• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Percut, Desa Tanjung Rejo, Desa Tanjung Set Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Percut, Desa Tanjung Rejo, Desa Tanjung Set Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam

silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna model silvofishery dan masyarakat luas

2. Data dan hasil penelitian dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih lanjut tentang upaya-upaya peningkatan peranan ekosistem mangrove sebagai salah satu komponen pengembangan wilayah dalam ekologi dan ekonomi.

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem mangrove

(2)

Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau dibelakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sejak lama diketahui mempunyai peran penting dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, (Abdullah, 1984).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

(3)

sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).

Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting bakau.

Karena keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000).

Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang luas (Triyanto, 2012).

(4)

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998).

Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan yang hutan

mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove (Dewi, 1995).

Kegiatan wanamina (silvofishery) berdasarkan David (2008) berbagai kajian yang telah banyak dilakukan mempunyai tujuan antara lain:

1. Sebagai sarana/metode konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, sumber daya tanah,sumber daya kelautan dan spesies air.

(5)

3. Sebagai sarana ekowisata, pertanian/perikanan budidaya ramah lingkungan. Perairan tambak merupakan ekosistem perairan payau, salinitasnya ada di antara salinitas air laut dan air tawar. Bandeng merupakan spesies yang adaptif, perubahan – perubahan sampai batas tertentu dapat ditoleransi namun apabila melampaui batas tertentu dapat membahayakan bandeng. Perakaran jenis

Rhizophora sp. Pada umumnya hanya terendam.

Pada saat air pasang berlangsung. Idealnya untuk kegiatan silvofishery

tersebut perlu dibuat kangulu dan sebagai area penanaman khusus di dalam tambak. Guludan tersebut dikondisikan agar tanaman tidak selalu tergenang di mana tanaman hanya akan terendam pada saat terjadinya air pasang, sedangkan

Pada saat air surut tanaman tidak terendam air. Sementara itu untuk current area

atau area pemeliharaan ikan, dilakukan pada tempat yang lebih rendah sehingga pada saat air surut pun tetap dalam keadaan terendam air (Raswin, 2003).

Peranan Hutan Mangrove Terhadap Tambak

(6)

Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah Kepiting Bakau (Scylla serrata), Ikan Bandeng (Chanos chanos), Udang Windu (Penaeus Monodon), Udang Vanamei (Penaeus vannamei), Ikan Patin (Pangasius pangasius), Ikan Kakap (Lates calcarifer) dan Rumput Laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya

silvofishery di kawasan mangrove adalah Kepiting Bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang terlalu luas (Triyanto,2012).

Teknologi budidaya tambak yang ada selalu mengalami perkembangan, mulai dari teknologi sederhana hingga maju. (Kusnendar,1999). Menguraikan teknologi yang ditetapkan tentu akan mempengaruhi dari tipologi tambak yang di Pergunakan. Karakter pembagian teknologi tersebut adalah:

1. Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan tidak teratur, luas petakan tambak antara 0,5-5 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu <70 cm, produksi yang dicapai umumnya rendah

2. Tambak semi intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur, luas petakan tambak antara 0,5-1 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu >90 cm, produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana 3. Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak

(7)

petakan tambak antara 0,3-0,5 hektar, kedalaman air umumnya >1,0 cm,produksi yang dicapai umumnya tinggi

Model Pengelolaan Mangrove

Teknologi budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu non intensif, semi intensif, dan intensif. Perbedaan dari system tersebut terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola pemberian pakan serta system pengelolaan air dan lingkungan. Sistem budidaya non intensif dilakukan secara sederhana dengan input dan manajemen yang minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan system budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumber daya dan manajemen yang lebih banyak (Widigdo, 2000).

Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang, menurut Sofiawan (2000) bentuk tambak silvofishery

terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo Keterangan :

A B

(8)

Gambar 1. Sarana Pembuatan Tambak A. Saluran air, B. Tanggul/pematangtambak, C. Pintu air, D. Empang, E. Pelatarantambak

Gambar 2. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery : (A) tipe empang parit tradisonal, (B) tipe komplangan, (C) tipe kao-kao, (D) tipe empang terbuka, (E) tipe tasik rejo

E

A B

C D

(9)

A. Tipe empang Parit Tradisional Pada tambak silvofishery

Model Empang Parit Tradisional penanaman bakau dilakukan merata di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1 x 1 m sehingga tanaman terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas daerah penanaman mangrove pada system ini bias mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak. Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk sejajar dengan pematang tambak. Saluran biasanya memiliki lebar 3-5 m dan tinggi muka air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya mangrove.

B.Tipe Komplangan

(10)

Gambar 4. Pola Komplangan (Bengen,2002) C.Tipe Kao-kao

Pada Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada guludan-guludan. Lebar guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan /kao-kao dengan jarak tanam 1 meter.

D.Tipe Empang Terbuka

Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove. Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak.

E. Tipe Tasik Rejo

Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air

utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih dari 1 m yang juga dipakai sebagai tempat pemeliharaan ikan. Pelataran tambak pada umumnya dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo, palawija, atau bunga melati.

(11)

menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini menawarkan alternatif yang praktis untuk tambak tetap berkelanjutan

(sustainable).

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Nur, 2000).

Aspek Ekonomi silvofishery

(12)

mangrove di daerah luasan tambak sangat berpengaruh terhadap hasil pertumbuhan tambak itu sendiri. Pemaduan vegetasi mangrove dalam pertambakan menunjukkan pengaruh yang positif terhadap usaha budidaya.

Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tambak tanpa mangrove dimana masyarakat akan mendapatkan hasil panen yang lebih baik dan diuntungkan dari segi penjualan mereka. Sedangkan jenis mangrove yang paling sesuai untuk dikombinasikan dengan tambak adalah Rhizophora mucronata. Bahwa salah satu peran mangrove dalam kegiatan budidaya tambak adalah sebagai biofilter. Fungsi biofilter bagian dari sistem perlakuan (treatment) terhadap air secara biologis dalam budidaya tambak adalah untuk mengurangi beban pencemar yang akan dibuang ke perairan (sungai atau laut), sehingga kegiatan budidaya yang dilakukan akan lebih berkelanjutan (Raswin,2003).

Peranan Aspek Kelembagaan

Perlunya dibentuk suatu kelembagaan penggarap kawasan hutan ialah “Kelompok Tani Hutan” (KTH), petani di desa tersebut tergabung dalam kelompok Tani Bagan Percut Deli Serdang dimana para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan kelompoknya dan membuat program kerja yang akan dilaksanakannya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, perlu adanya pembentukan organisasi dan tanggung jawab masing-masing seksi dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu pula dilengkapi dengan koperasi sebagai wadah penyediaan sarana produksi pertanian atau sarana pengelolaan hasil (Raswin,2003).

Gambar

Gambar 1. Sarana Pembuatan Tambak A. Saluran air, B. Tanggul/pematangtambak, C. Pintu air, D

Referensi

Dokumen terkait

membantu penulis dalam penelitian.. Kajian Ekosistem Mangrove Di Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu

Dilakukanlah penelitian tentang Perilaku Berbiak Burung Kuntul Kerbau ( Bubulcus ibis L.) di Kawasan Mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan,

Dilakukanlah penelitian tentang Perilaku Berbiak Burung Kuntul Kerbau ( Bubulcus ibis L.) di Kawasan Mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan,

Pengaruh Perbedaan Lokasi Mencari Makan Terhadap Keragaman Mangsa Tiga Jenis Kuntul Di Cagar Alam Pulau Dua Serang: Casmerodius albus, Egretta garzetta, Bubulcus

Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan Mangrove di Kelurahan Terusan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak.. Universitas Terbuka,

bakau (mangrove) masyarakat yang memanfaatkan (mengambil) hasil dari hutan bakau (mangrove) diwajib melakukan kegiatan penanaman kembali tanaman bakau (mangrove) guna

Dalam uji coba yang dilakukan selama 3 bulan, ikan Bandeng yang dipelihara pada tambak silvofishery mengalami pertumbuhan rata-rata 100 gr lebih tinggi dibandingkan

Alhamdulillah wa syukurillah penulis panjatkan keharibaan Allah SWT, atas rahmat beserta karunia-NYA sehingga penulis bisa menyelesaikan Skripsi yang