BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai
pemberitaan publik, baik dalam media cetak, media elektronik dan media online,
dimana dari berbagai permasalahan pada perempuan tersebut, isu kekerasan
terhadap perempuan telah menjadi suatu sorotan penting karena kasus kekerasan
ini kerap kali terjadi secara terus-menerus dan semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena
pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara
laki-laki dan perempuan yang dipercaya oleh masyarakat kebanyakan.
Ketidakadilan gender ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa
seorang perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, harus
lebih dulu mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya.
Kekerasan terhadap perempuan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1994 oleh Komnas
Perempuan, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual dan psikologi termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Ada berbagai persepsi tentang kekerasan terhadap perempuan mulai dari
perempuan. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan sebagai instrumen internasional mengenai perlindungan hak
perempuan telah mencantumkan kekerasan, intimidasi dan rasa takut sebagai
kendala bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan
bermasyarakat. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 3).
Secara konseptual, kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan
indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi.
Kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan-ketika kekuasaan yang dimiliki
seseorang dipakai untuk memaksa atau membohongi orang lain dan berdampak
pada pelanggaran integritas dan kepercayaan orang yang menjadi korban
penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dimungkinkan
oleh adanya ketidaksetaraan status antar individu, antar kelompok atau antar
negara. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 3).
Asumsi lain yang mendukung posisi subordinasi perempuan adalah
tentang tempat perempuan dalam kehidupan bersama. Tempat perempuan yang
diterima secara umum adalah di dalam rumah (di ruang privat) dan menjadi
penanggung jawab utama terhadap pengasuhan anak. Permasalahan utamanya
bukan mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan
dengan konsekuensi negatifnya. Sesuai dengan posisi subordinatifnya, perempuan
dan pekerjaannya dianggap inferior terhadap kedudukan dan pekerjaan laki-laki.
Kondisi inferioritas perempuan yang telah cukup terpatri di masyarakat pada
umumnya, juga diperkuat oleh pernyataan pakar-pakar bidang psikologi dan
filsafat seperti Sigmund Freud dan Aristoteles. Keduanya dengan pasti
mempunyai „detect‟ atau kelainan. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia: 4).
Secara umum, melihat perubahan zaman, kemajuan teknologi dan
pergeseran budaya saat ini, sudah bukan merupakan hal yang asing lagi jika
melihat sepasang muda-mudi sedang berduaan di tempat-tempat rekreasional
maupun tempat publik lainnya. Pada fase dewasa awal tersebut ketertarikan
kepada lawan jenis merupakan hal yang normal terjadi, sehingga muncul rasa
keingintahuan yang mendalam tentang kepribadian lawan jenis dengan menjalin
suatu hubungan khusus yang biasa disebut pacaran. Namun masa berpacaran ini
sangat rentan dengan masalah-masalah yang tidak diinginkan yaitu kekerasan
dalam pacaran, baik itu berupa kekerasan verbal/psikis, kekerasan fisik maupun
kekerasan seksual. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua pasangan yang
menjalin hubungan pacaran ini mengalami kekerasan dalam pacaran.
Masyarakat pada umumnya sangat peduli tentang kekerasan yang terjadi
di dalam rumah tangga (Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT), namun masih
sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada masa berpacaran (Kekerasan
Dalam Pacaran) atau dating violence. Masih banyak orang belum mengenal kekerasan dalam pacaran, sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan
pelakunya. Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin
terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang
penuh dengan romantisme dan hal-hal indah, dimana setiap hari diwarnai oleh
manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan oleh sang
Fenomena kekerasan dalam pacaran tak ubahnya seperti gunung es, yang
nampak di permukaan hanya sedikit dari sekian banyak kasus kekerasan dalam
pacaran yang terjadi di masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena tindak kekerasan
tersebut sering disembunyikan dari siapapun, atau hanya diketahui oleh
lingkungan terbatas saja, seperti anggota keluarga, teman dekat atau orang-orang
lain, baik yang memiliki latar belakang profesional maupun tidak, yang dihubungi
oleh korban untuk mencurahkan masalahnya. Jarang terjadi tindak kekerasan
dalam pacaran yang dilaporkan kepada pihak yang berwajib, apalagi dilanjutkan
perkaranya secara legal. Bila tak tahan menyimpan masalah, yang kadang terjadi
adalah korban meminta bantuan tenaga profesional, memanfaatkan rubrik
konsultasi di majalah, ataupun mengadukan masalahnya ke lembaga yang
memberikan bantuan konsultasi.
Hanya dalam situasi yang sangat parah, dan fakta kekerasan yang tidak
dapat ditutup-tutupi lagi, korban terpaksa meminta bantuan tenaga kesehatan.
Setelah mengalami penganiayaan parah, sebagian korban juga melaporkan
kejadiannya pada polisi, dan lebih sedikit lagi yang kemudian ditindaklanjuti
secara hukum. Tidak jarang juga polisi menanggapi dengan komentar: “Ini
penganiayaan ringan, tidak perlu dilihat sebagai masalah serius”, atau dengan
usulan: “Lebih baik diselesaikan dengan cara kekeluargaan”. Sebagian pengaduan
lain dicabut sendiri oleh korban dengan berbagai alasan, antara lain: malu
kasusnya diketahui umum, proses hukum yang berbelit-belit, rasa iba pada pelaku,
atau ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Tak jarang pula pelaku
dan keluarganya melakukan berbagai langkah untuk menghambat proses
Pada umumnya jenis kekerasan yang sering terjadi dalam hubungan
pacaran dapat dibagi menjadi kekerasan psikis/verbal, kekerasan fisik serta
kekerasan seksual. Namun begitu, semua jenis kekerasan ini memiliki satu hal
yang sama, yaitu memperlihatkan adanya kekuatan dan kontrol pada
pihak/pasangan yang menjadi pelaku kekerasan. Kekerasan psikis/verbal sering
terjadi namun jarang disadari sebagai bentuk kekerasan, dan umumnya berupa
perlakuan yang menunjukkan kecemburuan yang berlebihan, posesif dan berusaha
mengendalikan pasangan dengan memanggil nama pasangan dengan sebutan
negatif (bodoh, jelek dan sebagainya), menghina, mengancam, melarang pasangan
berhubungan dengan teman serta menggunakan handphone untuk mengecek
pasangan sesering mungkin. Kekerasan fisik adalah bentuk perlakuan fisik yang
kasar kepada pasangan dan menimbulkan luka yang dapat dilihat, seperti
mendorong, memukul, menjambak, menganiaya tubuh, mencekik atau memaksa
pasangan pergi ke tempat yang membahayakan dirinya. Kekerasan seksual
merupakan bentuk perlakuan melecehkan secara seksual, mulai dari rabaan atau
sentuhan pada tubuh yang tidak dikehendaki, ciuman yang tidak dikehendaki,
pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual atau memanipulasi pasangan
untuk melakukan hubungan seksual. (
http://psikologikita.com/?q=kekerasan-dalam-hubungan-pacarandiakses tanggal 25 Juni 2015 pukul 15:21 WIB).
Satu hal yang khas dan sering muncul dalam kasus kekerasan dalam
pacaran, yaitu pihak yang menjadi korban biasanya cenderung lemah, kurang
percaya diri, terlalu mudah percaya sehingga mudah dimanipulasi dan sangat
mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan
mengulangi tindakan itu lagi dan bersikap manis kepada pacarnya. Sang korban
mempercayai sepenuh hati permintaan maaf dan perkataan pacarnya serta
memaknai tindak kekerasan dari sang pacar merupakan suatu bentuk tanda sayang
dan kepedulian kepada dirinya. Ironisnya, tindakan kekerasan dari sang pacar ini
akan kembali muncul seiring berjalannya hubungan mereka, dan sang pelaku akan
kembali menyesal, meminta maaf yang akhirnya direspon positif oleh korban,
hubungan mereka terus berjalan sampai akhirnya terulang lagi keadaan tersebut.
Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
memiliki beberapa kesamaan, yakni keduanya menempatkan perempuan dalam
posisi yang sangat rentan menjadi korban. Selain itu kekerasan dalam pacaran dan
kekerasan terhadap istri merupakan bentuk kekerasan yang sama terhadap
perempuan dalam relasi personal, dimana pelaku dan korban berada dalam
hubungan cinta. Namun terdapat juga perbedaan diantara keduanya, yaitu
mengenai status hukum.
Payung hukum tentang kekerasan ranah personal yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus
kekerasan dalam pacaran. Meskipun demikian, para pelaku kekerasan dalam
pacaran dapat dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dengan catatan bahwa individu yang menjadi korban
kekerasan dalam pacaran belum berusia 18 tahun. Jika korban telah berusia 18
tahun, maka kekerasan dalam pacaran yang dialaminya dapat diadukan dengan
melakukan tuntutan atas dasar penganiayaan yang diatur dalam Bab XX Kitab
dilihat ada 3 (tiga) macam bentuk penganiayaan, yaitu: Penganiayaan biasa (Pasal
351 KUHP), penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP) dan penganiayaan berat
(Pasal 354 KUHP).
(
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5170437ea9850/pasal-untuk-menjerat-pacar-yang-suka-menganiaya-pasangannya diakses tanggal 25 Juni 2015
pukul 17:16 WIB).
Berdasarkan catatan tahunan yang dipublikasikan oleh Komnas
Perempuan, sepanjang tahun 2011 terdapat 119.107 kasus kekerasan yang
ditangani oleh lembaga pengada layanan pengaduan kekerasan terhadap
perempuan. Dari jumlah keseluruhan kasus sepanjang tahun 2011 tersebut,
terdapat 113.878 kasus yang terjadi di ranah domestik (dilakukan oleh relasi dekat
korban), di dalamnya meliputi 110.468 kasus kekerasan terhadap istri (97%), dan
1.405 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP). Teridentifikasi bahwa di dalam
ranah domestik, kekerasan psikis paling banyak dialami (103.691 kasus), dan
berturut-turut jenis kekerasan ekonomi (3.222 kasus), kekerasan fisik (2.790
kasus), serta kekerasan seksual (1398 kasus). (Catatan Tahunan Kekerasan
Terhadap Perempuan Tahun 2011).
Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2011
Lebih lanjut pada tahun 2013, total jumlah kasus kekerasan dalam rumah
tangga/relasi personal (KDRT/RP) yang ditangani oleh lembaga mitra pengada
layanan berjumlah 8.315 kasus. Bentuk KDRT/RP yang paling tinggi adalah
Kekerasan Terhadap Istri (KTI) sebesar 52% (4.305 kasus), kemudian disusul
dengan kekerasan dalam relasi personal lain sebesar 29% (2.428 kasus) dan
Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebesar 13% (1.085 kasus) seperti yang dapat
dilihat pada grafik di bawah. (Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan
Tahun 2013).
Gambar 1.2 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2013
Sumber: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2013 oleh Komnas Perempuan
Selanjutnya pada tahun 2014, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan
dalam rumah tangga/ranah personal (KDRT/RP) dibandingkan pada tahun
sebelumnya. Pada tahun 2014 terdapat 8.626 kasus KDRT/RP, dimana data
menunjukkan bentuk KDRT/RP yang menempati urutan tertinggi yaitu:
Kekerasan Terhadap Istri sebesar 59% (5.102 kasus), disusul oleh Kekerasan
Dalam Pacaran (KDP) sebesar 21% (1.748 kasus), Kekerasan Terhadap Anak
Perempuan (KTAP) sebesar 10 % (843 kasus), Kekerasan dalam relasi personal
Kekerasan dari mantan suami sebesar 0,7 % (53 kasus) dan Kekerasan terhadap
pekerja rumah tangga sebesar 0,4 % (31 kasus). (Catatan Tahunan Kekerasan
Terhadap Perempuan Tahun 2014).
Dari data yang dihimpun Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan
(Catahu) pada tahun 2011, 2013 dan 2014 di atas dapat diketahui bahwa dari
sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam
pacaran (KDP) selalu menempati urutan terbanyak setelah kekerasan terhadap istri
(KTI). Hal ini membuktikan bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan dalam
masa pacaran merupakan sebuah permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut guna menemukan akar permasalahan serta solusinya.
Penelitian tentang kekerasan dalam pacaran di kota Medan sebelumnya
sudah pernah dilakukan oleh Olivia Siagian (2009), penelitian itu bertujuan untuk
mengetahui gambaran kekerasan dalam pacaranpada remaja kota Medanditinjau dari perbedaan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, penggunaan alkohol, dan lamanya menjalin hubungan pacaran. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan gambaran tingkat kekerasan dalam pacaran pada remaja di kota Medan yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Secara umum angka kekerasan dalam pacaran (dating violence) pada remaja di Kota Medan adalah 53,11 % yaitu 308 orang dari 600 orang remaja berpacaran
yang dijadikan sampel.
menjadi pelaku sexual abuse (65,27%) sementara remaja putri lebih banyak menjadi pelaku physical abuse (90,78%).
3. Remaja awal (37,66%) lebih banyak menjadi pelaku dating violence
dibandingkan remaja tengah (26,3%) dan akhir (36,04%)
4. Remaja awal, tengah, dan akhir tidak memiliki persentase yang berbeda dalam
bentuk verbal and emotional abuse yaitu masing-masing 100 %. Remaja tengah lebih banyak menjadi pelaku sexual abuse (58,03%) dan physical abuse
(90,12%).
5. Jika dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan, verbal and emotional abuse
tidak menunjukkan angka yang bervariasi dikarenakan masing-masing tingkat
pendidikan memperoleh persentase yang sama yaitu (100%), akan tetapi terjadi
penurunan sexual dan physical abuse dari tingkat pendidikan SMA ke Perguruan tinggi.
6. Berdasarkan lama berpacaran yaitu remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan
sampai 6 bulan (57,30%) lebih banyak menjadi pelaku sexual abuse
dibandingkan remaja yang berpacaran lebih dari 6 bulan (50%). Untuk bentuk
physical abuse remaja yang berpacaran lebih dari 6 bulan (86,13%) lebih banyak menjadi pelaku dibandingkan remaja yang berpacaran kurang dari 6
bulan sampai 6 bulan (88,64%). Sedangkan untuk verbal and emotional abuse
remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan sampai 6 bulan dan lebih dari 6
bulan tidak menunjukkan perbedaan persentase, yaitu masing-masing 100 %.
7. Jika dibedakan berdasarkan penggunaan alkohol terdapat (95,83%) dari
pengguna alkohol yang menjadi pelaku sexual abuse sebanyak (92,42%), dan (79,17%) dari pengguna alkohol melakukan physical abuse sedangkan yang bukan pengguna alkohol yang menjadi pelaku physical abuse sebanyak (56,06%). Untuk bentuk verbal and emotional abuse tidak terdapat persentase yang berbeda diantara pengguna alkohol dan bukan pengguna alkohol yaitu
masing-masing 100 %.
8. Rata-rata kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran 6 bulan keatas (13
kali) lebih tinggi dibandingkan 6 bulan kebawah (12 kali). (Siagian, 2009).
Dari berbagai penelitian sebelumnya diketahui bahwa hampir sebagian
besar mahasiswa pernah menjalin suatu hubungan khusus dengan lawan jenis
yaitu pacaran (dating). Masa berpacaran ini rentan dengan masalah-masalah seperti kekerasan dalam pacaran, namun tidak semua pasangan yang menjalin
hubungan pacaran ini mengalami kekerasan dalam pacaran. Peneliti memilih
perempuan sebagai subjek penelitian dikarenakan adanya stereotipe gender yang
menimbulkan ketimpangan gender yang menyebabkan munculnya asumsi bahwa
posisi perempuan ada di bawah laki-laki. Asumsi tersebut turut mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali juga dalam hubungan
pacaran, yang nyatanya membuat posisi perempuan menjadi tidak diuntungkan
dan seringkali mengalami berbagai kerugian.
Berdasarkan pra-penelitian yang telah peneliti lakukan, perempuan yang
mengalami kekerasan dalam pacaran cenderung menutupi bahwa dirinya telah
mengalami kekerasan oleh pacarnya. Korban beranggapan bahwa sang pacar telah
melakukan kekhilafan dan memaknai kekerasan yang dialaminya merupakan
itu akhirnya korban mempertahankan relasi pacaran yang sebenarnya sudah tidak
sehat lagi. Korban juga memiliki kecenderungan berpikir bahwa pasangannya
merupakan orang yang terbaik dan paling mengerti dirinya. Sehingga korban
memilih untuk bersabar atas semua perlakuan kurang patut yang diberikan oleh
sang pacar.
Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kelurahan
Padang Bulan, Kota Medan. Selain karena daerah ini sedikit banyak sudah
diketahui oleh peneliti, daerah ini juga biasanya menjadi pilihan mahasiswa rantau
untuk indekostkarena lokasinya yang dekat dengan kampus. Berstatus sebagai mahasiswa kost menyebabkan minimnya pengawasan orangtua yang seringkali
berimplikasi pada pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan lain
sebagainya. Selain itu sebagian besar mahasiswa kost-kostan sudah pernah
menjalani hubungan pacaran, sehingga diharapkan mampu memberikan informasi
yang peneliti perlukan. Kurangnya pengawasan orangtua tersebut menyebabkan
mahasiswa kost-kostan lebih rentan mengalami berbagai permasalahan yang telah
diuraikan di atas dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua
atau keluarganya, walaupun tak dapat dipungkiri juga bahwa banyak mahasiswa
yang tinggal dengan orang tua atau keluarga yang mengalami perilaku
menyimpang dan juga mengalami kekerasan dalam pacaran.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
masalah ini dengan melakukan suatu penelitian yang berjudul “Kemampuan
Adaptasi Perempuan Yang Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (Studi
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimanakah kemampuan adaptasi mahasiswi kost-kostan yang mengalami
kekerasan dalam pacaran di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru,
Kota Medan?”
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemampuan adaptasi mahasiswi kost-kostan dalam menghadapi
kekerasan dalam pacaran di Kelurahan Padang Bulan, Medan.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Subyektif, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan
kemampuan berpikir ilmiah dan sistematis serta kemampuan untuk
menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori
dan aplikasi yang diperoleh selama duduk di bangku perkuliahan.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah atau para penegak
hukum agar dapat menindaklanjuti kekerasan khusunya dalam hubungan
berpacaran. Sedangkan bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan
serta dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan dalam
hubungan pacaran.
3. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.
1.4. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami dan mengetahui isi yang
terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sebuah sistematika penulisan.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini meliputi :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan
objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi
operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, teknik
pengumpulan data serta teknik analisis data.
Bab ini berisikan sejarah singkat gambaran umum lokasi penelitian dan
data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.
BAB V : ANALISIS DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian
beserta dengan analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan