• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM KONTRAK BISNIS DAN JUAL BELI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM KONTRAK BISNIS DAN JUAL BELI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam dunia bisnis kontrak sangat banyak dipergunakan orang, bahkan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun. Karena itu, memang tepat jika masalah kontrak ini ditempatkan sebagai bagian dari hukum bisnis.

Sebagaimana kita ketahui, era globalisasi saat ini telah melanda dunia, termasuk Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan akibat perubahan tersebut adalah bidang hukum ekonomi. Bagian yang paling pesat perkembangannya adalah hukum kontrak/perjanjian khususnya kontrak dagang. Pada dasarnya suatu kontrak merupakan dokumen tertulis yang memuat keinginan-keinginan para pihak untuk tujuan tertentu dan bagaimana pihaknya diuntungkan, dilindungi/dibatasi tanggung jawab.

Dalam kehidupan sehari-hari dalam bermuamalah baik yang konvensional maupun yang Islami, terdapat dua kegiatan yang pasti terjadi, yaitu sale (menjual) dan buy (membeli). Kegiatan tersebut banyak ditemukan dalam praktek trading (perdagangan). Kedua kegiatan tersebut terjadi karena kebutuhan kebutuhan manusia dalam sehari-hari yang sangat banyak dan berganti-ganti dan terjadi secara terus-menerus. Kegiatan inilah yang sangat menopang keberlangsungan hidup di dunia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa ruang lingkup hukum kontrak bisnis? 2. Apa macam – macam kontrak bisnis? 3. Kapan berakhirnya suatu kontrak? 4. Apa ruang lingkup jual beli? 5. Apa macam – macam jual beli?

1.3 Tujuan Masalah

(2)
(3)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Ruang Lingkup Hukum Kontrak Bisnis

A. Pengertian Hukum Kontrak

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah

overeenscomstrecht. Beberapa pengertian hukum kontrak menurut para ahli: Menurut Friedman menyatakan bahwa pengertian hukum kontrak adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.

Menurut Fuady (1994: 4) menyatakan bahwa kontrak dalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.1

Selanjutnya, pengertian kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi jika terjadi wanprestasi (ingkar janji) terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.2

Selain ketiga pendapat diatas KUH Pdt dalam buku Djakfar (2013: 176) juga memberikan pengertian kontrak yang disebut perjanjian yaitu suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (vide Pasal 1313 KUH Pdt).3

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya hukum kontrak merupakan suatu perjanjian antara satu orang dengan yang lainnya sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa dalam perjanjian Islam dikenal dengan istilah aqad adalah perikatan, perjanjian, dan permufakatan yaitu pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan).

1 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 4

2 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi

Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), 175-176

(4)

B. Rukun dan Syarat Sah Akad (Kontrak)

Keberadaan rukun dan syarat akad merupakan hal prinsip yang menentukan keabsahan penyusunan kontrak syariah. Berdasarkan analisa fiqh, ketentuan rukun dan syarat yang berlaku pada suatu perjanjian/ perikatan tertulis (kontrak) adalah ketentuan rukun dan syarat yang berlaku pada akad.4

Rukun dapat di artikan sebagai unsur – unsur yang menentukan terbentuknya akad. Tanpa keberadaan rukun, suatu akad tidak akan terjadi. Menurut Zarqa dalam Burhanuddin menjelaskan bahwa rukun – rukun akad terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Aqidain

Aqidain (para pihak yang berakad) dipandang sebagai rukun kontrak karena merupakan salah satu dari pilar utama tegaknya akad. Tanpa Aqidain sebagai subjek hukum, suatu kontrak tidak mungkin dapat terwujud.

2. Mahal al – ‘Aqd

Sebelum ijab qabul, rukun kedua yang harus dipenuhi dalam penyusunan kontrak adalah menentukan jenis objek akad (mahal al – ‘aqd). Pengertian objek akad ialah sesuatu yang oleh syara dijadikan objek dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan.

3. Sighat Al-‘Aqd

Sighat akad merupakan hasil ijab dan qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Pernyataan ijab dan qabul bertujuan untuk menunjukkan terjadinya kesepakatan akad.

Ijab ialah pernyataan pertama yang disampaikan oleh salah satu pihak yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan perikatan. Sedangkan qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan persetujuan/ kesepakatan terhadap akad.dengan demikian, ijab – qabul merupakan pernyataan kehendak (al – iradah) yang menunjukkan adanya suatu keridhaan antara dua orang atau lebih sesuai dengan ketentuan syara’.5

(5)

Adapun syarat – syarat sahnya suatu kontrak menurut Salim (2003: 21) yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut:

1. Adanya kata sepakat di antara para pihak.

Adanya kesepakatan dalam suatu kontrak merupakan syarat yang pertama sahnya suatu kontrak.

2. Kecakapan bertindak

Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (telah berurumur 21 tahun)

3. Adanya objek perjanjian.

Di dalam berbagai literature disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ini terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.

4. Adanya suatu sebab yang halal.

Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.6

2.2 Macam – Macam Kontrak Bisnis  Kontrak Kerja Sama Bisnis

Kerja bisnis secara kontraktual merupakan suatu bentuk kerja sama yang berlandaskan atas kontrak – kontrak yang dibuat dan di tandatangani oleh kedua belah pihak yang bekerja sama.7

Dalam praktik, dalam skala nasional maupun internasional, kontrak – kontrak yang melandasi kerjasama untuk memperluas bisnis tersebut sangat banyak macamnya. Di antara yang paling sering digunakan adalah:

1) Kontrak license

Bentuk kontrak lisesnsi kadang pula dikaitkan dengan kontrak alih teknologi. Maksud lisensi disini adalah suatu perizinan yang diberikan oleh pemberi lisensi kepada pihak penerima lisensi untuk

6 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 23-25

(6)

melaksanakan suatu kegiatan atau suatu hak yang dilindungi. Tanpa izin ini kegiatan tersebut menjadi tidak sah.

2) Kontrak Franchise (waralaba)

Kontrak waralaba adalah suatu ijin dari franchisor yang diberikan kepada pihak lainnya untuk menggunakan produk atau jasa

franchisor, termasuk nama dagang, proses produksi barang, dll. 3) Kontrak bidang perwakilan (distributor dan agen)

Bentuk kontrak ini adalah transaksi bisnis di mana penjual di suatu Negara menjual produk atau komoditinya melalui perantaranya, yaitu distributor atau agen kepada pembeli di wilayah Negara tersebut.8

Melakukan kontrak, berarti antar pihak saling mengikatkan diri yang satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan arti kontrak (akad) itu sendiri yakni mengikat, sambungan, dan janji. Tentu saja ikatan – ikatan itu tidak boleh di putus secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain yang terlibat didalamnya.

Bukankah apa yang telah disepakati itu, disamping bersifat mengikat, juga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh pihak – pihak yang membuatnya. Sebagaimana firman-Nya:

دوقعلاب اوفوأ اونمآ نيذلا اهيأ اي Artinya:

“Hai orang – orang yang beriman, penuhilah aqad – aqad itu”9

 Hal Yang Biasa Terjadi Di Dalam Kontrak 1. Wanprestasi (ingkar janji)

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.

2. Keadaan Memaksa

8 Huala Adolf, Dasar – Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), 112-117

(7)

Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.

Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.

Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.

Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.

3. Risiko

Menurut Soebakti dalam Djakfar menjelaskan bahwa, risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.10

(8)

 Pembatalan

Suatu kontrak dikatakan batal apabila terjadi keterputusan hubungan (terminasi) hukum di antara para piahk sebelum tujuan akad tercapai. Istilah yang digunakan oleh ahli hukum Islam untuk membatalkan akad adalah fasakh.11

Terminasi suatu kontrak bisnis dapat dilakukan dengan jalur pengadilan. Untuk memutuskan suatu kontrak dengan jalur hukum/pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut.

 Berlakunya akad telah selesai

Disamping akibat pembatalan, konrak perjanjian/ perikatan dikatakan berakhir ketika apa yang menjadi tujuan akad telah tercapai, terutama setelah masing – masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannnya.

Dengan kata lain kontrak dapat dipastikan berakhir apabila masa berlakunyaakad telah selesai. Dengan selesainya akad, hubungan hukum (hak dan kewajiban) di antara pihak menjadi terputus.12

2.4 Ruang Lingkup Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli

Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian syara’yaitu memiliki suatu harta dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’ atau sekedar memiliki manfaatnya saja dengan diperbolehkannya syara’ dengan melalui pembayaran yang berupa uang atau yang sejenisnya.

Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu.

Sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar’i sebagai aqad yang mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus. Bantahan ini kemudian dijawab, sebenarnya definisi jual beli adalah aqad yang mempunyai saling menukar yaitu dengan cara menghilangkan mudhaf (kata sandaran).

(9)

Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.

Sayyid Sabiq mendefinisikan Jual Beli merupakan saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.

Selain pengertian di atas ada juga pengertian Jual Beli menurut para ahli :

- Menurut Imam Nawawi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan tujuan kepemilikan.

- Menurut Fiqh al-Sunnah, jual beli adalah proses pertukaran benda dengan benda lain dengan cara saling merelakan dan memindahkan hak milik, ada penggantinya dan ditempuh dengan cara yang diperbolehkan.

- Menurut Taqiyuddin, jual beli adalah saling tukar menukar harta, menerima, dapat dikelola dengan ijab qabul dengan cara yang sesuai dengan syara’.

- Menurut Ulama Hanafiyah, jual neli adalah proses pertukaran harta dengan atau benda dengan harta lain berdasarkan cara-cara khusus yang diperbolehkan.

Sedangkan didalam Islam (Muamalah) dikenal istilah akad (‘aqad = perikatan, perjanjian, dan pemufakatan) yaitu pertalian ijab (pernyataan melalui ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.

Oleh karena itu kehendak atau keinginan keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tersembunyi dalam diri (hati), maka untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam bentuk pernyataan.13

2. Rukun Jual Beli

Rukun jual beli terbagi menjadi tiga yaitu:

a. Adanya kedua belah pihak yang berakad (aqidan). b. Yang diaqadkan (ma’qud ‘alaih).

c. Shighat (lafal).

Oleh sebab itu, ada yang mengatakan penamaan pihak yang beraqad sebagai rukun bukan secara hakiki tetapi secara istilah

(10)

saja, karena itu bukan bagian dari bagian dari barang yang dijual-belikan yang didapati diluar, sebab akan terjadi dari luar jika terpenuhi dua hal yaitu shighat yang berarti ijab dan qabul.

Sedangkan menurut Jumhur Fuqaha rukun jual beli ada empat: pihak penjual, pihak pembeli, sighat jual beli, dan obyek yang dijual belikan.

Namun perlu dipahami, bahwa sighat al-‘aqd merupakan rukun yang terpenting, karena dengan sighat inilah dapat diketahui maksud setiap pihak yang melakukan aqad atau transaksi dalam sebuah bisnis. Ijab dan qabul dapat saja dalam berupa perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan dalam transaksi besar. Namun semikian, semua bentuk ijab dan qabul ini mempunyai kekuatan yang setara bagi pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah transaksi apapun.

Dari aspek sah atau tidaknya sebuah aqad dapat dibagi ke salam tiga kategori, yaitu aqad yang sah, aqad yang fasad/dapat dibatalkan, dan aqad yang batal/batal demi hukum (pasal 27). Selanjutnya dalam pasal 28 ditegaskan bahwa aqad yang sah adalah aqad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, tidak dilakukan dibawah ikrar atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran. Sedangkan aqad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Adapun aqad yang batal adalah aqad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.14

3. Syarat Jual Beli

Sebuah kontrak Jual beli yang secara hukum akan sah dan dapat dipertanggung jawabkan asalkan saja memenuhi syarat yang telah ditentukan.

a. Menurut Ulama Hanafiyah

Syarat terjadinya aqad (in’iqad)

- Syarat aqid (orang yang aqad : berakal dan mumayyiz, aqid harus berbilang atau minimal dapat dilakukan dua orang.

(11)

- Syarat dalam aqad : ahli aqad, qabul harus sesuai dengan ijab, ijab dan qabul harus bersatu.

- Tempat aqad : harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul. - Ma’qud alaih (obyek aqad) : ma’qud alaih harus ada, harta harus ada

tetap dan bernilai yakni benda yang dimanfaatkan, benda tersebut milik sendiri, dapat diserahkan.

Syarat pelaksanaan aqad (nafadz)

- Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk aqad. - Pada benda tidak terdapat milik orang lain.

Syarat sah aqad

- Syarat umum

a. Segala bentuk jual beli yang didalamnya terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqid), penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.

b. Apabila barang yang diperjual belikan itu benda bergerak, maka barang itu langsung dikuasai pembeli dan harga dikuasai penjual. Sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebiasaan (‘urf) setempat.15

- Syarat khusus

a. Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang b. Harga awal harus diketahui

c. Serah terima benda harus dilakukan sebelum berpisah d. Terpenuhi syarat penerimaan

e. Harus seimbang dalam urusan timbangan

f. Barang yang diperjual belikan harus sudah menjadi tanggung jawabnya.

- Syarat lujum (kemestian)

Menurut Fuqaha Malikiyah terdapat tiga macam syarat jual beli, berkaitan dengan ‘aqid, berkaitan dengan shighat dan syarat yang berkaitan dengan aqad jual beli :

a. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid: mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat, pemilik barang.

b. Syarat yang berkaitan dengan shighat: dilaksanakan dalam satu majelis, anatar ijab dan qabul tidak terputus.

Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: tidak dilarang oleh syara’. Suci, bermanfaat, diketahui oleh ‘aqid, dapat diserahterimakan.

(12)

4. Hukum Jual Beli

Terdapat lima hukum yang terdapat dalam aqad jual beli yaitu: Jual beli bisa menjadi wajib ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub pada waktu harga mahal, bisa menjadi makruh seperti menjual mushaf. Berbeda dengan Imam Al-Ghazali, bisa juga menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa membuat arak, atau kurma basah kepada orang yang biasa membuat minuman arak walaupun si pembeli adalah orang kafir dan selain yang diatas hukumnya boleh.

2.5 Macam – Macam Jual Beli

1) Al-Bai, yaitu menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-Bai seperti ijab

dan ta’athi (saling menyerahkan).

2) Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-sharf

adalah:

o Masing-masing pihak saling menyerah-terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindar terjadinya riba nasiah. Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerah barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.

 Jika akad al-sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.

3) Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf. Karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.

4) Al-Salam, yaitu akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan dalam majlis akad. Para imam dan tokoh-tokoh madzhab sepakat terhadap enam persyaratan akad salam sebagai berikut:

 Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelan jenisnya.

 Jelas sifta-sifatnya

(13)

 Jelas batas waktunya

 Jelas harganya

 Tempat penyerahannya juga herus dinyatakan secara jelas.

5) Istishna, yaitu akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk Barang (pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak pengrajin.karena akad istishna tidak sesuai dengan kaidah umum jual beli, maka fuqaha menggantungkan kebolehan akad ini dengan sejumlah syarat sebagai berikut:

 Obyek akad (atau produk yang dipesan) harus dinyatakan secara rinci: jenis, ukuran, sifatnya. Syarat ini sangat penting untuk menghilangkan unsur jihalah dan gharar.

 Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang mana masyarakat lazim memesannya, seperti sepatu,perabot rumah tangga dan lain-lain.

 Waktu pengadaan produk tidak dibatasi.

6) Ijarah, yaitu akad atau transaksi terhadap manfaat dengan imbalan atau transaksi terhadapa manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu. Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini

 Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.

 Obyek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.

 Obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara.

 Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.

(14)

7) Al-Qardh, yaitu penyerahan pemilikan harta al-misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembalinnya. Syarat utang-piutang adalah:

 Karena utang-piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas, sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau yang sepadan dengannya.

 Akad utang-piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh.16

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya hukum kontrak merupakan suatu perjanjian antara satu orang dengan yang lainnya sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa dalam perjanjian Islam dikenal dengan istilah aqad adalah perikatan, perjanjian, dan permufakatan yaitu pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan).

Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/ menjual barang) dan pembeli (pihak yang membayar/ membeli barang yang dijual). Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadist. Seperti dalam Al-Al-Qur’an Surah An-Nisa, 4: 29. Mengacu

(15)

kepada ayat Al-Qur’an dan Hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, haram, dan makruh.

Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.

DAFTAR RUJUKAN

Adolf, Huala. 2007. Dasar – Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT Refika Aditama.

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djakfar, Muhammad. 2013. Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah. Malang: UIN Maliki Press.

Fuady, Munir. 1994. Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

S., Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE.

Salim. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam interaksi ini dosen berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan mahasiswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan dengan

Faktor Operasional dan Pemeliharaan Faktor operasional dan pemeliharaan memiliki nilai mean 3,63 (Kriteria Sangat Tinggi), terdapat 3 faktor di dalamnya yaitu menjaga dan

Terkait dengan semakin beragamnya media pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar, pemilihan media hendaknya memperhatikan beberapa prinsip, yaitu: (a)

Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4416) sebagaimana telah

Lelaki ini lebih berhati- hati dalam hidup , dan selalu melakukan sesuatu berdasarkan kaedah .Dia tidak suka menukar -nukar rancangan yang telah dibuatnya .Dia agak pendiam

Proteksi suplemen VCO menggunakan formaldehid memberikan hasil yang lebih baik pada ransum yakni pakan sumber lemak dan protein tidak banyak terdegradasi dalam rumen namun

Skripsi HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI SERTA KEDUDUKAN ETTY NARO.. yang baik den tidak dlperbolehkan untuk oeoindehkon atau oeobeboni harta kokeyaan tidak bergerak nilik ietari

Dari hasil pengamatan rata-rata suhu terendah dan angka kejadian hipotermi kami dapatkan bahwa suhu tubuh pasien akan. semakin turun seiring dengan per.ialanan