BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semiotika
Semiotika (Semiotics) berasal dari bahasa Yunani “Semeion” yang
memiliki arti tanda. Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda. (Dharma, 2006).
Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi, suatu maksud, arti maupun
makna yang terkandung dalam suatu objek arsitektur yang bersifat komunikasi
dan mampu menggantikan suatu yang lain dan yang dapat di pikirkan dan di
bayangkan.
Istilah semiotika diperkenalkan pertama kali dalam dunia filsafat pada
akhir abad ke-17 oleh Jhon Lock. Namun, tokoh yang paling terkenal dalam ilmu
semiotika adalah tokoh Charle Sanders Pierce pada tahun 1839-1914. Charles
Sanders Pierce merupakan filosofis dari Amerika yang mengungkapkan bahwa
semiotik atau ilmu tentang tanda dapat dimaknai secara terbuka, namun tetap
terbatas oleh konteks baik dari konteks budaya, sosial ataupun dari pengetahuan
atau pengalaman dari si penafsir makna dalam tanda tersebut. Makna dari sebuah
tanda merupakan hal yang berbeda satu sama lain, tergantung kepada suatu
konteks tertentu. Jadi, tanda tidak memiliki sebuah makna yang pasti dan stabil.
Namun, suatu tanda dapat sangat mudah diartikan dikarenakan tanda memiliki
hubungan yang alami dengan artinya, sehingga orang awam pun akan cukup
Semiotika sangat dikaitkan dalam ilmu arsitektur dan ilmu bahasa,
dikarenakan dalam konteks arsitektur, objek yakni ruang, tempat atau alat-alat
yang digunakan oleh manusia merupakan suatu sarana komunukasi yang cukup
luas (Dharma, 2006). Ilmu semiotika mulai digunakan pada dunia arsitektur sejak
era post-modern yaitu pada era tersebut para arsitek mulai menyadari adanya
kesenjangan sosial antar pembuat desain (arsitek) dengan pemakai desain
(penghuni). Para arsitek melihat bahwa masyarakat tidak memahami terhadap
desain yang mereka ciptakan. Untuk itu para arsitek berkeinginan untuk mengajak
masyarakat agar mereka dapat memahami karya-karya arsitektur dengan sebuah
bentuk komunikasi, tanda ataupun simbol. Sehingga diperlukannya pemahaman
terhadap pemikiran mengenai semiotika yakni ilmu tentang tanda yang mana
terdapat suatu makna dalam setiap unsur tanda tersebut (Dharma, 2006)
2.2 Defenisi Kubah
Bentuk kubah telah dikembangkan selama ratusan tahun oleh banyak
kelompok masyarakat di berbagai belahan dunia. Sejarah mengenai
perkembangan dari bentuk kubah beserta fungsinya sangat luas dan kaya akan
makna bahkan telah menjadi simbol semiotik yang khas bagi berbagai agama,
budaya dan peradaban tertentu.
Kubah adalah atap melingkar dengan bentuk setengah lingkaran (setengah
bola) yang banyak digunakan di wilayah Mediterania pada bangunan-bangunan
besar. Kubah sering digunakan karena dengan alasan konstruksi kubah bisa
Kubah merupakan salah satu unsur arsitektur yang mendasar sebagai
bentuk bangunan dan selalu digunakan di tempat tertinggi di atas bangunan
sebagai penutup atap. Bentuk dari kubah tidak hanya memiliki permukaan bagian
luarnya saja, tetapi juga memiliki bagian ruang dalam dan organisasi ruang
dimana arsitektur berada pada potensi yang paling tinggi (Wahid dan Alamsyah,
2013)
2.3 Sejarah Kubah
Menurut (Sopandi, 2013) dalam buku sejarah arsitektur, perkembangan
arsitektur di Eropa Timur dan di Timur Tengah banyak mewarisi berbagai inovasi
yang dikembangkan pada masa kejayaan Romawi. Selain karena perkembangan
teknologi membangunnya, bangsa Romawi sangat berpengaruh karena kekuasaan
politiknya yang luas, mencakup daratan yang mengelilingi laut Mediterania. Pada
puncak kejayaannya, mulai dari abad 4 SM sampai dengan 400 M, Roma sempat
mengembangkan infrastruktur kota yang canggih di daerah-daerah kekuasaannya.
Perkembangan arsitektur islam juga tidak lepas dari berbagai pengaruh
arsitektur peradaban-peradaban yang mendahuluinya. Islam berkembang menjadi
sebuah kekuatan politik yang cukup penting dan peradaban besar sejak abad ke-7.
Bangsa Arab mengasimilasi berbagai kebudayaan dan mewarisi keahlian berbagai
suku bangsa lain, ilmu hitung dan matematika dari India, keahlian membangun
dari Persia, keahlian membangun kubah dari Bizantium, dan keahlian pembuatan
dinding dari Armenia. Selain itu kebudayaan islam juga mengadopsi berbagai
bangunan-bangunan keagamaan dan situs-situs pra-islam yang dialihfungsikan
menjadi bangunan ibadah yakni masjid (Sopandi, 2013).
Zaman Bizantium merupakan zaman perkembangan arsitektur yang
berpengaruh besar dalam arsitektur masjid, dimana Konstantinopel (sekarang
Istanbul) di bangun sebuah gereja sangat besar pada waktu itu yang disebut Hagia
Sophia. Pada gereja inilah dibuat kubah, kemudian penggunaan kubah menjadi
ciri dari arsitektur Bizantium.
Pada zaman Bizantium banyak pula di bangun gereja dengan bentuk kubah
sebagai mahkota di bagian atas pada bangunan. Tidak sedikit gereja lain yang
sejaman memakai “kubah palsu” bahkan memodifikasi menjadi bentuk bawang, yaitu kubah yang runcing di atas, menggelembung di tengah seperti bawang
(onion dome).
Bahkan bentuk kubah tidak sedikit hanya dipakai sebagai hiasan dan
hanya berbentuk kecil, misalnya pada amortizement dan puncak dari sebuah
minaret, misalnya pada banyak mesjid dan makam muslim kuno di India. Pada
masjid-masjid kuno dan baru di Arab, Mesir dan lain-lain. Kubah selain menjadi
penghias juga menjadi tanda memperkuat arah kiblat, diletakkan di depan di atas
dari mihrab. Keberadaan kubah pada masjid seperti adanya kolom dalam haram
dan menjadi polemik yang berkepanjangan dan kini ada yang memandang kubah
sebagai simbol atau identitas dari bangunan masjid.
Menurut (Sumalyo, 2006) dalam buku arsitektur masjid, masjid dapat
muslim. Kata masjid disebut sebanyak dua puluh delapan kali di dalam al-quran,
yang berasal dari kata Sajada-Sujud,yang berarti patuh, taat, serta tunduk penuh
hormat dan takzim. Sujud dalam syariat adalah berlutut, meletakkan dahi, kedua
tangan ke tanah adalah bentuk yang nyata dari arti kata tersebut di atas. Oleh
karena itu bangunan yang dibuat khusus untuk shalat disebut masjid yang artinya
tempat untuk bersujud.
Menurut (Huthudi & Subekti, 2004) perkembangan kubah berkaitan erat
dengan perkembangan bahan ataupun material. Pada abad ke-19 terjadi suatu
revolusi industri yang memberikan hasil yang luar biasa, khususnya untuk bidang
pembangunan. Revolusi industri terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi maju. Hasil revolusi industri ini membawa serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi berupa bahan bangunan. Dengan hasil ini maka
bahan bangunan yang telah ada seperti bahan alami seperti batu, kayu, bata dan
beton ditambah dengan bahan bangunan baru yaitu besi dan baja.
2.4 Defenisi Struktur kubah
Pengertian sederhana tentang struktur dalam kaitannya terhadap bangunan
adalah bahwa struktur merupakan sarana untuk menyalurkan beban yang
diakibatkan oleh penggunaan atau kehadiran suatu bangunan di atas permukaan
tanah. (Schodek, 1999)
Menurut (Schodeck, 1999) mengatakan struktur kubah adalah suatu
elemen struktural dari arsitektur yang berbentuk atap tetapi memiliki rongga dan
baru lainnya adalah dengan menggunakan batang-batang yang diletakkan pada
sebuah kurva yang dibuat dari garis melintang dan membujur dari suatu
permukaan putar atau bulat.
Menurut (D.K.Ching & Adams, 2008) struktur kubah (dome) merupakan struktur dengan permukaan berbentuk bola, memiliki denah melingkar, terdiri dari
tumpuan blok-blok, dan material kaku seperti beton bertulang atau dari
elemen-elemen liniear yang pendek. Kubah menyerupai bentuk busur yang dirotasi atau
diputar.
Gambar 2.1. Ilustrasi struktur rangka pada kubah (Dome) (Sumber : Makowski Z, S, 1988)
2.5 Sejarah struktur kubah
Bangsa Romawi telah mengembangkan struktur beton yang
memungkinkan mereka membuat bentukan atap lengkung (vault) dan bentuk kubah (dome). Sejarah teknologi konstruksi beton diawali sejak ditemukannya
portland cement pada tahun 1824. Bentang kubah ini sebagian bergaris tengah atau berdiameter di atas 50 m dan tidak ada yang melebihi bentangan ini sampai
Gambar 2.2 Ilustrasi struktur dasar bentuk kubah dari busur
(Sumber : http://oghibhambara.blogspot.co.id)
Bahan bangunan yang dipakai bangsa Romawi adalah bata, keramik,
semen, beton dan besi. Beton yang dikembangkan bangsa Romawi adalah bahan
yang sangat kuat, tahan lama, sekaligus ekonomis. Beton memungkinkan bangsa
Romawi membangun bangunan dengan struktur bentuk kubah (Dome).
2.6 Sejarah penggunaan kubah di Nusantara
Menurut (Rochim, 1983) penggunaan atap berupa kubah pada masjid di
Nusantara merupakan wujud kemajuan zaman dan modernitas. Sehingga dapat
menggeser penggunaan bentuk atap dan puncak yang tradisional pada masjid yang
menggunakan atap tumpang atau limas.
Kehadiran penggunaan kubah pada bangunan masjid di Indonesia
terbilang baru, sekitar pada abad ke-19 M. Bahkan di Jawa, atap masjid berkubah
baru muncul pada pertengahan abad ke-20 M. Tetapi masjid-masjid di Indonesia
melainkan bentuk-bentuk minimalis dan berundak, misalnya masjid Agung
Demak atau Masjid Agung Banten (Gambar 2.3). Hal ini membuktikan bahwa
bentuk kubah sebenarnya bukan asli warisan dari budaya islam, melainkan adopsi
budaya dari luar islam yang kini justru menjadi identik sebagai bangunan tempat
ibadah umat islam dan seringkali bentuk kubah menjadi identitas atau simbolisasi
islam.
Gambar 2.3 Masjid Agung Demak dan masjid Agung Banten atap tumpang
(Sumber : http://divanikaligrafi.com)
Gambar 2.4 Masjid Baiturrahman di Aceh menggunakan kubah
Dahulu sebelum menggunakan pada ujung masjid berupa kubah kecil,
masyarakat Jawa pada umumnya menggunakan atap yang dibuat dari tanah liat
yang bakar atau benda lainnya yang memberi tekanan pada keruncingan, atau
disebut dengan mustaka. Pada masjid-masjid di desa, penggunaan kubah pada
umumnya hanya pada bagian puncak atau ujung pada masjid saja, sedangkan pada
atapnya masih menggunakan bentuk tumpang. (Gambar 2.5). Hal ini yang
membuat bentuk masjid dengan penggunaan atap maupun puncak berbentuk
kubah semakin berkembang. (Rochim, 1983)
Gambar 2.5 Masjid yang menggunakan kubah kecil pada bagian ujung atapnya
(Sumber : http://divanikaligrafi.com)
2.7 Penampilan awal penggunaan kubah masjid di Sumatera
Menurut (Kurniawan & Kusumawardhani, 2012) bahwa kubah pertama
digunakan di masjid Hindia Belanda yang ditemukan di pulau Penyengat, Riau
yang dibangun oleh keturunan Bugis Kesultanan Riau. Masjid ini dirancang oleh
seorang arsitek India dari Singapura yang ditugaskan oleh Sultan Abdurrahman
yang dipertuan muda Riau VII pada tahun 1832 dan selesai pada masa
menghadap kota Tanjung Pinang, yang menurut Matheson adalah untuk berdiri
sebagai tantangan islam dengan kafir di air. Rencana masjid Penyengat
mencerminkan dari pengaruh kuil India, yang diperkaya dengan empat menara
bergaya Ottoman dan motif budaya melayu (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Kubah masjid di Pulau penyegat, Riau
(Sumber : Kurniawan & Kusumawardhani, 2012)
Kubah terdiri dari empat sisi heksagonal dan segi delapan dan kubah
terbuat dari pasir, kerikil dan semen. Sementara kubah utamanya didukung oleh
empat kolom. Menurut sumber-sumber lokal, campuran bahan putih telur dan
kapur ditambahkan untuk memperkuat struktur kubah.
Masjid kubah yang kedua yaitu masjid Al-Oesmani di Labuhan Deli
(1870-1872), yang dirancang oleh arsitek Jerman GD Langereis, rasa Eropa untuk
menafsirkan dan pencampuran budaya Islam (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Kubah masjid Deli pada tahun 1870
Langeries menerapkan struktur kubah dengan bentuk segi delapan dengan
bahan tembaga pada bagian atapnya. Pada bagian eksterior menunjukkan
campuran gaya arsitektur Moor dan arsitektur Mughal. Ada lima kubah dengan
bahan tembaga pada bagian atap. Ruang utama masjid ditutupi dengan kubah
utama yang cukup besar dengan bahan tembaga dengan bentuk segi delapan
(oktagoal). Berat kubah pada masjid ini diyakini lebih dari 2,5 ton. Langit-langit
pada masjid ini dibuat dengan bahan kayu dengan bentuk melengkung mengikuti
bentuk kubah. Meskipun struktur kubah tidak bisa dilihat, informasi dari
manajemen masjid mengatakan bahwa frame atau struktur besi yang digunakan
adalah sebagai struktur utama pada kubah.
Masjid kubah ketiga yaitu masjid Baiturrahman di Aceh (1879-1881).
Masjid Baiturrahman yang terletak di jantung Kutaraja (Banda Aceh). Pada
bagian Barat dan sisi Utara dari masjid ini yang selamat dari serangan tsunami
pada tahun 2004, yang secara langsung berdekatan dengan pasar Aceh (pasar
tradisional Aceh). Perbatasan pada sisi Selatan adalah daerah taman Sari. Di
bagian sisi Timur di mana terletak pintu masuk utama yang memiliki gerbang dan
menara yang terletak secara simetris. Masjid ini memiliki tujuh kubah dan dengan
empat menara, telah mengalami beberapa perubahan dan renovasi sebelum
Gambar 2.8 Kubah masjid Baiturahman pada tahun 1879
(Sumber : Kurniawan & Kusumawardhani, 2012)
Masjid baru Baiturrahman mengingatkan gaya arsitektur Arab, Eropa
klasik dan gaya arsitektur Moorish. Gaya arsitektur Moorish yang jelas di
tunjukkan dari pintu interior dan dari bagian depan. Penggunaan bentuk geometris
sebagai unsur utama dari ornamen dekoratif termasuk motif Arab yang natural
dan rencana bentuk masjid adalah bentuk salib terbalik.
Pada bagian atap di tutupi oleh kubah utama dengan karakteristik
arsitektur Mughal. Bentuk kubah dasar tampak seperti tambur yang berbentuk
segi delapan. Kubah terbuat dari struktur kayu dengan satu kolom besar ditengah
sebagai kolom utama yang digunakan untuk mendukung membentuk kubah
bawang nya. Struktur ini di tutupi oleh papan kayu yang di panaskan untuk
mendapatkan bentuk yang melengkung. Akhirnya, kubah ditutupi oleh atap sirap
2.8 Tipologi penggunaan awal kubah masjid di Sumatera
Menurut (Kurniawan & Kusumawardhani, 2012) tipologi penggunaan
awal kubah masjid di Sumatera dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Tipologi awal kubah masjid di Sumatera Masjid Raya
Stabat
Dibangun tahun:
1904
Arsitek: (Belum
diketahui
N/A N/A
Masjid Al
Ma'shun di
Medan.
Dibangun tahun
1906.
Arsitek:
AJ.Tingdeman
Masjid
Syahabuddin
Dibangun pada
tahun 1926.
Arsitek: (Belum
2.9 Ragam bentuk kubah
Bentuk kubah juga beragam tergantung gaya arsitektur dan daerahnya.
1. Kubah belahan (hemispherical dome)
Kubah inilah yang umumnya dijumpai pada gereja atau bangunan
berarsitektur Barat. Kubah ini berbentuk setengah lingkaran sempurna
dengan tholobate berbentuk silinder (melingkar), misalnya kubah Basilika
St. Peter.
Gambar 2.9 Basilika St. Peter.
2. Kubah oktagonal
Kubah yang jika dilihat masih mempertahankan bentuk rusuknya yang
bersegi. Bagian tholobatenya juga memiliki sisi, tidak seperti drum pada
kubah hemispherical atau pada kubah belahan yang berbentuk silinder
sempurna. Contohnya adalah kubah katedral Florence.
3. Kubah piring (saucer dome)
Kubah yang berbentuk seperti piring terbalik (menelungkup). Kubah jenis
ini sangat sering digunakan pada gereja bergaya Byzantine contohnya
Hagia Sophia dan masjid bergaya Ottoman.
Gambar 2.11 Hagia Sophia
4. Kubah layar (sail dome/pendetive dome)
Kubah yang sangat khas pada gaya arsitektur Byzantine (kristen
orotodoks), dimana pada bagian atas tholobatenya terdapat bagian
setengah lingkaranyang menyangga kubah. Akibatnya, jika dilihat dari
bawah bagian dalam kubah tampak seperti layar yang dikembangkan di
keempat sisinya.
5. Kubah payung (umbrella dome)
Kubah jenis ini masih menampakkan rusuk-rusuk vertikalnya. Contohnya
seperti kubah Basilika St. Peter, kubah katedral Florence, serta kubah
Hagia Sophia. Kubah-kubah islam umumnya jarang menerapkan kubah
bergaya seperti ini. Biasanya kubah masjid lebih polos dan permukaannya
lebih halus tanpa menunjukkan rusuk-rusuk nya. Terkecuali pada dome of the rock dan masjid-masjid bergaya Ottoman, sebab gaya kubahnya masih sangat di pengaruhi kubah bergaya kristen.
6. Kubah umbi bawang (onion dome)
Kubah ini merupakan ciri khas arsitektur islam dan kristen ortodoks.
Contohnya seperti katedral St Petersburg dan lain-lain.
Gambar 2.13 Katedral St.Petersburg.
7. Kubah bentuk buah pir (pear shaped dome)
Kubah jenis ini sangat khas ditemukan pada gereja-gereja kristen ortodoks
di Ukraina dan wilayah Eropa Timur lainnya. Kubah ini jarang diterapkan
dalam ukuran besar dan umumnya digunakan sebagai kubah pada puncak
menara. Contohnya pada St. Michael Golden dome Monastery di Kiev,
Gambar 2.14 St Michael Golden dome Monastery di Kiev, Ukraina
8. Kubah tunas (bud dome)
Kubah ini hanya ditemukan pada gaya arsitektur Baroque, berupa kubah
yang memiliki “tunas” berupa kubah berbentuk umbi bawang yang lebih
kecil pada bagian atasnya. Misalnya pada katedral St. Andrew di Kiev,
Ukraina.
Gambar 2.15 Katedral St. Andrew di Kiev, Ukraina.
9. Kubah berbentuk lonceng (bell shaped dome)
Kubah ini tampak seperti lonceng yang ditelungkupkan. Kubah berbentuk
lonceng ini dijumpai pada kubah katedral Dresden, Jerman.
10.Kubah bentuk melon (melon dome)
Kubah ini sangat unik sebab berbentuk seperti buah semangka atau melon.
Kubah ini sangat khas terdapat pada kubah-kubah masjid di Asia Tengah.
Contohnya yang terkenal adalah kubah masjid Agung St. Petersburg di
Rusia yang merupakan masjid terbesar di Eropa.
Gambar 2.17 Masjid Agung St. Petersburg, Rusia
2.10 Kriteria pemilihan masjid di beberapa negara di dunia hingga di Asia
Adapun kriteria yang digunakan dalam pemilihan populasi pada beberapa
bangunan masjid di dunia hingga di Asia di lihat pada tabel di bawah ini.
Nama Masjid Lokasi dan Tahun di bangun
Kriteria Gambar kubah masjid
Masjid Jami' Uqba
Lotfollah Iran tahun 1603
Masjid Shah di
Masjid Raya Stabat,
Masjid Jamek Malaysia tahun 1909
Masjid Negara di Kuala
Lumpur
Masjid Zahir di Alor Setar
Malaysia tahun
1912 Masjid Kesultanan
Masjid Bahagian
Masjid Nasional di Nigeria
Masjid Sheikh Zayed Abu Dhabi, UEA tahun 1996