PENGARUH PEMBERIAN BETA-KAROTEN
TERHADAP DAYA ANTIINFLAMASI NATRIUM DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Miliandani Widyastuti
NIM : 028114021
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PENGARUH PEMBERIAN BETA-KAROTEN
TERHADAP DAYA ANTIINFLAMASI NATRIUM DIKLOFENAK
PADA MENCIT PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Miliandani Widyastuti
NIM : 028114021
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
H ALAMAN P ERS EMB AH AN
Ijinkan aku untuk tidak berdoa agar dilindungi dari marabahaya,
melainkan agar tidak takut untuk menghadapinya. Ijinkan aku untuk tidak memohon: agar
disembuhkan dari kepedihan,
melainkan agar hatiku mampu mengatasinya. Biarkan aku tidak mencari sekutu di medan tempur kehidupan,
tapi hanya mengandalkan kekuatanku sendiri. Biarkan aku tidak memohon dalam ketakutan yang gelisah untuk diselamatkan,
tapi berharap memiliki kesabaran untuk memenangkan kebebasanku.
Pastikan bahwa aku tidak akan menjadi pengecut, yang menerima belas kasihMu dalam kesuksesanku; dan biarlah aku merasakan genggaman erat
tanganMu dalam kegagalanku.
By Rabindranath Tagore
Kupersembahkan karya ini untuk:
Papa dan Mama Mama Wi
Ana dan Almamaterku
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai dan
melimpahkan kasih karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGARUH PEMBERIAN BETA KAROTEN TERHADAP DAYA ANTIINFLAMASI NATRIUM DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH JANTAN, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Keberhasilan penulis dalam menyusun skripsi ini tidak bisa lepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
2. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing dan dosen
penguji. Terima kasih atas segala bimbingan, masukan, waktu, kesabaran dan
perhatiannya yang besar selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes., selaku dosen penguji atas segala masukan
berupa kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen penguji atas segala masukan berupa kritik
dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Mas Heru, Mas Parjiman, dan Mas Kayat atas bantuannya.
6. Keluargaku tercinta, Ana dan Mama, atas doa dan motivasi yang membuatku
bertahan sampai sampai saat ini.
7. Mama Wi, Tante Han, dan semua keluarga yang telah membantu kelancaran
studiku, atas dukungan moril, spiritual, dan materi selama masa studiku.
8. Sahabat-sahabatku terkasih, Cecil dan Ika, makasih atas doa dan dukungan,
serta canda dan kejahilan-kejahilan kalian.
9. Teman-teman kos-ku, terutama Memey, Nanduth, Inonk, Jinuth, dan
Ngek-Ngek, yang dengan penuh keikhlasan turut membantu penyelesaian skripsiku,
terimakasih atas pinjaman komputer dan laptopnya. Jasamu besar di surga.
10.Teman-teman yang sudah memberi perhatian, semangat, dan motivasi agar
aku terus maju: Alin/Uyuth, Shinta; Supri, Yudha, Kobo Hendra (ayo
berjuang terus!); Mitha, Ntrie, Tuk-Tuk/Archy, Imeth; Tito, Jacky, Anel
(sukses juga buat kalian).
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Semoga Tuhan melimpahkan berkat dan rahmatNya atas segala kebaikan dan
ketulusan yang telah diberikan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi
ini. Akhirnya besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang banyak.
Yogyakarta, 30 April 2007
Penulis
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan daya antiinflamasi natrium diklofenak akibat pemberian beta-karoten serta mengetahui besarnya pengaruh pemberian beta-karoten tersebut.
Penelitian ini bersifat eksperimental dengan penelitian acak lengkap pola searah. Metode uji yang digunakan adalah metode induksi udema pada telapak kaki belakang menggunakan karagenin 1% sebagai senyawa penginduksi. Digunakan hewan uji mencit jantan galur Swiss berumur 2-3 bulan, berat badan 20-30 gram. Hewan uji dibagi VIII kelompok, masing-masing terdiri atas 5 ekor hewan uji. Kelompok I–IV, berturut-turut adalah kelompok kontrol negatif karagenin 1%, kontrol negatif aquades, kontrol negatif minyak kelapa, dan kontrol positif natrium diklofenak. Kelompok V–VIII adalah kelompok perlakuan dengan pemberian beta karoten per-oral pada 4 peringkat dosis: 0,6523; 0,9225; 1,3046; 1,8450 mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian per-oral natrium diklofenak 4,48 mg/kgBB. Data berupa data bobot udema kaki mencit, yang digunakan untuk menghitung persentase daya antiinflamasi. Data ini dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% dan uji Scheffe.
Daya antiinflamasi kelompok perlakuan (V-VIII) berturut-turut sebagai berikut: -14,262%; 12,593%; 4,058%; dan -0,696%. Daya antiinflamasi natrium diklofenak sebesar 36,132%. Disimpulkan bahwa pemberian beta-karoten sebelum natrium diklofenak menurunkan daya antiinflamasi natrium diklofenak.
ABSTRACT
This research aims to recognize the anti-inflammatory effect of sodium-diclofenac if given with beta carotene and also the scale of the antiinflammatory effect.
This research was experimentally close to the pure experimental research by one way complete random design. The experiment methods which used was oedema inductional method to the left underside of the experiment animals foot-sole with 1% carrageenan. The experiment animals were mice of Swiss strain, in the age of 2-3 months and their weight were 20-30 grams. The experiment animals were divided into 8 groups, each group consist of 5 experiment animals. Group I until grooup IV were 1 % carrageenan negative control, aquadest negative control, coconut oil negative control, and sodium-diclofenac positive control. Group V until VIII were the group which is given treatment, which beta-carotene in four dose level: 0,6523; 0,9225; 1,3046; 1,8450 mg/kgBB, was orally given 15 minutes before the 4,48 mg/kg BB sodium-diclofenac. Data obtained were data of weight of mice paw used to calculate the percentage of antiinflammatory effect. The data were analized statistically using Kolmogorov-Smirnov and then one way Anova and the Scheffe test.
The percentage of antiinflammatory effect of the treatment of beta-carotene at 15 minutes before sodium-diclofenacwas given are -14,262%; 12,593%; 4,058%; and -0,696%, whereas the antiinflammatory effect of sodium diclofenac positive control is 36,132%. The result of the research shows that the antiinflammatory effect of sodium-diclofenac was decreased by beta-carotene.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 3
2. Keaslian penelitian ... 3
3. Manfaat penelitian ... 3
B. Tujuan Penelitian ... 4
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 5
A. Beta-karoten ... 5
B. Inflamasi ... 7
1. Definisi ... 7
2. Mekanisme ... 8
3. Gejala ... 9
C. Obat Antiinflamasi ... 11
D. Natrium Diklofenak ... 13
E. Interaksi Obat ... 13
1. Interaksi Farmasetis ... 14
2. Interaksi Farmakokinetika ... 14
3. Interaksi Farmakodinamika ... 14
F. Metode Uji Daya Antiinflamasi ... 16
1. Uji Eritema ... 17
2. Induksi Udema Telapak Kaki Belakang ... 17
3. Tes Granuloma ... 18
4. Induksi Arthritis ... 18
G. Landasan Teori ... ……….………….... 18
H. Hipotesis ... 20
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21
A. Jenis Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 21
C. Subyek dan Bahan Penelitian ... 22
1. Subyek Penelitian ... 22
2. Bahan Penelitian ... 22
D. Alat Penelitian ... 23
E. Tata Cara Penelitian ... 23
1. Penyiapan Hewan Uji ... 23
2. Penetapan Dosis Karagenin ... 23
3. Pembuatan Suspensi Karagenin 1% ... 24
4. Penetapan Dosis Natrium Diklofenak ... 24
5. Pembuatan Larutan Natrium Diklofenak ... 25
6. Penetapan Dosis Beta-karoten ... 25
7. Orientasi rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin 1% subplantar ... 25
8. Orientasi dosis efektif natrium diklofenak ... 26
9. Orientasi waktu pemberian natrium diklofenak ... 26
10.Orientasi pemberian beta karoten terhadap natrium diklofenak ... 27
11.Perlakuan hewan uji ... 27
12.Perhitungan daya anti inflamasi ... 28
F. Analisis Hasil ... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
A. Uji Pendahuluan ... 29
1. Orientasi rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin 1% subplantar ... 29
2. Orientasi dosis efektif natrium diklofenak ... 31
3. Orientasi waktu pemberian natrium diklofenak ... 33
4. Orientasi pemberian beta karoten terhadap natrium
diklofenak ... 35
B. Uji Daya Antiinflamasi ... 37
C. Konversi dosis beta karoten sebagai antiinflamasi dari mencit ke manusia ... 45
D. Perbandingan hasil penelitian dengan penelitian lain ... 46
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
A. Kesimpulan ... 48
B. Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 49
LAMPIRAN ... 52
BIOGRAFI PENULIS ... 71
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil uji Scheffe orientasi waktu pemotongan kaki mencit
setelah injeksi karagenin 1% suplantar ... 30
Tabel II. Hasil uji Scheffe orientasi dosis efektif natrium
diklofenak... 32
Tabel III. Hasil uji Scheffe orientasi waktu pemberian natrium
diklofenak pada dosis efektifnya ... 34
Tabel 1V. Hasil uji Scheffe orientasi waktu pemberian beta karoten
terhadap natrium diklofenak ... 36
Tabel V. Data bobot udema kaki mencit dan persentase daya
antiinflamasi kelompok perlakuan beserta kontrol ... 39
Tabel VI. Rangkuman hasil anava satu arah, dengan taraf
kepercayaan 95%, persentase daya antiinflamasi kelompok
perlakuan beserta kontrol ... 40
Tabel VII. Rangkuman hasil uji Scheffe mengenai % daya
antiinflamasi kelompok perlakuan disertai kontrol ... 40
Tabel VIII. Perbandingan data % efek anti inflamasi beta karoten
dengan data % daya antiinflamasi beta karoten sebagai
praperlakuan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB... 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur beta karoten ... 5
Gambar 2. Mekanisme kemungkinan penangkapan radikal bebas oleh
beta karoten ... 6
Gambar 3. Diagram mediator-mediator inflamasi yang berasal dari
fosfolipida beserta aksinya, serta titik tangkap kerja obat
antiinflamasi ... 9
Gambar 4. Patogenesis dan tanda suatu peradangan ... 11
Gambar 5. Struktur natrium diklofenak ... 13
Gambar 6. Rangkuman penggolongan antaraksi obat berdasarkan
perubahan efek ... 16
Gambar 7. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah injeksi
karagenin 1% subplantar pada selang waktu tertentu ... 31
Gambar 8. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah pemberian
natrium diklofenak dalam tiga peringkat dosis ... 32
Gambar 9. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah pemberian
natrium diklofenak dengan dosis efektif pada selang waktu
tertentu ... 34
Gambar 10. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah pemberian
beta karoten pada selang waktu tertentu sebelum natrium
diklofenak ... 35
Gambar 11. Grafik mean bobot udema kaki mencit pada kelompok
perlakuan disertai kontrol ... 38
Gambar 12. Grafik % daya antiinflamasi kelompok perlakuan disertai
kontrol ... 39
Gambar 13. Grafik % daya antiinflamasi kelompok perlakuan setelah
dikurangi kontrol minyak kelapa ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Label beta karoten ... 52
Lampiran 2. Sertifikat analisis natrium diklofenak ... 53
Lampiran 3. Foto minyak kelapa ... 54
Lampiran 4. Foto larutan beta karoten dalam minyak kelapa ... 54
Lampiran 5. Data bobot udema kaki kaki mencit dan % daya antiinflamasi hasil uji daya antiinflamasi pada kelompok kontrol dan perlakuan ... 55
Lampiran 6. Tabel persentase daya antiinflamasi dan potensi relatif kelompok perlakuan dan kontrol ... 57
Lampiran 7. Contoh perhitungan persentase daya antiinflamasi dan potensi relatif ... 58
Lampiran 8. Skema kerja uji efek antiinflamasi ... 59
Lampiran 9. Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemotongan kaki setelah injeksi suplantar karagenin 1% ... 60
Lampiran 10. Hasil analisis statistik data orientasi dosis efektif natrium diklofenak ... 62
Lampiran 11. Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemberian natrium diklofenak ... 64
Lampiran 12. Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemberian beta karoten terhadap natrium diklofenak ... 66
Lampiran 13. Hasil analisis statistik data % daya antiinflamasi kelompok perlakuan dan kontrolnya ... 68
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon yang menyolok pada
jaringan-jaringan hidup di sekitar sel-sel atau jaringan tubuh yang cedera atau
mati. Inflamasi atau peradangan cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak
diinginkan. Padahal sebenarnya merupakan suatu keadaan yang membantu
netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang
dibutuhkan pada proses penyembuhan (Price and Wilson, 1995).
Inflamasi atau peradangan saat ini telah menjadi masalah utama
penanganan sakit di masyarakat. Jika proses inflamasi lepas dari keseimbangan,
bukan hanya sel normal dan agen pencedera yang dibuang, tetapi jaringan yang
sehat juga mengalami kerusakan sehingga inflamasi menjadi berat. Karena
dipandang merugikan, maka diperlukan obat untuk mengendalikan inflamasi.
Pengobatan inflamasi bertujuan untuk melawan dan mengendalikan rasa nyeri dan
peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Ada banyak macam obat yang dapat digunakan untuk mengobati
inflamasi, salah satu di antaranya adalah obat antiinflamasi non-steroid (OAINS).
Namun berdasarkan beberapa survei, penggunaan AINS seringkali menimbulkan
beberapa keluhan, terutama yang berkaitan dengan saluran pencernaan, seperti
nyeri lambung, mual, muntah, diare, atau bahkan perdarahan pada saluran
pencernaan (Parfitt, 1999). Diklofenak merupakan derivat fenilasetat dan
termasuk OAINS yang terkuat daya anti radangnya (Katzung, 2001).
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan inflamasi telah banyak
dilakukan, terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan alam sebagai obat
antiinflamasi. Contohnya adalah penelitian Widarsih (2003) tentang daya
antiinflamasi perasan umbi wortel (Daucus carota, L) pada mencit jantan, yang menyimpulkan bahwa perasan umbi wortel pada dosis 2,5; 5; 10 dan 20 ml/kg BB
memberikan daya antiinflamasi berturut-turut 31,19%; 51,50%; 45,68%; dan
37,80%. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rasmandani (2004), yaitu
mengenai daya antiinflamasi sari umbi wortel (Daucus carota, L) pada mencit jantan (kajian terhadap lama masa pemberian), di mana diketahui bahwa
pemberian sari umbi wortel dari hari ke-1 sampai hari ke-4 menunjukkan
penurunan berat rata-rata udema kaki mencit dibandingkan hari sebelumnya.
Kedua penelitian tersebut membuktikan bahwa wortel memang berkhasiat sebagai
antiinflamasi, dan diduga senyawa di dalam wortel yang bertanggung jawab
terhadap khasiat antiinflamasinya adalah beta karoten. Salah satu penelitian
terbaru mengenai inflamasi dilakukan oleh Utami (2006), yang menyatakan
bahwa beta karoten terbukti memiliki efek antiinflamasi.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah pemberian beta
karoten sebagai senyawa antiinflamasi dapat mempengaruhi daya antiinflamasi
yang dimiliki natrium diklofenak, dalam hal ini meningkatkan daya
1. Permasalahan
a. Apakah pemberian beta karoten dapat meningkatkan daya antiinflamasi
natrium diklofenak?
b. Seberapa besarkah pengaruhnya terhadap daya antiinflamasi natrium
diklofenak?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh pemberian beta karoten terhadap daya
antiinflamasi natrium diklofenak pada mencit putih jantan ini belum pernah
dilakukan di Universitas Sanata Dharma. Walaupun demikian, penelitian ini
tetap dilakukan dengan mengacu pada penelitian sebelumnya. Berikut adalah
penelitian yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.
a. Daya antiinflamasi perasan umbi wortel (Daucus carota, L) pada mencit jantan oleh Widarsih (2003).
b. Daya anti inflamasi sari umbi wortel (Daucus carota, L) pada mencit jantan (kajian terhadap lama masa pemberian) oleh Rasmandani (2004).
c. Pengaruh kombinasi jus wortel (Daucus carota, L) dan apel hijau (Pyrus malus, L) terhadap daya antiinflamasi natrium diklofenak pada mencit jantan oleh Lestari (2005).
d. Efek antiinflamasi beta karoten terhadap mencit putih jantan oleh Utami
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengembangan
penelitian mengenai penggunaan bahan-bahan alam yang mengandung
senyawa beta karoten yang dikombinasi dengan obat antiinflamasi
modern.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi mengenai
pengaruh pemberian beta karoten terhadap daya antiinflamasi natrium
diklofenak.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. mengetahui ada/tidaknya perubahan daya antiinflamasi natrium diklofenak
akibat pemberian beta karoten.
2. mengetahui besarnya pengaruh pemberian beta karoten tersebut terhadap daya
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Beta Karoten
Gambar 1. Struktur kimia all-transβ-karoten (Anonim, 1989).
Vitamin A adalah nama umum bagi zat-zat retinoida yang
memiliki khasiat biologis dari retinol. Zat ini terdapat dalam zat-zat pangan
hewani terutama sebagai ester, seperti susu dan produknya, kuning telur, hati, dan
dengan kadar tinggi dalam minyak ikan. Kebutuhan sehari-hari akan vitamin A
sebagian dipenuhi oleh karotenoida (provitamin A), yakni kompleks dari 2
molekul retinol yang dalam usus diuraikan menjadi vitamin aktif. Provitamin A
terdapat dalam banyak sayuran hijau tua, berbagai jenis kol, dan sebagai pigmen
kuning jingga dari banyak buah dan sayur, antara lain wortel dan tomat, lemak
susu dan kuning telur (Tjay dan Rahardja, 2002).
Beta karoten merupakan salah satu dari 600 karotenoid yang ada di alam.
Beta karoten mempunyai dua peran, yaitu sebagai prekursor vitamin A dan
antioksidan. Beta karoten yang terdapat pada wortel, pepaya, sayur mayur yang
berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai antioksidan
(Anonim, 2003). Beta karoten berkhasiat antioksidan spesifik untuk menetralkan
oksigen singlet reaktif dan mencegah pembentukan radikal peroxyl akibat
peroksidasi lipida. Beta karoten adalah provitamin A terpenting yang diperoleh
dari algae laut Dunaliella salina yang membentuknya dalam jumlah besar (Tjay dan Rahardja, 2002).
Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil
(Paiva dan Russel, 1999) lalu menetralkannya, menghambat oksidasi asam
arakhidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim
lipoksigenase (Lieber and Leo, 1999). Apabila oksidasi asam arakidonat dapat
dihambat maka tidak terbentuk oksigen reaktif yang dapat menyebabkan inflamasi
sehingga proses inflamasi dapat dihambat. Penurunan aktivitas enzim
lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien yang dapat
mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan.
Mekanisme kemungkinan penangkapan radikal bebas oleh beta karoten
dapat dilihat pada gambar 2.
CH3
Dari strukturnya terlihat bahwa beta karoten mampu menangkap radikal
bebas melalui ikatan rangkap konjugasi yang dimilikinya (Hamilton dkk, 1997 cit Wijoyo, 2001). Beta karoten pada atom C15 menyumbangkan satu elektronnya
kepada radikal bebas oksigen sehingga radikal bebas tersebut menjadi lebih stabil
dan tidak reaktif. Beta karoten akan menjadi sebuah radikal bebas baru karena
kehilangan satu elektronnya, akan tetapi karena struktur konjugasinya yang
panjang maka ikatan rangkap pada beta karoten akan selalu beresonansi sehingga
beta karoten menjadi suatu radikal bebas yang stabil. Karena beta karoten
menyumbangkan satu elektronnya pada radikal bebas maka radikal bebas tersebut
tidak dapat menangkap makromolekul lain dalam sel tubuh sehingga kerusakan
jaringan dan inflamasi dapat dihambat.
B. Inflamasi
1. Definisi
Inflamasi merupakan respon biologik dari reaksi-reaksi kimia secara
berurutan dan bertugas melindungi tubuh dari infeksi dan memperbaiki jaringan
yang rusak akibat jejas (Wilmana, 1995). Penyebab inflamasi dapat ditimbulkan
oleh rangsangan fisik, kimiawi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme/parasit),
dan kombinasi ketiga agen tersebut (Mutschler, 1991).
Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam 3 fase: inflamasi akut, respons
imun, dan inflamasi kronis. Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu
menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing atau
Akibat dari respon imun bagi tuan rumah mungkin menguntungkan, seperti
bilamana ia menyebabkan organisme penyerang di-fagositosis atau dinetralisir.
Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat merusak bila menjurus pada
inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses yang mendasarinya. Inflamasi
kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam
respons akut (Katzung, 2001).
2. Mekanisme
Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi,
fisik, atau mekanis maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah
fosfolipida yang terdapat disitu menjadi asam arakhidonat (Tjay & Rahardja,
2002). Enzim siklooksigenase mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin
dan tromboksan. Lipoksigenase ialah enzim yang mengubah asam arakidonat
menjadi leukotrien. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada
eosinofil, neutrofil, dan makrofag dan mendorong terjadinya bronkokonstriksi dan
perubahan permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat
kerusakan jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit dan platelet
lain. Stimulasi membran neutrofil menghasilkan oxygen free radicals. Anion superoksid dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi
molekul lain yang reaktif, seperti hidrogen peroksid dan hydroxyl radicals. Interaksi substansi-substansi ini dengan asam arakidonat menyebabkan
munculnya substansi kemotaktik, oleh karena itu melestarikan proses inflamasi
(Wibowo dan Gofir, 2001). Skema dari mediator-mediator yang berasal dari asam
PGE2
Gambar 3. Diagram mediator-mediator inflamasi yang berasal dari fosfolipida beserta aksinya, serta titik tangkap kerja obat anti-inflamasi (Rang, Dale, Ritter
and Moore, 2003)
HETE = hydroxyeicosatetraenoic acid
HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid
PAF = platelet-activating factor
NSAIDs = Non-Steroidal Anti-inflammatory Drugs
(thrombotic;
3. Gejala
Gejala proses inflamasi akut yang sudah dikenal, meliputi: rubor, kalor, dolor, tumor, dan function laesa (Wilmana, 1995). Kemerahan (rubor), biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan.
Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola yang mensuplai daerah
tersebut melebar, sehingga lebih banyak darah yang mengalir ke dalam
mikrosirkulasi lokal. Keadaan inilah yang bertanggung jawab atas warna merah
lokal karena peradangan akut. Panas (kalor), berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi radang akut. Sebenarnya, panas hanyalah suatu sifat reaksi peradangan
pada permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37oC, yaitu
suhu di dalam tubuh. Rasa sakit (dolor) dalam reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal
ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat
kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang
saraf. Selain itu pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan
peningkatan tekanan lokal, yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa
sakit. Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan
lokal (tumor). Pembengkakan timbul akibat pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran cairan dan sel yang
tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Kenyataan adanya perubahan
noksius
kemerahan panas Pembeng kakan
Gangguan fungsi
nyeri
Gambar 4. Patogenesis dan tanda suatu peradangan (Mutschler, 1991).
C. Obat Antiinflamasi
Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai 2 tujuan utama: pertama,
meringankan rasa nyeri, yang seringkali merupakan gejala awal yang terlihat dan
keluhan utama yang terus-menerus dari pasien; dan kedua, memperlambat atau
(dalam teori) membatasi proses perusakan jaringan. Pengurangan inflamasi
dengan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) seringkali berakibat rasa nyeri
mereda selama periode yang bermakna (Katzung, 2001).
Aktivitas antiinflamasi dari AINS terutama dipengaruhi melalui hambatan
sintesis prostaglandin. Beberapa AINS mungkin memiliki mekanisme tambahan,
termasuk hambatan kemotaksis, regulasi rendah produksi interleukin-1,
penurunan produksi radikal bebas dan superoksida, dan campur tangan dengan
kejadian-kejadian intraseluler yang diperantarai kalsium. Selama terapi dengan
obat-obat ini, inflamasi dikurangi dengan penurunan rilis mediator-mediator
indomethacine dan diklofenac telah dilaporkan mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotrien (Katzung, 2001).
Obat antiinflamasi secara umum dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan
steroid dan golongan non steroid (AINS). Golongan steroid bekerja dengan
menghambat asam arakidonat dari fosfolipida oleh enzim fosfolipase, sehingga
pembentukan prostaglandin dan leukotrien tidak terjadi. Obat antiinflamasi
golongan nonsteroid menghambat sintesis prostaglandin, di mana kedua jenis
siklooksigenase (COX) dihambat. AINS ideal hendaknya menghambat COX-2
(berperan dalam peradangan) dan tidak COX-1 (berperan dalam perlindungan
mukosa lambung), lagipula menghambat lipoksigenase untuk pembentukan
leukotrien (Tjay dan Rahardja, 2002).
Selama terapi dengan obat-obat ini, inflamasi dikurangi oleh penurunan
rilis mediator-mediator granulosit, basofil, dan sel-sel mast. AINS mengurangi
kepekaan pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi
produksi limfokin dari limfosit T, dan membalikkan vasodilatasi. Dalam tingkat
yang berbeda-beda, semua AINS yang lebih baru adalah analgesik, antiinflamasi,
dan antipiretik, dan semua (kecuali agen-agen selektif COX-2) menghambat
agregasi platelet. Mereka semua adalah iritan-iritan lambung, sekalipun sebagai
kelompok mereka cenderung kurang menyebabkan iritasi lambung daripada
D. Natrium Diklofenak
O
HO
C
Cl Cl
H N
Gambar 5. Struktur natrium diklofenak
Natrium diklofenak adalah golongan obat nonsteroid dengan aktivitas
analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Aktivitas natrium diklofenak yaitu
menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan prostaglandin
terhambat. Indikasi dari obat ini untuk pengobatan akut dan kronik gejala-gejala
rheumatoid arthritis, osteoarthritis. Kontra indikasi obat ini untuk penderita yang
hipersensitifitas terhadap diklofenak atau penderita asma, urtikaria atau alergi
pada pemberian aspirin atau NSAID lainnya, serta penderita tukak lambung
(Wilmana, 1995). Dosis oral natrium diklofenak adalah 75-150 mg/hari dalam
2-3 dosis, sebaiknya setelah makan. Dosis maksimal tiap hari untuk setiap cara
pemberian adalah 150 mg (Anonim, 2000).
E. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan terjadinya
peristiwa interaksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, pada waktu dua
obat atau lebih diberikan secara bersamaan atau hampir bersamaan. Tidak semua
diambil manfaatnya dalam praktek pengobatan. Interaksi dapat membawa dampak
yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga
tidak dapat dilakukan upaya optimalisasi. Secara ringkas, dampak negatif dari
interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai terjadinya efek samping/toksik
dari obat, dan tidak tercapainya efek terapeutik yang diinginkan (Suryawati,
1995).
Terdapat beberapa mekanisme bagaimana interaksi obat terjadi. Menurut
Suryawati (1995), berdasarkan mekanismenya, interaksi dapat dibagi menjadi 3
golongan besar, yakni interaksi farmasetik, interaksi farmakokinetik, dan interaksi
farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetik
Interaksi ini merupakan interaksi fisiko-kimiawi antar obat sehingga
mengubah efek farmakologiknya. Yang sering terjadi misalnya reaksi antara
obat-obat yang dicampur dalam cairan secara bersamaan, misalnya dalam
infus atau suntikan (Suryawati,1995).
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi atau
mengubah absorpsi, distribusi (ikatan protein), metabolisme dan ekskresi obat
kedua (Suryawati,1995).
3. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik berbeda dengan interaksi famakokinetik. Kalau
pada interaksi farmakokinetik terjadi perubahan kadar obat objek oleh karena
maka pada interaksi farmakodinamik terjadi perubahan efek obat objek karena
pengaruh obat lain pada tempat kerja obat (Suryawati, 1995).
Ketika obat-obat dengan efek farmakologis yang serupa diberikan secara
bersamaan, biasanya tampak suatu respons aditif atau sinergis. Kedua obat
tidak atau dapat bekerja pada reseptor yang sama untuk menimbulkan efek.
Sebaliknya, obat-obat dengan efek farmakologis berlawanan dapat
menurunkan respons dari satu atau kedua obat tersebut. Interaksi
farmakodinamik obat relatif umum dalam praktek klinis, tetapi efek-efek yang
tidak diinginkan biasanya dapat diminimalisasi jika interaksi diantisipasi dan
upaya penanggulangannya tepat (Katzung, 2001).
Selain itu, terdapat pula beberapa istilah yang dapat dipakai untuk
menjelaskan efek obat. Yakni: homoergi (sepasang obat menimbulkan efek yang
benar-benar sama), heteroergi (sepasang obat hanya salah satu yang menimbulkan
efek tertentu), homodinami (sepasang obat homoergi dengan mekanisme kerja
yang sama), dan heterodinami (sepasang obat homoergi dengan mekanisme yang
berbeda) (Fingl and Woodbury, 1970; Martin, 1971 cit Donatus, 1995).
Berdasarkan sifat efek pasangan obat di atas, pada hakikatnya antaraksi
obat dapat digolongkan menjadi antaraksi: homoergi-homodinami dengan luaran
efek penambahan (infra, sederhana, atau supra); serta homoergi-heterodinami dan
heteroergi dengan luaran efek penghambatan atau penguatan (Fingl dan
Woodbury, 1970; Martin, 1971 cit Donatus, 1995). Skema penggolongan
antaraksi obat berdasarkan perubahan efek oleh Donatus (1995) dapat dilihat pada
Obat A dan B (< penambahan sederhana) • Penambahan sederhana
(= penambahan sederhana) • Penambahan supra
(> penambahan sederhana)
Antagonisme
Sinergisme MEKANISME ?
Gambar 6. Rangkuman penggolongan antaraksi obat berdasarkan perubahan efek (Donatus, 1995)
F. Metode Uji Daya Antiinflamasi
Secara umum, model inflamasi dibedakan menjadi dua, sesuai dengan
akut dapat dibuat dengan berbagai cara, yaitu dengan induksi udema kaki tikus,
pembentukan eritrema (respon kemerahan) dan pembentukan eksudasi inflamasi,
sedangkan inflamasi kronis dibuat dengan pembentukan granuloma dan induksi
arthritis (Gryglewski, 1977).
Beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur daya antiinflamasi
adalah sebagai berikut ini:
1. Uji eritrema
Eritrema (kemerahan) merupakan tanda awal dari reaksi inflamasi.
Timbulnya eritrema adalah akibat dari terjadinya sejumlah iritan kimiawi seperti
xylem, minyak kroton, vesikan, histamin dan bradikinin (Gryglewski, 1977).
Eritrema ini dapat diamati dua jam setelah kulit diradiasi dengan sinar UV.
Kelemahan metode ini adalah eritrema dapat dihambat oleh obat yang kerjanya
tidak menghambat sintesa prostaglandin (Turner, 1965).
2. Induksi udema telapak kaki belakang
Pada umumnya iritan yang banyak digunakan untuk menginduksi udema
kaki tikus yang adalah karagenin. Karagenin merupakan suatu polisakarida sulfat
yang diekstraksi dari lumut Irlandia Chindrus cripus.. Pada fase serotonin (5-hidroksi triptamin) dari sel mast dan diikuti dengan dibentuknya kinin dalam
aliran darah. Mediator-mediator tersebut mengakibatkan gangguan pembuluh
darah dalam jaringan terinflamasi. Keuntungan metode ini antara lain cepat
(waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama) dan pengukuran volume kaki dapat
dilakukan dengan lebih akurat dan objektif, mudah dilakukan karena caranya
teknik penyuntikan pada telapak kaki tikus atau jika penyuntikan karagenin secara
subplantar tersebut tidak menjamin pembentukan volume udema yang seragam
pada hewan percobaan, akan dapat mempengaruhi nilai simpangan pada
masing-masing kelompok tikus yang cukup besar (Gryglewski, 1977).
3. Tes granuloma
Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjeksi bagian
punggung secara subkutan dengan 10-25 ml udara, kemudian 0,50 ml minyak
kapas sebagai senyawa yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong,
udara dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot,
selanjutnya diukur volume cairannya. Model percobaan ini lebih sensitif untuk uji
obat anti inflamasi steroid daripada nonsteroid (Turner, 1965).
4. Induksi arthritis
Uji ini dilakukan dengan injeksi subkutan ataupun intrakutan disuspensi
Mycobacterium butyricum dalam minyak mineral. Respon inflamasi lokal ditunjukkan dengan terbentuknya udema yang diikuti dengan timbulnya penyakit
sistemik imun yang memberikan gejala pembengkakan tungkai dan lengan,
hiperpireksia lokal dan munculnya benjolan pada telinga dan ekor (Gryglewski,
1977).
G. Landasan Teori
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
jaringan yang rusak dan migrasi sel (Mycek, 2001). Reaksi inflamasi yang
diinduksi karagenin mempunyai dua fase: fase awal dan akhir. Fase awal berakhir
setelah 60 menit dan dihubungkan dengan pelepasan histamin, serotonin, dan
bradikinin. Fase akhir terjadi antara 60 menit setelah injeksi dan berakhir setelah
tiga jam. Fase ini dihubungkan dengan pelepasan prostaglandin dan neutrofil yang
menghasilkan radikal bebas, seperti hidrogen peroksida, superoksida, dan radikal
hidroksil (Suleyman, 2004).
Natrium diklofenak, sebagai OAINS, memiliki mekanisme menghambat
kerja enzim siklooksigenase, juga mengurangi bioavailabilitas asam arakidonat
(Katzung, 2001), maka dengan demikian ia mempunyai kemampuan untuk
meringankan gejala inflamasi. Fakta mengungkapkan bahwa dengan mencegah
perubahan bentuk asam arakidonat melalui siklooksigenase, AINS menyebabkan
lebih banyak substrat untuk dimetabolisme melalui jalur lipoksigenase sehingga
terjadi peningkatan pembentukan leukotrien (Katzung, 2001). Sedangkan beta
karoten terbukti memiliki efek antiinflamasi (Utami, 2006) terkait dengan
aktivitasnya sebagai antioksidan. Beta karoten akan menghambat oksidasi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk oksigen reaktif yang memicu terjadinya
peradangan dan menurunkan aktivitas enzim lipoksigenase (Lieber and Leo,
1999) sehingga tidak menghasilkan leukotrien yang dapat mengaktivasi lekosit
untuk memacu terjadinya peradangan, dan proses inflamasi dapat dihambat.
Ketika obat-obat dengan efek-efek farmakologis yang serupa diberikan
secara bersamaan, biasanya tampak suatu respon aditif atau sinergis. Kedua obat
(Katzung, 2001). Baik natrium diklofenak maupun beta karoten sama-sama
memiliki efek antiinflamasi. Dengan adanya kesamaan efek farmakologis dari
kedua senyawa ini, diharapkan dapat terjadi respon yang aditif atau sinergis
apabila keduanya diberikan secara bersamaan.
H. Hipotesis
Beta karoten yang diberikan sebelum natrium diklofenak dapat
meningkatkan daya antiinflamasi natrium diklofenak karena aktivitasnya sebagai
antioksidan dapat menghambat proses inflamasi pada jalur yang tidak dihambat
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan penelitian
Penelitian tentang pengaruh pemberian beta karoten terhadap daya
antiinflamasi natrium diklofenak pada mencit putih jantan merupakan jenis
penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap
pola searah.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas : dosis beta karoten.
b. Variabel tergantung : persentase daya anti inflamasi.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
i. Galur mencit, yaitu galur Swiss.
ii. Jenis kelamin, mencit yang digunakan adalah mencit jantan.
iii. Umur mencit, yang digunakan adalah mencit berumur 2-3 bulan.
iv. Berat badan mencit, yaitu 20-30 gram.
b. Variabel pengacau tak terkendali
Kondisi patologis hewan uji.
3. Definisi operasional
a. Dosis beta karoten
Dosis beta karoten yaitu sejumlah (mg) beta karoten tiap satu satuan
kg berat badan subyek uji.
b. Persentase daya anti inflamasi
Persentase daya antiinflamasi adalah besarnya (%) daya antiinflamasi
pada kelompok perlakuan yang dapat diamati dengan menghitung bobot
udema yang ditimbulkan oleh senyawa penginduksi udem (karagenin 1%).
C. Subyek dan Bahan penelitian
1. Subyek penelitian
Subyek uji yang digunakan berupa mencit jantan galur Swiss, umur 2-3
bulan dengan berat badan berkisar antara 20-30 gram diperoleh dari Laboratorium
Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
2. Bahan penelitian
Penelitian ini menggunakan bahan-bahan sebagai berikut ini.
a) Beta karoten (Sigma Chemical Co).
b) Natrium diklofenak (Wenzhou Pharmaceutical Factory) merek BP98 yang
diperoleh dari PT. Fahrenheit, Tangerang
c) Karagenin tipe I (Sigma Chemical Co) sebagai peradang yang diperoleh
dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
d) NaCl Fisiologis yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas
Faramasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
e) Minyak kelapa sebagai pelarut beta karoten, diperoleh dari pasar
tradisional.
f) Aquades diperoleh dari Laboratorium Farmakalogi, Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
D. Alat penelitian
Alat yang digunakan untuk uji daya antiinflamasi terdiri dari: alat-alat gelas
(gelas beker, pipet tetes, pengaduk kaca, labu takar, labu ukur); neraca analitik
merek Metler Toledo tipe AB 204, Germany; spuit injeksi subplantar (0,1-1,0) merek Terumo; spuit oral (0,1-1,0); gunting bedah.
E. Tatacara Penelitian
1. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan, galur
Swiss, usia 2-3 bulan, berat badan 20-30 gram. Sebelum digunakan, mencit
dipuasakan 24 jam dan tetap diberi minum. Kelompok orientasi terdiri dari 3 ekor
hewan uji dan kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor hewan uji.
2. Penetapan dosis karagenin
Diketahui konsentrasi karagenin yang digunakan adalah 1% dan volume
pemberian adalah 0,05 ml (Williamson, 1996). Berat mencit rata-rata 20 gram,
Dosis karagenin =
3. Pembuatan suspensi karagenin
Timbang 100 mg karagenin, kemudian larutkan dalam 10 ml larutan NaCl
fisiologis (0,9%) sehingga diperoleh konsentrasi suspensi 1%. Agar bisa
digunakan kembali, suspensi karagenin disimpan dalam freezer pada suhu – 15oC.
4. Penetapan dosis natrium diklofenak
Dosis natrium diklofenak yang digunakan pada uji pendahuluan adalah
3,36 mg/kg BB; 4,48 mg/kg BB; 5,6 mg/kg BB (Maryanto, 1997). Perhitungan
Dosis III
5. Pembuatan larutan natrium diklofenak
Serbuk natrium diklofenak ditimbang seksama 9 mg lalu dilarutkan dalam
aquades hingga volume 50 ml sehingga diperoleh konsentrasi larutan natrium
diklofenak sebesar 0,18 mg/ml.
6. Penetapan dosis beta karoten
Dosis tertinggi beta karoten yang digunakan mengacu pada penelitian Wijoyo
(2001), di mana pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa dosis sari wortel
22,5ml/kg BB setara dengan 1,845 mg/kg BB beta karoten. Berdasarkan dosis
tersebut, ditetapkan 4 peringkat dosis yaitu 0,6523; 0,9225; 1,3046 dan 1,845
mg/kg BB.
7. Orientasi rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin 1% subplantar
Hewan uji dibagi 4 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 3 ekor. Diberi
perlakuan pada kaki kiri bagian belakang diinjeksi 0,05 ml suspensi karagenin 1%
secara subplantar sedangkan kaki kanan bagian belakang hanya disuntik dengan
spuit injeksi subplantar tanpa suspensi karagenin 1%. Selanjutnya tiap kelompok
hewan uji dikorbankan pada selang waktu tertentu yaitu: 1, 2, 3, dan 4 jam.
torsocrural kemudian ditimbang. Waktu pemotongan kaki ditentukan pada saat
kaki mengalami peningkatan udem yang berarti.
8. Orientasi dosis efektif natrium diklofenak
Hewan uji dibagi dalam 3 kelompok, tiap kelompok 3 ekor diberi perlakuan
Na-diklofenak per oral dengan dosis yang berbeda-beda. Kelompok I dengan
dosis 3,36 mg/kg BB. Kelompok II dengan dosis 4,48 mg/kg BB, dan kelompok
III dengan dosis 5,6 mg/kg BB. Kemudian kaki kiri bagian belakang diinjeksi
0,05 ml suspensi karagenin 1% subplantar, sedangkan kaki kanan hanya disuntik
dengan injeksi secara subplantar tanpa suspensi karagenin 1%. Beberapa lama
kemudian mencit dikorbankan, kedua kaki belakangnya dipotong pada sendi
torsocrural kemudian ditimbang. Dosis efektif natrium diklofenak didapat dari
penurunan udem yang berarti.
9. Orientasi waktu pemberian natrium diklofenak
Hewan uji dibagi dalam 4 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 3 ekor, diberi
perlakuan dengan dosis efektif diklofenak secara per oral dalam rentang waktu
tertentu. Tiap kelompok diberi natrium diklofenak dengan interval waktu 15, 30,
45, dan 60 menit sebelum diinjeksi karagenin. Setelah diinjeksi natrium
diklofenak dengan dosis efektif, tiap kelompok mencit disuntik subplantar 0,05 ml
karagenin 1% pada telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan sebagai kontrol hanya
disuntik tanpa diberi karagenin. Setelah itu kedua kaki dipotong pada sendi
torsocrucal lalu ditimbang. Waktu pemberian larutan natrium diklofenak yang
digunakan adalah pada saat udema kaki mencit mengalami penurunan yang
10.Orientasi pemberian beta karoten terhadap natrium diklofenak
Hewan uji dibagi dalam 4 kelompok dengan jumlah 3 ekor setiap
kelompoknya. Tiap kelompok diberi beta karoten dengan interval waktu 15, 30,
45, dan 60 menit sebelum diberi natrium diklofenak. Setelah diinjeksi natrium
diklofenak dengan dosis efektif, tiap kelompok mencit disuntik subplantar 0,05 ml
karagenin 1% pada telapak kaki kiri dengan telapak kaki kanan sebagai kontrol.
Setelah itu kedua kaki dipotong pada sendi torsocrucal lalu ditimbang. Waktu
pemberian larutan natrium diklofenak yang digunakan adalah pada saat udema
kaki mencit mengalami penurunan yang berarti.
11.Perlakuan hewan uji
Mencit yang dibutuhkan 40 ekor. Sebelum digunakan mencit dipuasakan 24
jam, tetapi tetap diberi minum. Kelompok perlakuan terdiri dari 8 kelompok,
masing-masing menggunakan 5 ekor hewan uji. Kelompok I merupakan
kelompok kontrol negatif karagenin. Kelompok II adalah kelompok kontrol
pelarut aquades. Kelompok III adalah kelompok kontrol minyak kelapa, sebagai
pelarut beta karoten. Kelompok IV adalah kelompok kontrol natrium diklofenak
dengan dosis sesuai orientasi. Kelompok V, VI, VII, VIII sebagai kelompok
perlakuan dengan pemberian natrium diklofenak dengan selang waktu sesuai
orientasi. Kemudian diinjeksi 0,05 ml suspensi karagenin 1% dan dikurbankan
kedua kaki belakang dipotong pada sendi torsocrural, kemudian ditimbang.
12. Perhitungan daya antiinflamasi
Data yang diperoleh dari hasil penimbangan berat kaki belakang mencit
Langford et al (1972), untuk menghitung persen (%) respon antiinflamasi digunakan rumus sebagai berikut :
% respon antiinflamasi =
⎥⎦
U : harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat
kaki normal (kaki kanan)
D : harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata
berat kaki normal (kaki kanan)
Untuk mengetahui potensi relatif efek antiinflamasi beta karoten terhadap
natrium diklofenak sebagai kontrol positif digunakan rumus:
Potensi relatif efek antiinflamasi = ×100%
⎥⎦
DAp = % efek antiinflamasi kelompok perlakuan
DAd = % efek antiinflamasi larutan natrium diklofenak
F. Analisis Hasil
Data yang diperoleh dari perhitungan prosentase respon antiinflamasi
kelompok perlakuan beta karoten dengan natrium diklofenak dibandingkan
dengan kontrolnya. Diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui
homogenitas data yang diperoleh. Dianalisis secara statistik menggunakan
ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan Uji
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi orientasi
waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin 1% subplantar, orientasi dosis
efektif natrium diklofenak, orientasi waktu pemberian natrium diklofenak, dan
orientasi waktu pemberian beta karoten terhadap natrium diklofenak. Uji-uji
pendahuluan tersebut dilakukan untuk memvalidasi metode uji efek antiinflamasi
yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Orientasi waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin 1% subplantar
Orientasi ini dilakukan untuk menentukan waktu pemotongan kaki yang
tepat setelah dilakukan injeksi larutan karagenin 1% secara subplantar, yaitu pada
saat udema yang dihasilkan maksimal. Rentang waktu yang digunakan adalah 1, 2, 3,
dan 4 jam setelah injeksi karagenin 1% subplantar. Dari orientasi ini diperoleh data
bobot udema kaki mencit yang kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas distribusi data. Data terdistribusi
normal jika probabilitasnya >0,05, sedangkan jika probabilitasnya <0,05 maka data
terdistribusi tidak normal. Jika data terdistribusi normal, dapat dilanjutkan dengan uji
Anava satu arah dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan di antara setiap kelompok. Jika probabilitas yang diperoleh <0,05 berarti
ada perbedaan antar kelompok dan analisis data dapat dilanjutkan ke uji Scheffe
untuk mengetahui perbedaan tersebut bermakna atau tidak secara statistik. Jika
probabilitas yang diperoleh >0,05 berarti tidak ada perbedaan antar kelompok. Hasil
orientasi waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin 1% subplantar
dapat dilihat pada gambar 2 dan tabel I.
Tabel I. Hasil uji Scheffe orientasi waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi karagenin 1% suplantar
Kelompok
Waktu Pemotongan
Kaki
Bobot udema rata-rata (g) (X±SE)
b = berbeda bermakna (p<0,05) tb = berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Pada gambar 6 terlihat bahwa bobot udema kaki mencit maksimal dicapai
pada waktu 4 jam setelah injeksi karagenin 1% subplantar. Hasil analisis dengan uji
Scheffe juga menunjukkan bahwa mean bobot udema kaki mencit pada jam ke-4
mempunyai perbedaan yang bermakna dengan mean bobot udema kaki mencit pada
jam ke-1, 2, dan 3. Dengan demikian, diasumsikan bahwa efek karagenin 1% sebagai
0
Waktu Pemotongan Kaki (jam)
M
Gambar 7. Grafik mean bobot udema kaki mencit
setelah injeksi karagenin 1% subplantar pada selang waktu tertentu
2. Orientasi dosis efektif natrium diklofenak
Tujuan orientasi dosis efektif natrium diklofenak ini untuk menetapkan
dosis natrium diklofenak yang paling efektif dalam menurunkan udema pada kaki
mencit. Dosis natrium diklofenak yang digunakan, yaitu 4,48 mg/kg BB, 3,36 mg/kg
BB dan 5,6 mg/kg BB. Pemilihan peringkat dosis ini didasarkan pada penelitian
sebelumnya oleh Ibrahim dkk cit. Maryanto (1997). Menurut penelitian tersebut,
dosis efektif natrium diklofenak untuk tikus dengan BB 250 g adalah 40 mg/kg BB.
Dari hasil perhitungan didapat dosis natrium diklofenak untuk mencit dengan BB
20g adalah 4,48 mg/kg BB. Untuk mengetahui apakah pada dosis tersebut efektif
juga bila digunakan pada mencit maka dilakukan orientasi dengan menambah dua
dosis lainnya (3,36 dan 5,6 mg/kg BB).
Hasil orientasi dosis efektif natrium diklofenak ini berupa data mean bobot
ditimbulkan oleh dosis natrium diklofenak 3,36 mg/kg BB, sedangkan mean udema
terkecil ditimbulkan oleh dosis 4,48 mg/kg BB.
0
Dosis Natrium Diklofenak (mg/kg BB)
Gambar 8. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah pemberian natrium diklofenak dalam tiga peringkat dosis
Data hasil orientasi ini dianalisis dengan statistik menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan dengan uji Anava satu arah dan uji Scheffe.
Tabel II. Hasil uji Scheffe orientasi dosis efektif natrium diklofenak
Kelompok Dosis Natrium Diklofenak
Bobot udema rata-rata (g)
(X±SE)
Dosis
Pembanding Probabilitas
I 3,36 mg/kg BB 0,0769 ± 0,0026 4,48 mg/kg BB
Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara mean bobot udema kaki
mencit yang diberi natrium diklofenak dosis 4,48 mg/kg BB dengan dosis 3,36
mg/kg BB dan antara dosis 5,6 mg/kg BB dengan dosis 3,36 mg/kg BB, sedangkan
antara dosis 4,48 mg/kg BB dan 5,6 mg/kg BB tidak ada perbedaan yang bermakna
secara statistik. Dosis 4,48 mg/kg BB ditetapkan sebagai dosis efektif dalam
percobaan ini karena efek penurunan udema yang dihasilkan oleh natrium diklofenak
pada dosis ini paling besar walaupun secara statistik perbedaannya tidak bermakna
dengan dosis 5,6 mg/kg BB.
3. Orientasi waktu pemberian natrium diklofenak
Selanjutnya dilakukan orientasi waktu pemberian natrium diklofenak untuk
menentukan kapan waktu pemberian natrium diklofenak yang paling efektif dalam
menurunkan udema yang ditimbulkan oleh injeksi subplantar kargenin 1%. Rentang
waktu yang digunakan adalah 15, 30, 45, dan 60 menit sebelum injeksi karagenin
1%. Dosis natrium diklofenak yang digunakan dalam orientasi ini adalah dosis
efektif natrium diklofenak hasil orientasi sebelumnya, yaitu 4,48 mg/kg BB.
Hasil orientasi waktu pemberian natrium diklofenak berupa data mean bobot
udema kaki mencit, dapat dilihat pada gambar 8. Data mean bobot udema ini
kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov,
dilanjutkan dengan uji Anava satu arah dan uji Scheffe. Hasil analisis dapat dilihat
pada tabel 3. Hasil statistik tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna (p<0,05) antara waktu 15 dan 45 menit, antara 15 dan 60 menit, antara 30
dan 45 menit, serta antara 30 dan 60 menit. Sedangkan antara waktu 15 dan 30 menit
Mean bobot udema paling kecil diperlihatkan pada waktu 60 menit, tetapi tetap
dipilih waktu 45 menit sebagai waktu efektif pemberian natrium diklofenak dengan
alasan penghematan waktu.
0
Waktu Pem berian Natrium Diklofenak (m enit)
M
Gambar 9. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah pemberian natrium diklofenak dengan dosis efektif pada selang waktu tertentu
Tabel III. Hasil uji Scheffe orientasi waktu pemberian natrium diklofenak pada dosis efektifnya
Kelompok Waktu
Pemberian
4. Orientasi waktu pemberian beta karoten terhadap natrium diklofenak
Orientasi ini bertujuan untuk menentukan kapan sebaiknya pemberian beta
karoten dilakukan sebelum pemberian natrium diklofenak. Dalam penelitian ini, beta
karoten diberikan dengan selang waktu pemberian 15, 30, 45, dan 60 menit sebelum
pemberian natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB. Waktu pemberian yang optimal
ditentukan pada saat bobot udema kaki mencit mencapai minimum. Hasilnya dapat
dilihat pada gambar 9.
0
Gambar 10. Grafik mean bobot udema kaki mencit setelah pemberian beta karoten pada selang waktu tertentu terhadap natrium diklofenak
Pada gambar 9 dapat dilihat bahwa bobot udema kaki mencit tercapai pada
menit ke-15. Data mean bobot udema yang didapat dianalisis secara statistik
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan dengan uji Anava satu arah dan
uji Scheffe. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel IV. Hasil statistik tersebut
menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara waktu
pemberian beta karoten 15 menit sebelum natrium diklofenak dengan waktu
pemberian beta karoten 30 menit dan 45 menit sebelum natrium diklofenak.
Sedangkan antara selang waktu pemberian beta karoten 15 menit dan 60 menit
menunjukkan bahwa efek penurunan bobot udema kaki mencit akibat pemberian beta
karoten 15 menit dan 60 menit sebelum natrium diklofenak adalah sama. Namun,
tetap dipilih waktu pemberian beta karoten 15 menit sebelum natrium diklofenak
dengan alasan penghematan waktu dan bobot udema kaki mencit yang terukur adalah
paling kecil.
Tabel IV. Hasil uji Scheffe orientasi waktu pemberian beta karoten terhadap natrium diklofenak
Kelompok Waktu
Pemberian
B. Uji Daya Antiinflamasi
Uji daya antiinflamasi ini bertujuan untuk mengamati ada atau tidaknya
pengaruh pemberian beta karoten beberapa saat sebelum pemberian natrium
diklofenak terhadap daya antiinflamasi natrium diklofenak sebagai kontrol positif,
sekaligus menentukan besarnya pengaruh tersebut. Daya antiinflamasi yang
dimaksud adalah kemampuan untuk mengurangi udema pada kaki hewan uji akibat
injeksi karagenin 1% subplantar. Metode uji yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode induksi udema pada telapak kaki belakang mencit oleh karagenin
yang telah dimodifikasi (Langford dkk, 1972). Alasan menggunakan metode ini
karena merupakan metode yang sederhana dari segi perlakuan, pengamatan,
pengukuran, dan pengolahan data serta murah dari segi peralatan dan bahan yang
digunakan. Sebagai zat penginduksi udema, digunakan karagenin karena udema yang
dihasilkan reproduksibel dan tidak merusak jaringan. Karagenin juga merupakan
salah satu iritan penginduksi udema yang paling banyak digunakan untuk
memprediksi efektifitas potensial obat-obat antiinflamasi karena proses induksi
udema yang ditimbulkannya bergantung pada reaksi siklooksigenase, melalui 2 fase,
yaitu fase awal dan akhir. Fase awal terjadi sekitar 60 menit setelah induksi
karagenin, di mana terjadi pelepasan histamin, serotonin dan bradikinin. Fase akhir
berlangsung selama 60 menit setelah injeksi sampai kurang lebih 3 jam. Fase ini
berhubungan dengan pelepasan radikal bebas neutrofil seperti hidrogen peroksida,
superoksida, radikal hidroksil serta prostaglandin (Suleyman dkk., 2004).
Dalam uji daya antiinflamasi ini digunakan 4 kelompok kontrol. Kontrol
karagenin ini dilakukan untuk melihat seberapa besar bobot udema yang dapat
ditimbulkan oleh zat penginduksi udema ini tanpa perlakuan apapun. Kontrol kedua
adalah kontrol negatif aquades, yang digunakan untuk melihat apakah aquades
sebagai pelarut natrium diklofenak juga dapat memberikan efek antiinflamasi.
Kontrol ketiga adalah kontrol minyak kelapa, untuk melihat apakah minyak kelapa
sebagai pelarut beta karoten ikut mempengaruhi efek antiinflamasi pada kelompok
perlakuan. Kelompok perlakuan dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan
peringkat dosis beta karoten, yaitu 0,6523; 0,9225; 1,3046 dan 1,845 mg/kg BB,
yang dikombinasikan dengan natrium dikofenak dosis 4,48 mg/kg BB. Berdasarkan
uji pendahuluan, pemberian beta karoten dilakukan 15 menit sebelum pemberian
natrium diklofenak.
Hasil uji daya antiinflamasi ini berupa data bobot udema kaki mencit.
Berikut ini adalah data mean bobot udema kaki mencit hasil uji daya antiinflamasi
pada kelompok kontrol dan perlakuan.
0
0
Gambar 12. Grafik % daya antiinflamasi kelompok perlakuan disertai kontrol
Keterangan gambar 10 dan gambar 11:
1 = kelompok kontrol (-) karagenin 1% 2 = kelompok kontrol (-) aquadest 3 = kelompok kontrol (-) minyak kelapa 4 = kelompok kontrol (+) natrium diklofenak
5 = kelompok perlakuan beta karoten 0,6523 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
6 = kelompok perlakuan beta karoten 0,9225 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
7 = kelompok perlakuan beta karoten 1,3046 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
8 = kelompok perlakuan beta karoten 1,8450 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
Tabel V. Data mean bobot udema dan persentase daya antiinflamasi kelompok perlakuan beserta kontrol
Kelompok perlakuan disertai kelompok kontrol
Kontrol minyak kelapa 0,0649 ± 0,0019 24,791
Kontrol natrium diklofenak 0,0551 ± 0,0022 36,132
Beta karoten 0,6523 mg/kg BB *) 0,0772 ± 0,0042 10,529
Beta karoten 0,9225 mg/kg BB *) 0,0540 ± 0,0039 37,384
Beta karoten 1,3046 mg/kg BB *) 0,0614 ± 0,0051 28,850
Beta karoten 1,8450 mg/kg BB *) 0,0655 ± 0,0026 24,096
Tabel VI. Rangkuman hasil anava satu arah, dengan taraf kepercayaan 95%, persentase daya antiinflamasi kelompok perlakuan beserta kontrol
Keterangan Df F Probabilitas
(P)
Daya antiinflamasi antar kelompok
perlakuan beserta kontrol 7 9,559 0,000
Tabel VII. Rangkuman hasil uji Scheffe mengenai % daya antiinflamasi kelompok perlakuan disertai kontrol
% Daya Antiinflamasi terhadap Kelompok Pembanding Kelompok
Keterangan gambar dan tabel:
1 = kelompok kontrol (-) karagenin 1% 2 = kelompok kontrol (-) aquadest 3 = kelompok kontrol (-) minyak kelapa 4 = kelompok kontrol (+) natrium diklofenak
5 = kelompok perlakuan beta karoten 0,6523 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
6 = kelompok perlakuan beta karoten 0,9225 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
7 = kelompok perlakuan beta karoten 1,3046 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
8 = kelompok perlakuan beta karoten 1,8450 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
b = berbeda bermakna (p<0,05) tb = berbeda tidak bermakna (p>0,05) DA = daya antiinflamasi
Pada gambar 10, mean bobot udema kaki mencit yang terjadi pada kontrol
negatif karagenin 1% dan kontrol negatif aquades terlihat tidak berbeda jauh. Selain
itu, berdasarkan hasil uji Sceffe mengenai % daya antiinflamasi (tabel VIII), kontrol
karagenin 1%. Dapat diasumsikan bahwa aquades sebagai pelarut natrium diklofenak
tidak memiliki efek antiinflamasi.
Berbeda dengan kontrol aquades, kelompok kontrol minyak kelapa
meperlihatkan persentase daya antiinflamasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif lainnya, seperti terlihat pada gambar 11 dan tabel VI.
Walaupun pada hasil uji Scheffe (tabel VIII) kontrol minyak kelapa berbeda secara
tidak bermakna dengan kontrol karagenin, namun dapat diasumsikan bahwa minyak
kelapa sebagai pelarut beta karoten juga memiliki efek antiinflamasi dan turut
menyumbang efek penurunan bobot udema pada kelompok perlakuan. Oleh karena
itu, persentase daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan dikurangi persentase
daya antiinflamasi minyak kelapa untuk mendapatkan persentase daya antiinflamasi
kelompok perlakuan yang sesungguhnya. Persentase daya antiinflamasi kelompok
perlakuan sebelum dikurangi % daya antiinflamasi minyak kelapa adalah 10,529%;
37,384%; 28,850%; dan 24,096%. Setelah dikurangi dengan % daya antiinflamasi
minyak kelapa, % daya antiinflamasinya menjadi -14,262%; 12,593%; 4,058%; dan
-15
Gambar 13. Grafik % daya antiinflamasi kelompok perlakuan setelah dikurangi kontrol minyak kelapa
Keterangan:
1 = kelompok perlakuan beta karoten 0,6523 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
2 = kelompok perlakuan beta karoten 0,9225 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
3 = kelompok perlakuan beta karoten 1,3046 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
4 = kelompok perlakuan beta karoten 1,8450 mg/kg BB dengan natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB
Beta karoten dapat mengurangi inflamasi dengan cara menangkap radikal
bebas yang muncul selama proses inflamasi berlangsung, yaitu pada proses oksidasi
asam arakhidonat menjadi endoperoksidnya (Lieber dan Leo, 1999). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Utami (2006), beta karoten murni terbukti mampu menurunkan
bobot udema kaki mencit yang terinduksi karagenin 1%. Berdasarkan hasil tersebut,
disimpulkan bahwa beta karoten memiliki efek antiinflamasi dengan % daya
antiinflamasi pada dosis optimumnya (0,9225 mg/kg BB) sebesar 40,94%. Natrium
diklofenak, sebagai antiinflamasi nonsteroid, menghambat proses inflamasi dengan
terhambat (Wilmana, 1995). Daya antiinflamasi natrium diklofenak yang didapat
pada penelitian ini sebesar 36, 132%.
Baik beta karoten maupun natrium diklofenak, bila diberikan sebagai obat
tunggal, sama-sama memiliki efek mengurangi inflamasi. Bila keduanya digunakan
secara bersamaan dalam kombinasi sebagai antiinflamasi, interaksi yang diharapkan
terjadi di antara keduanya adalah efek penambahan (adisi) sederhana, di mana efek
dari penggunaan dua obat sama dengan efek obat pertama ditambah efek obat kedua.
Contoh perhitungan untuk penambahan sederhana:
% DA kontrol positif natrium diklofenak = 36,132 %
% DA beta karoten 0,9225 mg/kg BB = 40,94 % + (Utami, 2006)
77,072 %
Namun, berdasarkan hasil uji daya antiinflamasi dalam penelitian ini, persentase
daya antiinflamasi beta karoten 0,9225 mg/kg BB yang dikombinasikan dengan
natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB adalah 12,593 %. Jumlah ini lebih kecil dari efek
penambahan sederhana di atas. Efek penambahan ini disebut efek penambahan infra.
Disimpulkan bahwa interaksi yang terjadi akibat pemberian kedua obat ini
secara bersamaan dalam kombinasi adalah homoergi-heterodinami yang bersifat
antagonisme dengan luaran efek penambahan infra. Homoergi, karena efek
masing-masing obat (baik beta karoten maupun natrium diklofenak) memiliki efek yang
sama, yaitu mengurangi inflamasi. Heterodinami, karena efeknya dalam mengurangi
inflamasi melalui mekanisme yang berbeda. Natrium diklofenak mengurangi
inflamasi dengan menghambat kerja siklooksigenase (Tjay dan Rahardja, 2002),
terbentuk pada proses inflamasi sehingga proses oksidasi asam arakidonat menjadi
endoperoksidnya terhambat (Paiva dan Russel, 1999; Lieber dan Leo, 1999).
Dalam penelitian ini, didapatkan % daya antiinflamasi kelompok perlakuan
(pemberian beta karoten 15 menit sebelum natrium diklofenak 4,48 mg/kg BB) lebih
rendah daripada % daya antiinflamasi kontrol positifnya (natrium diklofenak). Bila
dibandingkan dengan penelitian Utami (2006) mengenai efek antiinflamasi beta
karoten, % daya antiinflamasi pada penggunaan beta karoten sebagai praperlakuan
natrium diklofenak juga lebih kecil daripada % efek antiinflamasi yang didapat dari
pemberian beta karoten murni.
Diduga ada beberapa kemungkinan interaksi yang terjadi akibat penggunaan
kedua jenis obat ini (beta karoten dan natrium diklofenak). Kemungkinan pertama
adalah terjadinya interaksi farmakodinamik, di mana terjadi perubahan efek obat
objek (natrium diklofenak) akibat adanya obat lain (beta karoten), telah dibahas di
atas. Kemungkinan kedua adalah terjadinya interaksi farmakokinetik, di mana
interaksi dapat terjadi sepanjang proses absorpsi, distribusi, metabolisme, maupun
ekskresi, mengingat bahwa selang waktu pemberian antar kedua senyawa cukup
singkat. Berdasarkan hasil orientasi, pemberian beta karoten dilakukan 15 menit
sebelum pemberian natrium diklofenak. Kemungkinan ketiga adalah terjadinya
interaksi farmasetik, terkait dengan penggunaan minyak kelapa sebagai pelarut beta
karoten. Kemungkinan interaksi ini terjadi pada saluran pencernaan, dengan
pertimbangan bahwa larutan beta karoten belum terabsorpsi sempurna pada saat
larutan natrium diklofenak dimasukkan ke dalam saluran pencernaan. Minyak kelapa