• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis. dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis. dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Proses inflamasi kronik yang berlangsung di saluran pernapasan pasien asma, melibatkan banyak sel inflamasi dan elemennya. Kondisi ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga menimbulkan gejala klinis yang berlangsung secara periodik, terutama pada malam hari atau dini hari/subuh. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan. Gejala ini berhubungan dengan luasnya proses inflamasi yang sedang berlangsung, yang akan memicu terjadinya berbagai kondisi (edema, bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar, dan lain-lain). Kondisi ini menyebabkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan, yang akan menimbulkan sesak napas sebagai manifestasi klinis utama, yang sangat mengganggu aktivitas, produktivitas dan kualitas hidup pasien asma (GINA, 2011).

Prevalensi penyakit asma terus mengalami peningkatan, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang (GINA, 2011), meskipun obat yang sesuai untuk penatalaksanaan asma (inhalasi

(2)

kombinasi corticosteroid dan agonis β2 bekerja lama/LABA) telah tersedia. Saat ini, jumlah pasien asma diperkirakan mencapai 300 juta orang, dan jumlah pasien yang meninggal karena serangan asma mencapai 255.000 orang (WHO, 2005). Penyakit sistem pernapasan, merupakan penyebab 17.4% kematian di dunia, dengan urutan sebagai berikut: infeksi paru (7.2%), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (4.8%), tuberkulosis (TB) (3%), kanker paru (2.1%) dan asma (0.3%) (WHO, 2005).

Di Indonesia, prevalensi asma belum didukung oleh data yang pasti (Sundaru, 2007; Mangunegoro, 2004). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi asma di Indonesia sangat bervariasi. Yunus dkk (2011) melakukan penelitian prevalensi asma di Jakarta dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in chilhood/ISAAC pada tahun 2001 dan 2008 dengan prevalensi kumulatif 11.5% tahun 2001 dan 12.2% tahun 2008. Selain itu, hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, menyatakan bahwa prevalensi asma di Jakarta mencapai 2.9%, sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi penyakit asma berkisar antara 3-6.4% (Dinas Kesehatan, 2007).

Penyakit asma memberi dampak yang luas terhadap aktivitas, produktivitas, dan berbagai kondisi sosial masyarakat khususnya di kalangan pasien asma, yang sudah barang tentu akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan dan beban ekonomi masyarakat. Mereka akan mengalami kehilangan hari kerja, ketidakhadiran di sekolah, serta gangguan aktivitas sosial lainnya (Mangunegoro, 2004, Sundaru 2002).

(3)

Salah satu penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pasien asma pada anak kehilangan 10 juta hari sekolah atau dua kali lebih besar dibandingkan anak yang tidak menderita asma (Taylor, 1992). Selain itu, penyakit asma juga menyebabkan 13 juta kunjungan ke dokter dan perawatan rumah sakit untuk 200.000 pasien pertahun. Di kalangan pasien dewasa, jumlah pekerja yang tidak masuk kerja lebih dari 6 hari pertahun mencapai 19.2% (asma derajat sedang/berat), dan 4.4% (asma derajat ringan). Centers for Disease Control and Prevention/CDC Amerika Serikat juga melaporkan bahwa ada sekitar 2 juta pasien asma yang mengunjungi Unit Gawat Darurat (UGD), dan 500.000 dari padanya harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya.

Ditinjau dari sisi pembiayaan, biaya pengobatan asma di negara maju berkisar antara 300-1300 juta US$/tahun. Di Amerika biaya yang dikeluarkan untuk menangani perawatan penyakit asma di rumah sakit (eksaserbasi asma) sekitar 11 juta dollar pertahun (Putman, 2004). Di Australia, biaya untuk perawatan asma berkisar di antara 585-720 juta dollar/tahun, dan asma adalah satu dari sepuluh alasan pasien mengunjungi dokternya (Bauman, 2005).

Penatalaksanaan asma yang benar memerlukan obat yang sesuai

(appropriate treatment) dan tepat (adequate treatment), yaitu tepat dosis, tepat durasi, tepat waktu, tepat cara/teknik pemberian terapi inhalasi, dan

lain-lain). Penatalaksanaan asma terus berkembang, dan saat ini pedoman penatalaksanaan asma yang standar dijabarkan dalam Global Initiative for Asthma (GINA 2011). Prinsip penatalaksanaan asma yang

(4)

benar menurut GINA 2011, adalah melakukan penanggulangan patogenesis dasar penyakit asma, yaitu proses inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan. Penatalaksanaan asma yang sesuai (appropriate teratment), dilakukan dengan memberikan inhalasi kombinasi anti inflamasi (controller) dan bronkodilator/pelega (reliever) jangka panjang, yang tetap diberikan pada saat stabil (tidak sedang dalam serangan). Pemberian terapi inhalasi kombinasi kedua obat ini harus disertai dengan penilaian objektif terhadap kemampuan aliran udara yang dapat melalui saluran pernapasan, yang secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan peak flow meter, sehingga dapat diketahui pencapaian kemajuan terapi. Pengukuran fungsi saluran pernapasan, dengan peak flow meter sebelum penggunaan obat, perlu dilakukan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit asma yang sedang dialami seorang pasien asma. Terapi inhalasi kombinasi yang dianjurkan untuk penatalaksanaan asma saat ini adalah inhalasi kombinasi corticosteroid dengan agonis β2 kerja lama (Long Acting β2 Agonist/LABA) (GINA, 2011). Kombinasi corticosteroid dengan agonis β2

Pencapaian dan mempertahankan asma terkontrol merupakan tujuan utama dari penatalaksanaan asma, yaitu kondisi optimal yang kerja lama ini menghasilkan kerja sinergisme yang membuat masing-masing reseptor kedua obat tersebut menjadi “siap” (“on and on phenomena”). Oleh karena itu, penggunaan inhalasi kombinasi kedua obat ini telah terbukti meningkatkan asma terkontrol dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup pasien asma (Syafiuddin, 2007).

(5)

memungkinkan pasien asma dapat melakukan aktivitas kehidupannya seperti orang sehat lainnya. Indikator asma terkontrol adalah tidak adanya gejala, tidak ada keterbatasan aktivitas, tidak ada gejala pada malam hari, tidak perlu obat pelega, fungsi paru normal dan tidak ada serangan asma

sepanjang tahun (GINA, 2011). Penatalaksanaan yang efektif untuk mencapai asma terkontrol, tidak saja menyebabkan pasien asma kembali pada kehidupan normal dengan kualitas hidup yang baik, tetapi

juga menguntungkan secara ekonomi, baik bagi keluarga, masyarakat luas, maupun negara (Sundaru, 2007).

Penatalaksanaan asma yang sesuai (appropriate treatment) dan tepat (adequate treatment) sangat tergantung pada perilaku penatalaksanaan yang dilakukan oleh pasien asma maupun dokter yang merawatnya, dan sangat memerlukan komunikasi efektif di antara pasien asma dan keluarganya dengan dokter yang merawatnya. Perilaku pengobatan pasien secara sederhana sering disebut kepatuhan (compliance). Compliance adalah kepatuhan pasien dalam mengikuti anjuran dokter (Smet, 1994), tetapi kepatuhan pasien pada compliance, tidak disertai dengan pemahaman tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan pengobatan/penatalaksanaan penyakitnya. Bila pengobatan gagal, maka pasienlah yang disalahkan. Di sisi lain Bauman (2005) mengemukakan konsep adherensi (adherence), yang dapat digunakan sebagai terobosan yang tepat dalam penatalaksanaan asma. Adherensi pada prinsipnya berbeda dengan compliance, meskipun keduanya sama-sama mengekspresikan kepatuhan pasien dalam mengikuti anjuran

(6)

dokternya. Adherensi adalah perilaku kepatuhan pasien terhadap anjuran dokternya, yang disertai pemahaman tentang seluk beluk penyakitnya berkaitan dengan penatalaksanaan penyakitnya, sehingga ia mengikuti anjuran dokter secara konsisten (Bauman, 2005). Tanggung jawab penerapan adherensi dalam penatalaksanaan asma bukan hanya terletak pada pasien, tetapi juga pada dokternya melalui komunikasi yang baik dan efektif di antara pasien dan keluarganya dengan dokter yang merawatnya (WHO, 2003; Bauman, 2005). Untuk itu, dokter perlu mengembangkan teknik komunikasi kesehatan yang efektif antara dokter dan pasien (Sarwono, 2004).

Penerapan konsep adherensi pada penatalaksanaan/pengobatan pasien asma sangat penting dikembangkan, untuk mengatasi permasalahan perilaku pengobatan pada pasien asma. Pada konsep adherensi ini, ditekankan komitmen yang tinggi di antara dokter dan pasien, dalam mencapai tujuan asma terkontrol (Bauman, 2005). Komitmen yang tinggi dari dokter untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perilaku pengobatan pasien asma dapat dilaksanakan dengan mengembangkan pendidikan kesehatan tentang penyakit asma dan patogenesisnya, pemberian motivasi pengobatan, empati, pengawasan dan pengontrolan penyakit, penjelasan tentang tata cara penggunaan obat, dan akibat yang ditimbulkan jika pasien tidak adheren dengan pengobatannya. Hal ini harus dilakukan dokter secara terus menerus dan berkesinambungan (continue), karena tanggung jawab keberhasilan

(7)

penatalaksanaan juga terletak pada dokter yang merawat pasien tersebut (Sarwono, 2004).

Bauman, (2005) dan Mangan (2007) menyatakan bahwa adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan sikap dari pasien mengenai penyakitnya, prioritas kesehatan dalam kehidupan pasien, faktor kepercayaan (health believes), pengalaman sebelumnya, kesulitan dalam hal konsultasi, pemahaman tentang penyakit, dan efektifitas diri (self-efficacy).

Faktor perilaku adherensi dalam penatalaksanaan asma terdiri dari dua bagian: yaitu masalah dalam penggunaan obat, seperti kompleksnya penatalaksanaan, efek samping obat, biaya pengobatan, dan ketidaknyamanan terhadap pengobatan, dan masalah di luar penatalaksanaan, seperti instruksi dokter yang kurang dipahami, ketidakpuasan terhadap tenaga kesehatan, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, kurangnya pengawasan dari dokter dan keluarga, perkiraan yang salah tentang risiko penyakit, masalah budaya, stigmatisasi yang salah, lupa, dan masalah agama/keyakinan (Mangan, 2007). Hasil penelitian Wells (2008) menyatakan bahwa ada hubungan antara faktor ras dengan adherensi pengobatan yang menggunakan Inhaled Corticosteroid (ICS). Demikian pula halnya pada pasien asma dari ras Kaukassian, yang menunjukkan adanya hubungan antara kebutuhan akan ICS, pengetahuan tentang obat ICS, perilaku dokter dalam mengontrol pasien asma, dan kesiapan untuk menggunakan obat dengan adherensi

(8)

pengobatan pasien. Kondisi ini mungkin dipengaruhi oleh faktor budaya di kalangan komunitas tertentu.

Blum (1974) menyatakan bahwa faktor perilaku memegang peranan penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, keluarga dan individu (dikutip dari: Maulana, 2009). Perilaku merupakan hasil dari seluruh kegiatan manusia, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati (Notoatmodjo, 2007). Secara teoritis, ranah perilaku manusia terdiri dari 3 aspek yaitu: pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Green (1980) menguraikan bahwa ada 3 aspek yang mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors) (dikutip dari: Notoatmodjo, 2007, Maulana 2009). Faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sosiodemografi. Faktor pendukung terwujud dalam lingkungan fisik, tersedianya fasilitas dan sarana seperti obat-obatan, kemampuan membayar, sedangkan faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan (dokter yang menangani penyakit), dorongan keluarga, dan kelompok referensi masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan konsep yang ada, dinyatakan ada pengaruh langsung dari berbagai faktor seperti sosiodemografi pasien, pengetahuan dan sikap, kemampuan membayar dan jarak pengobatan, serta dorongan keluarga, terhadap adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan

(9)

penyakitnya. Pasien yang mengerti dan paham tentang penyakitnya, akan meningkatkan adherensi pengobatan sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jarry (2004). Pada pasien asma yang mengerti dan paham tentang penyakitnya, akan terbentuk sikap dan perilaku yang baik terhadap penatalaksanaan penyakitnya. Hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh faktor edukasi kesehatan yang diberikan secara berkesinambungan oleh dokter yang merawatnya (Soetjiningsih, 2002).

Adherensi yang baik dari pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, akan mencapai asma yang terkontrol, yang dengan sendirinya akan meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien asma. Pont (2004), mendapatkan skor pasien asma yang adheren adalah 5.8 sedangkan pada kelompok yang non adheren adalah 5.2. Pont juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan di antara kelompok adherensi dengan yang non adherensi terhadap pengobatan asma, dari aspek aktivitas, gejala klinis dan emosional pasien asma. Syafiuddin (2007) telah membuktikan bahwa kualitas hidup pasien asma semakin baik, bila penerapan konsep adherensi dilaksanakan pada penggunaan kombinasi inhalasi corticosteroid dengan agonis β2 kerja lama (Long

Acting β2

Di sisi lain, pencapaian kualitas hidup yang prima bagi seorang pasien, adalah konsep yang mencakup karakteristik fisik, mental, sosial, emosional, yang mencakup efek dan komplikasi terapi penyakit secara

Agonis/LABA) yang diberikan secara berkesinambungan selama 1 bulan dengan frekuensi 2 kali sehari, dibandingkan dengan pemberian bronkodilator saja (salbutamol/SABA).

(10)

luas, yang menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukannya (CDC, 2000). Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit tertentu dan mendapat penatalaksanaan sesuai dengan pedoman penatalaksanaan penyakit tersebut. Kualitas hidup dapat dijadikan sebagai hasil pengukuran yang meliputi berbagai aspek, yang menggambarkan pandangan individu akan kesejahteraan dan penampilannya, misalnya kemampuan fisik, okupasi, psikologis, interaksi sosial, hobi dan rekreasi (Hyland, 1997). Studi yang dilakukan oleh Spiric (2004), menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien asma. Adapun faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah: berat penyakit, tempat tinggal dan kondisi cuaca (p< 0.05). Suharto (2005) juga menemukan adanya hubungan antara derajat penyakit, sosial ekonomi, kepadatan rumah dengan kualitas hidup anak.

Pengembangan instrumen untuk menilai kualitas hidup pasien asma telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satu instrumen tersebut adalah Asma Quality of Life Questioner (AQLQ). yang telah dikembangkan untuk mengukur gangguan fungsional yang dialami oleh pasien asma > 17 tahun. Kuesioner ini memiliki 32 item dalam empat domain (gejala, aktivitas, keterbatasan emosional dan rangsangan lingkungan) (Junifer, 2005). Namun di Indonesia alat ukur ini belum lazim

(11)

digunakan, dan belum ada penelitian mengenai validitas dan reliabilitas alat ukur kualitas hidup untuk pasien asma.

Pada umumnya pengukuran kualitas hidup pasien asma di Indonesia sering disamaartikan dengan terkontrol atau tidaknya penyakit asma dengan menggunakan alat ukur Asthma Control Test (ACT). Meskipun tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur ini cukup tinggi yaitu 0.85 (Schatz, 2006), namun materi dari ACT hanya mengukur aspek klinis semata. Hal ini tentu akan menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi terhadap makna kualitas hidup pasien asma yang sebenarnya. Untuk memperbaiki kualitas penatalaksanaan/pengobatan pasien asma, perlu ditetapkan indikator yang dapat mengukur adherensi pengobatan dan kualitas hidup pasien asma yang bersifat lebih menyeluruh/komprihensif. Namun sampai saat ini belum ada penelitian untuk menetapkan berbagai indikator yang dapat membentuk adherensi terhadap penatalaksanaan pasien asma. Karena itu, diperlukan pengembangan instrumen yang akan menelaah dan menetapkan berbagai indikator yang dapat mempengaruhi terbentuknya adherensi, yang akan mampu memberikan informasi lebih luas/menyeluruh dalam mengekspresikan tingkat adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, sehingga lebih memudahkan/ memungkinkan para dokter dalam upaya pencapaian asma terkontrol dan kualitas hidup yang prima bagi pasien asma.

Determinan adherensi pasien dan kaitannya dengan kualitas hidup pasien asma akan jelas terlihat apabila dikaji dengan analisis yang tepat. Structural Equation Modelling (SEM) adalah suatu analisis terintegrasi

(12)

antara analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis) (Wibowo, 2006; Santoso, 2007). Dengan menggunakan analisis ini peneliti dapat menemukan faktor determinan perilaku, model struktural dan model pengukuran perilaku adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya. Konsep yang jelas akan menghasilkan model perilaku adherensi yang jelas. Hal ini tentu dapat meningkatkan pemahaman tentang adherensi pengobatan pasien asma dan dapat memperbaiki penatalaksanaan asma di masa yang akan datang. Disamping itu perlu ada kajian yang cermat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit asma yang tepat dan benar, terkait dengan target kurikulum pendidikan dokter (Standar Kompetensi Dokter Indonesia/ SKDI, 2006), yang menetapkan target pembelajaran untuk penyakit asma pada level 4. Hal ini berarti kelak setiap dokter umum harus mampu menatalaksana penyakit asma mulai dari kemampuan mendiagnosis sampai dengan pemberian terapi asma secara tuntas. Saat ini setiap Fakultas Kedokteran di Indonesia wajib menerapkan sistim KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), sehingga adanya instrumen yang akan mengekspresikan tingkat adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran tentang asma pada KBK, yang akan memudahkan aplikasinya untuk pencapaian asma terkontrol dan kualitas hidup yang prima di kalangan pasien asma, khususnya di Indonesia.

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, penatalaksanaan asma yang tepat dan benar, memerlukan/melibatkan

(13)

berbagai faktor yang ada dalam kehidupan pasien dan lingkungannya, dan pencapaian asma terkontrol tidak semata-mata tergantung dari obat yang tersedia. Dampak buruk penyakit asma yang sangat merugikan dapat terjadi karena melalaikan keterlibatan faktor-faktor pembentuk adherensi, sehingga penatalaksanaannya menjadi tidak tepat. Rabe (2004) menyatakan bahwa penggunaan obat pengontrol (inhalasi cortikosteroid) pada pasien asma persisten, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropah Barat masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 18-26%. Hasil survei yang dilakukan oleh Asthma Insight and Reality in Asia Pacific (AIRAPI) di berbagai kota besar Asia pada tahun 2003, menunjukkan bahwa penatalaksanaan penyakit asma belum maksimal dan belum mencapai target yang diinginkan. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa dalam 4 minggu terakhir pengobatan, 51.4% pasien asma masih menunjukkan gejala asma di siang hari, 44.3% mengalami gangguan tidur/terbangun malam hari karena asma. Gangguan aktivitas dan mangkir sekolah di kalangan pasien asma mencapai 36%, dan kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) atau perawatan di rumah sakit dijumpai pada 43.6%, dan 56.3% pasien masih memerlukan agonis β2 kerja singkat, paling tidak tiga kali dalam seminggu. Sementara itu, inhalasi corticosteroid hanya digunakan oleh 13.6% pasien asma (Lai, 2003).

Fakta ini juga terjadi di kalangan pasien asma di Indonesia, penatalaksanaan asma pada umumnya tidak tepat (inappropiate treatment) dan tidak adekuat (inadequate treatment). Hasil penelitian Tamsil (2005) yang dilaksanakan di poliklinik alergi imunologi penyakit

(14)

dalam Rumah Sakit Muhammad Husni Palembang, menemukan hanya 51.9% pasien asma yang menggunakan obat pengontrol. Pasien asma sering hanya menggunakan bronkodilator saja, tanpa pemberian inhalasi steroid sebagai pengontrol (Marliza, 2005; Syafiuddin, 2007). Dengan demikian, penatalaksanaan asma sering sekali hanya memberikan terapi simptomatik, tanpa mengontrol proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasarnya (Syafiuddin, 2007), sehingga pengobatan asma sering sekali tidak mencapai target yang diharapkan, yaitu asma terkontrol (controlled asthma). Selain itu, hasil penelitian Marliza (2005) di Kota Medan, juga menemukan bahwa 60% pasien asma masih menggunakan obat oral dan 40% sisanya menggunakan obat inhalasi. Dari penggunaan obat inhalasi, hanya 40% pasien yang patuh, 65% dengan teknik penggunaan terapi inhalasi yang benar, 42.5% dengan dosis obat inhalasi yang sesuai, dan 67.5% menghentikan pengobatan segera setelah keluhan subjektif hilang.

Kondisi ini menunjukkan ketidak pahaman pasien asma terhadap penatalaksanaan asma yang sesuai dan tepat, karena kurangnya komunikasi efektif yang sangat diperlukan di antara dokter–pasien asma dan keluarganya. Padahal komunikasi efektif ini merupakan unsur mendasar untuk mencapai kepatuhan pasien terhadap penatalaksanaan asma yang diberikan kepadanya, karena mereka memahami kepentingan berbagai faktor/unsur yang diperlukan untuk mencapai adherensi pasien terhadap penatalaksanaan asma yang sesuai dan tepat. Rendahnya perilaku adherensi pengobatan (adherensi pasien asma terhadap

(15)

penatalaksanaan penyakitnya) perlu ditatalaksana dengan baik. Dengan demikian, diperlukan penelaahan terhadap berbagai faktor/unsur yang mempengaruhi pencapaian adherensi pada aplikasi komunikasi efektif di antara dokter-pasien dan juga keluarganya. Melalui penelaahan ini, akan diwujudkan suatu instrumen untuk mengetahui tingkat adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, sehingga sangat membantu dan memudahkan dokter untuk mengetahui dan memperbaiki penatalaksanaan asma yang belum adekuat.

Penelitian mengenai instrumen/model perilaku adherensi penatalaksanaan asma belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti faktor adherensi pada penatalaksanaan/ pengobatan asma, dan keterkaitannya dengan pencapaian asma terkontrol dan kualitas hidup pasien asma yang prima.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah, yaitu bagaimanakah instrumen/model perilaku adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya, khususnya di Kota Medan, dan bagaimanakah hubungan adherensi pasien asma terhadap penatalaksanaan penyakitnya dengan kualitas hidup pasien asma.

(16)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan instrumen/model perilaku adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya, dan mengetahui hubungan adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya dengan kualitas hidup pasien asma.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendapatkan instrumen pengukuran adherensi dan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan

b. Untuk menganalisis adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya, dan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan.

c. Untuk menganalisis perbedaan adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya berdasarkan sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, penghasilan dan suku) di Kota Medan

d. Untuk menganalisis perbedaan kualitas hidup pasien asma berdasarkan sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, penghasilan dan suku) di Kota Medan

e. Untuk mendapatkan faktor-faktor yang membangun konstrak/model pengukuran adherensi penatalaksanaan pasien asma di Kota Medan f. Untuk menganalisis model pengukuran adherensi penatalaksanaan pasien asma di Kota Medan

(17)

g. Untuk menganalisis model pengukuran kualitas hidup pasien asma di Kota Medan

h. Untuk mendapatkan model struktural adherensi terhadap penatalaksanaan dengan kualitas hidup pasien asma di Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai:

a. Masukan kepada praktisi medis yaitu dokter umum dan dokter spesialis penyakit paru untuk dapat mengetahui dan memahami indikator adherensi penatalaksanaan/pengobatan asma yang sangat diperlukan pada penatalaksanaan asma yang sesuai (appropriate) dan tepat (adequate), erat kaitannya dengan perilaku dokter dan pasien asma.

b. Masukan bagi berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya untuk Departemen Penyakit Paru dan Kedokteran Respirasi, dalam peningkatan mutu pelayanan penatalaksanaan penyakit asma.

c. Masukan bagi institusi pendidikan terutama Fakultas Kedokteran dalam mengembangkan kurikulum khususnya untuk penatalaksanaan penyakit asma.

d. Dasar untuk mengembangkan teori adherensi penatalaksanaan/ pengobatan pasien asma khususnya di Kota Medan

e. Masukan bagi instansi kesehatan khususnya Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam menentukan kebijakan untuk penatalaksanaan asma.

(18)

f. Sumber informasi untuk rencana pembuatan software model adherensi dan kualitas hidup pasien asma di kota Medan pada khususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya.

1.5. Potensi HAKI

Potensi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada penelitian ini adalah:

a. Menemukan indikator pengukuran perilaku adherensi penatalaksanaan /pengobatan pasien asma

b. Menemukan model prediktif perilaku adherensi penatalaksanaan/ pengobatan pasien asma

c. Menemukan indikator pengukuran kualitas hidup pasien asma

d. Menemukan model prediktif adherensi pasien asma dalam penatalaksanaan penyakitnya terkait dengan kualitas hidup pasien asma.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bidang biologi muncul suatu permasalahan yaitu ingin mengetahui suatu individu yang unggul dari beberapa generasi jika dilakukan perkawinan secara kontinyu

Proses pengadaan Dalam membuat rencana pengadaan pada proyek pembangunan Grand Indonesia, bagian cost control kantor proyek maupun kantor pusat memulai dengan melakukan

Masa Orde Baru terjadi di Indonesia setelah mundurnya Presiden Soekarno dan digantikan oleh Soeharto yang mendapatkan mandatnya melalui surat perintah sebelas maret (Supersemar),

Pendamping desa, dalam rangka memfasilitasi tumbuhnya ketaatan dan kepastian hukum dalam tata kehidupan di desa, akan lebih mudah mewujudkannya jikalau dapat mengembangkan

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com.. Materi: Irsan Lubis, SE.Ak; Kampus LPMB / STEI

Berdasarkan diagram pareto yang digambarkan pada gambar 2, proses perancangan usulan perbaikan yang akan dilakukan adalah pada keempat masalah yang memiliki nilai bobot

Dengan demikian adanya pemahaman karakteristik, identifikasi kebutuhan dan pelanggan Perguruan Tinggi memberikan harapan bahwa pelayanan yang diberikan akan

Pada akhirnya manajemen mengubah nama Departemen CRM menjadi Departemen Non Dealer Sales (Dept NDS), dengan fungsi utamanya pemasaran produk-produk yang tidak melalui