnya:
A. Anemia karena Gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang a. Anemia aplastik
b. Anemia mieoloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoietik
4. Kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik. B. Anemia Akibat perdarahan
1. Pasca perdarahan akut 2. Akibat perdarahan kronik.
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosis (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzinopati) : akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dan lain-lain 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopati c. Dan lain-lain.
D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks.
Klasifikasi lain dari anemia yaitu dapat dibedakan berdasarkan morfologi dan dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan :
A. Anemia hipokromik mikrositer MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg 1. Anemia defisiensi besi 2. Thalassemia mayor
3. Anemia akibat penyakit kronik 4. Anemia sideroblastik.
B. Anemia normokromik normositer MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Hemolitik didapat 4. Akibat penyakit kronik 5. Pada gagal ginjal kronik 6. Sindrom mielodiplastik
7. Keganasan hematologik. C. Anemia makrositer
MCV > 95 fl
1. Bentuk megaloblastik a. Defisiensi asam folat
b. Defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa 2. Bentuk non – megaloblastik
a. Pada penyakit hati kronik b. Pada hipotiroidisme
c. Pada sindrom mielodisplastik. (Bakta et al., 2009).
2.2 Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan zat besi melampaui kecepatan asimilasinya (Bridges et al., 2000). Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron strore) yang akan
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta et al., 2009). Anemia defisiensi besi merupakan penyebab terpenting suatu anemia mikrositik hipokrom,
dengan ketiga indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) berkurang dan sediaan apus darah menunjukan eritrosit yang kecil (mikrositik) dan pucat (hipokrom) (Hoffbrand et al., 2005).
besi dan kehilangan besi yang berlebihan karena perdarahan (Hoffbrand et al., 2005). Anemia ini jauh lebih banyak dijumpai di Negara berkembang akibat kebiasaan makan yang buruk (asupan diet dengan bioavailabilitas yang yang rendah, rendah besi dan protein, serta berlebihnya asupan zat penghambat
absorpsi besi seperti fitat), gangguan absorpsi besi karena infestasi cacing tambang dan cacing lainnya di usus (Sharma, 2012).
2.2.1 Etiologi dan Faktor Risiko
A. Kekurangan asupan zat besi
1. Vegetarian (kadar asupan zat besi yang rendah)
2. Pemberian susu sapi daripada ASI pada bayi (susu sapi mempunyai
jumlah zat besi yang sama dengan ASI, tetapi bioavailabilitasnya
rendah).
B. Gangguan pada absorpsi besi
1. Gastric bypass surgery
2. Gastric atrophy
3. Irritable bowel disease
4. Achlorhyda
5. Celiac disease
6. Obat-obatan yang mengganggu absorpsi zat besi (antasida,
suplementasi kalsium dan enzim pankreas, tetrasiklin)
7. Susu produk (fosfat)
8. Teh (tanin)
9. Fitat dan fosfonat di sayur-sayuran.
C. Peningkatan kebutuhan zat besi
1. Bayi prematur
2. Postnatal dan masa pertumbuhan remaja
3. Kehamilan
4. Menyusui.
D. Peningkatan kehilangan zat besi
2. Perdarahan urogenital
3. Proses melahirkan
4. Dan lain-lain
(Wall, 2008).
2.2.2 Tahapan Kekurangan Zat Besi
Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap yaitu :
1. Simpanan besi berkurang. Terlihat dari penurunan ferritin dalam plasma hingga 12ug/L. hal ni dapat dikompensai dengan peningkatan absorpsi besi yang terlihat dari peningkatan kemampuan mengikat besi total (total iron binding capacity/TIBC). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh.
2. Habisnya simpanan besi, menurunnya jenuh transferrin hingga kurang dari 16% pada orang dewasa dan meningkatnya protoporfirin, yaitu bentuk pendahulu (precursor) hem. Pada tahap ini nilai hemoglobin dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan bekerja.
3. Terjadi anemia defisiensi besi, dimana kadar hemoglobin berada dibawah kadar normal. Anemia defisiensi besi berat ditandai oleh sel
darah merah yang kecil (mikrositosis) dan nilai hemoglobinnya rendah (hipokromia) (Almatsier, 2009).
2.2.3 Manifestasi klinis
Semua anemia menyebabkan terjadinya gejala klasik dari penurunan
Oxygen carrying capacity yaitu lelah, kelemahan, sesak napas, terutama dyspnea
saat beraktivitas. Penurunan oxygen carrying capacity akan memicu kekurangan
pengiriman oksigen ke jaringan aktif secara metabolik, yang seharusnya
menerima cukup oksigen, hal ini yang menyebabkan terjadinya kelelahan
normal dan resorbsi meningkat, sedangkan eritropoesis defisiensi besi (iron
deficient erythropoiesis) ditandai dengan cadangan besi kosong (sangat kurang), transportasi besi menurun (serum besi turun), saturasi transferin dan protoporfirin meningkat, hemoglobin dan hematokrit normal serta gambaran klinis tidak
dijumpai anemia (Manuaba, 2001).
Menurut Wall (2008) manifestasi klinis anemia defisiensi besi berupa :
A. Gejala
1. Sering asimtomatik
2. Lelah
3. Exercise intolerance
4. Susah menelan
5. Sakit kepala
6. Gangguan belajar dan perilaku pada anak
B. Tanda-tanda
1. Pucat
2. Glositis
3. Esophageal webs
4. Koilonychias
5. Papil nedema pada bayi
6. Takikardi dengan atau tanpa aliran murmur
7. Cardiac decompensation (high output failure)
8. Splenomegali (jarang)
C. Hasil pemeriksaan laboratorium
1. Kadar feritin rendah
2. Kadar zat besi rendah
3. TIBC tinggi
4. Persentase saturasi transferin rendah
5. Peningkatan kadar erythrocyte zinc protoporphyrin
6. MCV, MCH dan MCHC rendah
7. Penurunan bone marrow stainable iron
9. Rasio dari sTf-R ke feritin biasanya berkisar >2,5
10.Trombositosis
11.RDW meninggi
D. Temuan apusan perifer
1. Mikrositik
2. Hipokromik
3. Anisocytosis
4. Poikilocytosis
5. Cigar or pencil shaped cells and, rarely, target cells.
Selain itu pasien juga dapat mengalami gejala dan tanda umum anemia dan mengalami glositis yang tidak nyeri, stomatitis angularis, kuku rapuh bergerigi atau kuku sendok (koilonikia), desfagia akibat adanya selaput faring (sindrom Paterson Kelly atau Plummer-vinson) dan keinginan makan yang tidak biasa (pica) (Hoffbrand et al., 2005).
2.3 Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil
Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional di tahun 2001 menunjukkan bahwa 27.9% dari ibu dalam masa reproduktif dan 40.1% ibu hamil menderita anemia (WHO, 2010). Diagnosis anemia dalam kehamilan ditegakkan jika kadar hemoglobin (Hb) < 11 d/dL (7,45 mmol/L) dan hematokrit < 0,33 (Sharma, 2012).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab anemia paling sering dalam kehamilan, sekitar 95% wanita hamil dengan anemia mengalami anemia defisiensi
besi karena menstruasi yang terlalu banyak atau kehilangan besi seringkali akibat kehamilan sebelumnya (WHO, 2010).
2.3.1 Penyebab Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil Secara umum ada tiga penyebab anemia pada ibu hamil 1. Hipervolumia
banyak selama kehamilan, yang lazim disebut dengan hidremia atau hypervolemia. Akan tetapi pertambahan sel-sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Pertambahannya berbanding sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%,
dan hemoglobin 19% (Wiknjosastro, 2005).
Hypervolemia imbas – kehamilan memiliki fungsi penting, yaitu : Memenuhi kebutuhan metabolik uterus yang membesar dengan
sistem vaskular yang mengalami hipertrofi hebat
Menyediakan nutrien dan elemen secara berlimpah untuk menunjang pertumbuhan pesat plasenta dan janin
Melindungi ibu dan pada gilirannya janin terhadap efek buruk gangguan aliran balik vena pada posisi telentang dan berdiri Melindungi ibu terhadap efek buruk kehilangan darah selama
proses persalinan (Cunningham, 2013).
2. Peningkatan kebutuhan besi
Ibu hamil memerlukan zat besi yang lebih tinggi, sekitar 200-300%
dari kebutuhan wanita tidak hamil. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin dan pembentukan darah ibu. Jika peningkatan
kebutuhan tidak diimbangi intake yang tidak adekuat maka akan terjadi ketidakseimbangan atau kekurangan zat besi (Tarwoto dan Wasnidar 2007). Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras cadangan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya (Manuaba et al., 2010).
(Benson et al., 2009). Pada kehamilan aterm sekitar 900 mg zat besi hilang dari ibu kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus (Bridges
et al., 2000). Kehamilan berulang, terutama dengan interval pendek, dapat menyebabkan defisiensi yang berat. Banyak wanita yang anemis sebelum
hamil, kebutuhan besinya tidak pernah terkejar selama kehamilan atau setelahnya karena simpanan besinya tetap rendah (Benson et al., 2009).
Menurut Manuaba pada tahun 2011, kebutuhan zat besi ibu hamil : a. 500 mg – tambahan untuk meningkatkan hematopoiesis
b. 300 mg – kebutuhan janin untuk proses hemopoisis selama dalam kandungan
c. 200 mg – kehilangan karena perdarahan pasca partum. 3. Asupan dan penyerapan zat besi tidak adekuat
Kebutuhan besi total dalam kehamilan sebesar 800 mg tidak dapat dipenuhi hanya dari diet yang cukup. Karena itu, dianjurkan pemberian unsur besi profilaksis 60 mg/hari setiap hari untuk semua ibu hamil (Benson et al., 2009). Meskipun sebagian kaum ibu menerima suplemen, mereka tidak mengkonsumsi jumlah yang cukup. Riskesdas 2007 telah temukan bahwa 92.2% kaum ibu menerima suplemen zat besi dan asam folat selama kehamilan yang terakhir yang sedikit berbeda dari DHS 2007 yang melaporkan bahwa hanya 79.3% kaum ibu telah menerima suplemen
zat besi selama masa kehamilan. Lebih penting lagi adalah bahwa Riskesdas melaporkan bahwa hanya 29.2% kaum ibu telah mengkonsumsi
>90 tablet selama masa kehamilan yang terakhir sesuai yang direkomendasikan (Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia, 2010).
banyak mengandung zat besi serta cara pengolahan makanan yang benar juga menjadi faktor asupan zat besi yang tidak adekuat. Adanya penyakit tertentu seperti gastritis, penyakit pada usus halus akan mengganggu penyerapan zat besi. Tidak mengkonsumsi tablet penambah darah,
dikarenakan ibu hamil yang tidak memeriksakan kandungannya kepetugas kesehatan. Faktor lain yang dapat menghambat penyerapan zat besi adalah
adanya kebiasaan mengkonsumsi kopi dan teh secara bersamaan pada waktu makan (Tarwoto et al., 2007)
2.3.2 Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil
Gejala anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu lemah, letih atau lelah, gangguan pencernaan, penurunan nafsu makan, palpitasi, dyspnea, pusing, pembengkakan (perifer), edema anasarka, serta gagal jantung kongestif pada kasus-kasus berat. Sedangkan tanda-tandanya dapat berupa pucat, glositis, stomatitis, edema, hipoproteinemia, murmur sistolik lembut didaerah mitral akibat sirkulasi hiperdinamik, dan krepitasi halus di basal paru akibat kongesti hal ini terjadi pada kasus-kasus berat (Sharma, 2012). Sedangkan menurut Tarwoto dan Wasnidar tahun 2007, Konsentrasi Hb <10 g/dL, hematokrit <30%, sel darah merah mikrositik, meningkatnya iron binding capacity hingga 350-500 m/dL, serum besi <50-60 mg/100 mL, dan saturasi transferin <15-16 merupakan tes
diagnostik untuk anemia defisiensi besi pada ibu hamil.
Untuk menegakkan diagnosis anemia pada kehamilan dapat dilakukan
dengan anamnesa. Pada hasil anamnesa akan didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, mual-muntah lebih hebat pada hamil muda. Pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sahli.
Hasil pemeriksaan Hb dengan Sahli dapat digolongkan sebagai berikut : Hb 11 g% tidak anmia
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada trimester pertama dan ketiga (Manuaba et al., 2010).
Tabel 2.1. Diagnosa Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil (Sharma, 2012)
Karakteristik Perhitungan Rentang
Hb, hemoglobin; MCV, mean corpuscular volume; MCH, mean corpuscular Hb; MCHC, mean corpuscular Hb concentration; TIBC, total iron binding capacity; FEP, free erythrocyte protoporphyrin; PCV, packed cell volume.
2.3.3 Pengaruh Anemia Defisiensi Besi terhadap Kehamilan
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan sel-sel tubuh termasuk otak. Pada ibu hamil dapat menyebabkan
keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir rendah, perdarahan sebelum dan selama persalinan bahkan dapat mengakibatkan kematian pada ibu dan janinnya. Ibu hamil dengan anemia tidak mampu memenuhi kebutuhan zat besi untk janinnya sehingga janin sangat berisiko untuk terjadinya gangguan kematangan atau kematuran organ-organ tubuhnya (Tarwoto et al., 2007).
kognitif pada bayi, peningkatan insiden penyakit jantung dan diabetes di kemudian hari (Sharma, 2012). Pada kehamilan trimester pertama anemia dapat menyebabkan abortus, Missed abortus, dan kelainan kongenital, pada trimester kedua dapat terjadi persalinan prematus, perdarahan antepartum, gangguan
pertumbuhan janin dalam Rahim, asfiksia intra uterin sampai kematian, berat badan lahir rendah, gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ rendah, serta
dekompensasio kodis-kematian ibu, sedangkan pada saat inpartu dapat menyebabkan gangguan his primer dan sekunder, janin lahir dengan anemia, serta persalinan dengan tindakan tinggi meliputi ibu cepat lelah dan gangguan perjalann persalinan perlu tindakan operatif (Manuaba, 2001).
2.4 Bayi Berat Lahir Rendah
Berat badan merupakan pertimbangan penting dalam menentukan kesejahteraan. Rata-rata berat badan bayi yang dilahirkan aterm adalah 3500-3750 gram (Stables dan Rankin, 2005 dalam Williamson dan Kenda, 2014). Sekitar 27% angka kematian pada neonatus disebabkan oleh BBLR. Angka kejadian BBLR di Indonesia berkisar antara 9-20% bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Sebanyak 25% bayi dengan BBLR meninggal pada saat baru lahir dan 50% nya meninggal saat bayi (Maryunani et al., 2009).
Tanda dan gejala yang terdapat pada bayi dengan berat badan lahir rendah
adalah :
Berat badan <2500 gram Letak kuping menurun
Pembesaran dari satu atau kedua ginjal Ukuran kepala kecil
Masalah dalam pemberian makan (reflex menelan dan menghisap berkurang)
Suhu tidak stabil
Kualitas bayi yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh keadaan gizi ibu sebelum dan selama mengandung antara lain karena perkembangan susunan syaraf tejadi pada janin yang masih berusia dini. Salah satu indikator untuk menilai kualitas bayi atau kualitas generasi penerus ini adalah Berat badan saat
lahir. Bila Berat badan saat lahir rendah (BBLR), bayi umumnya akan kurang mampu meredam tekanan lingkungan yang baru yang dapat berakibat pada
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan bahkan mengganggu kelangsungan hidupnya serta akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas bayi karena rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernafasan bagian bawah, gangguan belajar. masalah perilaku dan sebagainya (Saraswati, 1998).
Dampak lain dari BBLR mencakup kematian janin dan bayi, kematian postneonatal, morbiditas jangka pendek seperti sindrom gangguan pernapasan dan necrotizing enterocolitis, dan morbiditas jangka panjang seperti kebutaan, tuli, hidrosefalus, retardasi mental, dan cerebral palsy (Goldenberg et al., 2015). Salah satu faktor risiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi, khususnya pada masa perinatal adalah kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Kasus anak yang meninggal dengan usia di bawah satu bulan ternyata yang mempunyai riwayat BBLR sebesar 43,3%. sedangkan yang meninggal usia 1 sampai 23 bulan yang mempunyai riwayat BBLR sebesar 21,7%. Hasil ini menguatkan penelitian bahwa kejadian BBLR berpengaruh pada kematian bayi terutama di masa 1 bulan
ke bawah. Menurut Depkes (2004) sekitar 57% kematian bayi di Indonesia terjadi pada bayi umur di bawah 1 bulan dan terutama disebabkan oleh gangguan selama
perinatal dan BBLR. Menurut perkiraan, setiap tahunnya terdapat sekitar 400.000 bayi dengan BBLR (Pramono et al., 2011).
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009) Neonatus atau bayi yang termasuk dalam BBLR merupakan salah satu dari keadaan berikut :
1. NKB SMK (Neonatus kurang bulan- sesuai masa kehamilan) adalah bayi prematur dengan berat badan sesuai masa kehamilan
3. NCB KMK (Neonatus cukup bulan – kecil untuk masa kehamilan) adalah bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir kurang dari normal.
Selain itu terdapat klasifikasi BBLR menurut berat badan lahir
1. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLR) atau very low birth weight (VLBW). Yaitu bayi dengan berat badan lahir antara 1000-1500 gram
2. Bayi dengan berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) atau extremely low birth weight (ELBW) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari 100 gram.
2.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Bayi Berat Lahir Rendah
Penyebab BBLR yang lahir kurang bulan (NKB-KMK) dapat disebabkan oleh berat badan ibu yang reandah, ibu hamil yang maih remaja, kehamilan kembar, ibu pernah melahirkan bayi prematur atu berat badan lahir rendah sebelumnya, ibu dengn inkompeten serviks, ibu hamil yang sedang sakit, serta beberapa faktor tidak diketahui penyebabnya (Maryunani dan Nurhayati, 2009). Masalah kurang energi kronik (KEK) pada ibu-ibu merupakan indikator masalah gizi dan kesehatan di kalangan ibu-ibu yang memiliki risiko BBLR dan gangguan tumbuh kembang pada anak sesudah lahir (Jahari, 2005).
Sedangkan bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan kurang atau
dibawah normal disebabkan karena ibu hamil dengan gizi buruk atau kekurangan nutrisi, ibu hamil dengan penyakit hipertensi, preeclampsia, anemia, ibu hamil
yang menderita penyakit kronis (penyakit jantung, sianosis) infeksi (infeksi saluran kemih), malaria kronik dan ibu hamil merokok dan penyalahgunaan obat (Maryunani et al., 2009).
mudah mendapat infeksi sampai kematian perinatal, serta inteligensia yang rendah (Manuaba et al., 2010).
Ada dua variabel bebas yang diketahui mempengaruhi pertumbuhan janin, yaitu berat ibu sebelum hamil dan pertambahan berat ibu selama hamil. Ibu
dengan berat badan kurang seringkali melahirkan bayi yang berukuran lebih kecil daripada yang dilahirkan ibu dengan berat normal atau berlebihan. Selama
embryogenesis status nutrisi ibu memiliki efek kecil terhadap pertumbuhan janin, karena kebanyakan wanita memiliki cukup simpanan nutrisi untuk embrio yang tumbuh lambat. Meskipun demikian, pada trimester ketiga kehamilan saat hipertrofi seluler janin dimulai, kebutuhan nutrisi janin dapat melebihi persedian ibu jika masukan nutrisi ibu rendah. Selain malnutrisi gangguan pertumbuhan intrauterin dapat pula disebabkan oleh gangguan pada plasenta, infeksi dan faktor genetik (Damanik, 2010).
2.5 Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Bayi Berat Lahir Rendah Menurut Bisara, Supraptinil, Afifa (2003), Kurang energi kronik pada WUS muda dapat mengakibatkan BBLR pada bayinya dan komplikasi pada persalinan yang berdampak kematian maternal dan bayi. Selain itu adanya penyakit selama hamil mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk terjadinya BBLR dibandingkan dengan tidak ada penyakit selama hamil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Sukabumi terhadap ibu yang melahirkan BBLR
bahwa status anemia berhubungan dengan kejadian BBLR. Ibu dengan kadar Hb<11 g% berisiko melahirkan BBLR 1,70 kali dibandingkan dengan ibu yang
memiliki kadar Hb 11 g% (Sistiarani, 2008).
Kurangnya nutrisi pada trimester I terutama adanya anemia akan menyebabkan terjadinya kegagalan organogenesis sehingga akan mengganggu perkembangan janin pada tahap selanjutnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian BBLR pada responden yang mengalami anemia trimester I adalah
sebesar 10 kali dibandingkan responden yang tidak anemia. Sedangkan pada Pada trimester II, terjadi kecepatan yang meningkat pada pertumbuhan dan