• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Adaptasi Perempuan yang Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (Studi Kasus Pada Mahasiwi Kost-Kostan di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemampuan Adaptasi Perempuan yang Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (Studi Kasus Pada Mahasiwi Kost-Kostan di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Kota Medan)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

pemberitaan publik, baik dalam media cetak, media elektronik dan media online,

dimana dari berbagai permasalahan pada perempuan tersebut, isu kekerasan

terhadap perempuan telah menjadi suatu sorotan penting karena kasus kekerasan

ini kerap kali terjadi secara terus-menerus dan semakin meningkat dari tahun ke

tahun. Perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena

pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara

laki-laki dan perempuan yang dipercaya oleh masyarakat kebanyakan.

Ketidakadilan gender ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa

seorang perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, harus

lebih dulu mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya.

Kekerasan terhadap perempuan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1

Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1994 oleh Komnas

Perempuan, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang

berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan

secara fisik, seksual dan psikologi termasuk ancaman tindakan tertentu,

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang

terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Ada berbagai persepsi tentang kekerasan terhadap perempuan mulai dari

(2)

perempuan. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan sebagai instrumen internasional mengenai perlindungan hak

perempuan telah mencantumkan kekerasan, intimidasi dan rasa takut sebagai

kendala bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan

bermasyarakat. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 3).

Secara konseptual, kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan

indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi.

Kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan-ketika kekuasaan yang dimiliki

seseorang dipakai untuk memaksa atau membohongi orang lain dan berdampak

pada pelanggaran integritas dan kepercayaan orang yang menjadi korban

penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dimungkinkan

oleh adanya ketidaksetaraan status antar individu, antar kelompok atau antar

negara. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 3).

Asumsi lain yang mendukung posisi subordinasi perempuan adalah

tentang tempat perempuan dalam kehidupan bersama. Tempat perempuan yang

diterima secara umum adalah di dalam rumah (di ruang privat) dan menjadi

penanggung jawab utama terhadap pengasuhan anak. Permasalahan utamanya

bukan mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan

dengan konsekuensi negatifnya. Sesuai dengan posisi subordinatifnya, perempuan

dan pekerjaannya dianggap inferior terhadap kedudukan dan pekerjaan laki-laki.

Kondisi inferioritas perempuan yang telah cukup terpatri di masyarakat pada

umumnya, juga diperkuat oleh pernyataan pakar-pakar bidang psikologi dan

filsafat seperti Sigmund Freud dan Aristoteles. Keduanya dengan pasti

(3)

mempunyai „detect‟ atau kelainan. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan

Indonesia: 4).

Secara umum, melihat perubahan zaman, kemajuan teknologi dan

pergeseran budaya saat ini, sudah bukan merupakan hal yang asing lagi jika

melihat sepasang muda-mudi sedang berduaan di tempat-tempat rekreasional

maupun tempat publik lainnya. Pada fase dewasa awal tersebut ketertarikan

kepada lawan jenis merupakan hal yang normal terjadi, sehingga muncul rasa

keingintahuan yang mendalam tentang kepribadian lawan jenis dengan menjalin

suatu hubungan khusus yang biasa disebut pacaran. Namun masa berpacaran ini

sangat rentan dengan masalah-masalah yang tidak diinginkan yaitu kekerasan

dalam pacaran, baik itu berupa kekerasan verbal/psikis, kekerasan fisik maupun

kekerasan seksual. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua pasangan yang

menjalin hubungan pacaran ini mengalami kekerasan dalam pacaran.

Masyarakat pada umumnya sangat peduli tentang kekerasan yang terjadi

di dalam rumah tangga (Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT), namun masih

sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada masa berpacaran (Kekerasan

Dalam Pacaran) atau dating violence. Masih banyak orang belum mengenal kekerasan dalam pacaran, sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan

pelakunya. Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin

terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang

penuh dengan romantisme dan hal-hal indah, dimana setiap hari diwarnai oleh

manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan oleh sang

(4)

Fenomena kekerasan dalam pacaran tak ubahnya seperti gunung es, yang

nampak di permukaan hanya sedikit dari sekian banyak kasus kekerasan dalam

pacaran yang terjadi di masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena tindak kekerasan

tersebut sering disembunyikan dari siapapun, atau hanya diketahui oleh

lingkungan terbatas saja, seperti anggota keluarga, teman dekat atau orang-orang

lain, baik yang memiliki latar belakang profesional maupun tidak, yang dihubungi

oleh korban untuk mencurahkan masalahnya. Jarang terjadi tindak kekerasan

dalam pacaran yang dilaporkan kepada pihak yang berwajib, apalagi dilanjutkan

perkaranya secara legal. Bila tak tahan menyimpan masalah, yang kadang terjadi

adalah korban meminta bantuan tenaga profesional, memanfaatkan rubrik

konsultasi di majalah, ataupun mengadukan masalahnya ke lembaga yang

memberikan bantuan konsultasi.

Hanya dalam situasi yang sangat parah, dan fakta kekerasan yang tidak

dapat ditutup-tutupi lagi, korban terpaksa meminta bantuan tenaga kesehatan.

Setelah mengalami penganiayaan parah, sebagian korban juga melaporkan

kejadiannya pada polisi, dan lebih sedikit lagi yang kemudian ditindaklanjuti

secara hukum. Tidak jarang juga polisi menanggapi dengan komentar: “Ini

penganiayaan ringan, tidak perlu dilihat sebagai masalah serius”, atau dengan

usulan: “Lebih baik diselesaikan dengan cara kekeluargaan”. Sebagian pengaduan

lain dicabut sendiri oleh korban dengan berbagai alasan, antara lain: malu

kasusnya diketahui umum, proses hukum yang berbelit-belit, rasa iba pada pelaku,

atau ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Tak jarang pula pelaku

dan keluarganya melakukan berbagai langkah untuk menghambat proses

(5)

Pada umumnya jenis kekerasan yang sering terjadi dalam hubungan

pacaran dapat dibagi menjadi kekerasan psikis/verbal, kekerasan fisik serta

kekerasan seksual. Namun begitu, semua jenis kekerasan ini memiliki satu hal

yang sama, yaitu memperlihatkan adanya kekuatan dan kontrol pada

pihak/pasangan yang menjadi pelaku kekerasan. Kekerasan psikis/verbal sering

terjadi namun jarang disadari sebagai bentuk kekerasan, dan umumnya berupa

perlakuan yang menunjukkan kecemburuan yang berlebihan, posesif dan berusaha

mengendalikan pasangan dengan memanggil nama pasangan dengan sebutan

negatif (bodoh, jelek dan sebagainya), menghina, mengancam, melarang pasangan

berhubungan dengan teman serta menggunakan handphone untuk mengecek

pasangan sesering mungkin. Kekerasan fisik adalah bentuk perlakuan fisik yang

kasar kepada pasangan dan menimbulkan luka yang dapat dilihat, seperti

mendorong, memukul, menjambak, menganiaya tubuh, mencekik atau memaksa

pasangan pergi ke tempat yang membahayakan dirinya. Kekerasan seksual

merupakan bentuk perlakuan melecehkan secara seksual, mulai dari rabaan atau

sentuhan pada tubuh yang tidak dikehendaki, ciuman yang tidak dikehendaki,

pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual atau memanipulasi pasangan

untuk melakukan hubungan seksual. (

http://psikologikita.com/?q=kekerasan-dalam-hubungan-pacarandiakses tanggal 25 Juni 2015 pukul 15:21 WIB).

Satu hal yang khas dan sering muncul dalam kasus kekerasan dalam

pacaran, yaitu pihak yang menjadi korban biasanya cenderung lemah, kurang

percaya diri, terlalu mudah percaya sehingga mudah dimanipulasi dan sangat

mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan

(6)

mengulangi tindakan itu lagi dan bersikap manis kepada pacarnya. Sang korban

mempercayai sepenuh hati permintaan maaf dan perkataan pacarnya serta

memaknai tindak kekerasan dari sang pacar merupakan suatu bentuk tanda sayang

dan kepedulian kepada dirinya. Ironisnya, tindakan kekerasan dari sang pacar ini

akan kembali muncul seiring berjalannya hubungan mereka, dan sang pelaku akan

kembali menyesal, meminta maaf yang akhirnya direspon positif oleh korban,

hubungan mereka terus berjalan sampai akhirnya terulang lagi keadaan tersebut.

Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan Kekerasan Terhadap Istri (KTI)

memiliki beberapa kesamaan, yakni keduanya menempatkan perempuan dalam

posisi yang sangat rentan menjadi korban. Selain itu kekerasan dalam pacaran dan

kekerasan terhadap istri merupakan bentuk kekerasan yang sama terhadap

perempuan dalam relasi personal, dimana pelaku dan korban berada dalam

hubungan cinta. Namun terdapat juga perbedaan diantara keduanya, yaitu

mengenai status hukum.

Payung hukum tentang kekerasan ranah personal yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (UU PKDRT) tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus

kekerasan dalam pacaran. Meskipun demikian, para pelaku kekerasan dalam

pacaran dapat dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dengan catatan bahwa individu yang menjadi korban

kekerasan dalam pacaran belum berusia 18 tahun. Jika korban telah berusia 18

tahun, maka kekerasan dalam pacaran yang dialaminya dapat diadukan dengan

melakukan tuntutan atas dasar penganiayaan yang diatur dalam Bab XX Kitab

(7)

dilihat ada 3 (tiga) macam bentuk penganiayaan, yaitu: Penganiayaan biasa (Pasal

351 KUHP), penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP) dan penganiayaan berat

(Pasal 354 KUHP).

(

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5170437ea9850/pasal-untuk-menjerat-pacar-yang-suka-menganiaya-pasangannya diakses tanggal 25 Juni 2015

pukul 17:16 WIB).

Berdasarkan catatan tahunan yang dipublikasikan oleh Komnas

Perempuan, sepanjang tahun 2011 terdapat 119.107 kasus kekerasan yang

ditangani oleh lembaga pengada layanan pengaduan kekerasan terhadap

perempuan. Dari jumlah keseluruhan kasus sepanjang tahun 2011 tersebut,

terdapat 113.878 kasus yang terjadi di ranah domestik (dilakukan oleh relasi dekat

korban), di dalamnya meliputi 110.468 kasus kekerasan terhadap istri (97%), dan

1.405 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP). Teridentifikasi bahwa di dalam

ranah domestik, kekerasan psikis paling banyak dialami (103.691 kasus), dan

berturut-turut jenis kekerasan ekonomi (3.222 kasus), kekerasan fisik (2.790

kasus), serta kekerasan seksual (1398 kasus). (Catatan Tahunan Kekerasan

Terhadap Perempuan Tahun 2011).

Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2011

(8)

Lebih lanjut pada tahun 2013, total jumlah kasus kekerasan dalam rumah

tangga/relasi personal (KDRT/RP) yang ditangani oleh lembaga mitra pengada

layanan berjumlah 8.315 kasus. Bentuk KDRT/RP yang paling tinggi adalah

Kekerasan Terhadap Istri (KTI) sebesar 52% (4.305 kasus), kemudian disusul

dengan kekerasan dalam relasi personal lain sebesar 29% (2.428 kasus) dan

Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebesar 13% (1.085 kasus) seperti yang dapat

dilihat pada grafik di bawah. (Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan

Tahun 2013).

Gambar 1.2 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2013

Sumber: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2013 oleh Komnas Perempuan

Selanjutnya pada tahun 2014, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan

dalam rumah tangga/ranah personal (KDRT/RP) dibandingkan pada tahun

sebelumnya. Pada tahun 2014 terdapat 8.626 kasus KDRT/RP, dimana data

menunjukkan bentuk KDRT/RP yang menempati urutan tertinggi yaitu:

Kekerasan Terhadap Istri sebesar 59% (5.102 kasus), disusul oleh Kekerasan

Dalam Pacaran (KDP) sebesar 21% (1.748 kasus), Kekerasan Terhadap Anak

Perempuan (KTAP) sebesar 10 % (843 kasus), Kekerasan dalam relasi personal

(9)

Kekerasan dari mantan suami sebesar 0,7 % (53 kasus) dan Kekerasan terhadap

pekerja rumah tangga sebesar 0,4 % (31 kasus). (Catatan Tahunan Kekerasan

Terhadap Perempuan Tahun 2014).

Dari data yang dihimpun Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan

(Catahu) pada tahun 2011, 2013 dan 2014 di atas dapat diketahui bahwa dari

sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam

pacaran (KDP) selalu menempati urutan terbanyak setelah kekerasan terhadap istri

(KTI). Hal ini membuktikan bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan dalam

masa pacaran merupakan sebuah permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih

lanjut guna menemukan akar permasalahan serta solusinya.

Penelitian tentang kekerasan dalam pacaran di kota Medan sebelumnya

sudah pernah dilakukan oleh Olivia Siagian (2009), penelitian itu bertujuan untuk

mengetahui gambaran kekerasan dalam pacaranpada remaja kota Medanditinjau dari perbedaan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, penggunaan alkohol, dan lamanya menjalin hubungan pacaran. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan gambaran tingkat kekerasan dalam pacaran pada remaja di kota Medan yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Secara umum angka kekerasan dalam pacaran (dating violence) pada remaja di Kota Medan adalah 53,11 % yaitu 308 orang dari 600 orang remaja berpacaran

yang dijadikan sampel.

(10)

menjadi pelaku sexual abuse (65,27%) sementara remaja putri lebih banyak menjadi pelaku physical abuse (90,78%).

3. Remaja awal (37,66%) lebih banyak menjadi pelaku dating violence

dibandingkan remaja tengah (26,3%) dan akhir (36,04%)

4. Remaja awal, tengah, dan akhir tidak memiliki persentase yang berbeda dalam

bentuk verbal and emotional abuse yaitu masing-masing 100 %. Remaja tengah lebih banyak menjadi pelaku sexual abuse (58,03%) dan physical abuse

(90,12%).

5. Jika dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan, verbal and emotional abuse

tidak menunjukkan angka yang bervariasi dikarenakan masing-masing tingkat

pendidikan memperoleh persentase yang sama yaitu (100%), akan tetapi terjadi

penurunan sexual dan physical abuse dari tingkat pendidikan SMA ke Perguruan tinggi.

6. Berdasarkan lama berpacaran yaitu remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan

sampai 6 bulan (57,30%) lebih banyak menjadi pelaku sexual abuse

dibandingkan remaja yang berpacaran lebih dari 6 bulan (50%). Untuk bentuk

physical abuse remaja yang berpacaran lebih dari 6 bulan (86,13%) lebih banyak menjadi pelaku dibandingkan remaja yang berpacaran kurang dari 6

bulan sampai 6 bulan (88,64%). Sedangkan untuk verbal and emotional abuse

remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan sampai 6 bulan dan lebih dari 6

bulan tidak menunjukkan perbedaan persentase, yaitu masing-masing 100 %.

7. Jika dibedakan berdasarkan penggunaan alkohol terdapat (95,83%) dari

(11)

pengguna alkohol yang menjadi pelaku sexual abuse sebanyak (92,42%), dan (79,17%) dari pengguna alkohol melakukan physical abuse sedangkan yang bukan pengguna alkohol yang menjadi pelaku physical abuse sebanyak (56,06%). Untuk bentuk verbal and emotional abuse tidak terdapat persentase yang berbeda diantara pengguna alkohol dan bukan pengguna alkohol yaitu

masing-masing 100 %.

8. Rata-rata kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran 6 bulan keatas (13

kali) lebih tinggi dibandingkan 6 bulan kebawah (12 kali). (Siagian, 2009).

Dari berbagai penelitian sebelumnya diketahui bahwa hampir sebagian

besar mahasiswa pernah menjalin suatu hubungan khusus dengan lawan jenis

yaitu pacaran (dating). Masa berpacaran ini rentan dengan masalah-masalah seperti kekerasan dalam pacaran, namun tidak semua pasangan yang menjalin

hubungan pacaran ini mengalami kekerasan dalam pacaran. Peneliti memilih

perempuan sebagai subjek penelitian dikarenakan adanya stereotipe gender yang

menimbulkan ketimpangan gender yang menyebabkan munculnya asumsi bahwa

posisi perempuan ada di bawah laki-laki. Asumsi tersebut turut mempengaruhi

berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali juga dalam hubungan

pacaran, yang nyatanya membuat posisi perempuan menjadi tidak diuntungkan

dan seringkali mengalami berbagai kerugian.

Berdasarkan pra-penelitian yang telah peneliti lakukan, perempuan yang

mengalami kekerasan dalam pacaran cenderung menutupi bahwa dirinya telah

mengalami kekerasan oleh pacarnya. Korban beranggapan bahwa sang pacar telah

melakukan kekhilafan dan memaknai kekerasan yang dialaminya merupakan

(12)

itu akhirnya korban mempertahankan relasi pacaran yang sebenarnya sudah tidak

sehat lagi. Korban juga memiliki kecenderungan berpikir bahwa pasangannya

merupakan orang yang terbaik dan paling mengerti dirinya. Sehingga korban

memilih untuk bersabar atas semua perlakuan kurang patut yang diberikan oleh

sang pacar.

Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kelurahan

Padang Bulan, Kota Medan. Selain karena daerah ini sedikit banyak sudah

diketahui oleh peneliti, daerah ini juga biasanya menjadi pilihan mahasiswa rantau

untuk indekostkarena lokasinya yang dekat dengan kampus. Berstatus sebagai mahasiswa kost menyebabkan minimnya pengawasan orangtua yang seringkali

berimplikasi pada pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan lain

sebagainya. Selain itu sebagian besar mahasiswa kost-kostan sudah pernah

menjalani hubungan pacaran, sehingga diharapkan mampu memberikan informasi

yang peneliti perlukan. Kurangnya pengawasan orangtua tersebut menyebabkan

mahasiswa kost-kostan lebih rentan mengalami berbagai permasalahan yang telah

diuraikan di atas dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua

atau keluarganya, walaupun tak dapat dipungkiri juga bahwa banyak mahasiswa

yang tinggal dengan orang tua atau keluarga yang mengalami perilaku

menyimpang dan juga mengalami kekerasan dalam pacaran.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut

masalah ini dengan melakukan suatu penelitian yang berjudul “Kemampuan

Adaptasi Perempuan Yang Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (Studi

(13)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimanakah kemampuan adaptasi mahasiswi kost-kostan yang mengalami

kekerasan dalam pacaran di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru,

Kota Medan?”

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui kemampuan adaptasi mahasiswi kost-kostan dalam menghadapi

kekerasan dalam pacaran di Kelurahan Padang Bulan, Medan.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Subyektif, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan

kemampuan berpikir ilmiah dan sistematis serta kemampuan untuk

menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori

dan aplikasi yang diperoleh selama duduk di bangku perkuliahan.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah atau para penegak

hukum agar dapat menindaklanjuti kekerasan khusunya dalam hubungan

berpacaran. Sedangkan bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan

(14)

serta dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan dalam

hubungan pacaran.

3. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

1.4. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami dan mengetahui isi yang

terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sebuah sistematika penulisan.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini meliputi :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan

objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi

operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, teknik

pengumpulan data serta teknik analisis data.

(15)

Bab ini berisikan sejarah singkat gambaran umum lokasi penelitian dan

data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian

beserta dengan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan

Gambar

Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2011
Gambar 1.2 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Radang pada Telinga Luar adalah radang pada kulit atau kartilago aurikula, liang telinga atau lapisan epitel membran timpani yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus..

Pembelajaran yang terjadi masih monoton, penyampaian materi dalam pembelajaran masih menggunakan metode ceramah dengan bantuan media cetak, berupa buku pegangan guru dan

3 Pasal 49 ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Menyebutkan Dana Pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan

Antena omni yang telah dibuat sudah memenuhi kriteria polarisasi dari sebuah antena Omni untuk frekuensi seluler GSM berdasarkan percobaan

berikut yang bukan merupakan konsep dasar yang digunakan dalam mekanika, adalah... waktu b.ruang

Asli Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selain dari sektor Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, Pemerintah

Pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah tersebut dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara yang diberikan penugasan oleh Pemerintah, dalam hal pendanaan

Kepulauan Bangka Belitung perlu dilakukan upaya untuk menyangga harga jual hasil karet melalui peningkatan kualitas mutu hasil produksi karet, efektifikasi pengolahan dan