• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mitos Perkawinan Sumbang Dalam Cerita Rakyat Batak Toba: Analisis Struktur, Makna Dan Fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mitos Perkawinan Sumbang Dalam Cerita Rakyat Batak Toba: Analisis Struktur, Makna Dan Fungsi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran I:

Beberapa istilah dalam bahasa Batak yang digunakan dan artinya

1. Amang : Ayah, juga panggilan untuk pria yang sudah menikah

2. Amang uda : Adil laki-laki ayah

3. Babiat : Harimau

4. Begu : Hantu

5. Boru : Anak perempuan

6. Bulu : Bambu

7. Datu : Orang pandai

8. Dalihan natolu : Tiga tungku, sistim kekerabatan Batak Toba

9. Gabe : Punya keturunan putra dan putri

10. Gondang : Gendang

11. Hau : Pohon

12. Hula-hula : Pihak pemberi istri atau saudara istri

13. Huta : Kampung

14. Iboto : Saudara laki-lai atau saudara perempuan

(2)

16. Ilik : Kadal

17. Inang : Ibu

18. Manuk : Ayam

19. Manulangi : Memberi makan

20. Mapultak : Pecah

21. Maranak : Mempunyai anak laki-laki

22. Marboru : Mempunyai anak perempuan

23. Marporhas : Kembar sepasang perempuan laki-laki

24. Maneat horbo : Memotong kerbau

25. Mangadati : Melaksanakan pesta adat sepasang suami istri

26. Manopoti sala : Meminta maaf

27. Nagogo : Yang sangat kuat, julukan untuk harimau

28. Napuran : Sirih

29. Ompung : Kakek atau nenek,harimau juga disebut ompung

30. Ompunta : Nenek Moyang

31. Pariban : Putra saudara perempuan ayah atau putri saudara laki-laki ibu

(3)

33. Parsili : Buang sial

34. Porhas : Petir

35. Punjung : Terpencil

36. Sabutuha : Lahir dari perut seorang ibu yang sama (satu marga)

37. Sahala : Kemuliaan

38. Sihahaan : Anak paling tua

39. Sipiu-piu : Nama pohon, saling mengikat

40. Sumangot : Roh

41. Tondi : Roh laki-laki

42. Tulang : Saudara ibu

43. Ulos : Selendang

(4)

Lampiran 2:

TRANSKRIP WAWANCARA

I. Wawancara dengan Bonai Hutagaol dan Rusmina Hutagaol, tanggal 19 Agustus

2013

Wawancara yang pertama ini dilakukan dengan pasangan yang terlibat

hubungan sumbang yakni pasangan bermarga Hutagaol: Bonai hutagaol dan Rusmina

Hutagaol. Wawancara dilakukan di tempat tinggal pasangan ini di Huta Lumban

Silintong, Balige. Pasangan ini sudah mempunyai tiga anak. Wawancara dilakukan

pada tanggal 2012 pada pagi hari setelah seminggu sebelumnya sudah melakukan

pendekatan dan menentukan pertemuan.

Wawancara sebenarnya dilakukan dalam bahasa Batak untuk membangun

hubugan yang lebih dekat untuk membangun keterbukaan . Wawancara dilakukan

oleh peneliti sendiri. Setelah memberitahu maksud dan tujuan wawancara pasangan ini

tidak merasa keberatan sama sekali untuk menjawab pertanyaan peneliti sekitar latar

belakan perkawinan mereka dan pengalaman mereka sampai pada hari dilakukannya

wawancara.

Penulis : Bagaimana bapak dan ibu sampai bisa bertemu.

Bonai Hutagaol : Kami bertemu ketika kami sama-sama bekerja pada bidang

hiburan yakni menjadi penyanyi pada pesta perkawinan dan

acara-acara lain seperti yang terdapat pada masa masa

(5)

yang istimewa. Dari semula kami sudah saling mengetahui

identitasas masing-masing yakni bahwa kami sebenarnya

mempunyai marga yang sama yakni marga Hutagaol. Kami

menyadari sejak semula bahwa kami mariboto. Lama

kelaman timbul perasaan yang lain dalam dirikami. Kami tak

tahu, mungkin hal ini akibat keadaan dimana kami selalu

bersama.

Rusmina : Kami berusaha melawan perasaan kami tapi kami tak mampu

sehingga hubungan kami sudah terlalu jauh dan kami

bermakasud kawin lari. Orang tua berusaha memisahkan kami

dengan meminta pertolongan polisi. Kami sempat manopoti

sala (meminta maaf keseluruh jemaat gereja karena menikah

tanpa direstui gereja, karena itu dikeluarkan dari gereja)

karena perkawinan kami tidak diakui Gereja karena tidak

melibatkan Gereja dan kami dikeluarkan dari Gereja.

Perkawinan kami menjadi menciptakan kehebohan karena

kemudian Kepala desa ikut menolak perkawinan kami dan

berusaha memisahkan kami. Mereka, yakni kepala desa dan

keluarga serta saudara berpendapat bahwa saya diguna-gunai

suami saya karena tidak masuk diakal mereka bahwa saya

mampu melakukan perkawinan ini. Selama setahunkan kami .

merasakan penderitaan karena semua pihak masih tetap

(6)

Pakanbaru. (Selanjutnya wawancara ini didominasi Ibu

Rusmina yang sesekali di sela suaminya yakni Bapak Bonai)

Penulis : Kenapa kemudian kalian kembali ke Balige ini?

Rusmina Hutagaol : Kami memutuskan kembali karena oang tua saya sakit keras.

Kami memutuskan untuk manopoti sala (meminta maaf)

kepada orang tua. Pada waktu itu kami sudah mempunyai anak.

Karena perkawinan kami belum diadati (dirayakan secara adat)

kami bermaksud melaksakan pangadaiton (memestakan secara

adat). Maksud kami ini tidak bisa langsung terlaksana karena

raja-raja adat belum menerima perkawinan kami. Orang tua

kemudian mengambil solusi dengan para raja yakni

mengundang raja-raja adat untuk membicarakan persoalan

kami. Kemudian diputuskan untuk maneat horbo yakni bahwa

kami harus mempersembahkan seekor kerbau untuk dipotong

untuk minta maaf kepada seluruh raja adat, keluarga dan

masyarakat. Saya juga harus merobah marga saya menjadi boru

Pohan. Acara minta maaf ini akhirnya dilaksanakan. Kami

minta maaf kepada seluruh keluarga masyarakat dan raja-raja

adat dan saya berganti marga menjadi boru Pohan Hal ini

sangat menguras tenaga dan pikiran kami, disamping keadaan

orangtua yang menjadi sakit-sakitan karena tidak tahan

(7)

Penulis : Setelah minta maaf dengan mempersembahkan seekor kerbau

untuk meminta maaf kepada semua pihak apakah persoalan

sudah selesai bukan?

Rusmi : Tidak juga. Hal ini menjadi beban kami selamanya.

Masyarakat, terutama masyrakat bermarga Hutagaol tetap juga

tidak menerima perkawinan kami dan tetap mencemoh keluarga

sehingga orang tua saya semakin parah penyakitnya. Kami

ahkirnya memutusan untuk berpisah. Pada waktu itu kami

sudah mempunyai dua anak. Kami memang betul-betul

berpisah. Namun hal ini tidak bisa berlangsung terus karena

anak-anak kami. Anak-anak merindukan ayak mereka sehingga

kemudian kami memutuskan untuk berkumpul kembali dan

pindah ke tempat ini.

Penulis : Perkawinan kalian sudah lama, masyarakat mungkin sudah

lupa dan sudah dapat menerima kalian ?

Rusmina : Itu dia. Kami sudah minta maaf, saya sudah merubah marga

saya tetapi masyarakat umum kenyataannya belum bisa

menerima perkawinan kami. Demikian juga halnya orang tua

kami. Mertua saya kemudian meninggal dan di acara

penguburan mertua saya, saya tidak diperhitungkan artinya

saya dianggap tidak ada. Hal ini yang menjadi persoalan.

Karena saya tidak diperhitungkan, orang tua sayapun tidak

(8)

saya.Orang tua saya bertambah menderita karena kemudian

dia dikeluarkan dari adat artinya orang tua saya tidak

diperkenankan mengikuti upacara-upacara adat yang

dilaksanakan masyarakat bermarga Hutagaol.

Penulis : Hal apa yang paling berat ibu hadapi sehubungan dengan

perkawinan anda.

Rusmina Hutagaol : Hal yang paling berat adalah kenyatan yang terjadi pada

orang tua saya. Mereka sampai sakit-sakitan dan bahkan

keluarga saya saompu (satu kakek) tidak mengikutkan mereka

lagi dalam adat sampai mereka kemudian meninggal.

Kenyataan ini yang membuat saya terus merasa bersalah dan

tidak bisa memaafkan diri saya.

Penulis : Apakah kalian masih mendapat perlakuan buruk dari

keluarga dan masyarakat?

Rusmina : Saya sedikit- sedikit sudah dapat bergaul seperti biasa.

Namun saya menyadari bahwa didepan saya orang banyak

tidak lagi mengatakan apa-apa, tapi begitu saya berbalik saya

tahu bahwa mereka masih mempergunjingkan saya. Sehingga

saya memutuskan untuk menjauhkan diri dari orang banyak

bahkan dari masyarakat dikampung ini. Kalau dengan

keluarga saya memang tidak diundang lagi kalau ada

acara-acara pesta dalam keluarga dari pihak saya. Kalaupun ada

(9)

karena saya sudah tahu bahwa sebenarnya mereka tidak

menghendaki kehadiran saya dan disana nanti saya pasti

dikucilkan

Penulis : Bagaimana dengan bapak Bonai apakah bapak mengalami

seperti pengalaman ibu?

Bonai : Saya tidak terlalu banyak mengalami penolakan juga dari

keluarga saya dan masyarakat umum. Sepertinya mereka

sudah dapat menerima saya. Hal yang sulit adalah ketika di

acara-acara adat dan pertemuan lain saya merasa sedikit

kesulitan ketika ada yang bertanya boru apa

pardijabu(maksudnya istri). Dan orang menjadi sedikit

bingung ketika saya memjawab boru Pohan. Jawaban ini terus

membuat mereka bertanya lebih jauh dan saya harus

menceritakan hal yang sebenarnya. Kalau masyarakat umum

terutama para bapak-bapak tidak pernah lagi

mempersoalkannya. Mungkin beda dengan ibu-ibu yang sulit

menerima hal ini sehingga istri saya lebih menderita dan tidak

pernah lagi menghadiri acara-acara adat bahkan

pesta-pesta.

(10)

Rusmina : Saya sudah memutuskan untuk menjauhkan diri. Saya merasa bebas

ketika saya jauh dari orang-orang. Dengan menjauhkan diri saya

merasa bebas dari ejekan dan cemohan. Dengan menjauhkan diri saya

berusaha melndungi diri saya. Biarpun demikian penderitaan itu tidak

hilang-hilang bahkan semakin menyakitkan karena saya tetap merasa

bahwa sayalah yang membuat kedua orang tua saya meninggal sayalah

yang membuat mereka dicemoh dan diejek dan dikucilkan sehingga

mereka sakit kemudian meninggal. Sayalah yang membunuh orangtua

saya. Kenyataan ini yang paling berat saya tangungung. Saya bisa lari

dari cemohon orang tapi tidak bisa lari dari rasa bersalah saya.

Persoalan yang saya hadapi lebih banyak adalah persoalan dalam diri

saya, penyesalan yang tidak habis-habisnya. Hal in yang membuat saya

menderita dan memutuskan untuk menjauh dari orang. Hal ini yang

paling berat saya tanggung entah sampai kapan. Semoga sayalah

perempuan yang terakhir mengalami seperti apa yang saya alami.

(11)

Lampiran 3:

Wawancara II : Dengan Bapak Nelson Pardede, tanggal 20 Agustus 2013

Wawancara ini dilakukan dengan nara sumber yakni Bapak Nelson Pardede

yang berdiam di pasar Sipoholon sudah menikah dan memiliki lima putra putri. Ketika

wawancara dilakukan istri dan anak-anaknya ikut mendampingi demikian juga seorang

pura dari tulangnya yang nomor dua.

Wawancara dilakukan dalam bahasa Batak dan dalam transkrip ini

diterljemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bapak Nelson Pardede mempunyai orang

tua yang melakukan sumbang atau dengan kata lain dia adalah hasil perkawinan

sumbang antara Bapak Kalpinus Pardede yang meninggal tahun 1984 dan ibu Sarma

Pardede yang meninggal tahun 2007. Wawancara meliputi peristiwa perkawinan

sumbang antara Kalpinus Pardede dan Sarma Pardede yang diingat Bapak Nelson

berdasarkan penuturan ibunya.

Penulis : Sejauh mana bapak ketahui mengenai peristiwa perkawinan

orang tua bapak?

Nelson : Kami mengetahui dari penuturan ibu kami yang sering

mencertakan kepada kami, ketika kami bertanya. Menurut ibu

kami, ibu dan ayah kami dahulu tinggal di Sitapongan dewasa

bersama dan mereka saling mencintai. Ibu kami mengalami

banyak penderitaan ketika ahirnya orangtuanya mengetahui

bahwa ibu mencintai ayah kami. Orang tua kami berusaha

(12)

pernah dikurung bersama sama harimau, tetapi harimau itu tidak

memangsa ibu kami. Hal ini diceritakan ibu kami sambil

menangis. Hal yang lain yang dilakukan orang tua ibu kami

adalah mencoba membunuh ibu kami dengan membenamkam

kesungai tetapi ibu kami selamat.

Penulis : Apakah kedua orangtua bapak tidak mengetahui bahwa

perkawinan mereka terlarang karena mereka mempunyai marga

yang sama?

Nelson : Menurut ibu kami mereka tahu bahwa mereka mariboto tetapi

mereka sudah saling mencintai dan sangat berat untuk berpisah.

Penulis : Bagaimana akhirnya sehinga perkawinan ibu bapak dapat

berlangsung?

Nelson : Banyak rintangan yang dihadapi kedua orang tua kami. Ibu

kami selalu menceritakan hal ini sambil menangis. Akhirnya

mereka melarikan diri pada tahun 1961 dari Sitapongan. Namun

orang tua kami gabe dan setelah punya anak kembali ke

Sitapongan. Kedua orang tua kami, setelah ada mufakat adat oleh

raja-raja Sonakmalela (kesatuan marga Simangunsong,

Marpaung, Napitupulu dan Pardede) di Sitapongan, disuruh

minta maaf kepada masyrakat terutama masyarakat Sonakmalela

dengan memotong seekor kerbau. Acara adat ini berlangsung

dengan baik. Menurut ibu kami ditengah berlangsungnya acara

(13)

para pengunjung. Harimau itu datang begitu saja kemudian

pergi.

Penulis : Apakah setelah acara pemotongan kerbau persolan selesai?

Nelson : Menurut ibu kami masyarakat dapat menerima perkawinan

mereka apalagi setelah ibu kami mengganti marganya menjadi

Pohan dan kemudian pindah ke sini ke Sipoholon. Ketika kami

bertambah besarpun kami tidak mengalami banyak persoalan.

Ibu saya gabe dan melahirkan kami delapan bersaudara dan

semua gabe punya anak laki-laki dan perempuan. Hal yang

selalu membuat ibu saya sedih adalah sikap dari tulang saya

yang paling besar yang tetap tidak mengakui perkawinan

orangtua saya. Mereka tidak akur. Bahkan tulang menganggap

dia tidak ada sampai ibu saya meninggal. Hal ini yang

membuat ibu selalu menangis dan membuat dia tidak bahagai

karena perlakuan tulang saya selalu mengingat kan dia rintangan

dan penderitaannya ketika dia berjuang untuk bisa menikah

dengan ayah saya. Sehingga kalau dia menceritakan hal tersebut

kepada kami dia selalu menangis. Sayang ayah saya cepat

meninggal pada tahun 1984 dan meninggalkan ibu kami

menghadapi persoalan sampai dia meninggal pada tahun 2007.

Penulis : Menurut Bapak kan masyarakat sudah menerima perkawinan

tersebut demikian juga keluarga dari orangtua bapak dari kedua

(14)

Nelson : Persoalannya sangat berat. Kami anak-anak orang tua kami

mula-mula tidak terlalu memikirkan apa yang menjadi sumber

penderitaan ibu kami. Tetapi ketika kami sudah tumbuh dewasa

dan satu-satu mulai berkeluarga baru persoalan muncul. Tulang

kami yang paling besar tetap tidak mau menghadiri dan

mencampuri adat perkawinan kami.

Penulis : Bagaimana persoalan itu muncul dalam perkawinan Bapak

sendiri?

Nelson : Yah perkawinan sayalah ahirnya yang menunjukkan betapa

besar persoalan yang diakibatkan perkawinan kedua orang tua

kami. Perkawinan sayalah yang membukakan mata saya betapa

menderitanya orang tua saya. Setelah perkawinan saya lah saya

mengerti bahwa persoalan perkawinan semarga ini bukan hanya

membuat hanya pelakunya yang menderita, turunannya

mengalami dampak yang sangat besar.

Penulis : Boleh bapak lebih jelas menerangkan persoalan yang harus

bapak hadapi ketika menikah dengan ibu?

Nelson : Setelah saya bertambah dewasa saya merantau ke Tanjung Balai.

Sampai saya merantau saya tidak mengenal tulang saya. Beberapa dari kami merantau

ke Tanjung Balai. Disana saya bertemu dengan istri saya ini boru Sianturi. Karena saya

mau menikah ibu saya menyuruh saya untuk menemui tulang saya. Begitulah adat

batak, kalau seorang laki-laki mau menikah dia harus menemui tulangnya untuk

(15)

karena saya mematuhi ibu saya dan memang saya ingin mengenal tulang saya, saya

berangkat ke kampung tulang saya. Tetapi apa yang saya temukan? Tulang saya

mengusir saya dan mengatakan bahwa dia tidak mengenal saya. Dia mengatakan bahwa

dia tidak mempunyai adik yang bernama Sarma Pardede dan dia tidak mempunyai

kemenakan.Dia juga mengatakan bahwa dia tidak mengenal saya. Saya bukan

siapa-siapa. Saya adalah anak yang mapultak sian bulu. Ibu saya masih sempat menyaksikan

hal ini namun dia tidak berusaha lagi untuk menemui tulang saya. Karena dari semula

dia memang sudah tidak mempunyai hubungan dengan tulang saya sejak

parbogasonna (perkawinan) dengan ayah saya, biarpun orangtua saya sudah

melakukan upacara minta maaf.

Penulis : Apakah semua tulang dari bapak bersikap demikian?

Nelson : Sebenarnya tidak. Tulang saya dua. Tetapi begitulah. Anak paling besar

mempunyai posisi yang penting seperti halnya tulang saya tersebut. Kami kawin lari

dan kemudian diadatkan. Tulang saya nomor dua datang dan selalu menghibur saya.

Memang bisa saya mengerti apa yang dirasakan tulang saya . Dia anak pertama dan

mempunyai posisi penting. Dia juga pengetua adat. Bagaiman dia bisa memangil saya

berenya sedangkan dia bermarga pardede dan saya pardede. Dia sebagai raja adat harus

teguh memberikan contoh mengenai adat. Tetap dari masa mudanyapun dia sangat

menentang perkawinan ibu saya dan dia yang paling gigih untuk mencegah perkawinan

ibu saya dengan menyakiti ibu saya dengan berbagai cara. Tetapi kan ibu say sudah

(16)

Penulis : Apakah hubungan bapak tidak dapat lagi diperbaiki misalnya dengan

bantuan pihak lain misalnya tulang bapak nomor dua?

Nelson : Saya rasa tidak mungkin lagi. Kami sama sekali tidak mempunyai

hubungan lagi sama sekali dan tulang saya nomor dua jadi ikut dia musuhi.

Penulis : Apakah yang bisa bapak petik dari pengalaman ini

Nelson : Adat Batak ini memang sangat kuat mempengaruhi kehidupan orang Batak.

Sehingga biarpun masyarakat pada ahirnya bisa menerima kawin sumbang karena

semarga setelah melaksanakan adat, bukan berarti tidak ada persoalan dan konflik yang

harus dihadapi orang yang melakukan perkawinan sepertiini yang harus di

keturunannya juga. Saya tidak menghadapi konflik dengan masyarakat terutama di

Sipoholon ini. Mereka tahu kisah orang tua saya tapi mereka dapat menerima, saya

mungkin karena masyrakat disini tidak melihat peristiwa yang terjadi di Sitapongan.

Tetapi mereka tahu tetapi mereka dapat menerima saya demikian juga masyrakat sonak

malela. Tetapi itu dia, penderitaan yang dialami ibu saya mempengaruhi kani secara

kejiwaan karena semasa hidupnya dia sering menangis. Hal itu juga mempengaruhi

kehidupan kami ditambah sikap tulang kami. Tetap juga ada persoalan, dan mungkin

lebih berat bagi kami anak-anak ibu kami biarpun kami semua gabe tidak seperti yang

diramalkan dulu di masa ibu saya. Yah tetap juga kami menderita apalagi kalau kami

mengingat ibu kami.

(17)

Wawancara III : Dengan Bapak Cronimus Edward Huta gaol atau Ompu Tongam Hutagaol, tanggal 21 Agustus 2013

Bapak Cronimus seorang pengetua adat yang berumur 80 tahun ketika

wawancara dilakukan. Dia seorang raja adat dan bertempat tinggal di Hutagaol Balige.

Penulis : Bagaiman pendapat Bapak tentang perkawinan semarga yang terjadi terutama

perkawinan bapak Bonai Hutagaol dan Rumina Hutagaol.

Edward : Yah, saya terlibat dulu dalam hal tersebut karena memang

mereka bertempat tinggal dosini di Hutagaol ini. Sangat berat dulu kami

menyelesaikanhal tersebut setelah kami berusaha keras untuk menghalanginya sampai

akhirnya dilakukan upacara meneat horbo untuk meminta maaf kepada seluruh

masyarakat terutama masyarakat Hutagaol. Saya secara pribadi tetap tidak bisa

meberima perkawinan sepert itu. Tetapi saya melihat ada perubahan di kalangan

masyarakat yang masih muda. Dengan mudah mereka dapat menerima acara

tersebut,demikian juga penggantian marga sebagai sebagai salah satu penyelesaian

tetapi tidak semudah itu apalagi karena kita memiliki Dalihan Natolu. Sehingga saya

secara pribadi tidak setuju dengan adanya perkawinan semarga pada masa sekarang

seperti yang kita lihat, marga siahaan dengan boru siahaan dapat berlangsung hanya

dengan syarat berbeda kampung asalnya sehinga Siahaan dari Hinalang boleh menikah

dengan Siahaan dari Aek Bolon misalnya atau perkawinan antara pasangan yang

bermarga Tambunan. Saya tetap pada pendirian saya karena perkawinan akan

mengganggu Dalihan Natolu. Tetapi orang-orang muda sudah dapat menerima apa

(18)

Penulis : Apakah boleh dikatakan uacara minta maaf dengan maneat horbo dan

penggantian marga sudah dapat diterima hampir masyarakat secara umum?

Edward : Tidak juga. Baru-baru ini, tahun 2009, masyarakat bermarga

Siahan melakukan acara dan dalam adat tersebut yakni martonggo (berikrar) tersebut

ditetapkan kembali bahwa laki-laki bermarga Siahaan tidak bisa menikahi perempuan

bermarga Siahaan dan kalau terjadi akan dikeluarkan dari adat. Demikian juga hal

nyaperkawinan Hutagaol dengan ibotonya lain ibu yang terjadi di Sigumpar, mereka

diusir dan sampai sekarang tidak diketahui dimana berada (dari sinilah informasi

pertama diperoleh penulis mengenai sumbang antara pasangan abang adik yang

bermarga Hutagaol yang terjadi di Sigumpar. Setelah penulis berusaha mengetahui

lebih jauh tidak diperoleh lagi imformasi dimana pasangan ini berada karena mereka

sudah di usir dan tidak ada lagi keluarga kontak dengan mereka).Menurut saya

hukumam bagi pelaku sumbang harus seperti itu, harus dihukum karena sudah merusak

adat. Saya tidak pernah setuju dengan perkawinan semarga apaun alasannya tidak bisa

diterima saya teguh dengan pendirian saya mengenai hal ini. Tetapi saya tidak bisa

berbuat apa-apa. Orang muda sekarang sudah merasa lebih pintar. Mungkin itu salah

satu pengaruh dari zaman modern sekarang seperti kalian bilang. Perkawinan semarga

(19)

Wawancara IV : Hampung Param Pardede, tanggal 22 Agustus 2013

Hampung Param adalah seorang penetua adat di Balige berumur 81 tahun.

Untuk wawancara ini penulis meminta bantuan saudara penulis sendiri untuk dapat

memperoleh imformasi ayng sebih tegas dan jujur. Hal ini dilakukan penulis mengingat

nara sumber ini seorang raja adat dan mengingat penulis seorang perempuan yang

mungkin menjadi suatu hambatan untk memperoleh jawaban yang lebih jujur.

Pewancara :Kami menemukan perkawinan sumbang di Sipoholon yang melibatkan

marga pardede dan boru pardede dan bisa diselesaikan dengan membuat upacara adat

marsomba raja(menyembah raja) minta maaf dan juga dengan mengganti marga.

Bagaimana menurut amang ?

Hampung Param : (Dengan sangat emosional). Tidak. Saya tidak pernah

mendengar hal tersebut. Hal seperti ini tidak boleh terjadi dalam masyarakat Sonak

Malela. Tidak boleh diselesaikan dengan hanya memotong kerbau dan mengganti

marga.Yang melakukan harus di hukum

Pewancara : Tetapi sudah terjadi dan mereka gabe. Kami sudah bertemu

dengan anaknya?

Hampung Param : Dimana itu. Saya tidak pernah mendengarnya. Itu tidak

boleh Terjadi .Harus dipaduru dan diusir. Masyarakat Sonakmalela disana sudah

melakukan kesalahan besar menerima somba-somba (persembahan)seperti itu. Hal itu

mesti ditolak dan yang bersangkutan harus diusir seperti marga Hutagaol yang

mengambil adiknya sebagai istri seperti yang terjadi di Sigumpar. Mereka diusir dan

(20)

Pewancara : Jadi bagaiman pendapat Amang dengan adanya perkawinan

semarga yang sekarang ini bertambah banyak Hutagaol dengan Hutagaol atau Siahaan

dengan Siahaan bahkan tambunan dengan tambunan cukup dengan mengganti marga

perempuan dan yang bermarga siahan dan hutagaol cukup menambah nama kampung

pada marganya?

Hampung Param : Itu tetap tidak bisa . Kita harus mengikuti adat yang

sudah dibuat sijolojolo tubu nenek moyang kita seperti Dalihan Natolu. Kalau ini

diteruskan akan merusak dalihan natolu. Masyrakat Siahaan pun sudah menguatkannya

dalam acara adat baru-baru ini yang melarang setiap marga siahaan darimana pun dia

untuk melakukan perkawinan dengan boru siahaan yang lain. Itu sudah diputuskan

dalam tonggo raja Tidak peduli marga siahaaan dari manapun dia, pokoknya tidak

bisa. Ikrar raja-raja sudah dikukuhkan tahun 2009 yang menyatakan perkawinan

demikian tidak diperbolehkan. Dengan marah dia mengatakan :

Siahaan, Simanjuntak Hutagaol

Na rintik Siahaan, ibotona dipahaol-haol

Siahaan, Simanjuntak Hutagaol

Gila Siahaan, adeknya dipeluk-peluk

Pewancara : Jadi bagaimana dengan yang bermarga Hutagaol yang di

(21)

Hampung Param : Ya diselesaikan dengan maneat horbo tapi sampai sekarang

kan dia dipaduru dari adat demikian juga kedua orangtuanya yang kemudian meninggal

Pewancara : Jadi bagaimana dengan yang bermarga Pardede tadi, mereka

gabe.

Hampung Param : Itu sangat disesalkan. Kami tidak pernah

mendengar.Masyarakat Sonakmalela disana sudah melakukan kesalahan besar.

Sebenarnya itu tidak boleh terjadi. Kau pikirkanlah bagaiman yang seharusnya dulu

jadinya, amongna (ayahnya) menjadi tulangnya atau yang seharusnya anaknya menjadi

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

Objek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah metode penerjemahan menurut teori Newmark (1988), serta pergeseran (shifts) yang terdapat pada subtitle film berbahasa

Dengan adanya pembelian barang yang tinggi sehingga harus adanya pengendalian internal yang baik di dalam Hotel Shangri-La Surabaya khususnya dalam siklus

Penelitian ini dilakukan dengan melihat dan mengeksplor tanggapan mengenai praktik kartu kredit syariah dalam hal ini aplikasi iB Hasanah Card dari berbagai sudut

Untuk mengambil contoh situs yang mengusung sistem belanja online atau E-commerce, saya mengambil contoh situs belanja online yang sudah cukup terkenal di Indonesia, yaitu Lazada,

The aim of this study was to determine the profile of diabetic blood glucose level in rat using a stratified dose streptozotocin (STZ-SD) and multi-low dose

sehingga peneliti mengajukan hipotesis yaitu dengan hipotesis alternative: Ada Hubungan antara Self Efficacy dengan Stres Kerja pada Store Manager di Apotek Guardian, dan hipotesis

Dalam penelitian ini penulis membahas masalah yang ditemukan pada identifikasi yakni tentang manajemen pembelajaran ganda pendidikan agama islam dalam rangka